Katolik Berlebihan tentang Maria?

Oleh Clement Harrold

Pemahkotaan Maria (Sumber: stpaulcenter.com)

Bagi banyak dari saudara kita umat Protestan, devosi kepada Bunda Maria menjadi salah satu halangan terbesar bagi mereka untuk menjadi Katolik. Bahkan banyak umat Katolik sendiri mengakui bahwa mereka kesulitan untuk berelasi dengan Maria, atau gagal untuk memahami mengapa Gereja kelihatannya begitu terkagum-kagum dengan Bunda Maria. Yang mendasari kebingungan ini mungkin adalah satu pertanyaan sederhana yang ada di balik semua kebingungan lainnya: Jika umat Katolik benar tentang Maria, lalu mengapa dalam Perjanjian Baru hampir tidak pernah menyebut namanya?

Pertanyaan ini bisa menjadi hambatan intelektual yang cukup besar bagi umat Katolik dan Protestan. Tentu saja, mungkin ada (setidaknya menurut umat Katolik) beberapa argumen penafsiran yang cerdas yang menunjukkan alasan yang masuk akal tentang ajaran Maria Dikandung Tanpa Noda atau Maria Perawan Abadi. Namun, pendekatan tersebut masih mengabaikan tantangan yang jauh lebih besar, yaitu ketiadaan Maria yang nyaris tidak disebutkan sama sekali di dalam Alkitab. Sekali lagi, jika Maria begitu penting, lalu mengapa begitu sedikit namanya disebutkan?

Di sini kita perlu sedikit mundur ke belakang. Berlawanan dengan kepercayaan umum, bukan berarti Bunda Maria nyaris tidak pernah muncul di dalam Alkitab. Dia benar-benar muncul beberapa kali dalam keempat Injil, dan dia digambarkan sebagai tokoh penting tidak hanya pada saat konsepsi dan kelahiran Yesus, tetapi juga pada mukjizat pertama dan pada saat penyaliban-Nya. Terlebih lagi, dalam Kisah Para Rasul, Maria ditunjukkan hadir di Ruang Atas pada hari Pentakosta, dan dapat dikatakan bahwa ia adalah sosok ratu surga yang digambarkan dalam Wahyu 12.

Memang, sebagian besar surat-surat dalam Perjanjian Baru tidak menyebutkan nama Maria, namun tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap pandangan Katolik. Ada banyak doktrin dan devosi penting yang tidak dibahas oleh St. Paulus dan para penulis surat lainnya. Misalnya doktrin tentang keilahian Roh Kudus tidak dinyatakan secara eksplisit di mana pun dalam surat-surat Perjanjian Baru, tetapi tetap saja doktrin ini harus kita terima berdasarkan pembacaan Kitab Suci secara keseluruhan, terutama yang ditafsirkan melalui tradisi Gereja yang hidup.

Hal lain yang perlu diingat di sini adalah bahwa banyak surat-surat dalam Perjanjian Baru ditulis sebelum kitab-kitab Injil, sehingga ketika kita melihat Perjanjian Baru secara keseluruhan, sebenarnya kitab-kitab yang ditulis belakangan seperti Lukas, Kisah Para Rasul, Yohanes, dan Wahyu justru memberikan kita kata-kata terakhir tentang Bunda Maria dan dalam semua kitab-kitab itu, Bunda Maria memegang peranan penting!

Penjelasan ini membawa kita pada poin dasar lainnya, yaitu bahwa seringkali kualitas lebih penting daripada kuantitas dalam menafsirkan Alkitab. Yang penting bukanlah berapa kali suatu hal disinggung, melainkan cara penyajiannya. Menerapkan topik ini pada Bunda Maria, kita dengan cepat menemukan bahwa ia berkali-kali digambarkan sebagai sosok yang sangat penting. (Meskipun kami tidak memiliki ruang di sini untuk membahas bukti-bukti alkitabiah tentang Maria secara rinci, pembaca didorong untuk mengeksplorasi isu-isu ini lebih lanjut melalui saran-saran bacaan yang tercantum di bawah ini).

