Seorang Pendeta Protestan Berhenti Protes – Kisah James Whittaker

James Whittaker (Sumber: chnetwork.org)

Perjalanan iman saya menuju Gereja Katolik membawa saya melewati beberapa denominasi yang berbeda juga melintasi negara bagian yang berbeda. Saya dibesarkan di Gereja Southern Baptist di Sophia, West Virginia. Kakek saya adalah salah satu anggota pendiri jemaat tersebut. Para anggota pendiri membangun gereja tersebut dengan meletakkan dinding batu bata sebagai fondasi. Di sanalah saya belajar ayat-ayat Alkitab, mengikuti sekolah Alkitab liburan dan sekolah minggu. Kasih saya kepada Tuhan terbentuk melalui jemaat ini.

Surat-surat kepada Billy Graham dan Menonton Bullwinkle

Saya mendengar Tuhan berbicara kepada saya sejak usia dini ketika berada di gereja kakek saya, dan saya ingin tahu lebih banyak. Keingintahuan saya mengenai segala hal tentang Kekristenan sulit terpuaskan. Pada tahun-tahun awal itu, saya berkali-kali menulis surat kepada Billy Graham. Pada suatu hari Minggu di Gereja Southern Baptist, saya maju ke depan dan menyerahkan hidup saya kepada Kristus, karena saya merasa Tuhan mendorong saya. Dalam tradisi Methodist di masa dewasa, kami menyebutnya sebagai anugerah yang telah ditentukan; Tuhan sedang merayu saya untuk datang kepada-Nya. Saya dibaptis pada usia 10 tahun dengan baptisan selam.

Masa-masa tersulit saya sebagai seorang Kristen adalah masa remaja saya, antara usia 10 dan 16 tahun. Ayah dan ibu saya sudah tidak suka pergi ke gereja, sehingga kakek dan nenek saya membawa saya ke gereja pada hari Minggu. Tetapi terkadang, saya tinggal di rumah untuk menonton film kartun Bullwinkle.

Iman saya dihidupkan kembali ketika seorang wanita muda yang kelak menjadi istri saya mengajak saya untuk mengikuti kelompok pemuda bersamanya di Gereja Baptis Freewill. Di acara pemuda itu, saya memperbarui iman saya kepada Kristus pada usia 16 tahun. Saya langsung membaca seluruh isi Alkitab dan merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu bagi Tuhan, seperti menjadi misionaris. Ibu saya ingin saya kuliah di perguruan tinggi biasa, bukan di institut Alkitab, jadi saya kuliah di Glenville State University. Meskipun saya seorang Baptis, saya tidak ingin menjadi bagian dari Baptist Student Union  (Serikat Mahasiswa Baptis), karena saya ingin memiliki pengalaman dengan berbagai denominasi. Keingintahuan saya untuk belajar lebih banyak tentang iman Kristen berkembang pesat, akhirnya saya menghadiri Intervarsity Fellowship (Persekutuan Antardenominasi). Ketika berusia 18 tahun, saya bertemu dengan banyak orang Methodist dan bahkan untuk pertama kalinya saya bertemu dengan orang Katolik. Dia tinggal di asrama yang sama dengan saya, dan bersama dengan banyak orang Methodist lainnya, kami melakukan doa bersama setiap hari. Lima dari tujuh orang di kelompok itu nantinya akan menjadi pendeta Methodist.

Retret yang Dipinjam dari Gereja Katolik

Saya meraih gelar diploma. Saya dan Dianna kemudian melanjutkan ke jenjang perkawinan dan kami pindah ke Huntington, West Virginia. Kami mulai beribadah di sebuah gereja Baptis Fundamentalis independen, yang kami sukai karena pengajaran mereka yang berfokus pada Alkitab. Kemudian saya mulai mengikuti kuliah di sebuah sekolah Alkitab setempat di South Point, Ohio, yang bernama Tri-State Bible College. Pada saat itu, kami mulai memiliki anak. Pergi bekerja di siang hari dan bersekolah di malam hari terasa sulit, karena tanggung jawab ekstra terhadap anak-anak. Pada tahun 1983, saya diberhentikan dan mulai kuliah di Marshall University untuk meraih gelar sarjana akuntansi.

