[…] Mencari Keseimbangan – Kisah Cara Valle – Terang Iman, accessed October 9, 2025, https://terangiman.com/2023/01/23/mencari-keseimbangan-kisah-cara-valle/ […]
Jika Allah Menjadi Manusia, Bukankah Allah Berubah?
Oleh Tim Staples

Christ Pantocrator (Sumber: aleteia.org)
Jika Allah tidak berubah, bukankah seluruh ajaran Kristen menjadi runtuh?
Satu pertanyaan bagus yang kami terima di Catholic Answers mungkin lima atau enam kali dalam setahun adalah ini:
Jika pada saat Inkarnasi “Firman itu telah menjadi manusia,” bukankah itu berarti Allah berubah? Dan jika Dia berubah, bagaimana Dia bisa menjadi Allah?
Karena pertanyaan ini terkait dengan gelar Maria sebagai Theotokos (“Pembawa Allah”), saya membahasnya secara panjang lebar dalam buku saya, Behold Your Mother. Tetapi ini pertanyaan sangat bagus dan penting sehingga perlu dibahas lagi dan lagi.
Jawaban singkatnya adalah tidak, Allah tidak berubah (lihat Maleakhi 3:6), jadi Ia tidak berubah dalam Inkarnasi. Untuk memahami alasannya, kita harus mendefinisikan suatu istilah yang penting: persatuan hipostatis (hypostatic union). Pada saat Inkarnasi 2.000 tahun yang lalu, Pribadi Kedua dari Tritunggal Mahakudus memperoleh kodrat sebagai manusia, sejak saat itu, pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus memiliki dua kodrat, satu kodrat ilahi dan satu kodrat insani, yang berada di dalam satu pribadi ilahi. Itulah definisi dari istilah persatuan hipostasis.
Harap diperhatikan bahwa tidak terjadinya “pencampuran” kodrat di sini. Kodrat ilahi dan manusiawi Kristus benar-benar berbeda. Namun, keduanya juga tidak terbagi atau terpisah: keduanya “bersatu” di dalam kesatuan hipostatis, yaitu kesatuan yang dibentuk “di dalam” satu hipostasis ilahi (pribadi) Kristus.
Apa yang kita maksud dengan persatuan yang ada “di dalam” pribadi ilahi yang satu ini? Hal ini menyiratkan adanya perubahan dalam diri Allah, bukan?
St. Thomas Aquinas menjelaskan:
Karena Pribadi ilahi itu tidak terbatas, maka tidak ada penambahan yang dapat dilakukan terhadapnya: Oleh karena itu, Sirilus berkata [Konsili Efesus, Bagian I, bab 26]: “Kami tidak menganggap bahwa cara penyatuan itu berdasarkan penambahan”; sama seperti dalam persatuan manusia dengan Allah, tidak ada sesuatu pun yang ditambahkan kepada Allah melalui anugerah pengangkatan, tetapi apa yang ilahi dipersatukan dengan manusia; oleh karena itu, bukan Allah tetapi manusia yang disempurnakan (Summa Theologiae III, pertanyaan 3, artikel 1, jawaban keberatan 1).
Ketika kita berbicara tentang persatuan hipostatis antara kodrat ilahi dan kodrat insani Kristus dalam satu pribadi ilahi, kita harus menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan persatuan yang “di dalam pribadi” Kristus. St. Thomas menjelaskan bahwa karena persatuan hipostatis adalah “persatuan yang tercipta,” maka persatuan itu tidak mungkin “di dalam Allah”:
Setiap relasi yang kita pikirkan antara Allah dan ciptaan benar-benar ada pada ciptaan, yang dengannya perubahannya relasi itu menjadi entitas (being); sedangkan relasi itu tidak benar-benar ada pada Allah, melainkan hanya pada cara berpikir kita, karena ia tidak muncul dari perubahan apa pun dalam diri Allah. Dan oleh karena itu kita harus mengatakan bahwa persatuan yang kita bicarakan ini tidak benar-benar ada di dalam Allah, melainkan hanya dalam cara berpikir kita, tetapi di dalam kodrat manusia yang adalah ciptaan. … Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa [persatuan hipostatis] adalah sesuatu yang diciptakan (ibid., pertanyaan 2, artikel 7).
Maka ketika konsili Efesus dan Kalsedon berbicara tentang persatuan hipostatis yang “berada di dalam pribadi Kristus” yang dimaksud adalah bahwa kodrat manusiawi yang diambil oleh Kristus kini memiliki subjek pribadi ilahi Kristus. Seperti yang dikatakan oleh Aquinas, hal ini “tidak benar-benar ada di dalam Allah, kecuali dalam cara berpikir kita” yaitu karena kodrat manusiawi memiliki subjek pribadi ilahi.
Seseorang mungkin berkata, “Tetapi tunggu dulu, Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus dulunya hanyalah Allah, tetapi pada saat Inkarnasi, Ia menjadi campuran Allah dan manusia. Maka ini adalah suatu perubahan!”
