Pengakuan Iman Tidak Dapat Menyelamatkan Protestanisme

oleh Casey Chalk

(Sumber: catholic.com)

Ketika seorang Protestan bersikeras bahwa dirinya bukanlah paus bagi dirinya sendiri, bagaimana seorang Katolik menanggapinya?

Para apologis Katolik berpendapat bahwa orang-orang Protestan sebenarnya bertindak sebagai paus bagi dirinya sendiri. Menurut kami, alasannya adalah karena setiap orang Protestan pada akhirnya bertanggung jawab atas penafsiran wahyu ilahi secara pribadi, yang bagi orang Protestan adalah Alkitab Protestan yang terdiri dari enam puluh enam kitab. Menurut kami, setiap orang Protestan bertindak sebagai otoritas magisterialnya sendiri, baik dalam menafsirkan Alkitab maupun dalam memutuskan kitab mana yang merupakan daftar isi Alkitab, mengingat penolakan mereka terhadap Deuterokanonika.

Tetapi tidak begitu, kata teman-teman Protestan kita! Mereka seperti halnya umat Katolik, memiliki pengakuan-pengakuan iman dan kredo-kredo yang harus mereka patuhi. Carl R. Trueman, salah seorang intelektual yang paling brilian dan menarik dalam Protestanisme modern, tahun lalu mendesak rekan-rekannya sesama umat Protestan untuk kembali kepada “doktrin-doktrin Kristen ortodoks sebagaimana yang ditetapkan oleh pengakuan-pengakuan iman, Tradisi Besar teologi yang dicontohkan oleh konsili-konsili ekumenis kuno, dan pengakuan-pengakuan Protestan tradisional seperti Pengakuan Iman Westminster.” Kim Riddlebarger, pembawa acara podcast White Horse Inn yang terkenal, menyatakan, “Jika Anda bertanya, Apa yang mendefinisikan Kekristenan?’ Jawaban saya saat ini adalah ‘definisi Kekristenan disampaikan kepada kita dalam Pengakuan Iman.’”

Baru-baru ini ada seorang teman mengirimi saya sebuah video dari apologis awam Methodist, Joshua Pearsall, yang membuat argumen yang sama dengan mengacu pada buku saya, The Obscurity of Scripture. Dengan mengutip standar-standar pengakuan iman dari denominasi-denominasi seperti Anglikan, Presbiterian, Lutheran, dan tradisi Methodistnya sendiri, Pearsall menegaskan, “Anda secara harfiah tidak dapat menjadi paus bagi diri Anda sendiri. Anda bertanggung jawab terhadap standar tradisi Anda dan tentu saja Kitab Suci di atasnya.” Yang lainnya, seperti cendekiawan Reformed Matthew Barrett dalam karyanya yang baru-baru ini berjudul The Reformation as Renewal: Retrieving the One, Holy, Catholic, and Apostolic Church, menyatakan hal yang sama.

Saya dapat menghargai pemikiran di balik argumentasi Protestan ini. Tentu saja, saya akan mengatakan hal yang sama lima belas tahun yang lalu ketika saya masih menjadi mahasiswa seminari Presbiterian. Tentu saja saya tidak seperti para evangelis low-church1 yang tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki pengetahuan tentang sejarah gereja, tidak memiliki pengetahuan tentang Nikea atau Kalsedon, bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang leluhur teologis Protestan mereka sendiri. Saya dengan penuh semangat tunduk pada Standar Westminster, karena saya percaya bahwa standar-standar tersebut merupakan interpretasi yang akurat dari kebenaran Alkitab.

Namun, saya akhirnya menyadari bahwa itulah masalahnya. Saya berpegang pada dokumen-dokumen pengakuan iman Reformed berdasarkan kesesuaiannya dengan Kitab Suci, tetapi penafsiran siapa yang benar? Pada akhirnya adalah tafsiran saya sendiri. Ini juga bukan pemahaman baru yang saya miliki tentang bagaimana cara kerja segala sesuatu dalam paradigma Protestan. Justru inilah cara kerja yang seharusnya.

Contohnya, mengapa saya menjadi seorang Presbiterian dan bukannya seorang Anglikan, Lutheran, atau Metodis? Mengapa saya tunduk pada Pengakuan Iman Westminster (Presbiterian) dan bukan pada Tiga Puluh Sembilan Pasal (Gereja Anglikan), Pengakuan Iman Augsburg (Lutheran), atau Articles of Religion and Confession of Faith /25 Pasal Agama dan Pengakuan Iman (United Methodist)? Karena saya, sebagai seorang Kristen yang teliti dan “percaya Alkitab,” telah menetapkan bahwa dokumen-dokumen pengakuan iman khusus dari Gereja Presbiterian di Amerika (PCA) cukup alkitabiah untuk membuat saya layak menerima kesetiaan saya. Para pendeta dan profesor saya mengatakan kepada saya bahwa jika saya percaya bahwa denominasi Protestan lain lebih sesuai dengan Alkitab, saya harus mengikuti hati nurani saya dan pindah ke sana.

