Maria Bunda Siapa?

oleh Karlo Broussard

Maria, Bunda Allah (Sumber stpaulofthecross.com)

Ketika umat Katolik mengatakan bahwa Maria adalah Bunda Allah, apa artinya?

Orang-orang Kristen yang percaya bahwa Maria adalah Bunda Allah sering kali menggunakan argumen tiga langkah seperti ini:

Premis 1: Maria adalah Bunda Yesus.
Premis 2: Yesus adalah Allah.
Kesimpulan: Oleh karena itu, Maria adalah Bunda Allah.

Sesederhana itu, bukan? Beberapa teman-teman Protestan berkata, “Tidak juga!”

Matt Slick, seorang apologis Protestan, dalam artikelnya berargumen, “Ada kesalahan berpikir (logical fallacy) dalam argumen bahwa Maria adalah Bunda Allah,” argumen di atas mengandung kesalahan ekuivokasi, yaitu ketika satu kata atau beberapa kata berubah makna dalam satu argumen.

Kata mana yang menurut Slick digunakan dengan arti yang berbeda? Allah. Dia menulis demikian,

Ketika kita berkata bahwa Yesus adalah Allah, kita menegaskan bahwa Yesus memiliki kodrat ilahi dan juga kodrat manusiawi. Oleh karena itu, kata “Allah” di sini harus merujuk kepada kodrat ilahi, hakikat ilahi.

Kemudian Slick menanyakan bagaimana umat Katolik menggunakan istilah Allah dalam kesimpulannya:

Dalam pengertian apa istilah “Allah” digunakan di sini? Apakah itu berarti Allah dalam esensi ilahi? … Dalam arti apa kata “bunda” digunakan di sini? Apakah itu berarti bahwa dia adalah bunda dari hakikat ilahi?

Slick memang benar menyimpulkan bahwa “Allah” tidak dapat digunakan untuk merujuk kepada kodrat ilahi, karena jika demikian Maria ada sebelum kodrat ilahi, dan ini tidak masuk akal. Bahkan kita bisa saja mendukung alasan Slick dan mengatakan bahwa bunda bukanlah bunda dari kodrat, melainkan bunda dari pribadi, dan pemikiran bahwa Maria adalah bunda dari kodrat ilahi bukanlah sesuatu yang dimaksudkan dalam dogma tersebut.

Slick pun bertanya, “Jadi, bagaimana [Allah] maksudnya?” Dengan adanya ambiguitas, ia menyimpulkan, “Ketidakjelasan adalah masalahnya.”

Untuk memperkuat argumen Slick, bukan hanya ketidakjelasan yang menjadi masalah, tetapi juga pergeseran makna yang tampak dari istilah Allah. Karena dalam kesimpulannya istilah tersebut tidak dapat berarti kodrat ilahi, sesuai dengan alasan Slick di atas (dan alasan kami), maka kesimpulannya haruslah mengalihkan makna dari kodrat ilahi menjadi sesuatu yang lain seperti yang diterapkan pada Yesus dalam premis kedua, dan dengan demikian melakukan kesalahan ekuivokasi.

Jadi apa yang bisa kita katakan sebagai tanggapan?

Nah, Slick meleset ketika ia berpikir bahwa istilah Allah dalam premis kedua digunakan untuk merujuk pada kodrat ilahi. Mungkin begitulah cara orang Kristen menggunakan istilah tersebut dalam konteks lain ketika berbicara tentang keilahian Yesus. Namun, bukan itu yang digunakan dalam konteks ini, ketika memperdebatkan Maria sebagai Bunda Allah.

Mohon maafkan saya sejenak!

Slick benar dalam berpikir bahwa istilah Allah dapat dan memang digunakan untuk merujuk pada kodrat ilahi, yang merupakan realitas ilahi itu sendiri, atau wujud ilahi itu sendiri [ipsum esse subsistens (wujud subsisten itu sendiri)], yang mana ketiga pribadi itu identik.

