[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Dari Asbury, menjadi Pastor Anglikan-Wesley, hingga menjadi Katolik – Kisah Brook Thelander

Brook Thelander (Sumber: chnetwork.org)
Saya dibesarkan di sebuah kota kecil di selatan Nebraska. Orang tua saya bercerai ketika saya masih sangat kecil, dan ibu saya menikah lagi ketika saya berusia enam tahun. Keluarga saya adalah keluarga yang cukup normal untuk ukuran keluarga campuran, tetapi kami tidak pernah terlibat di gereja.
Tak lama sebelum saya masuk SMA, kakak laki-laki saya mengalami pertobatan yang mendalam kepada Kristus di gereja Nazaret di komunitas kami. Saya penasaran dengan apa yang menyebabkan perubahan dalam diri kakak saya. Tak lama kemudian saya bertemu dengan pendeta muda di gereja tersebut, seorang veteran Vietnam dan pemegang Sabuk Hitam dalam bela diri. Dengan cepat ia menghancurkan pandangan saya tentang pendeta sebagai orang yang lemah. Beberapa minggu kemudian, saya berlutut di depan gereja, berdoa kepada Kristus dan memohon kepada-Nya untuk menjadi Tuhan atas hidup saya.
Ketika saya masih sekolah di SMP, saya mulai merasakan panggilan untuk menjadi seorang pendeta. Saya tidak yakin seperti apa nantinya, tetapi panggilan itu membawa saya ke MidAmerica Nazarene University di Olathe, di pinggiran Kansas City. Dua tahun kemudian, saya menikah dengan istri saya, Connie, dan melanjutkan studi saya, lulus dengan gelar Sarjana Sastra Alkitab dan Teologi Praktis. Saya mengembangkan hasrat untuk berkhotbah dan ingin melanjutkan studi di seminari. Saya mendaftar di Asbury Theological Seminary di Wilmore, Kentucky, pada tahun 1985.
Saat di Asbury, Tuhan memulai perjalanan saya menuju Gereja Katolik, meskipun waktu itu saya tidak mengetahuinya. Secara tidak sengaja, saya membaca buku kecil Robert Webber, Evangelicals on the Canterbury Trail. Buku ini menceritakan kisah perjalanan iman Webber dari tradisi fundamentalis ke dalam Gereja Anglikan dan keindahan liturginya. Membaca kisah Webber dan kisah-kisah orang lain yang telah berpindah ke Anglikanisme sangat menyentuh hati saya. Warisan gereja Nazaret membuat saya terpapar pada panggilan alkitabiah untuk menguduskan hati dan kehidupan serta penghormatan yang mendalam pada Kitab Suci, namun kurang menekankan pada sakramen dan liturgi sebagai sarana anugerah yang penting. Ketika berada di Asbury, saya mulai menemukan pentingnya liturgi Anglikan dan Ekaristi bagi John dan Charles Wesley, para pemimpin dalam tradisi Wesley, di mana Gereja Nazaret adalah bagiannya. Hal ini membawa saya pada pencarian lebih lanjut untuk menemukan mengapa penekanan liturgi dan Ekaristi ini banyak ditinggalkan di gereja-gereja tempat saya melayani.
Setelah lulus pada tahun 1989, saya memulai studi doktoral di Toronto School of Theology (TST) di University of Toronto. TST adalah sebuah federasi dari tujuh sekolah teologi yang berbagi sumber daya dan staf pengajar. Tiga dari sekolah-sekolah tersebut adalah Katolik, dua dari Anglikan, dan dua lainnya berafiliasi dengan Gereja Presbiterian di Kanada dan United Church of Canada. Ini adalah sebuah komunitas teologis yang beragam di jantung kota kosmopolitan, yang memberikan saya kesempatan untuk menempatkan komitmen teologis Wesley saya ke dalam pembicaraan bukan hanya dengan tradisi Protestan lainnya, tetapi juga dengan umat Katolik.