Beberapa tahun kemudian, kami pindah ke Raleigh, North Carolina, di mana saya fokus pada pekerjaan. Kami mulai beribadah di Gereja Methodist di Cary, North Carolina, di mana kami bertemu dengan banyak mantan Katolik. Di Gereja Methodist, kami belajar tentang kasih karunia dan cara yang berbeda untuk memahami kitab Wahyu dan disiplin rohani.

Program retret Methodist yang berjudul The Walk to Emmaus (Perjalanan ke Emaus), menyulut api iman dan membawa saya ke tahap yang baru dalam hubungan saya dengan Tuhan. Retret ini merupakan retret yang diciptakan oleh Gereja Katolik dan dipinjam oleh United Methodist. Retret asli (Katolik) dikenal sebagai Cursillo (dalam bahasa Spanyol yang berarti “kursus singkat”). Retret Emaus adalah retret tiga hari untuk orang dewasa, dan saya pulang dengan perubahan. Dua tahun kemudian, di sebuah retret untuk kaum pria, saya merasakan Tuhan memanggil saya untuk melayani penuh waktu. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan sekuler dan mulai melayani dua gereja kecil di Louisburg sambil kuliah di Duke Seminary.

Di sinilah perjalanan saya menuju iman Katolik dimulai. Pada semester pertama saya di Duke, saya mengambil kelas sejarah Gereja, di mana saya bertemu dengan Gereja perdana dan mengetahui bahwa St. Ignatius dari Antiokhia, dari abad kedua, mengatakan bahwa Ekaristi adalah “obat kekekalan.” Profesor saya, Dr. Warren Smith, memperkenalkan kami pada orang kudus ini, dengan mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 35 M dan wafat sebagai martir pada tahun 108 M. Ketika saya mendengar profesor saya mengutip Ignatius tentang Ekaristi sebagai obat kekekalan bagi jiwa, saya tahu bahwa Gereja perdana tidak percaya bahwa Komuni hanyalah sebuah simbol.

Ketika Yesus Bersabda, Mereka Pergi

Profesor saya yang lain di Duke mengatakan bahwa seorang koleganya berdoa Rosario, tetapi berdoa kepada Maria adalah hal yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh profesor saya. Hal ini memicu keingintahuan saya tentang Rosario. (Sekarang, sebagai seorang Katolik, saya berdoa Rosario setiap hari dan sudah mendoakannya selama bertahun-tahun).

Sementara profesor lainnya yang bernama David Steinmetz, meyakini bahwa Gereja Katolik memiliki posisi terbaik dalam hal Ekaristi. Di semester kedua kelas sejarah Gereja, kami ditunjukkan tentang empat pandangan tentang Komuni. Yang pertama adalah pandangan Katolik, atau Transsubstansiasi. Yang kedua adalah pandangan Lutheran, atau Konsubstansiasi. Yang ketiga adalah pandangan Protestan arus utama, di mana Allah hadir, meskipun kita tidak tahu persis bagaimana atau dengan cara apa; umat Methodist percaya akan kehadiran rohani ini. Yang keempat adalah pandangan Baptis, di mana elemen-elemen tersebut hanya melambangkan kehadiran dan karya penyelamatan Kristus di kayu salib. Karena alasan ini, perayaan Komuni Baptis hanya dilakukan empat bulan sekali. Pada pembahasan ini, Dr. Steinmetz membuat kami terkejut dengan mengatakan bahwa orang Katolik memiliki argumen yang paling kuat untuk penafsiran mereka karena mereka percaya dengan apa yang dikatakan Alkitab yaitu penafsiran secara harfiah. Siapa saja yang menyimpang dari penafsiran harfiah harus menjelaskan mengapa penafsiran harfiah itu keliru.

Pengamatan yang begitu jeli dari seorang profesor Sejarah Gereja akan mengguncang setiap orang Protestan. Bagaimana seseorang dapat membuktikan selain dari penafsiran harfiah terhadap ayat-ayat ini? Dapatkah seseorang menunjukkan kepada siapa saja pada zaman itu yang percaya bahwa Yesus tidak sedang berbicara secara harfiah? Apakah umat Protestan “meninggalkan” ajaran ini karena sama seperti para pengikut di kisah Alkitab itu yang meninggalkan Yesus, karena mereka juga menganggapnya sebagai “perkataan yang keras”?

