Alkitab Menafsirkan Dirinya Sendiri?

Oleh Joe Heschmeyer

Sumber: catholic.com

Salah satu pemikiran Reformasi Protestan yang paling berbahaya adalah bahwa Kitab Suci dapat menafsirkan dirinya sendiri

Salah satu pemikiran yang paling berbahaya dari Reformasi Protestan adalah bahwa Kitab Suci dapat menafsirkan dirinya sendiri. Menurut pandangan ini, Kitab Suci begitu jelas sehingga kita tidak membutuhkan Gereja Katolik yang infalibel (tidak dapat salah). Pemikiran ini berasal dari Martin Luther, tetapi orang Protestan sering kali percaya bahwa pandangan ini merupakan sesuatu yang diajarkan oleh Kitab Suci itu sendiri. Profesor John Gerstner (1914-1996) berargumen untuk mendukung pandangan ini melawan Katolik dengan mengatakan,

Pertama, Roma menyangkal bahwa Alkitab sebagai wahyu yang menafsirkan dirinya sendiri. Alkitab menyatakan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang dapat menjelaskan dirinya sendiri. Ini disebut doktrin perspicuity of the Scriptures (kejelasan Alkitab). Alkitab dapat dipahami dalam pengertiannya sendiri. Apa yang tidak jelas di satu bagian akan menjadi lebih jelas di bagian lain. Apa yang tidak lengkap di bagian ini akan dilengkapi di bagian lain. Apa yang merupakan gambaran di satu ayat merupakan tafsiran di ayat yang lain.

Klaim bahwa Alkitab adalah “wahyu yang menafsirkan dirinya sendiri” bukan hanya tidak alkitabiah, tetapi juga tidak koheren, seperti mengatakan “buku itu membaca dirinya sendiri.” Seseoranglah yang menafsirkan Alkitab. Ia dapat menafsirkannya dengan benar atau keliru, dengan baik atau buruk, tetapi naskah itu tidak dapat menafsirkan dirinya sendiri.

Kita melihat tindakan ini dalam Alkitab. Yesus menceritakan perumpamaan tentang gandum dan lalang (Matius 13:24-30). Atas permintaan St. Petrus, Ia kemudian menjelaskan makna perumpamaan itu (ayat 36-43). Perumpamaan itu tidak menjelaskan dengan sendirinya: Yesus menjelaskannya. Demikian juga, dalam perjalanan ke Emaus, Yesus berjalan dengan dua murid-Nya dan “mulai dari Musa dan semua nabi, Ia menafsirkan segala sesuatu yang tertulis dalam Kitab Suci tentang diri-Nya” (Lukas 24:27). Lukas tidak mengatakan bahwa Kitab Suci menafsirkan dirinya sendiri kepada para murid. Yesuslah yang menafsirkannya.

Demikian juga, St. Filipus dipimpin oleh Roh Kudus mendatangi seorang sida-sida dari Etiopia. “Filipus segera ke situ dan mendengar sida-sida itu sedang membaca kitab nabi Yesaya. Kata Filipus: “Mengertikah Tuan apa yang Tuan baca itu?” Jawabnya: “Bagaimana aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya (Kisah Para Rasul 8:30-31 TB2). Yang menarik, orang itu tidak menjawab, “Tentu saja aku memahaminya! Kitab Yesaya dapat ditafsirkan sendiri.” Sebaliknya, ada seseorang (kali ini, Filipus) yang menjelaskan maknanya.

Inilah peran Gereja, tetapi juga peran teolog dan pengkhotbah. St. Paulus berkata kepada St. Timotius untuk “mengikuti pembacaan Kitab Suci di depan umum, memberitakan dan mengajar” (1 Timotius 4:11). Artinya, ia dipanggil untuk membaca Kitab Suci dan kemudian menjelaskan artinya, sama seperti yang dilakukan Yesus di sinagoga (Lukas 4:16-22).

Jadi, di manakah Alkitab pernah “menyatakan bahwa Alkitab menjelaskan dirinya sendiri” atau menjanjikan bahwa “di suatu bagian adalah gambaran dan di bagian lain adalah tafsirannya”? Gerstner tidak memberikan kutipan karena alasan sederhana bahwa memang tidak ada. Bahkan gagasan “apa yang tidak jelas di satu bagian akan menjadi lebih jelas di bagian lain” juga menimbulkan pertanyaan, karena orang-orang Kristen tidak sepakat tentang bagian mana yang jelas dan mana yang tidak jelas. Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Calvinis, Alister McGrath:

Luther dan Zwingli tidak sepakat mengenai makna frasa-frasa berikut: “Inilah tubuh-Ku” (yang ditafsirkan secara harfiah oleh Luther dan secara metaforis oleh Zwingli) dan “di sebelah kanan Allah” (yang ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak – Luther menafsirkan secara metaforis sedangkan Zwingli menafsirkan secara harfiah). Optimisme penafsiran pada masa awal Reformasi dapat dianggap sebagai sesuatu yang kandas di atas batu karang ini: Kitab Suci, tampaknya, jauh dari mudah untuk ditafsirkan.

Menanggapi pandangan Katolik bahwa Kitab Suci membutuhkan penafsiran, Gerstner mengatakan:

Jika Alkitab harus ditafsirkan oleh Gereja supaya maknanya menjadi pasti, maka penafsiran Gereja harus ditafsirkan oleh otoritas lain supaya maknanya menjadi pasti, dan kemudian harus ada penafsir dari penafsir, dan seterusnya secara ad infinitum.