Berdasarkan hubungan yang erat antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Brant Pitre, seorang cendekiawan Alkitab, secara persuasif menunjukkan bagaimana Lukas dan Yohanes berusaha keras untuk menyoroti Maria sebagai “Hawa yang Baru” yaitu sebagai wanita yang dinubuatkan dalam Kejadian 3:15, yang jawaban “ya” Maria kepada Allah ini bertolak belakang dengan ketidaktaatan Hawa. Ketika dipahami melalui sudut pandang ini, teks-teks Injil yang menyebutkan Maria tiba-tiba diresapi dengan makna baru. Sebagai contoh, keputusan Yesus untuk memanggil Maria dengan sebutan “perempuan” (dalam bahasa Yunani adalah γύναι/gynai yang berarti perempuan, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “ibu”) pada pesta perkawinan di Kana (lihat Yohanes. 2:4), atau di Kalvari (lihat Yohanes 19:26), merupakan referensi langsung kepada ayat Kejadian 3:15.

Oleh karena itu, pembacaan yang cermat terhadap naskah-naskah tentang Maria sering kali menunjukkan bahwa ayat-ayat yang tampaknya hanya menyebut Maria secara singkat atau sepintas lalu sebenarnya merupakan pernyataan yang sarat dengan muatan teologis tentang peran penting yang diminta Allah untuk diperankannya dalam sejarah keselamatan. Kita menemukan contoh-contoh lain yang sarat makna di dalam kitab Lukas 1, di mana Maria digambarkan oleh malaikat Gabriel sebagai yang “penuh rahmat” (Lukas 1:28), atau oleh Elisabet menyebut sebagai “diberkatilah engkau di antara semua perempuan” (Lukas 1:42). Ini bukanlah panggilan yang biasa!

Perhatikan baik-baik bagaimana Gabriel tidak berkata, “Salam, hai engkau yang penuh rahmat” tetapi hanya, “Salam, penuh rahmat, Tuhan menyertai engkau! (terjemahan literal dalam bahasa asli)” Dengan kata lain, istilah “penuh rahmat” (kecharitomene dalam bahasa Yunani berarti “telah dipenuhi sampai penuh dengan rahmat”) digunakan bukan hanya untuk mendeskripsikan Maria, tetapi juga untuk menunjukkan identitasnya. Ini cukup signifikan! Demikian juga, “diberkatilah engkau di antara semua perempuan” adalah bentuk kata superlatif dalam bahasa Ibrani, yang berarti “yang paling diberkati di antara para perempuan.”

Lukas juga berhati-hati dalam mencatat gelar “ibu Tuhanku” (Lukas 1:43), yang diberikan oleh Elisabet kepada Maria. Para ahli melihat hal ini sebagai sesuatu yang signifikan karena dalam tulisan Lukas, sebutan “Tuhan” digunakan secara bergantian dengan “Allah.” Oleh karena itu, keputusan Gereja perdana untuk menyebut Maria sebagai Theotokos atau “Bunda Allah,” didukung oleh kitab-kitab Injil.

Teks-teks lain tentang Maria yang memiliki implikasi yang besar adalah yang menggambarkan Maria sebagai Tabut Perjanjian yang baru. Sebagaimana Tabut dalam Perjanjian Lama adalah tempat kediaman Allah, demikian juga dalam Perjanjian Baru, Maria menjadi tabernakel yang hidup di mana Tritunggal Mahakudus tinggal. Sebagaimana tempat kediaman Allah dalam Perjanjian Lama ditutupi oleh awan kemuliaan (lihat Keluaran 24:15-16; 40:34-38; 1 Raja-raja 8:10), demikian juga Maria diberitahu bahwa ia akan dinaungi oleh Roh Kudus (lihat Lukas 1:35).