Waktu itu saya telah memiliki bias anti-Katolik yang cukup kuat, yang sebagian besar diwarisi dari lingkungan saya dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebagian besar pengalaman saya dengan orang Katolik berhubungan dengan orang-orang yang tidak serius dengan imannya, setidaknya menurut kesan saya dapatkan. Namun, selama semester pertama saya, saya berada dalam sebuah seminar dengan beberapa mahasiswa Katolik. Banyak stereotip dan asumsi saya tentang Katolik ditantang oleh orang-orang Katolik yang menghayati iman mereka.
Keindahan Transenden, Liturgi yang Penuh Doa
Saya mengesampingkan semua pengalaman itu, karena saya berkomitmen untuk mengajar di sebuah universitas aliran Nazaret. Beberapa tahun kemudian, dua pengalaman menjadi dasar dalam perjalanan saya selanjutnya. Apartemen saya berada di tengah kota Toronto yang berjarak beberapa blok dari Gereja Anglikan St. Paul, sebuah bangunan indah yang sering membuka pintunya pada siang hari sehingga orang-orang dapat berdoa atau sekadar duduk dalam keheningan untuk menikmati jendela-jendela kaca patri dan arsitektur yang indah. Saya sering melewati gereja ini ratusan kali selama kami tinggal di Toronto, namun belum pernah masuk ke dalamnya. Namun, suatu hari, ada sesuatu yang mendorong saya untuk masuk. Saya duduk di dekat bagian belakang panti imam yang besar, di mana saya dapat memandangi jendela-jendela kaca patri yang besar di belakang altar. Ketika saya duduk di sana dalam keheningan, tanpa peringatan, saya mulai menangis. Saya diliputi emosi dan tidak tahu mengapa. Saya percaya sekarang bahwa ini adalah pengalaman pertama saya tentang arsitektur sebagai sarana rahmat, keindahan sebagai sarana transenden yang merupakan bagian penting dari iman Katolik.
Pengalaman kedua terjadi ketika saya menulis disertasi doktoral saya di Emmanuel College, sekolah teologi United Church of Canada di TST. Rutinitas harian saya adalah setiap pagi berjalan kaki dari apartemen saya menuju kampus, di mana saya belajar dan menulis di sebuah meja kecil di lantai tiga kampus. Setiap pagi, tepat sebelum jam 10, seorang mahasiswa akan berjalan di lorong-lorong dan membunyikan lonceng, menandakan bahwa Doa Pagi akan dimulai di kapel. Setelah mengalami hal ini selama beberapa minggu, rasa ingin tahu saya memuncak. Saya berjalan ke kapel dan mencari tempat duduk. Dalam waktu singkat selama 20 menit, liturgi Doa Pagi menjadi sebuah pencerahan bagi saya. Cara liturgi yang terstruktur yang dirancang untuk menumbuhkan perjumpaan dengan Tuhan berbicara sangat dalam kepada jiwa saya. Saya menjadi sering berkunjung ke sana selama bulan-bulan itu sambil menyelesaikan disertasi saya.
Selepas menyelesaikan studi saya pada tahun 1995, saya beserta Connie, dan kedua anak kami yang lahir di Toronto, pulang ke Amerika Serikat dan memulai tugas pelayanan di sebuah gereja Nazaret di Potomac, Illinois.
Baik pengalaman pendidikan maupun pengalaman pribadi saya menggugah rasa ingin tahu saya tentang Gereja kuno. Sejak saya masih baru menjadi seorang Kristen, saya selalu memiliki keinginan untuk terhubung dengan akar tunggang dari Gereja dan menemukan bagaimana orang-orang Kristen perdana hidup dan beribadah. Namun, Gereja Katolik belum masuk dalam radar saya, karena beberapa asumsi yang belum dipertanyakan yang masih menjadi bagian dari pandangan teologis saya. Salah satu asumsi tersebut adalah keyakinan bahwa Gereja Katolik sudah jatuh ke dalam kesesatan dan memutarbalikkan Injil, sehingga perlu adanya Reformasi yang digerakkan oleh Martin Luther pada awal abad ke-16. Meskipun belum siap untuk memeluk iman Katolik, pencarian saya akan Gereja kuno menuntun saya untuk mengeksplorasi lebih dalam warisan saya sendiri dalam tradisi Wesley dan Anglikan.