Profesor tersebut mengacu pada Injil Yohanes bab 6, di mana Yesus berkata, “Inilah roti yang turun dari surge: Siapa saja yang memakannya, ia tidak akan mati (Yoh 6:50 TB2).” Kemudian Yesus melanjutkan, “Jikalau seseorang makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya (Yoh 6:51 TB2).”. Begitu banyak yang dipertaruhkan di sini sehingga kedengarannya seperti ayat yang tidak ingin disalahartikan. Makanan apakah yang dimaksud dengan roti ini? “Roti yang akan Kuberikan untuk hidup dunia ialah daging-Ku (Yoh 6:51 TB2).”

Dunia tidak pernah berhenti bersungut-sungut, begitu juga dengan para pengikut-Nya yang terdahulu. Tetapi Yesus tidak mundur; Dia tidak mengulangi perkataan-Nya dengan perubahan makna. Sebaliknya, Ia berkata, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Siapa saja yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman (Yohanes 6:53-54 TB2).”

Kita tidak bisa mengabaikan ajaran ini begitu saja. Seorang Kristen, menurut pengertiannya, harus memperhatikan apa yang Yesus katakan: “Siapa saja yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia (Yohanes 6:56 TB2).”

Sebenarnya kata kerja yang Yesus gunakan untuk “makan” bermakna mengunyah. Pada saat itu, banyak orang yang tersinggung sehingga banyak murid yang meninggalkan Yesus, dan Dia tidak berteriak kepada mereka bahwa ini adalah sebuah perumpamaan atau bersifat simbolis. Sebaliknya, Ia melihat kedua belas murid-Nya yang masih tinggal dan bertanya, “Apakah kamu mau pergi juga?” Sungguh memilukan! Yesus ada di sana, dan Dia menghadapi penolakan, meskipun Dia adalah Allah dan datang untuk menyelamatkan mereka. Ia menjelaskan kepada mereka bagaimana caranya supaya mereka dapat masuk ke dalam kehidupan kekal, tetapi mereka tidak menginginkannya. Mereka menginginkan lebih banyak ikan dan roti seperti kemarin malam.

Kita tahu dari sejarah Gereja bahwa umat Kristen perdana dianggap sebagai kanibal karena mereka memakan tubuh dan darah Yesus Kristus. Ini merupakan salah satu alasan mengapa Kekristenan dianggap menjijikkan bagi orang Romawi.

Sulit bagi saya untuk memahami betapa kurang diperhatikannya bagian Alkitab ini dalam tradisi Protestan. Saya merasa makna utuh perikop ini sengaja disembunyikan. Di sini cukup jelas bahwa Yesus bermaksud secara harfiah dengan apa yang dikatakannya. Saya terkejut bahwa saya tidak tahu akan tradisi Gereja yang kaya mengenai Ekaristi. Kami telah meremehkan pentingnya sakramen ini di banyak gereja Protestan. Butuh beberapa tahun sebelum saya benar-benar merindukan Ekaristi, tetapi saya sudah berada di jalur yang tepat, berkat kelas sejarah Gereja ini.

