Kristus Sang Pokok Anggur yang Benar

Oleh Romo John Cush

Ikon Kristus Sang Pokok Anggur yang Benar (Athena, abad ke-16) (Sumber: wikipedia.org)

Baru-baru ini, dalam apa yang saya baca, saya mulai menelaah kehidupan dan karya Mgr. Reynold Hillenbrand, seorang imam dari Keuskupan Agung Chicago, mantan rektor Seminari Tinggi Mundelein dan pelopor Reformasi Liturgi pada tahun 1940-an dan 50-an di Amerika Serikat. Hillenbrand adalah seorang yang brilian, tetapi juga seorang yang berwatak keras. Ketika ia merenovasi gereja paroki Sacred Heart di Winnetka, Illinois, pada tahun 1957 sesuai dengan ensiklik dari Paus Pius XII, Mediator Dei, ia menulis beberapa kalimat ringkas kepada arsitek yang ia pekerjakan:

“Saya tidak menyukai simbol-simbol konvensional yang digunakan dalam Gereja Katolik. Jika kita harus menggunakan simbol di dalam gereja, saya lebih memilih ‘Pokok Anggur dan Ranting-rantingnya,’ yang digunakan Kristus sebagai simbol untuk Gereja, Tubuh Mistik-Nya.”

Dan simbol “pokok anggur dan ranting-rantingnya” adalah simbol yang Tuhan Yesus tawarkan kepada kita dalam Injil Yohanes bab 15. Di Roma, kita sangat akrab dengan gambar pokok anggur dan ranting-rantingnya di Gereja San Clemente. Ini adalah gambaran Salib Tuhan sebagai Pohon Kehidupan, yang menjalar menjadi pokok anggur dan ranting-rantingnya. Contoh lain dari simbol ini yang ada di tengah-tengah kita yaitu ada di dalam Kapel Immaculate Conception di Pontifical North American College di Roma, di mana saya merasa bahagia melayani sebagai dekan akademik, warna hijau dari lantai kapel yang menjulur dari tempat kudus (panti imam) ke dalam ruang tengah adalah bentuk pohon kehidupan.

Ya, gambaran tentang pokok anggur dan ranting-rantingnya adalah gambaran yang tepat dan penuh makna yang diberikan oleh Tuhan kita. Apakah implikasi dari Kristus sebagai pokok anggur, kita sebagai ranting-rantingnya, dan Bapa-Nya sebagai yang mengusahakannya? Menurut saya, ada tiga hal yang saling berkaitan: pertama, secara eklesiologis; kedua, secara moral; dan ketiga, secara rohani.

Secara eklesiologis, gambaran tentang pokok anggur dan ranting-rantingnya sangat penting bagi kita untuk memahami apa yang menjadi salah satu gambaran yang paling alkitabiah dan patristis tentang Gereja, yaitu gambaran tentang Tubuh Mistik Kristus.

Gambaran Tubuh Mistik Kristus dari Pius XII pada tahun 1943 sama sekali tidak bertentangan dengan gambaran Umat Allah dari Paulus VI pada tahun 1964. Bahkan, keduanya sangat saling melengkapi. Paus Emeritus Benediktus XVI mengatakan kepada para seminaris di Seminari Tinggi Roma pada tahun 2010, “Latar belakang mendasar dari Perumpamaan tentang Pokok Anggur adalah Pembaptisan: kita dicangkokkan di dalam Kristus; dan Ekaristi: kita menjadi satu roti, satu tubuh, satu darah, satu hidup dengan Kristus.”

Ketika kita merayakan Ekaristi dalam Kurban Kudus Misa maka Kristus sendirilah pokok anggur yang benar, di dalam Bapa yang mengusahakan pokok anggur yang benar, dan air yang benar yang hanya dapat menyegarkan kita adalah Roh Kudus, yang memberi kita anugerah yang terbaik yaitu diri-Nya sendiri di dalam Ekaristi.

Dalam doktrin tentang Tubuh Mistik sebagai pokok anggur dan ranting-rantingnya, secara moral kita belajar dua hal: pertama, nilai individu yang sangat berharga dari setiap manusia dan kedua, hubungan organik yang kita miliki dengan satu sama lain. Ketika satu bagian dari ranting terluka dan sekarat, maka semua ranting akan terluka. Dan, dengan demikian, kita memiliki kewajiban moral sebagai anggota Tubuh Mistik untuk saling peduli satu sama lain. Jangan pernah berpikir bahwa apa yang kita lakukan di altar tidak berhubungan dengan karya keadilan dan cinta kasih. Kita harus menjadi Dia yang kita terima jika kita ingin sepenuhnya memahami makna dari misteri-misteri suci. Diberi makan dan dipimpin oleh Corpus Mysticum, Tubuh Kristus yang hadir dalam Ekaristi, kita harus menjadi Corpus Mysticum, Tubuh Kristus yang hadir dalam Gereja.