Sekitar masa itu, saya mendengar tentang sebuah gereja baru yang mulai berdiri di Boise, Idaho. Ada orang-orang yang sepemikiran dengan saya, mereka memulai gereja itu punya ketertarikan untuk mendapatkan kembali dimensi-dimensi liturgis dan sakramental yang merupakan ciri-ciri penting kehidupan kudus dari para pendiri kami, John dan Charles Wesley.
Ada yang Lebih Hijau di Padang Berumput?
Dengan belas kasihan Tuhan, gereja – Epworth Chapel on the Green – memanggil saya untuk menjadi pastor penuh waktu yang pertama pada musim semi tahun 2000. Sejak awal, kami mencoba untuk mengawinkan penekanan ajaran Wesley pada hidup kudus dengan keindahan liturgi dan sakramen Anglikan sebagai komponen utama untuk memelihara kehidupan yang berbudi luhur. Banyak orang yang datang ke gereja kami yang tadinya dibesarkan secara Katolik yang kemudian meninggalkannya. Dalam beberapa kasus, mereka sangat tersakiti atau dirugikan oleh orang-orang di dalam Gereja, tetapi masih merindukan sakramen-sakramen dan kekuatan transformatif dari liturgi.
Seiring berjalannya waktu, beberapa mantan Katolik ini memberi tahu saya bahwa meskipun mereka mencintai jemaat kecil kami dan sangat bahagia di dalamnya, Tuhan telah menggunakan saya untuk membantu mereka menyadari bahwa mereka harus pulang ke rumah untuk kembali ke iman Katolik mereka. Pada titik ini, perjalanan saya ke Roma dimulai dengan sungguh-sungguh, meskipun sebagian besar karena frustrasi. Saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan memakai saya untuk membantu orang-orang ini kembali pada iman Katolik mereka!
Selama bertahun-tahun, saya sudah membaca dan menghargai para penulis Katolik seperti Henri Nouwen dan G.K. Chesterton. Saya teringat perkataan Chesterton bahwa langkah pertama menuju perubahan keyakinan ke Gereja Katolik adalah dengan memberikan pemahaman yang adil kepada Gereja. Saya menyadari bahwa saya tidak pernah mau melakukan hal itu. Suatu pagi, sambil minum kopi, seorang mantan jemaat yang telah menjadi Katolik memberi saya buku Katekismus Gereja Katolik dan mendorong saya untuk menghubungi Coming Home Network untuk mempelajari kisah-kisah para pendeta Protestan lainnya yang sudah masuk ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja.
Sejak hari itu, saya mulai rajin membaca dan menjadi tertarik dengan kisah-kisah orang-orang yang telah menyeberangi Sungai Tiber: Scott Hahn, John Bergsma, Jim Papandrea, David Anders, Peter Kreeft, St. John Henry Newman, dan banyak kisah lainnya. Saya mulai menonton episode-episode The Journey Home di EWTN, terpesona oleh kisah-kisah mereka yang telah dituntun, terkadang dengan segala rintangan, untuk memeluk iman Katolik. Saya menemukan sebuah situs web Called to Communion yang menampilkan dialog akademis antara orang-orang dari tradisi Reformed dan Katolik, yang banyak di antaranya berpindah keyakinan dari latar belakang Reformed. Di dalam forum itu, tulisan-tulisan dari Dr. Bryan Cross sangat menarik bagi saya. Melalui pengaruh dari sumber-sumber inilah, dalam benak saya, saya sudah siap untuk menuju Roma. Tetapi Tuhan tahu bahwa saya perlu melakukan perjalanan itu di dalam hati saya juga.