Wahyu yang Mengejutkan

Duke University adalah institusi akademis yang sangat membanggakan dirinya sendiri dalam hal akademis, dan saya berada di sana selama empat tahun di jurusan Teologi dan sering menerima sentilan atau bahkan didorong untuk masuk ke dalam iman Katolik melalui pelajaran yang sangat mendalam. Saya mempelajari surat-surat Paulus dan harus menulis makalah sepanjang 40 halaman tentang sebuah perikop kecil yang saya pilih. Saya sengaja memilih sebuah perikop supaya saya bisa mendapatkan jawaban melalui studi saya atas apa yang saya anggap sebagai perikop yang sulit. Dalam 1 Korintus 15:29, dikatakan, “Apakah yang dimaksud dengan dibaptis bagi orang mati?” Saya berharap menemukan jawabannya. Saya mencari tahu di perpustakaan, membeli buku-buku tafsiran, dan berbicara dengan profesor saya. Tidak ada seorang pun yang dapat memberi tahu saya apa artinya. Kadang-kadang, saya curiga bahwa saya diberikan jawaban yang tidak lengkap atau tidak jelas karena jawaban yang sebenarnya adalah jawaban Katolik. Kemudian saya menemukan bahwa jawaban Katolik meskipun jawaban itu membingungkan dan tidak jelas, menurut Navarre Study Bible mungkin ini adalah bentuk awal dari berdoa untuk orang mati dalam harapan akan kebangkitan mereka pada akhir nanti, namun tidak dipraktikkan oleh Gereja yang lebih besar. Hal ini kemudian membuka saya tentang berdoa bagi orang mati, bahkan melalui versi Alkitab (Protestan) yang sudah dipotong. Alkitab Katolik yang mempertahankan kitab-kitab yang dibuang oleh Protestan, memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang doa perantara bagi orang mati dalam 2 Makabe 12:39-45. Saya mulai menyadari bahwa tradisi Protestan saya sendiri tidak menyinggung hal-hal yang bertentangan dengan pemahaman Protestan tentang Alkitab. Dengan kata lain, ada beberapa hal yang diabaikan.

Salah satu peristiwa yang paling mengejutkan belum juga terjadi. Ketika saya mengambil mata kuliah Teologi Metodis Lanjutan dari cendekiawan Methodist yang terkenal di dunia, Geoffery Wainwright, saya diberitahu bahwa premis dasar dari teologi Methodist adalah Katolik. Tentu saja, ada beberapa perubahan yang dilakukan untuk menyebutnya Protestan, tetapi teologinya jelas bukan teologi anti-Katolik yang dirancang oleh John Calvin. Orang Methodist tidak mengkhotbahkan “sekali selamat tetap selamat,” meskipun beberapa umat gereja percaya akan teologi tersebut. Saya tercengang dan mencoba menentang pemikiran bahwa teologi Methodist pada dasarnya adalah Katolik. Tetapi akhirnya saya menyerah dan menerima bahwa saya telah mencintai teologi Katolik.

Apa yang Anda Lakukan adalah Apa yang Anda Imani

Ketika saya memadukan peristiwa-peristiwa yang membuka mata saya di seminari dengan kebiasaan doa pagi dalam tradisi Anglikan dan dengan Buku Doa Umum, saya kembali disentil ke arah iman Katolik selama empat tahun itu. Namun demikian, perjalanan saya belum selesai. Bahkan, ini baru permulaan. Mata saya sudah dibukakan pada beberapa kebenaran teologis dari iman Katolik. Namun, praktik disiplin rohani yang membuat saya lebih dekat lagi. Bagian dari perjalanan rohani saya ini berlangsung sekitar enam tahun.

Saya ingat ketika guru etika Kristen saya, Dr. Stanley Hauerwas, menyatakan di depan kelas bahwa Gereja Katolik “memiliki begitu banyak hal” yang dapat membantu dalam menjalani hidup bakti kepada Tuhan. Saya sangat tidak mengerti apa yang ia maksud, tetapi Gereja Methodist sangat terbuka terhadap berbagai jenis spiritualitas, dan siapa yang paling banyak memiliki berbagai macam spiritualitas? Gereja Katolik. Jadi saya belajar membuat aturan hidup pribadi berdasarkan tradisi Benediktin, termasuk bagaimana menggunakan imajinasi saya untuk memvisualisasikan Kitab Suci melalui spiritualitas Ignasian. Saya menemukan buku doa Katolik, Doa Ofisi (juga dikenal sebagai Brevir) dan menemukan lectio divina (“bacaan ilahi/rohani”). Di mana saya mempelajarinya? Sebagian besar dari retret Methodist.

Salah satu program retret yang dinamakan “Courage to Serve/Berani untuk Melayani” mempraktekkan lectio divina. Kami membaca, berdoa, merenungkan, dan berkontemplasi. Tata cara ini dipopulerkan oleh biarawan abad keenam, St. Benediktus. Kami melakukan lectio divina di sebuah retret, di mana kami beribadah, berdoa, dan belajar bersama selama lima hari. Saya pun akhirnya mendoakan Doa Ofisi setiap hari. Kebiasaan ini tidak disadari membuat saya semakin dekat untuk menjadi seorang Katolik. Akhirnya saya menyadari bahwa saya sudah sampai pada suatu tahap di mana saya harus mengikuti Misa Katolik.