Secara rohani, dicangkokkan pada pokok anggur memiliki dua pengertian: pertama, mengenali kebutuhan ranting untuk tetap terhubung dengan pokok anggur, dan kedua, mengenali kebutuhan ranting untuk terus dipangkas. Mungkin di antara konsep teologis yang paling penting untuk kita kenali adalah analogia entis, “analogi dari makhluk.” Pada intinya, ini berarti bahwa semirip-miripnya kita dengan Allah, semakin besar pula ketidaksamaan kita. Atau, dengan kata lain, secara lebih gamblang: “Allah adalah Allah, kita bukan, dan kita patut bersyukur untuk itu.” Bahkan jika untuk sesaat saja kita lupa bahwa kita harus terus terhubung dengan pokok anggur dan berpikir bahwa kita dapat bertahan hidup dengan kekuatan kita sendiri, maka kita menipu diri kita sendiri dan merugikan diri kita sendiri. Cara yang paling pasti untuk memisahkan diri kita dari pokok anggur adalah dengan tetap tinggal di dalam dosa. Inilah sebabnya mengapa ada kebutuhan yang konsisten, sesakit apa pun itu, untuk memangkas diri kita melalui pertobatan setiap hari.

Paus Emeritus Benediktus XVI, dalam kunjungan yang sama ke Seminari Tinggi Roma pada tahun 2010, meringkas dengan baik teologi dan spiritualitas pokok anggur dan ranting-rantingnya. Ia berkata:

“Dengan demikian, proses pemurnian ini juga memiliki latar belakang sakramental: Sakramen Tobat atau Rekonsiliasi, di mana kita menerima didikan ilahi yang dari hari ke hari, sepanjang hidup kita, menguduskan kita dan semakin membuat kita menjadi anggota Tubuh-Nya yang sejati. Dengan cara ini kita dapat belajar bahwa Allah menjawab doa-doa kita, bahwa Ia sering menjawab dengan kebaikan-Nya bahkan terhadap doa-doa kecil, tetapi sering juga Ia mengoreksi, mengubah dan membimbing kita sehingga kita pada akhirnya dapat menjadi ranting-ranting Putera-Nya, Sang Pokok Anggur yang Benar, yaitu menjadi anggota-anggota Tubuh-Nya.”

Ya, Kristus adalah pokok anggur yang benar, Bapa-Nya adalah yang mengusahakannya, dan kita adalah ranting-rantingnya. Ketika kita menjadi bagian dari Tubuh Mistik Kristus, kita bersama-sama dipanggil untuk memikul salib-Nya dan menderita, mati, dan bangkit bersama Sang Pokok Anggur yang Benar. Dan, dengan melakukan hal itu, kita juga harus membantu saudara dan saudari kita, Umat Allah, yang membentuk Tubuh Mistik, untuk memikul salib mereka, meringankan penderitaan mereka, dan belajar untuk mengambil bagian di dalam wafat dan kebangkitan Kristus, Sang Pokok Anggur yang Benar.

Romo John P. Cush adalah seorang presbiter dari Keuskupan Brooklyn. Penulis buku “How-To-Book of Catholic Theology” (2020) dan penulis pembantu dalam buku “Theology As Prayer: A Primer for Diocesan Priests” (2022), ia bertugas sebagai Profesor Teologi Dogmatis dan penasihat formasi di Saint Joseph’s Seminary and College di Keuskupan Agung New York. Romo Cush pernah menjabat sebagai Dekan Akademik dan penasihat formasi di Pontifical North American College di Roma, Italia. Beliau meraih gelar Doktor dalam bidang Teologi Suci (STD) dari Universitas Kepausan Gregoriana di Roma. Romo Cush adalah kontributor untuk buku “Intellect, Affect, and God” (Marquette University Press, 2021). Ia pernah menjadi pastor paroki, guru seminari sekolah menengah, dan sebagai sensor librorum untuk keuskupannya, serta konsultan teologi untuk NET TV. Romo Cush juga menjadi kontributor tetap di Brooklyn Tablet dan Albany Evangelist, serta Homiletics dan Pastoral Review.

Sumber: “Christ is the True Vine, His Father is the Vine Grower, and We Are the Branches”

Posted on 24 April 2024, in Kenali Imanmu, Kitab Suci and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.