Pada musim semi tahun 2015, ketika saya bertanya kepada Tuhan apa yang Dia ingin saya kejar selama masa Prapaskah, saya mendengar suara hati yang berkata: “Aku ingin kamu mengikuti Misa.” Saya segera menolak dorongan ini, dan berkata, “Apa pilihan berikutnya?” Sekali lagi, saya mendengar suara hati: “Aku ingin kamu mengikuti Misa.” Lagi-lagi, saya menolak. Setelah lebih dari seminggu melakukan dialog batin ini, saya mengalah. Saya tidak tahu ke mana saya akan pergi atau apa yang hendak saya lakukan. Saya merasa kurang paham dengan protokol Katolik dan apa yang perlu saya ketahui untuk dapat berpartisipasi dengan sungguh-sungguh dalam Misa.
Walaupun begitu, di suatu hari di hari kerja, saya berada di pusat kota dan mengunjungi kapel di Katedral St. John di Boise, saya datang lebih awal untuk mengikuti Misa jam 8.30 pagi. Saya tiba cukup awal sehingga bisa duduk cukup dekat di bagian belakang di sebuah kursi di samping pilar, di mana saya berharap tidak ada yang memperhatikan saya. Kemudian peperangan rohani dimulai. Musuh tidak menginginkan saya berada di kapel itu. Saya khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentang kehadiran saya di sana. Namun, ketika saya melihat sekeliling, terlihat jelas bahwa orang-orang di sana beribadah dan tidak peduli dengan orang asing di tengah-tengah mereka. Saya pulang ke rumah sambil berpikir bahwa saya sudah melakukan apa yang Tuhan minta dari saya dan begitulah akhirnya.
Namun keesokan paginya entah mengapa saya berada di kapel itu lagi, bersiap-siap untuk Misa. Pada masa itu, Romo Camilo Garcia sering menjadi selebran. Hari itu, ketika Pastor Camilo mengucapkan kata-kata yang akan mengkonsekrasikan roti dan anggur menjadi Ekaristi, dan mengangkat hosti yang telah dikonsekrasikan, rambut di bagian belakang leher saya berdiri dan saya menyadari bahwa saya sedang berbisik, “Sungguh itulah Yesus Kristus.”
Sudah lama saya mempelajari ajaran Gereja tentang Kehadiran Nyata Yesus dalam Ekaristi, tetapi, pada pagi hari ini, Tuhan memakai Pastor Camilo untuk membawa kebenaran ajaran Gereja itu kepada saya dengan kekuatan penuh. Saya mengetahui dengan cara yang berbeda mengapa Gereja mengajarkan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak dari kehidupan Kristiani.”
Setiap hari, saya pulang ke rumah dan berpikir bahwa saya sudah tidak akan ikut Misa lagi, dan tidak lama kemudian saya akan mendapati diri saya berada di Misa lagi, tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi dalam hidup saya.
Pastor Mengakukan Segalanya
Setelah beberapa minggu melakukan kegiatan yang tidak dapat dijelaskan ini, saya menceritakan kepada seorang wanita yang rutin menghadiri Misa bahwa saya adalah seorang pendeta Protestan yang sedang berjuang untuk melihat apakah Tuhan mungkin sedang menuntun saya masuk ke dalam Gereja. Wanita itu menyarankan supaya saya bertemu dengan Romo Gerald Funke, yang saat itu menjabat sebagai rektor Katedral. Romo Funke mendengarkan cerita saya dengan penuh empati dan perhatian. Pada salah satu pertemuan kami, ia menyarankan supaya saya mencoba untuk ikut bergabung dengannya dan beberapa umat lain yang mendoakan Ibadat Harian setiap pagi sebelum Misa.
Dalam waktu satu atau dua minggu, saya berdiri bersama Bill Molitor dan beberapa orang yang mendoakan Ibadat Pagi. Sejak awal, kelompok ini menyambut saya. Beberapa minggu setelah saya bergabung dengan mereka, saya merasa sangat terharu ketika mereka menghadiahkan kepada saya empat jilid buku Brevir. Pemberian mereka yang murah hati ini memungkinkan saya untuk masuk lebih dalam ke dalam Doa Pagi. Saya menjadi terbiasa untuk mendoakan Ibadat Pagi bahkan ketika saya tidak dapat menghadiri Misa.
