Menemukan Kembali Ekaristi – Kisah Diakon Dennis Lambert

Diakon Dennis Lambert (Sumber: chnetwork.org)

 

Kisah perjalanan iman ini diadaptasi dari buku Diakon Dennis Lambert yang berjudul For Real? Christ’s Presence in the Eucharist (Liguori Publications 2022).

Awal yang Baik

Saya seorang Katolik sejak kecil yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan cinta dan kesetiaan pada iman. Keluarga saya menghadiri Misa setiap hari Minggu dan setiap hari raya. Seperti kebanyakan umat Katolik, dulu dan sekarang, keluarga Lambert memiliki tempat duduk yang favorit. Bangku kami berada di bagian tengah, bangku kedua dari altar. Saya masih ingat kebiasaan ayah saya yang suka mencondongkan tubuhnya ke depan dan ke belakang setiap tiga detik. Saya yakin dia tidak menyadari kebiasaan ini, atau menyadari kalau saya pun suka menirukannya.

Saya mencintai dan mengagumi kedua orang tua saya, terutama karena semangat pelayanan mereka yang tak tergoyahkan, yang terlihat dari kesediaan mereka untuk membantu orang lain. Mereka berdua sangat terlibat di paroki dan sering mengundang para suster dan presbiter setiap kali ada pertemuan penting, para suster dan presbiter ini adalah yang mengelola sekolah milik gereja. Di sekolah dasar dan gereja St Joseph di Round Lake, Illinois, saya dan saudara-saudara saya menerima pendidikan sekolah dasar dan merayakan berbagai sakramen. Satu generasi kemudian, kedua anak saya mengikuti jejak saya, bersekolah di sekolah dasar yang sama, dan menerima berbagai sakramen di gereja paroki yang sama.

Pendidikan Katolik saya dilanjutkan di Carmel High School di Mundelein, Illinois. Di sinilah terjadi dua peristiwa yang mengubah hidup saya selama tahun pertama saya. Yang pertama adalah perjumpaan dengan istri saya, Debbie. Yang kedua adalah saya mulai tertarik pada iman saya. Saya ingin mengatakan bahwa ketertarikan ini muncul dari kebangkitan batin seperti Kristus, tetapi pada kenyataannya sekitar 90 persen motivasi saya didorong oleh keingintahuan intelektual yang terinspirasi oleh pengajaran seorang imam Karmelit bernama Romo Tom Drolet. Saya menemukan kelas-kelas agama yang beliau ajar sangat menarik dan saya tidak pernah merasa bosan. Metode pengajaran Kitab Suci dan teologinya sangat rasional dan mudah dipahami. Siapa yang menulis Injil yang mana, dan kapan? Siapa audiens dari setiap Injil? Bagaimana Yudaisme terhubung dengan Kekristenan?

Sejak kelas-kelas tersebut, saya menjadi tertarik dengan dunia akademis Kekristenan. Sampai hari ini, saya masih ingat dengan jelas antusiasme Romo Tom dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan “keturunan ular beludak “ dalam konteks kritik Yesus terhadap orang-orang Farisi. Bayangkan kegembiraan saya ketika saya mengetahui bahwa Romo Tom juga akan mengajar agama di tingkat akhir saya.

Belajar dari Kesalahan Saya

Saya tinggal di rumah selama semester awal kuliah sehingga saya bisa menghemat uang dan bisa mempertahankan pekerjaan yang saya jalani. Tetapi yang lebih penting, saya tetap tinggal di kampung halaman sehingga saya bisa tetap dekat dengan Debbie. Pada tahun pertama atau kedua saya kuliah, mulai timbul banyak pertanyaan tentang ajaran Katolik, yang menimbulkan berbagai macam masalah, termasuk konflik internal mengenai iman Katolik saya. Masalah-masalah ini menjadi begitu banyak dan menjadi bahan perdebatan sehingga saya mulai bertanya-tanya mengapa saya masih mengaku sebagai seorang Katolik, dan di persimpangan jalan inilah saya melakukan kesalahan besar.

Selama masa ini, saya mulai mengambil pelajaran gitar bass dari Bill, seorang teman yang beberapa tahun lebih tua dari saya. Pada suatu ketika, Bill mengundang saya untuk bermain softball di tim gereja Evangelikal non-denominasi tempat dia beribadah. Saya menerima ajakan itu. Ketika saya semakin mengenal lebih banyak orang dalam tim itu, saya melihat ada sesuatu yang baik dalam diri mereka. Dan, tidak seperti kebanyakan orang Katolik yang saya kenal, mereka memiliki kemauan yang nyata untuk berbicara tentang iman dan Alkitab, yang mana kedua hal ini sangat menarik bagi saya.