Siapa yang menjadi pengendali penafsiran dalam skenario seperti itu? Tentu saja orang Kristen itu sendiri. Jika Carl Trueman, Kim Riddlebarger, Matthew Barrett, atau orang Kristen Protestan lainnya membaca Alkitabnya dan kemudian meyakini bahwa tradisi Protestan yang dianutnya beserta dokumen-dokumen pengakuannya adalah keliru, maka ia memiliki hak prerogatif untuk memprotes kekeliruan tersebut di dalam denominasinya sendiri atau, jika ia memandangnya sebagai kekeliruan yang cukup parah, ia dapat bergabung dengan komunitas gereja yang berbeda. Ia bahkan mungkin merasa terdorong untuk mendirikan komunitas gerejanya sendiri.

Dan hal ini tidak hanya menjelaskan lima ratus tahun sejarah perpecahan Protestan, tetapi juga ledakan yang luar biasa dari gereja-gereja injili non-denominasi berdasar pada Alkitab dalam beberapa generasi terakhir. Semuanya mengaku hanya ingin kembali kepada dasar-dasar Kitab Suci, dan semuanya mau tidak mau menawarkan doktrin dan penerapan Kristen yang berbeda-beda.

Memang, saya menduga bahwa banyak atau bahkan sebagian besar orang Protestan tidak bermaksud demikian. Mereka tidak ingin menjadi individualis postmodern yang menentukan realitas untuk diri mereka sendiri. Mereka ingin tertanam dalam sejarah dan tradisi Kekristenan. Itulah sebabnya mereka terus-menerus mengutip tidak hanya tokoh-tokoh Reformasi seperti Luther, Calvin, Turretin, Cranmer, dan Owen, tetapi juga para Bapa Gereja seperti Irenaeus, Hieronimus, dan Agustinus. Apa yang dimiliki oleh umat Katolik dan Protestan yang berpikiran tradisional adalah keinginan untuk bersatu dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri, sebuah kecenderungan untuk mencintai yang kuno dan mulia. Kita semua ingin percaya bahwa iman kita tidak lahir kemarin, tetapi diturunkan dari para rasul.

Pertanyaannya adalah apakah paradigma Protestan dalam berbagai bentuknya benar-benar sanggup melakukannya secara koheren. Apa yang saya sadari hampir lima belas tahun yang lalu adalah tidak, tidak bisa. Bahkan Pearsall dalam video-video YouTube-nya yang berusaha menyanggah buku saya tidak dapat tidak melemahkan posisinya, dengan mengakui bahwa banyak orang Protestan yang gagal menghormati standar-standar pengakuan iman mereka sendiri … dan kemudian dengan segera mengakui bahwa standar-standar pengakuan iman tidaklah sempurna dan “dapat dikoreksi di kemudian hari bila diperlukan.” Dikoreksi menurut standar apa? Standar penafsiran individu terhadap Kitab Suci.

Dengan kata lain, kredo-kredo Protestan dan standar-standar pengakuan iman hanya memiliki otoritas sebesar yang mau diberikan oleh orang-orang Protestan. Jika seorang Protestan menganggapnya tidak memadai, dengan alasan apa pun yang berkaitan dengan hati nuraninya, ia dapat mengubah atau bahkan membuangnya. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk kredo-kredo Protestan abad keenam belas dan ketujuh belas, tetapi juga untuk konsili-konsili ekumenis Gereja kuno. Inilah sebabnya mengapa orang Protestan memilih-milih konsili ekumenis mana yang mereka terima. Bahkan, banyak orang Protestan yang berpendapat bahwa bagian-bagian dari Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel tidak alkitabiah dan tidak perlu diterima. Lalu mengapa tidak?

Umat Katolik tidak berada dalam posisi paradigmatik yang sama. Kita tidak memilih-milih konsili atau kredo mana yang harus kita ikuti. Kita menerima otoritas Magisterium Gereja Katolik secara total, karena kita mengakui bahwa otoritas tersebut telah diberikan oleh Kristus sendiri, yang dipelihara oleh Roh Kudus. Pengakuan seperti itu membutuhkan suatu tindakan iman, tetapi didasarkan pada bukti dan alasan, terutama motif kredibilitas. Dan, tidak seperti Protestan, yang otoritas penafsirannya atas wahyu ilahi terletak pada hati nurani setiap orang Kristen, umat Katolik mengakui adanya Magisterium yang hidup, yang suaranya dimanifestasikan tidak hanya melalui konsili-konsili ekumenis, tetapi dalam situasi-situasi tertentu yang terbatas yaitu melalui paus yang hidup.

Pengakuan iman tidak dapat menyelamatkan Protestanisme dari kejatuhannya yang tak terelakkan ke dalam individualisme yang menyamakan setiap orang Kristen sebagai paus bagi dirinya sendiri. Hanya Gereja Katolik dengan otoritas magisterialnya yang koheren secara internal dan dapat diverifikasi secara historis yang dapat menyelesaikan dilema Protestan dan memberinya kepastian bahwa ia benar-benar mengikuti Kristus dan kepenuhan ajaran-Nya, dan bukannya mengikuti keinginan (yang sering kali bermaksud baik) dari hati nuraninya sendiri.

Catatan kaki:

  1. Low-church adalah istilah yang mengacu pada aliran-aliran yang tidak atau kurang menekankan ritual atau liturgi, tetapi lebih menekankan pada khotbah, keselamatan pribadi, dan pertobatan pribadi.

Sumber: “Creeds Can’t Save Protestantism”

Posted on 8 January 2025, in Apologetika and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.