Komunitas doa kecil ini, bersama dengan orang lain yang rutin mengikuti Misa pagi, menerima saya ke dalam lingkaran pertemanan mereka. Selama beberapa bulan dan tahun berikutnya, mereka mendoakan saya dan membantu saya dalam proses pembedaan roh yang saya jalani. Persahabatan kami terus menjadi berkat yang besar dalam hidup saya.
Satu Pertanyaan tentang Otoritas
Seperti banyak orang yang sudah menjadi anggota Gereja sebelum saya, mungkin hambatan terbesar bagi saya adalah masalah otoritas.
Model Protestan yang saya anut tentang Kitab Suci sebagai satu-satunya otoritas untuk iman dan penerapannya sudah melemah dan akhirnya runtuh seiring berjalannya waktu, di bawah beban studi historis dan praktik pastoral. Salah satu masalah dalam menetapkan wahyu tertulis sebagai satu-satunya otoritas adalah bahwa naskah-naskah tertulis mengandaikan adanya suatu bentuk penafsiran manusia. Pertanyaannya adalah: penafsiran siapa? Milik siapakah Kitab Suci itu, dan siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkannya sehingga Deposit Iman tetap utuh dan dilestarikan selama berabad-abad? Jika Kitab Suci adalah satu-satunya otoritas, dan hati nurani seseorang hanya dapat diikat oleh Kitab Suci, pada akhirnya setiap orang Kristen menjadi otoritas penafsir dalam hal doktrin dan penerapannya. Akan tetapi, suatu otoritas hanya sebatas kemampuannya untuk menyelesaikan konflik. Tanpa adanya Magisterium yang nyata dan hidup, perselisihan mengenai penafsiran Kitab Suci akan terus berlanjut dan tidak dapat diselesaikan. Hal ini menjelaskan sebagian dari berkembangnya ratusan denominasi dan kelompok-kelompok independen dalam tubuh Protestanisme sesudah Reformasi. Model otoritas mereka adalah model yang secara inheren memecah belah, dalam pandangan saya hal ini terbukti bagi saya selama hampir tiga dekade dalam pekerjaan pastoral saya.
Hal-hal ini dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan sola Scriptura menuntun saya untuk menyelidiki klaim Katolik bahwa Kristus mendirikan Gereja yang kelihatan dan melimpahkan otoritas penafsiran-Nya atas Kitab Suci kepada para pemimpin manusia di dalam Gereja tersebut. Saya menemukan bahwa klaim ini semakin menyakinkan.
Satu masalah yang berkaitan dengan otoritas adalah proses terbentuknya Alkitab menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini. Perjanjian Baru tidak jatuh dari surga dalam kemasan yang terbungkus rapi, dan juga tidak disertai dengan Daftar Isi Kitab Suci yang diilhami Roh Kudus. Para uskup dan pemimpin Gereja Katolik, yang berkumpul dalam konsili-konsili selama bertahun-tahun, menyelidiki ilham ilahi dari ke-27 kitab yang kemudian menjadi Perjanjian Baru. Hal ini menempatkan saya pada sebuah dilema. Saya mengklaim bahwa hanya Alkitab yang memiliki otoritas tunggal dalam hal iman, namun saya juga bergantung pada tradisi Katolik untuk menentukan kanon Alkitab. Saya menyadari bahwa jika saya tidak dapat mempercayai bimbingan yang tidak dapat salah dari para Bapa dan Uskup Gereja Katolik mula-mula untuk menentukan kitab-kitab mana yang termasuk dalam kanon, maka saya tidak dapat memastikan bahwa isi kanon Alkitab yang saya gunakan dan khotbahkan itu memang diilhami Roh Kudus dan tidak dapat salah.