Saat Mencari Misa

Pada tahun 2012, saya ingat saat mempelajari Kisah Para Rasul di seminari dan diberitahu bahwa Gereja Katolik bertemu setiap hari dan memecahkan roti seperti yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul. Saya terkejut. Bagaimana mungkin Gereja Katolik melakukan sesuatu yang begitu populer dalam Alkitab dan Gereja perdana, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang Protestan? Saya memutuskan bahwa saya harus mengikuti Misa harian dan melihat hal ini untuk diri saya sendiri. Saya mencari dan menemukan Gereja Katolik terdekat dan menghadiri Misa pukul 7 pagi. Saya duduk di bangku paling belakang. Paroki St. Michael di Cary, North Carolina adalah sebuah gereja yang besar, yang memungkinkan saya untuk berada jauh dari banyak orang. Semuanya terasa begitu alami, membungkuk dan berdoa, tetapi saya bingung tanpa mengetahui apa yang dikatakan oleh umat awam. Apa yang saya lihat dan rasakan secara pribadi adalah keindahan Misa. Saya menyukai peribadatan dan doa-doanya. Saya mencari perkataan dalam Misa dan sesekali menghadiri Misa. Saya memberanikan diri untuk menghadiri Misa tertentu, termasuk Misa Malam Natal pada tengah malam, saat itu saya mengajak istri saya. Saya mencoba-coba mengikuti peribadatan selama sekitar tiga tahun, membaca buku-buku tentang apa yang terjadi dalam liturgi. Saya sibuk melayani Tuhan dalam pelayanan pastoral, jadi pembelajaran saya tentang iman Katolik lebih merupakan hobi. Pencarian saya akan kehidupan rohani yang lebih dalamlah yang membawa saya pada dua hal yang memiliki pengaruh besar bagi saya: Akademi Dua Tahun dan Fransiskan Ekumenis.

Melihat Lebih Dalam, Kebenaran yang Mengejutkan Saya

Sekitar tahun 2015, Tuhan memberikan saya keinginan yang besar untuk bertumbuh secara rohani. Hal ini membawa saya ke Akademi Rohani Dua Tahun di Birmingham, Alabama, yang diselenggarakan oleh Upper Room, sebuah cabang dari United Methodist Church. Akademi dua tahun ini mengadakan pertemuan sekali setiap kuartal selama dua tahun, dan setiap pertemuan dilangsungkan selama satu minggu. Anda berdoa, beribadah, dan belajar selama lima hari. Anda memulai hari Anda dengan doa, dan mengakhirinya dengan doa. Malam hari disebut Keheningan Agung, ketika kami tidak dapat berbicara dengan siapa pun setelah kebaktian malam, yang berakhir sekitar jam 9 malam, hingga setelah kebaktian pagi yang berakhir jam 8 pagi. Saya menyukai lingkungan belajar ini, tetapi saya menemukan bahwa lingkungan ini juga dipenuhi dengan banyak ideologi progresif yang tampaknya bertentangan dengan ajaran Alkitab.

Saya ingin hidup seperti di biara, jadi saya mencari tahu dan menemukan Fransiskan Ekumenis. Ini adalah sebuah kelompok yang terbuka untuk semua denominasi yang berusaha untuk hidup seperti yang dilakukan oleh St. Fransiskus dari Asisi. Mereka menjalankan prinsip-prinsip ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian. Saya bekerja keras dan menjadi seorang novis setelah enam bulan. Kami tidak tinggal di biara, tetapi kami berusaha untuk hidup seperti St. Fransiskus. Sayangnya, kelompok itu tampaknya lebih merupakan organisasi aktivis, dan ini membuat saya menyadari bahwa apa yang benar-benar saya inginkan hanya dapat ditemukan di Gereja Katolik. Sekali lagi, saya dikejutkan oleh kebenaran. Meskipun saya jauh lebih terbuka terhadap spiritualitas Katolik, saya tidak menyangka bahwa saya akan benar-benar tertarik pada Gereja Katolik.