Jadi, daripada mendatangi seorang pembimbing rohani Katolik dengan pertanyaan-pertanyaan iman saya yang menumpuk, saya mendatangi orang-orang ini dan keluarga mereka, mengikuti pelajaran Alkitab mereka, dan menghadiri pertemuan-pertemuan pribadi dengan pendeta mereka. Tentu saja, mereka memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya. Saya menemukan bahwa komunitas Evangelikal yang kecil ini sangat anti-Katolik dan ingin sekali mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan saya dari cengkeraman dari apa yang mereka anggap sebagai suatu institusi yang jahat. Yang lebih mengesankan bagi saya pada saat itu adalah bagaimana mereka menggunakan Alkitab untuk mendukung semua jawaban mereka.

Seperti perumpamaan tentang seorang penabur, pada awalnya, saya bertunas seperti tanaman yang paling kecil. Sepertinya saya tidak hanya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya, tetapi juga iman yang nyata dan otentik! Syukurlah, dalam hal ini, saya seperti benih yang ditaburkan di atas tanah berbatu, dan akar-akar Evangelikal itu mulai layu. Setelah dua tahun, saya menemukan banyak ambiguitas dan kelemahan dalam jawaban dan pernyataan mereka.

Dua tahun setelah skisma diam-diam saya dari Gereja, saya menjadwalkan pertemuan dengan seorang imam di paroki saya untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama saya pendam dan “masalah-masalah” dengan Gereja. Seperti sebuah anugerah, imam yang saya jadwalkan untuk bertemu dengan saya adalah seorang pastor pendamping yang baru di paroki saya. Namanya… Romo Tom Drolet!

Saya keluar dari pertemuan itu dengan perasaan seperti orang hebat. Menerima rahmat Sakramen Pengakuan Dosa tentu saja memainkan peran besar dalam perasaan itu, tetapi tidak diragukan lagi bahwa pertanyaan-pertanyaan saya dijawab dengan begitu dalam, logis, dan penuh kasih. Sebuah pelajaran bagi semua umat Katolik: jika Anda memiliki pertanyaan tentang iman Anda, pastikan untuk pergi ke sumber Katolik untuk mendiskusikannya.

Kembali ke Ekaristi

Saya masih ingat dengan Misa pertama saya setelah dua tahun berpisah. Saat itu hari Minggu. Ketika saya melewati lorong Gereja St. Joseph, di baris kedua tengah, kedua orang tua saya duduk di sana. Perjalanan menyusuri lorong itu terasa nyata. Saya sudah berada di rumah. Tetapi ada satu lagi pengampunan emosional dan kekeluargaan yang harus saya terima untuk memantapkan kepulangan saya. Saya diam-diam memasuki bangku di belakang kedua orang tua saya, membungkuk, meletakkan tangan di bahu ayah saya dan berbisik di telinganya, “Saya pulang.” Dia berbalik perlahan, menaruh tangannya di atas tangan saya, dan berkata, “Saya baru saja berdoa, pada saat ini, supaya kamu kembali ke Gereja.” (Ada air mata sukacita di sini!)

Kira-kira dua tahun setelah pertemuan itu, sekali lagi ada Romo Tom Drolet yang menyaksikan saya dan Debbie merayakan Sakramen Perkawinan.

Ketika saya mengingat kembali, saya mengerti bahwa teman-teman Evangelis saya mempunyai niat yang terbaik. Mereka mengajarkan saya hal-hal yang masih penting bagi iman saya saat ini, yaitu cinta untuk Alkitab dan pentingnya memiliki relasi pribadi dengan Kristus. Bisa dikatakan bahwa pengalaman saya selama dua tahun itu pada akhirnya telah membantu saya dengan baik, terutama ketika saya memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan, atau melayani, saudara-saudari Protestan.

Namun, pengalaman di luar Gereja memberikan dampak negatif yang tersisa pada diri saya selama beberapa tahun. Meskipun saya – dengan penuh sukacita – kembali ke Gereja, saya menemukan banyak posisi Evangelikal anti-Katolik garis keras yang saya kumpulkan selama saya meninggalkan Gereja, dan pandangan itu sulit untuk dilepaskan. Pentingnya dan rasa hormat kepada Bunda Maria menjadi salah satunya; hal ini menjadi sesuatu yang terus menerus saya mohon ampun dari Sang Bunda. Yang lainnya adalah berpegang teguh pada pandangan Protestan tentang sifat simbolis Ekaristi. Sebenarnya, hal yang luar biasa yang mendorong saya untuk menulis buku kisah saya adalah penemuan spanduk komuni anak-anak saya.

Seperti yang telah disebutkan, anak-anak saya bersekolah di sekolah dasar Katolik yang sama dengan saya. Dengan perbedaan usia tiga tahun, mereka memiliki praktik yang hampir sama dalam mempersiapkan diri untuk merayakan Komuni pertama mereka. Bagian dari katekese melibatkan partisipasi orang tua untuk membuat spanduk Komuni pertama. Isinya ditentukan oleh keluarga, dengan satu-satunya ketentuan adalah harus berkaitan dengan Sakramen Komuni Kudus. Spanduk-spanduk ini ditempatkan di bagian luar bangku selama Misa Komuni Pertama, sebagai tanda bahwa bangku tersebut diperuntukkan bagi keluarga komunikan baru.

