[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Kekudusan Perkawinan
Oleh Kimberly Hahn

Ikatan Perkawinan (Sumber: stpaulcenter.com)
Peradaban kita sedang mengalami keruntuhan dari dalam, salah satu penyebabnya adalah perceraian tanpa kesalahan (perceraian yang dilakukan tanpa adanya kesalahan dari salah satu pihak atau kedua pihak, kedua pihak sepakat bercerai tanpa alasan yang jelas). Banyak selebritas yang terkesan mengolok-olok perkawinan, dengan berbagai pesta perkawinan yang mewah, perselingkuhan yang diberitakan di media, dan pertengkaran di pengadilan untuk mendapatkan hak asuh anak. Mungkin perjuangan mereka lebih besar daripada perjuangan orang pada umumnya, karena mereka berusaha menyeimbangkan antara ketenaran, tuntutan karir dan kehidupan pribadi mereka. Namun demikian, apa yang dimulai di Hollywood empat puluh tahun yang lalu adalah norma yang saat ini terjadi di banyak kalangan masyarakat.
Bahkan orang-orang yang rajin ke gereja, termasuk juga umat Katolik, kini memiliki tingkat perceraian yang sama tingginya dengan umat non-Kristen. Siapa yang menjadi teladan bagi siapa? Alih-alih menetapkan standar perkawinan seperti yang Allah kehendaki, orang-orang Kristen membiarkan budaya mempengaruhi cara mereka menjalin dan memutuskan perkawinan.
Beberapa orang memandang perkawinan dengan cara yang sama seperti gladi resik pertunjukan yang memikirkan tentang tata lampu, kostum, dan tata rias untuk pertunjukan, termasuk semua dialog yang dihafalkan dan dibawakan, bukan seperti pementasan pertunjukan sesungguhnya. Ada sebuah frasa yang dipopulerkan oleh Pamela Paul, yaitu “perkawinan pemula” yang istilah tentang perkawinan tanpa anak antara pasangan berusia di bawah tiga puluh lima tahun, dalam usia perkawianan kurang dari lima tahun. Pasangan muda ini memiliki pandangan ideal tentang perkawinan dan pandangan yang minim tentang perceraian mereka “mencoba” untuk menjajaki hidup perkawinan.
Bukannya memahami tentang hak, tanggung jawab, dan risiko dari komitmen hidup mereka satu sama lain dan melihat tindakan perkawinan sebagai ekspresi cinta pada seseorang yang baru, pasangan-pasangan ini justru berfokus kepada satu sama lain secara eksklusif.
Memisahkan tindakan perkawinan dari perkawinan membuat orang membuat pilihan yang buruk untuk pasangan mereka. Pakar bioetika Janet Smith berkomentar, “Ketika mereka memutuskan untuk melangsungkan perkawinan, mereka sering kali hanya mengawini pasangan seksual yang sudah biasa mereka lakukan. Ketertarikan seksual dan kecocokan seksual menjadi fondasi utama bagi sebuah hubungan.” Mereka tidak ingin gagal, tetapi mereka sangat mengutamakan kesenangan sehingga rasa sakit, kesulitan, stres, dan tantangan menjadi alasan untuk mengurangi kegagalan dan melanjutkan hidup.
Jika orang-orang ini memahami perkawinan sebagai sesuatu yang berlangsung seumur hidup, apakah pilihan mereka akan berbeda?
Tidak seperti agama-agama lain di dunia, sejak awal Kekristenan sudah mewajibkan perkawinan monogami, namun banyak cabang Kekristenan yang menerima perceraian sebagai sebuah fakta kehidupan, yang memungkinkan adanya semacam poligami berseri: lebih dari satu pasangan, namun hanya satu pada satu periode. Berbagai cabang Gereja Ortodoks mengizinkan penerimaan Komuni setelah tiga kali perceraian dan perkawinan dengan istri keempat. Sebagian besar dari dua puluh enam ribu denominasi Protestan menerima otoritas negara untuk memutus ikatan perkawinan, dan sebagian besar tidak melarang komuni. Meskipun perceraian tidak pernah dianjurkan, perkawinan kembali diperbolehkan.