Memang benar bahwa, pada saat Inkarnasi pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus menambahkan kodrat manusiawi yang sebelumnya tidak dimiliki-Nya, tetapi Dia (pribadi ilahi) tidak berubah dalam hakikat ilahi-Nya. Satu-satunya perubahan yang nyata terjadi pada kodrat manusiawi-Nya, yang menerima martabat yang tak terbatas di dalam dan melalui persatuan hipostatis, tetapi Allah tidak berubah dalam proses tersebut. Tetapi karena persatuan hipostatis, ketika seseorang mengacu pada kodrat manusiawi Kristus, subjeknya adalah pribadi ilahi. Inilah sebabnya mengapa kita dapat menyembah manusia Yesus Kristus. Inilah sebabnya mengapa kita dapat menegaskan bahwa Allah, pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, telah dilahirkan, menderita, dan wafat. Kodrat ilahi tidak dapat mati, tetapi pribadi ilahi dapat mati, karena persatuan hipostatis.
Demikian juga, kita juga menyembah Kristus secara utuh, bukan sebagian dari Dia. Maria melahirkan Kristus seutuhnya, bukan salah satu kodrat-Nya. Ketika kita berbicara tentang Yesus, kita berbicara tentang pribadi ilahi-Nya, yang kepadanya segala sesuatu yang sepenuhnya manusiawi dan ilahi disandangkan.
Ini adalah misteri yang agung, dan kita tidak boleh malu untuk mengakuinya. Dalam 1 Timotius 3:16, kita membaca, “Sesungguhnya agunglah rahasia kesalahen kita: ‘Dia, yang telah dinyatakan dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang dilihat malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan’ (TB2).” Kebenaran tentang persatuan hipostatis berada di luar kemampuan kita untuk memahami sepenuhnya, tetapi tidak ada satu hal pun yang bertentangan dengan akal sehat.
Tetapi untuk menyatakan adanya perubahan pada salah satu dari tiga pribadi ilahi dari Tritunggal Mahakudus jelas bertentangan dengan nalar. Hal itu sama sekali bukan misteri. Konsili Efesus (431), yang ditegaskan oleh Konsili Kalsedon (451), mengatakan dengan cukup ringkas dan akurat,
Ia tidak mengesampingkan keilahian-Nya, tetapi meskipun Ia mengambil rupa sebagai manusia, Ia tetaplah Allah dalam hakikat dan kebenaran. Kita tidak berkata bahwa daging-Nya berubah menjadi kodrat ilahi atau Firman Allah yang tiada bandingannya berubah menjadi kodrat daging. Karena Dia (Sang Firman) tidak dapat diubah dan sama sekali tidak dapat berubah dan tetap sama seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci ( Maleakhi 3:6).
Bahkan ajaran sesat Nestorian yang memiliki pandangan dua pribadi di dalam diri Kristus, ajaran sesat ini justru tidak membuat kesalahan yang kentara dengan mengklaim adanya “perubahan” di dalam diri Allah.
Pada akhirnya, kesalahan dari mereka yang berpikir bahwa Allah berubah dalam Inkarnasi berakar pada kurangnya pemahaman akan perbedaan antara pribadi (siapa diri itu) dan kodrat (apa diri atau sesuatu itu). Dalam kasus Yesus, “siapa” tidak serta merta berubah dengan menambahkan “apa.” Dan juga tidak ada perubahan pada “apa” yang lain dalam hal ini, yaitu kodrat ilahi. Satu-satunya perubahan yang dapat kita bicarakan adalah perubahan radikal pada kodrat manusia yang terjadi melalui anugerah persatuan hipostatis di mana kodrat manusiawi Kristus diangkat ke dalam pribadi ilahi dan karenanya menerima martabat yang tidak terbatas. Dengan demikian, “manusia Kristus Yesus” (1 Timotius 2:5) tidak hanya menjadi “[pengambil bagian] dalam kodrat ilahi” (2 Petrus 1:4), seperti halnya kita sebagai orang Kristen. “Manusia” Yesus Kristus adalah Allah karena persatuan hipostatis.
Dan bukankah ini persis seperti yang kita lihat di dalam Kitab Suci? Perhatikan Kolose 1:15-22, dan Anda akan melihat “Dia,” atau satu pribadi Kristus, disebut sebagai “pencipta” segala sesuatu (sebagai Allah) dan juga sebagai yang menderita dan wafat di kayu salib untuk keselamatan kita (sebagai manusia):
Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama daripada segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan melalui Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu daripada segala sesuatu dan segala sesuatu menyatu di dalam Dia. Dialah kepala tubuh, yaitu gereja. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus. Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan menjadi musuh-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya (TB2 dengan penambahan penekanan).
Dialah Allah sang pencipta sekaligus manusia yang wafat di kayu salib. Bagaimana? Karena fenomena apa pun yang kita bicarakan, menemukan sumbernya, tempatnya, atau keduanya di dalam Kristus, pada akhirnya harus dikaitkan dengan satu pribadi ilahi. Inilah mengapa kita dapat mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa Allah telah menjadi manusia, namun Allah tidak berubah.
Posted on 23 July 2024, in Apologetika and tagged St. Thomas Aquinas, Trinitas, Tritunggal, Yesus Kristus. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0