Tetapi, Slick melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa Allah digunakan hanya untuk merujuk pada kodrat ilahi, atau setidaknya berpikir bahwa itulah yang digunakan oleh para pembela Bunda Allah dalam argumen di atas.

Tetapi istilah Allah juga dapat digunakan dalam arti pribadi, dengan kata lain istilah ini dapat digunakan untuk merujuk kepada pribadi yang kepada-Nya kita memanjatkan doa, pujian, dan penyembahan, sosok pribadi yang mendatangkan dampak-dampak ciptaan tertentu, dan pribadi yang berdiri dalam relasi tertentu dengan pribadi-pribadi lain dalam Tritunggal. Dalam pengertian ini, Allah dapat disebut sebagai Bapa, Putra, atau Roh Kudus.

Alasannya adalah karena ketiga pribadi tersebut identik dengan wujud ilahi. Jadi istilah Allah, yang pada awalnya merujuk kepada kodrat ilahi, kemudian bergeser untuk merujuk kepada pribadi-pribadi dalam Tritunggal untuk menandakan bahwa ketiganya ilahi, karena ketiganya identik dengan kodrat ilahi.

Sebagai contoh, Yesus berkata tentang Bapa, “Aku akan naik kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu” (Yohanes 20:17 TB2). Tomas berkata tentang Yesus, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yohanes 20:28). Ketika berbicara tentang Roh Kudus yang memberikan berbagai karunia, seperti pengetahuan, nubuat, bahasa lidah, mukjizat, dan sebagainya (ayat 7-11), Paulus berkata, “Allah yang sama juga yang mengerjakan semuanya dalam semua orang” (1 Korintus 12:6 TB2).

Maka Allah dapat digunakan untuk merujuk kepada pribadi tertentu dari Tritunggal tanpa secara kaku mengidentifikasi kodrat ilahi itu sendiri.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa ada beberapa hal kita harus menggunakan kata Allah untuk merujuk hanya kepada Putra Ilahi, seperti “Allah” menderita, “Allah” tertawa, “Allah” wafat, dan “Allah” dilahirkan (lihat Galatia 4:4). Hal ini terjadi karena hanya Putra Ilahi yang mengambil kodrat sebagai manusia.

Jadi, dalam argumen kita di atas, ketika kita berkata, “Yesus adalah Allah,” Allah digunakan secara khusus untuk merujuk kepada Pribadi Kedua Tritunggal, yaitu Sang Putra Ilahi, sehingga pernyataan “Yesus adalah Allah” berarti “Yesus adalah Sang Putra Ilahi.”

Oleh karena itu, dalam kesimpulan kami, “Maria adalah Bunda Allah,” Allah digunakan secara khusus untuk merujuk kepada Pribadi Kedua Tritunggal, yaitu Sang Putra Ilahi, sehingga pernyataan “Maria adalah Bunda Allah” berarti “Maria adalah Bunda Sang Putra Ilahi.”

Dan karena kita telah menetapkan sungguh yang tepat untuk menyematkan istilah Allah kepada Sang Putra Ilahi dalam pengertian pribadi, maka adalah hal yang tepat juga untuk menyebut Maria sebagai Bunda Allah, karena ia adalah bunda dari Sang Putra Ilahi, Yesus.

Saya pikir kita semua dapat memetik pelajaran dari sanggahan Slick. Pertama, kita harus berhati-hati dalam memperjelas makna dari istilah-istilah yang kita gunakan ketika kita menyampaikan argumen kita, agar tidak menimbulkan kebingungan. Kedua, kita harus berhati-hati untuk melihat dengan tepat bagaimana sebuah istilah digunakan oleh sebuah komunitas dalam sebuah argumen sebelum kita mengkritisinya.

Tentu saja, ini adalah pelajaran yang tidak hanya berlaku untuk argumen untuk mempertahankan Maria, Bunda Allah, tetapi juga untuk semua argumen. Jangan biarkan kesempatan untuk bertumbuh sebagai seorang apologis berlalu begitu saja.

 

Sumber: “Mary, Mother of Whom?”

Posted on 4 January 2025, in Apologetika and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.