Setelah hampir tiga dekade dalam pelayanan, saya dihadapkan pada dua pertanyaan krusial: apakah Gereja itu, dan bagaimana kita mengetahui dan menyelidiki kebenaran? Sebagai seorang Protestan, saya sudah mewarisi pandangan tentang Gereja sebagai sebuah konglomerasi yang tidak kelihatan dari semua orang yang beriman kepada Kristus. Saya tidak percaya bahwa Gereja adalah sebuah organisme yang dapat dilihat dari suksesi para Uskup yang tidak terputus sejak para Rasul.
Saya menemukan bahwa pandangan saya tentang Gereja sebagai realitas yang tidak kelihatan memiliki kesamaan dengan Gnostisisme (ajaran sesat yang menolak realitas material sebagai sesuatu yang jahat dan menempatkan kebenaran di alam rohani yang tersembunyi) dan Doketisme (ajaran sesat kuno yang menyangkal bahwa Kristus memiliki tubuh jasmani). Saya mulai melihat bahwa pandangan saya tentang Gereja yang tidak kelihatan mengarah pada kesadaran bahwa tidak ada denominasi yang memiliki otoritas ilahi atau otoritas penafsiran yang harus ditaati oleh semua orang Kristen. Hanya Kitab Suci yang dapat mengikat hati nurani. Tetapi jika Gereja bukanlah organisme yang kelihatan berdasarkan suksesi apostolik, maka tidak ada orang atau denominasi yang memiliki otoritas penafsiran yang lebih besar daripada yang lain, sehingga tidak ada penafsiran Alkitab yang lebih otoritatif daripada penafsiran orang lain. Ini merupakan kenyataan yang semakin menyakitkan bagi saya selama hampir tiga dekade dalam pelayanan Protestan.
Akhirnya saya menjadi percaya bahwa Gereja Katolik adalah institusi yang terlihat, dipimpin secara hierarkis, dan ditunjuk secara ilahi dan didirikan oleh Kristus untuk melanjutkan kehadiran-Nya di dunia. Gereja adalah penggenapan kerajaan Daud dalam Perjanjian Lama. Gereja adalah “Israel baru,” “Israel milik Allah,” seperti yang Paulus katakan kepada jemaat di Galatia. Namun, Gereja lebih dari sekadar institusi manusia. Gereja adalah Tubuh Kristus, bukan dalam arti metaforis, tetapi dalam arti yang sesungguhnya. Gereja adalah sebuah organisme ilahi, dan dengan demikian menjadi sebuah objek iman, seperti yang kita ucapkan dalam Pengakuan Iman ketika kita menegaskan kepercayaan kepada “Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.” Kristus dan Gereja-Nya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, Paulus dapat mengingatkan Timotius bahwa Gereja adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15). Gereja adalah organisme yang ditahbiskan secara ilahi dan dibimbing secara ilahi untuk menyampaikan kebenaran dalam hal iman.
Iman Diterima, Bukan Menemukan Ulang
Bagi saya, implikasi dari hal ini sangat mengejutkan. Selama beberapa tahun terakhir dalam pencarian saya, ketika saya sedang mencari jalan pribadi saya menuju Gereja, saya bertemu dengan banyak orang dalam perjalanan yang sama. Sudut pandang mereka sering kali seperti ini: “Saya tidak akan menjadi Katolik karena saya tidak setuju dengan ajaran Gereja tentang kontrasepsi,” atau tentang Ekaristi atau dogma-dogma Maria dan lain sebagainya.
Menurut saya, hal ini membalikkan pandangan, karena hal ini terus menempatkan individu pada posisi otoritas sehubungan dengan bagaimana kita memahami kebenaran yang diwahyukan secara ilahi. Kemudian saya melihat bahwa pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah Gereja Katolik adalah sesuai dengan apa yang diklaimnya, yaitu organisme yang didirikan oleh Kristus untuk menjaga, mengajarkan, dan meneruskan deposit iman tanpa kesalahan. Jika Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran – dan saya percaya bahwa Gereja memang demikian – maka saya tidak bisa memutuskan apa yang merupakan dogma Kristen yang valid dan mana yang tidak. Iman Kristen diturunkan. Iman adalah sesuatu yang diterima, bukan sesuatu yang diciptakan kembali. Pertanyaan mendasarnya bukanlah apakah seseorang setuju dengan ajaran Gereja tentang masalah x, y, atau z sebelum menjadi atau tetap menjadi seorang Katolik. Pertanyaan mendasarnya adalah sumber otoritas dalam menentukan kebenaran yang diwahyukan secara ilahi.