Ajaran Kristus tentang perkawinan yang tidak dapat diceraikan tidak pernah ditentang sampai Erasmus menyampaikan pandangan yang berbeda pada abad ke-16. Pada tahun-tahun setelah Reformasi, para penulis dan teolog Protestan setuju bahwa perkawinan kembali setelah perceraian seharusnya diperbolehkan, meskipun para tokoh itu tidak sepakat mengenai apa yang menjadi alasan yang sah. Pada tahun 1539, Luther, Melancthon dan yang lainnya bahkan menandatangani surat kepada seorang pangeran Jerman bernama Philip dari Hesse yang isinya memberikan anjuran untuk mempertimbangkan poligami dengan gundiknya daripada terus berzinah.
Gereja Katolik pada masa Reformasi dan hingga saat ini mempertahankan ajaran yang sama tentang perkawinan, perceraian, dan perkawinan kembali. Ajaran ini akan tetap sama: Tidak ada lobi apa pun yang dapat mengubahnya, dan tidak ada seorang paus pun di masa yang akan datang bisa membatalkannya.
Penegasan-Nya bahwa tali Perkawinan tidak dapat diputuskan, menimbulkan kebingungan dan dianggap satu tuntutan yang tidak dapat dipenuhi. Tetapi Yesus tidak meletakkan kepada suami isteri beban yang tidak terpikulkan, yang lebih berat lagi daripada peraturan Musa. Dengan memperbaiki tata ciptaan awal yang telah diguncangkan oleh dosa, Ia sendiri memberi kekuatan dan rahmat, untuk dapat menghidupkan Perkawinan dalam sikap baru Kerajaan Allah. Kalau suami isteri mengikuti Kristus, menyangkali diri sendiri dan memikul salibnya mereka akan “mengerti” arti asli dari Perkawinan dan akan dapat hidup menurutnya dengan pertolongan Kristus. Rahmat Perkawinan Kristen ini adalah buah dari salib Kristus, sumber setiap penghayatan Kristen (KGK 1615).
Selama berabad-abad, umat Kristiani dari berbagai tingkat kecerdasan, talenta, dan kekayaan telah menghidupi kebenaran ini dengan kasih karunia Allah. Yesus memberikan ajaran-Nya tentang perkawinan di tengah-tengah “angkatan yang tidak setia dan berdosa” (Markus 8:38; lihat Matius 12:39), sehingga tantangan-tantangan yang muncul pada zaman kita tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan ajaran Gereja. Bahkan pasangan-pasangan yang tidak beragama di banyak negara tetap setia dalam perkawinan. Seberapa besar kesetiaan yang mungkin terjadi dalam perkawinan yang diberdayakan oleh rahmat sakramental?
Bapa surgawi kita yang penuh kasih memberikan ajaran tentang perkawinan ini untuk memberkati kita dan bukan untuk mempersulit atau bahkan membuat hidup kita menjadi sia-sia. Dia menetapkan batasan-batasan untuk perkawinan yang memungkinkan terjadinya persatuan dan persekutuan. Dia menawarkan kepada kita suatu visi tentang apa yang mungkin terjadi dan kemudian menjanjikan kasih karunia-Nya untuk membantu kita dalam menjalani kehidupan.
Dengan demikian ikatan Perkawinan diikat oleh Allah sendiri, sehingga Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis yang sudah diresmikan dan dilaksanakan, tidak pernah dapat diceraikan. Ikatan ini, yang timbul dari keputusan bebas suami isteri dan dari pelaksanaan Perkawinan, selanjutnya adalah kenyataan yang tidak dapat ditarik kembali dan membentuk satu perjanjian yang dijamin oleh kesetiaan Allah. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan ilahi ini (KGK 1640).
Kesetiaan Allah adalah dasar dari kesetiaan kita. Dan kita perlu menyampaikan visi ini kepada dunia.
Sumber: “The Sanctity of Marriage”
Posted on 22 October 2024, in Keluarga and tagged Monogami, Perkawinan. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0