Jika hal ini benar, itu berarti tidak ada yang bisa menjelaskan apa pun. Artinya, Gerstner tidak sedang menentang agama Katolik, melainkan menentang komunikasi dan pengetahuan tentang kebenaran secara umum. Jika argumennya benar, maka hal ini akan membuktikan agnostisisme, bukan Protestanisme.

Hal ini juga tidak masuk akal secara logika. Beberapa bagian tertentu dari Alkitab memang memungkinkan adanya banyak penafsiran: bisa berarti A atau B. Jika Gereja mengklarifikasi, “Maksudnya adalah A dan bukan B,” maka klarifikasi tersebut tidak membutuhkan klarifikasi lebih lanjut, sehingga argumen ini tidak masuk akal. Jika orang Etiopia membutuhkan Filipus untuk menjelaskan Kitab Yesaya, bukan berarti ia juga membutuhkan orang lain untuk menjelaskan apa yang dijelaskan Filipus, dan seterusnya secara ad infinitum.

Namun, Gerstner segera menjelaskan seluruh argumennya setelah ini:

Berbagai sidang gereja Protestan kita sebenarnya memberikan penafsiran yang otoritatif pada sebagian besar poin ketika keputusan semacam itu diperlukan. Tetapi ada perbedaan antara keputusan yang otoritatif dan keputusan yang sempurna. Misalnya, bandingkan dengan perlunya penafsiran otoritatif atas Konstitusi. Mahkamah Agung melakukan tugas itu. Namun, apakah orang Amerika percaya bahwa Mahkamah Agung itu sempurna? Namun, keputusan-keputusannya tetap berlaku sebagai suatu keharusan …

Gereja Protestan telah mempersiapkan otoritas agar keputusan dapat dibuat ketika diperlukan, tetapi menghindari kesalahan yaitu dengan tidak menyematkan otoritas ini dengan infalibilitas. Karena gereja Protestan tidak infalibel, maka gereja Protestan dapat berbuat salah, telah berbuat salah, dan akan berbuat salah. Akan tetapi, ada satu kesalahan yang tidak pernah dilakukannya dan itu adalah kesalahan terbesar di antara semua kesalahan yang ada, yaitu kesalahan berpikir bahwa gereja tidak dapat berbuat salah.

Maka Gerstner sebenarnya mengakui perlunya Gereja memberikan penafsiran yang otoritatif “bila diperlukan.” Perbedaannya hanyalah bahwa keputusan-keputusan gereja Protestan tidak dapat dipercaya, karena kita tidak tahu apakah keputusan-keputusan itu keliru, dan mereka bisa keliru, pernah keliru, dan akan keliru.

Konsesi yang luar biasa ini karena ada beberapa alasan. Pertama, jika Kitab Suci sejelas itu dan dapat ditafsirkan sendiri seperti yang diklaim oleh Gerstner, mengapa ajaran-ajaran Protestan tidak jelas? Bagaimana mungkin ada lebih dari satu denominasi Protestan, dan mengapa setiap denominasi tidak yakin bahwa penafsiran mereka terhadap Kitab Suci itu benar? Dalam satu argumen yang sama, Gerstner berargumen bahwa Kitab Suci begitu jelas sehingga tidak perlu ada Gereja yang infalibel untuk menafsirkannya, tetapi juga bahwa Kitab Suci begitu tidak jelas sehingga orang-orang Protestan tidak dapat menghindari kesalahan yang terus menerus dalam menafsirkannya, dan kesalahan terbesar yang mungkin terjadi adalah berpikir bahwa kita tidak dapat salah dalam menafsirkannya.

Kedua, risiko yang dipertaruhkan di sini lebih tinggi dibandingkan dengan Mahkamah Agung. Konstitusi tidak diilhami secara ilahi; Kitab Suci yang diilhami secara ilahi. Jika satu denominasi salah dalam melakukan “penafsiran otoritatif,” maka denominasi tersebut akan memaksa para anggotanya untuk melakukan perpecahan atau menerima ajaran sesat, yang mana keduanya dikutuk dalam Perjanjian Baru. Tetapi karena “berbagai pengadilan gereja Protestan sebenarnya memberikan penafsiran otoritatif” yang bertentangan satu sama lain dan tidak dapat dipercaya sebagai sesuatu yang bebas dari kesalahan, maka itulah yang ditawarkan oleh Protestanisme.

Fakta bahwa orang-orang Protestan yang bermaksud baik dan membaca Alkitab dengan baik, mereka tidak setuju satu sama lain mengenai makna dari ayat-ayat Alkitab, seharusnyahal itu  sudah cukup untuk membuktikan bahwa Kitab Suci tidak dapat menafsirkan dirinya sendiri. Fakta bahwa Allah telah memberikan Kitab Suci kepada kita untuk “menuntun engkau kepada keselamatan melalui iman kepada Kristus Yesus” (2 Timotius 3:15 TB2) seharusnya membuat orang-orang Protestan cukup peduli untuk menemukan sebuah Gereja yang mampu menafsirkan dengan benar apa yang dimaksudkan oleh Kitab Suci tanpa harus menghadapi bahaya yang terus menerus bahwa mereka akan mengajarkan ajaran sesat.

 

Sumber: “The Amazing Self-Reading Bible!”

Posted on 24 May 2024, in Apologetika and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.