Perlu waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa pemahaman saya tentang iman Katolik didasarkan pada sebuah karikatur, atau sebuah gambaran menyimpang yang saya warisi tanpa pernah mempertanyakan dasar-dasar pemikiran dari gambaran tersebut.
Selama perjalanan ini, saya dipaksa untuk mengakui kebenaran yang diucapkan oleh mendiang Uskup Agung Fulton Sheen ketika dia mengamati bahwa ada jutaan orang yang membenci sesuatu yang secara keliru mereka yakini sebagai ajaran Gereja Katolik, tetapi relatif sedikit yang membenci apa yang sebenarnya diajarkan oleh Gereja. Saya sudah mewarisi hal seperti ini, dan tanpa kritis menerima mentah-mentah semua prasangka anti-Katolik yang pernah ada. Sekarang saya menjadi percaya (seperti halnya Chesterton) bahwa meskipun mungkin ada ratusan alasan mengapa seseorang menjadi seorang Katolik, alasan utama dari keputusan tersebut adalah karena iman Katolik itu benar.
Waktu tidak memungkinkan saya untuk menjelaskan secara lengkap semua alur perjalanan saya yang telah membawa saya pada keputusan ini. Bahkan jika saya melakukannya, alasan saya mungkin menjadi tidak menarik bagi mereka yang tidak memahami atau setuju dengan keputusan saya. Hal ini karena kita semua menjalani hidup berdasarkan kerangka persepsi, sebuah lensa yang membentuk bagaimana dan apa yang kita lihat dalam hidup. Kita menjadi nyaman dengan pandangan kita, dan secara tidak sadar kita menolak bukti atau pengalaman yang menciptakan anomali atau masalah dengan pandangan tersebut. Mungkin Mark Twain mengatakannya dengan tepat: “Bukan apa yang tidak kita ketahui – tetapi apa yang kita ketahui itulah yang tidak benar” yang menyebabkan masalah bagi kita.
Ini adalah pengalaman saya selama hampir 30 tahun sebagai pastor Protestan. Sejak saat itu, saya menjadi percaya bahwa klaim-klaim yang dibuat oleh Gereja Katolik tentang dirinya sendiri adalah benar, yaitu bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang kelihatan yang didirikan oleh Kristus, dan bahwa kepenuhan iman Kristen ada di dalam ajaran-ajaran dan penerapannya.
Anehnya, saya tidak harus menolak atau meninggalkan banyak warisan indah saya dalam tradisi Wesley untuk menjadi seorang Katolik. Sebaliknya, saya terus bersyukur atas warisan tersebut dan membawa sebagian besar dari warisan tersebut ketika saya memeluk iman Katolik.
Saya berhutang banyak kepada orang-orang saleh yang sudah memperkenalkan saya kepada Kristus dan membina saya dalam iman. Warisan Protestan saya mewariskan kepada saya kecintaan akan Kitab Suci dan pentingnya hubungan pribadi yang kuat dan hidup dengan Yesus Kristus. Saya merasa diberkati dan terinspirasi oleh banyak orang yang telah menjalani kehidupan yang patut diteladani dalam ketaatan yang rela berkorban kepada Kristus. Saya beruntung dapat menggembalakan gereja-gereja yang dipenuhi oleh orang-orang yang mengasihi saya dan memberikan waktu, talenta, dan harta mereka dengan murah hati untuk mewartakan Injil kepada dunia.
Kepulangan saya ke Gereja Katolik dimotivasi oleh roh ketaatan yang sama. Saya percaya bahwa ada alasan-alasan yang kuat untuk melakukannya. Namun, pada akhirnya, saya menjadi anggota Gereja karena saya mengasihi Yesus dan ingin menaati-Nya – dalam ketaatan yang mendalam – yang dimotivasi oleh kasih dengan risiko apa pun. Inilah yang diajarkan oleh warisan Wesley saya. Inilah yang sekarang saya ingin lakukan di masa hidup saya.
