[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Bagaimana Memahami Alkitab Secara Harfiah
Oleh Joe Heschmeyer

Memahami Tulisan (Sumber: catholic.com)
Tidak semudah yang diperkirakan, karena kata “secara harfiah” sebenarnya memiliki dua arti yang berbeda (namun saling berkaitan).
Salah satu pertanyaan yang paling umum mengenai penafsiran Alkitab adalah seberapa banyak bagian Alkitab yang harus dimengerti secara “harfiah.” Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena kata harfiah sebenarnya memiliki dua arti yang berbeda (tetapi saling berkaitan).
Ketika Katekismus Gereja Katolik berbicara tentang arti harfiah dari Kitab Suci, yang dimaksud adalah “arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat” (116). Dalam pengertian inilah Gereja mendukung pepatah St. Thomas Aquinas yang mengatakan bahwa “semua pengertian Kitab Suci yang lain didasarkan pada yang harfiah.” Jadi, jika yang kita maksudkan adalah harfiah dalam pengertian yang lebih tua ini, kita harus selalu memulai dengan memahami Kitab Suci secara harfiah. Apa pun makna lain yang dimaksud oleh Alkitab, maka itulah yang dimaksudkan oleh para penulisnya.
Bukan berarti bahwa semua itu yang dimaksud oleh naskah tersebut. Gereja secara historis berbicara tentang “empat arti” dari Kitab Suci (KGK 118). Selain pengertian harfiah, ada tiga arti rohani. Kita dapat melihat di dalam teks Alkitab ada arti alegoris (misalnya, memberi pertanda akan kedatangan Kristus), arti moral (memberi kita petunjuk untuk zaman sekarang), dan arti anagogis (di mana kita “melihat kenyataan dan kejadian dalam artinya yang abadi, yang menghantar kita ke atas, ke tanah air abadi” [KGK 117]). Di antara ketiga arti rohani tersebut, arti alegoris melihat kembali pada kehidupan dan pelayanan Kristus, arti moral melihat pada kehidupan kita saat ini, dan arti anagogis melihat ke mana tujuan akhir kita.
Perhatikanlah peristiwa terbelahnya Laut Merah dalam Keluaran 14. Apa makna dari naskah ini? Pada tingkat yang paling dasar (yang merupakan titik awal kita harus memulainya), ini berarti bahwa Allah, melalui Musa, membebaskan umat-Nya dari perbudakan dengan cara membelah Laut Merah secara ajaib. Itu adalah pengertian harfiahnya. Namun, kita juga dapat melihat berbagai makna rohani dalam teks ini.
Pertama, kita dapat melihatnya sebagai “tanda atau gambaran kemenangan Kristus” (KGK 117). Apa yang Allah lakukan bagi bangsa Israel di Laut Merah adalah sebuah tanda yang menunjukkan kepada kita apa yang akan Ia perbuat bagi Israel yang baru di Kalvari. Hal ini juga merupakan pratanda dari baptisan, suatu hal yang St. Paulus sampaikan ketika ia mengatakan bahwa, “nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut” (1 Korintus 10:1-2). Semua itu adalah pembacaan Alkitab secara alegoris.
Tetapi Paulus tidak cukup sampai di situ saja dalam membaca Keluaran 14. Bangsa Israel “dibaptis,” dan “mereka semua makan makanan rohani yang sama” (1 Korintus 10:3), karena mereka makan manna dan minum air dari gunung batu. Namun demikian, Paulus memperingatkan, “Allah tidak berkenan kepada bagian yang terbesar dari mereka, karena mereka ditewaskan di padang gurun” (ayat 5). Dengan menggunakan istilah modern, orang Israel kuno telah “disakramentalisasikan,” tetapi kebanyakan dari mereka masih mati dalam dosa-dosa mereka. Jika hal ini terdengar seperti sebuah peringatan bagi umat Katolik modern, tentunya benar. Hal yang langsung dapat disimpulkan oleh Paulus adalah bahwa “supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat seperti yang telah mereka perbuat” (ayat 6). Dengan kata lain, inti dari Keluaran 14 tidak hanya menceritakan apa yang terjadi secara historis. Tetapi juga untuk memberi tahu kita bagaimana seharusnya kita hidup dan apa yang tidak seharusnya kita lakukan. Itulah makna moral dari Kitab Suci.
Terakhir, ada pengertian anagogis. Dalam perjalanan Keluaran dari Mesir (tempat perbudakan) ke Tanah Perjanjian, kita melihat sebuah simbol dari seluruh kehidupan kita, ketika Allah membebaskan kita dari dosa dan membawa kita ke tanah air surgawi.
Perhatikan bahwa tidak satu pun dari cara-cara ini yang bersifat eksklusif: membaca naskah dengan salah satu dari cara-cara ini tidak mengharuskan kita untuk menolak cara-cara lainnya. Menegaskan bahwa Laut Merah melambangkan Kristus, atau baptisan, atau keluaran kita dari dosa tidak mengharuskan kita untuk menyangkal bahwa mukjizat itu benar-benar terjadi. Justru sebaliknya: Jika mukjizat terjadi, dan mukjizat adalah “tanda” (Keluaran 7:3; Yohanes 2:11), tanda-tanda apakah itu? Menjawab pertanyaan ini akan membawa kita dari pengertian harfiah ke pengertian rohani.