Demikian pula, ketika Lukas menuliskan detail yang seolah-olah acak bahwa setelah kunjungan itu Maria tinggal bersama Elisabet selama “kira-kira tiga bulan” (Lukas 1:56), ia dengan jelas merujuk pada 2 Samuel 6:11, di mana Tabut itu digambarkan tinggal di rumah Obed-Edom selama tiga bulan. Dan sama seperti Raja Daud yang melompat kegirangan di depan Tabut itu (lihat 2 Samuel 6:15-16), demikian juga Yohanes Pembaptis melompat kegirangan di dalam rahim Elisabet ketika ia mendengar suara Maria (lihat Lukas 1:41-42).

Di dalam kitab Wahyu, identifikasi Maria sebagai Tabut Perjanjian yang baru dibuat lebih atau kurang eksplisit. Bandingkanlah secara berdampingan ayat terakhir dari bab 11 dan dua ayat pertama dari bab 12:

Lalu terbukalah Bait Suci Allah yang di surga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu, dan kilat pun memancar, bunyi guruh menderu, dan terjadilah gempa bumi dan hujan es lebat. Kemudian tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang mengandung dan berteriak dalam kesakitan dan dalam derita untuk melahirkan (Wahyu 11:19-12:1-2 TB2).

Meskipun para penafsir Protestan sering kali mencoba menafsirkan perempuan dalam perikop ini sebagai Israel atau Gereja, namun jelas bahwa ia juga dapat dipahami sebagai Maria, dengan alasan sederhana bahwa ia melahirkan Allah-Manusia (lihat Wahyu 12:5)! Tetapi jika ini adalah Maria, maka ada hubungan yang erat dan tidak dapat disangkal antara Maria dan Tabut Perjanjian.

Tidak perlu diragukan lagi, masih banyak lagi yang dapat dikatakan tentang semua topik ini. Tujuan dari artikel ini bukanlah untuk mengakhiri semua perdebatan eksegetis mengenai peran Maria, tetapi hanya untuk menjawab pertanyaan mengapa Maria kurang begitu sering disebut dalam Alkitab. Untuk itu, kita harus menyadari, pertama, bahwa Maria sebenarnya cukup sering disebut dalam Kitab-Kitab Injil; dan kedua, bahwa cara Maria ditampilkan dalam Kitab-Kitab Injil (dan juga dalam Kisah Para Rasul dan Wahyu) sangat signifikan.

Jangan sampai kita lupa, Maria adalah sosok perempuan yang ketaatannya yang sempurna pada kehendak Allah yang telah membalikkan dosa Hawa (lihat Lukas 1:38), sosok perempuan yang dipenuhi dengan kasih karunia (lihat Lukas 1:28), sosok perempuan yang dinaungi Roh Kudus (lihat Lukas 1:34), sosok perempuan yang terberkati di antara kaum perempuan (lihat Lukas 1:42), sosok perempuan yang akan disebut berbahagia di segala keturunan (lihat Lukas 1:48): 42), perempuan yang hati keibuannya menggerakkan Yesus untuk memulai pelayanan-Nya (lihat Yohanes 2:5), perempuan yang ditugaskan oleh Yesus sebagai seorang ibu bagi para murid yang paling dikasihi-Nya (lihat Yohanes 19:27), dan perempuan yang digambarkan sebagai seorang ibu rohani bagi semua orang beriman (lihat Wahyu 12:17).

Singkatnya, Maria menerima status yang jauh lebih tinggi daripada tokoh-tokoh lain dalam Alkitab, sehingga Maria harus diperhatikan lebih serius oleh semua orang Kristen.

 

Rekomendasi bacaan:

 

Clement Harrold adalah seorang mahasiswa pascasarjana dalam bidang teologi di Universitas Notre Dame. Tulisan-tulisannya telah dimuat di First Things, Church Life Journal, Crisis Magazine, dan Washington Examiner. Ia memperoleh gelar sarjana dari Universitas Fransiskan Steubenville pada tahun 2021.

 

Sumber: “If Catholics are Right about Mary, Why is She Talked About so Little in the Bible?”

Posted on 3 October 2024, in Apologetika and tagged . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.