Kepulangan saya ke Gereja Katolik dimotivasi oleh roh ketaatan yang sama. Saya percaya bahwa ada alasan-alasan yang kuat untuk melakukannya. Namun, pada akhirnya, saya masuk ke dalam Gereja karena saya mengasihi Yesus dan ingin menaati-Nya – dalam ketaatan yang mendalam – yang dimotivasi oleh kasih – dengan risiko apa pun. Inilah yang diajarkan oleh warisan Wesley saya. Inilah yang sekarang saya ingin lakukan di babak kehidupan saya.
Dalam beberapa hal, ini merupakan prospek yang menakutkan, karena hanya pelayanan pastoral yang saya ketahui. Identitas saya terikat dengan kehidupan pastoral, dan ini sudah berakhir. Prospek untuk menemukan panggilan baru dan penghasilan baru ketika saya mendekati ulang tahun ke-60 kadang-kadang rasanya menakutkan. Saya sudah melayani jemaat di Boise selama 22½ tahun, atau lebih dari sepertiga hidup saya. Namun, saya dikuatkan oleh kenyataan bahwa saya percaya bahwa saya melakukan apa yang Kristus minta dari saya.
Lagu pujian, “Be Still My Soul (Tenanglah jiwaku)” sangat berarti bagi saya ketika lagu ini berbunyi:
Be still my soul, thy God doth undertake, to guide the future as He has the past; Thy hope, thy confidence, let nothing shake; all now mysterious shall be bright at last.
(Tenanglah jiwaku, Allahmu berjanji untuk menuntun masa depan seperti yang Dia perbuat di masa lalu; Pengharapanmu, keyakinanmu, janganlah goyah; semua yang sekarang tersembunyi akan menjadi jelas pada akhirnya.)
Saya sangat bersyukur atas kesetiaan Tuhan kepada saya di masa lalu, dan saya percaya bahwa Dia mempunyai rencana bagi saya ketika saya memasuki babak baru dalam hidup saya. Saya menerima Sakramen Penguatan pada hari Selasa Gemuk (Shrove Tuesday adalah hari Selasa sebelum Rabu Abu untuk memulai pantang dan puasa, secara harfiah Selasa Gemuk yang berarti hari terakhir makan daging) tahun 2023 oleh Uskup Peter Christensen di Keuskupan Boise. Selain keluarga saya, banyak teman dan mantan umat paroki yang hadir, termasuk seorang teman yang melakukan perjalanan dari North Carolina. Banyak teman Katolik juga mendukung saya dengan kehadiran mereka dan mengadakan resepsi yang luar biasa setelah penerimaan Sakramen Penguatan. Saya menerima komuni pertama pada hari Rabu Abu, menjadikannya awal yang tak terlupakan di masa Prapaskah. Dalam waktu jeda, saya mendapat kesempatan istimewa untuk berbagi cerita dengan sekelompok kaum pria di Boise State University, dan saya dan istri mendapat berkat untuk menghadiri retret yang disponsori oleh Coming Home Network pada bulan Maret. Hal itu sungguh menjadi sebuah berkat.
Brook Thelander baru-baru ini menyelesaikan sebuah buku yang akan diterbitkan oleh Wipf and Stock Publishers, yang berjudul “It’s About Time: Encountering Jesus Through the Seasons of the Church Year.” Dia terus berdoa sambil mempertimbangkan apa yang harus dilakukan selanjutnya dalam panggilannya. Saat ini, ia dan istrinya mengikuti Misa di Katedral St. John the Evangelist di Boise. Kisah ini pertama kali muncul di Idaho Catholic Register.
Sumber: “From Asbury, to Anglo-Wesleyan Pastor, to Catholic Convert”
Posted on 14 October 2023, in Kisah Iman and tagged Anglikan, John Wesley, Protestan. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0