Diperkirakan orang tua akan melakukan pembicaraan dengan anak mereka tentang makna dan tujuan sakramen. Selagi istri saya mengerjakan karya seni spanduk, saya mengamati tata bahasanya, dan juga percakapan mengenai sakramen dengan anak-anak kami. Kedua spanduk anak-anak saya berisi dua kata yang sama, buatan saya: “Saya Ingat.”

Sekilas, tidak ada yang salah mengingat sengsara Tuhan kita, yang dimulai dengan Perjamuan Terakhir. Namun, kata-kata saya itu disengaja; kata-kata itu berfokus pada ingatan, karena waktu itu hanya sebatas itulah keyakinan saya tentang Ekaristi. Tidak ada pemikiran untuk menjelaskan dengan istilah-istilah bagi anak-anak mengenai Kehadiran Kristus yang Nyata dalam Ekaristi menurut doktrin kami. Saya dengan sengaja menahan diri untuk tidak menjelaskan kepada anak-anak saya yang manis, cantik, dan polos, bahwa ketika mereka menerima Komuni pertama mereka, dan setiap kali mereka akan menerima Komuni Kudus, mereka menerima bagian fisik dari Tuhan kita yang menyelamatkan. Tidak ada juga penjelasan apa pun tentang anugerah yang begitu besar yang akan mereka terima. Saat itu, bagi saya Komuni Kudus hanyalah simbol dari suatu realitas yang lebih besar, tetapi bukan realitas yang lebih besar itu sendiri.

Saya kebetulan menemukan spanduk-spanduk itu, sekitar setahun yang lalu, di laci meja rias. Saya ingat ketika itu saya menggenggam kedua spanduk tersebut di tangan saya yang satu berwarna biru tua, dan yang satunya lagi berwarna biru muda, kemudian saya menangis. Saya tidak percaya dengan apa yang telah saya lakukan. Dengan penuh rasa syukur, dan atas anugerah Tuhan ini, pada suatu waktu dalam perjalanan rohani saya, saya mulai membaca tulisan-tulisan Scott Hahn, seorang apologis Katolik. Tulisan-tulisan ini menumbuhkan keinginan yang sangat besar dalam diri saya untuk memahami secara lebih utuh misteri Ekaristi sebagai lebih dari sekedar sebuah peringatan. Dan syukur kepada Allah, pemahaman saya akan Ekaristi sungguh sudah berubah. Berkata bahwa saya sepenuhnya memahami dan menerima semua ajaran Gereja tentang Ekaristi adalah sebuah pernyataan yang meremehkan. Seperti Tomas yang sudah ditebus, saya berlutut di hadapan Hadirat Ekaristi dan menyatakan, “Ya Tuhanku dan Allahku.”

Baru-baru ini (di Amerika Serikat pada tahun 2022-2023), Gereja memanggil kita untuk memasuki Kebangkitan Ekaristi – hal yang terjadi dalam hidup saya sendiri. Saya sempat menjauh dari Gereja Katolik dan menghabiskan awal masa dewasa saya dengan meyakini Ekaristi sebagai sebuah simbol belaka. Sayangnya, saya juga tahu bahwa banyak umat Katolik yang melakukan hal yang sama. Harapan, doa dan misi saya adalah supaya kisah pribadi saya bisa menjadi pendorong bagi mereka. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh agar orang-orang yang tidak percaya kepada Kehadiran Nyata Yesus dalam Ekaristi dapat mengambil kesempatan untuk melihat Ekaristi dengan mata yang baru, seperti yang saya lakukan, dan terbuka untuk membiarkan Allah mengubah mereka melalui perjumpaan mereka dengan-Nya di dalam Sakramen Mahakudus.

Kembali kepada Ekaristi telah mengubah hidup saya dengan cara yang tidak pernah saya bayangkan. Ini adalah kekuatan kasih-Nya dan realitas Ekaristi. Jika Anda jauh dari kebenaran ini, kembalilah… Tuhan kita menunggu Anda dengan kasih yang tak terhingga dan rahmat yang berlimpah.

 

Dennis Lambert melayani sebagai Diakon di Keuskupan Phoenix, Arizona. Bukunya yang berjudul “For Real? Christ’s Presence in the Eucharist” (Liguori Publications), tersedia melalui Katalog Religius EWTN (item # 8539), dan melalui Amazon. Diakon Dennis bersedia untuk menjadi pembicara di paroki-paroki, konferensi-konferensi, dan acara-acara di seluruh negeri. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubunginya di deacondennislambert@gmail.com, dan/atau mengunjungi situs webnya di dennislambertwriter.com.

 

Sumber: “Rediscovering the Eucharist”

Posted on 31 August 2023, in Kisah Iman and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.