Krisis Iman

Krisis iman saya terjadi ketika saya tertarik pada Gereja Katolik. Panggilan saya untuk pelayanan Kristen sebenarnya untuk membuat perbedaan di United Methodist Church. Saya sudah membuat perbedaan di dua gereja yang saya layani, tetapi saya berharap untuk menjadi salah satu dari sekian banyak agen yang akan membendung arus sekularisme yang membanjiri denominasi tersebut. Pada bulan Agustus 2015, terlihat jelas bahwa para pemimpin Gereja Methodist menyambut baik praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Kristen selama 2.000 tahun terakhir. Untuk pertama kalinya, saya dapat melihat bagaimana Magisterium Katolik dan adanya seorang Paus merupakan sebuah kelebihan yang nyata. Kekhawatiran saya adalah “Mengapa seorang Paus?” Apakah ini perlu? Bukankah lebih sederhana jika tidak ada seorang Paus? Saya sangat hafal Matius 16:18, di mana Yesus berkata kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku (TB2).” Akhirnya saya dihadapkan pada kenyataan bahwa Yesus telah mendirikan Gereja dengan cara ini.

Saya sekarang menyadari bahwa saya tidak dapat mengubah Gereja Methodist. Pada kenyataannya, pergumulan saya seputar apa yang akan saya lakukan jika gereja memutuskan untuk menyetujui apa yang saya anggap sebagai praktik-praktik yang tidak alkitabiah. Apakah saya dapat terus menjadi seorang pendeta? Bagaimana saya bisa mencari nafkah? Jika saya bukan seorang pendeta Methodist, kemana saya akan pergi? Ini adalah krisis iman saya. Saya mempertanyakan panggilan saya untuk melayani dan bahkan untuk menjadi seorang Kristen. Untuk pertama kalinya, saya menyadari bahwa saya harus menjadi seorang Katolik. Pertanyaannya adalah kapan. Saya sudah mempertaruhkan seluruh hidup saya dan pasangan saya, Dianna, untuk menjadi seorang pendeta Methodist.

Saya menjadwalkan sebuah pertemuan dengan Monsinyur Doug Reed di Gereja St. Michael di Cary, dan kami pun membicarakannya. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya dipanggil ke Gereja Katolik dan memintanya untuk memberi tahu saya apa yang perlu saya ketahui. Saya juga mengatakan kepadanya bahwa saya pikir akan membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum saya bisa mengambil langkah itu. Dia meminta saya untuk mempertimbangkan studi di seminari. Saya pulang ke rumah dan berdoa tentang hal itu. Jika saya akan mengambil keputusan itu, maka saya harus segera melakukannya, karena usia saya akan menjadi masalah. Setelah melakukan pertimbangan, Tuhan mengizinkan saya untuk membuat pilihan, karena Tuhan dapat menggunakan saya dengan cara apa pun. Saya memutuskan untuk tidak memberi tahu istri saya bahwa saya akan sekolah lagi untuk ketiga kalinya. Saya sadar bahwa secara finansial waktunya tidak tepat, jadi saya berjanji untuk belajar lebih banyak tentang iman Katolik. Semuanya melembutkan hati saya. Saya berada di dalam proses membaca 39 buku untuk Akademi Dua Tahun, jadi perkembangan saya berjalan lambat. Pada tahun 2016, saya dan istri saya menghadiri Misa di sana-sini, sesuai dengan waktu yang kami miliki.

Pernyataan Saya

Ada beberapa hal yang terjadi pada masa ini. Saya mulai mengikuti program “That Man Is You/Pria itu adalah Anda” di gereja St. Michael. Saya menjadi yakin bahwa iman Katolik itu benar, tetapi saya ingin bertemu dengan orang-orang Katolik sejati yang mengasihi Yesus. Apa yang saya temukan sungguh luar biasa. Ini adalah program kaum pria terbaik yang pernah saya ikuti. Pada akhir tahun pertama, saya berdoa Rosario, dan pada akhir tahun kedua, saya membaktikan diri kepada Yesus melalui Maria keduanya saya lakukan ketika masih sebagai seorang Protestan. Pada tahun 2018, saya memberi tahu istri saya bahwa saya akan menjadi Katolik. Keputusan itu bukan hanya sekadar main-main. Saya merasa Tuhan memanggil saya untuk melakukannya. Yang tidak saya sadari adalah bahwa saya telah melakukan perjalanan ini, tetapi istri saya belum. Saat itulah dia memberi tahu saya bahwa dia belum bisa menjadi Katolik.

Saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan menemaninya beribadah di gereja Protestan, tetapi gereja tempat saya beribadah adalah Gereja Katolik. Saya tidak menyangka akan reaksinya, tetapi itu bisa dimengerti. Saya sudah melakukan perjalanan iman selama lebih dari satu dekade, dan dia tidak tahu bahwa saya sungguh-sungguh ingin menjadi seorang Katolik. Masih beberapa tahun sebelum saya bisa pensiun dari pelayanan. Saya tidak bisa menjadi Katolik karena alasan keuangan. Saya mulai berdoa Rosario, setiap hari memohon kepada Maria untuk menjadi perantara bagi istri saya, supaya dia menjadi Katolik bersama saya.

Setahun kemudian, dia melakukan pencarian di internet dengan kalimat, “Suami saya yang gila akan menjadi Katolik, apa yang bisa saya baca untuk mendapatkan bantuan.” Salah satu buku yang muncul adalah Rome Sweet Home karya Scott Hahn. Saat itu, saya sudah mempunyai koleksi kisah-kisah perpindahan iman dan banyak buku tentang pembelaan iman Katolik, jadi tentu saja saya memiliki buku itu. Dianna sangat mirip dengan Kimberly Hahn, dan kisahnya sangat menyentuhnya. Hal berikutnya yang saya tahu, dia sedang mencari tahu tentang kelas-kelas RCIA. Dia mengecek paroki St. Michael yang terdekat. Program yang mereka adakan diadakan pada hari Minggu, yang berarti dia harus melewatkan kebaktian Minggu di gereja-gereja Metodis yang telah saya tentukan. Saya masih seorang pendeta, dan saya hanya tinggal dua tahun lagi menuju masa pensiun. Seorang istri pendeta tidak dapat melewatkan satu tahun hari Minggu tanpa menimbulkan banyak pertanyaan.

Dia menemukan bahwa paroki Our Lady of Lourdes di Raleigh mengadakan kelas Selasa malam, dan kebetulan malam itu saya tidak ada kegiatan. Kami mendaftar untuk RCIA di sana pada tahun 2019. COVID-19 melanda pada tahun 2020 dan menghentikan kelas RCIA. Kami selesai pada bulan Juni, tetapi saya dan Dianna belum bisa menjadi anggota Gereja sampai saya melepaskan wewenang sakramental saya atau sampai saya pensiun. Saya pensiun pada Juni 2021 dan menjadi anggota Gereja Katolik pada tanggal 15 Agustus 2021 pada Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, di paroki Our Lady of Lourdes.

Kami berterima kasih kepada Romo Pat Keane dan Diakon Bryon Champagne atas bantuan mereka dalam perjalanan iman kami. Saya dan Dianna melanjutkan beribadah di dua tempat yaitu di Gereja Our Lady of Lourdes dan Gereja St. Michael. Sungguh menjadi perjalanan yang luar biasa. Kami mencintai Gereja Katolik.

 

James Whittaker mengikuti Misa di paroki St. Michael di Cary, North Carolina, sambil tetap menjalin relasi dengan paroki Our Lady of Lourdes di Raleigh. Dia terlibat dalam Knights of Columbus dan That Man Is You (TMIY), sebuah kelompok pria Katolik. Dia selalu menantikan untuk menjadi sponsor bagi mereka yang ada di RCIA. Menikah dengan Dianna, mereka memiliki dua anak yang sudah dewasa, Laura dan Andy, dan lima cucu. Mereka senang berjalan-jalan di taman, berkebun, dan mengikuti Misa harian.

 

Sumber: “A Protestant Pastor Stops Protesting”

Posted on 18 November 2023, in Kisah Iman and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.