Mungkin tidak ada yang terlihat begitu kontroversial, tetapi ada banyak orang Protestan yang menolak cara tradisional dalam membaca Alkitab. Gordon Fee (profesor emeritus Studi Perjanjian Baru di Regent College di Vancouver) dan Douglas Stuart (profesor Perjanjian Lama di Gordon-Conwell Theological Seminary) menulis buku How to Read the Bible for All Its Worth sebagai cara untuk menjelaskan tafsiran Alkitab kepada pembaca yang lebih umum. Dalam buku mereka, yang sudah terjual ratusan ribu eksemplar dan saat ini sudah memasuki edisi keempat, mereka menjabarkan aturan-aturan tentang “bagaimana seharusnya kisah-kisah dalam Perjanjian Lama tidak boleh dipahami.” Yang pertama di antaranya, mereka menyatakan:
Kisah Perjanjian Lama bukanlah alegori atau cerita yang penuh dengan makna tersembunyi. Meskipun mungkin ada aspek-aspek dari narasi yang tidak mudah dipahami, Anda harus selalu berasumsi bahwa kisah-kisah tersebut memiliki makna bagi para pendengar aslinya. Namun, bagaimanapun juga, kisah-kisah tersebut bukanlah alegori.
Jadi, pembacaan alegoris dari Perjanjian Lama, yang begitu populer di kalangan Bapa Gereja dan St. Paulus, bertentangan dengan aturan bagi kaum Protestan. Bukan hanya alegorisnya saja yang dilarang, tetapi juga moralnya. Aturan kedua mereka mengatakan:
Masing-masing kisah Perjanjian Lama tidak dimaksudkan untuk mengajarkan pelajaran moral. Tujuan dari berbagai kisah individual adalah untuk menceritakan apa yang Allah lakukan dalam sejarah Israel, bukan untuk memberikan contoh-contoh moral tentang perilaku yang benar atau salah.
Dengan uraian ini, Paulus melanggar aturan pertama dengan melihat Laut Merah sebagai alegori tentang baptisan, dan kemudian aturan kedua dengan berpikir “semuanya ini telah terjadi sebagai contoh bagi kita untuk memperingatkan kita, supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat seperti yang telah mereka perbuat.” Tentu saja, dalam perdebatan antara seorang rasul dan dua orang profesor seminari Protestan, pilihannya jelas. Namun, ada baiknya kita memahami mengapa Paulus benar sedangkan Fee dan Stuart keliru. Yohanes memberi kita penjelasannya di akhir Injilnya (Yohanes 20:30-31):
Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.
Dengan kata lain, tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa kisah-kisah dalam Alkitab dituliskan karena kisah-kisah itu memang terjadi, atau karena Allah berdaulat atas kisah-kisah itu. Banyak hal yang terjadi, dan Allah berdaulat atas semuanya, namun sebagian besar dari peristiwa-peristiwa tersebut tidak pernah dicatat dalam Alkitab. Peristiwa-peristiwa khusus ini dipilih karena suatu alasan. Alasan itu mungkin untuk mengajarkan kita pelajaran moral, atau untuk menggambarkan sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari dalam sejarah keselamatan, dan sebagainya, tetapi tidak pernah sekadar “menceritakan apa yang Allah perbuat dalam sejarah Israel.”
Sebagai contoh lain, situs tanya jawab Protestan, Got Questions, menjawab pertanyaan “Dapatkah/haruskah kita menafsirkan Alkitab secara harfiah?” dengan menyatakan bahwa “kita tidak hanya bisa menafsirkan Alkitab secara harfiah, tetapi kita harus menafsirkan Alkitab secara harfiah. Ini adalah satu-satunya cara untuk menentukan apa yang sebenarnya ingin Allah sampaikan kepada kita.”
Masalah dengan pandangan ini ada dua. Pertama, pandangan ini menolak tiga dari empat pengertian Kitab Suci dengan menyatakan bahwa harfiah adalah “satu-satunya cara” bagi kita untuk mengetahui apa yang Allah firmankan. Atau dengan kata lain, mereka telah menetapkan bahwa harfiah adalah satu-satunya cara yang diperbolehkan Allah untuk berbicara kepada kita. … meskipun ada banyak bukti (dari Mazmur, Kidung Agung, hingga perumpamaan-perumpamaan Yesus) yang menunjukkan bahwa Allah tidak terburu-buru untuk terikat dengan cara seperti ini.
Masalah kedua adalah bahwa pandangan ini salah memahami arti harfiahnya. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal artikel ini, makna harfiah secara tradisional adalah “arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat” (KGK 116). Arti harfiah tersebut bisa saja berarti bahwa sang penulis berbicara secara metaforis atau menggunakan kiasan. Tetapi arti harfiah secara modern adalah “mengambil kata-kata dalam arti yang biasa atau yang paling mendasar tanpa metafora atau kiasan.”
Ada perbedaan besar: para penulis Alkitab secara teratur menggunakan kiasan yang tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah dalam pengertian modern yang kedua ini. Got Questions mengakui permasalahan ini dengan setengah-setengah dengan mengakui masalah ini, tetapi mengatakan, “Ada kiasan-kiasan dalam Alkitab yang tidak bisa dipahami secara harfiah, tetapi hal ini sudah jelas.” Keyakinan seperti itu tidak pada tempatnya. Jika pembacaan Injil menunjukkan suatu pesan, maka pendengar Yesus (baik itu para rasul maupun pendengar lainnya) merasa jelas untuk menentukan kapan saatnya dan kapan bukan saatnya untuk “dimengerti secara harfiah” dalam pengertian yang kedua ini.
Jadi, ketika Anda membaca Alkitab, ingatlah: pahamilah secara harfiah, tetapi jangan gunakan pendekatan harfiah yang terlalu modern.
Posted on 21 September 2023, in Apologetika, Kitab Suci and tagged Alkitab, Kitab Suci, Magisterium. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0