[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Andreas Kim Gwang-ok
Profil Singkat
- Tahun dan tempat Lahir: 1741, Yesan, Chungcheong-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Walikota dari keluarga kelas menengah
- Usia: 60 tahun
- Tanggal Kemartiran: 25 Agustus 1801
- Tempat Kemartiran: Yesan, Chungcheong-do
- Cara Kemartiran: Dipenggal
Andreas Kim Gwang-ok lahir di Yeosaul, Yesan, Chungcheong-do di keluarga kelas menengah. Dia menjabat sebagai walikota untuk waktu yang lama. Dia seorang yang berbakat, namun orang-orang takut kepadanya karena sifat dia yang cukup kejam. Fransiskus Kim Hui-seong yang menjadi martir pada tahun 1816 di Daegu, adalah putranya.
Andreas Kim mempelajari Katekismus dari tetangganya, Luis Gonzaga Yi Jon-chang. Dia dibaptis dan diberikan nama Kristen, yaitu Andreas. Pada saat itu dia berusia sekitar 50-an. Orang-orang yang mengetahui sifatnya cukup terkesima mendengar bahwa dia menjadi seorang Katolik.
Setelah itu, Andreas Kim menjalankan ajaran agama Katolik dengan setia dan dia mewartakan Injil dengan penuh semangat. Setiap hari dia mendoakan doa pagi dan sore bersama umat beriman lainnya. Setiap tahun, selama masa Prapaskah, dia berpantang dari makanan dan melakukan berbagai pengorbanan dan melakukan kebajikan. Dengan cara ini, dia berangsur-angsur mengatasi sifat kejamnya dan menjadi sabar dan lembut seperti domba.
Ketika Penganiayaan Shinyu terjadi pada tahun 1801, Andreas Kim melarikan diri ke Gunung Museong bersama kerabatnya Petrus Kim Jeong-deuk yang sudah mengubah keyakinannya ke agama Katolik, mereka membawa buku-buku Katolik dan artikel rohani. Disana, dia dan Petrus Kim mengabdikan hidup mereka hanya untuk menjalankan ajaran Katolik dan berdoa. Polisi berhasil menemukan mereka dengan mudah, karena nama mereka dikenal oleh banyak orang. Kemudian, Andreas dikirim ke Yesan, sedangkan Petrus Kim ke Hongju.
Ketika Andreas Kim Gwang-ok tiba di Yesan, tak lama kemudian, hakim dari Yesan memerintahkan agar dia memberitahukan nama-nama rekannya dan untuk membawa seluruh buku Katolik, namun dia menolaknya. Selama interogasi kedua, dia menunjukkan kegagahberanian dia dengan mengakui imannya kepada Tuhan dengan berkata:
“Seluruh janji dan ancaman anda tidak berguna bagi saya. Jangan meminta saya lagi untuk menyangkal agama saya. Seorang yang setia tidak akan mengabdi kepada dua tuan, ataupun seorang istri yang setia akan memiliki dua suami. Dapatkan tuan tidak taat kepada perintah raja tuan? Begitu juga saya yang tidak ingin melanggar Perintah Tuhan saya. Saya tidak dapat menghianati Tuhan, Raja dan Bapa kami. Jika, saya ulangi sepuluh ribu kali bahwa hal itu tidak benar. Tuhan saya Yesus Kristus mengetahui pikiran, emosi, dan maksud rahasia saya, sehingga saya tidak dapat untuk melakukan dosa itu bahkan dalam kerahasiahatian saya.”
Mendengar pernyataan itu, hakim memerintahkan agar dia dipukuli sampai dia tumbang dan pingsan, namun semuanya tidak berarti. Selama interogasi dan siksaan yang ketiga dan keempat, dia tetap sama.
Kemudian Andreas Kim dan Petrus Kim dipindahkan ke Cheongju berdasarkan perintah gubernur. Kedua orang Katolik yang berani ini saling menguatkan satu dan lainnya dengan kata-kata yang penuh iman dan menahan penderitaan demi cintanya kepada Tuhan. Dari sana mereka dikirim ke Seoul, dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 21 Agustus 1801 (13 Juli pada penanggalan Lunar). Berikut ini adalah kalimat yang ditambahkan pada surat hukuman mati mereka; “Pendosa harus dikirimkan ke Yesan dan Daeheung, kampung halaman mereka untuk dipenggal.” Berikut ini adalah surat hukuman mati mengenai Andreas Kim Gwang-ok:
“Kim Gwang-ok sangat dalam menjiwai agama Katolik bahkan dia melepaskan pekerjaannya dan meninggalkan kampung halamannya. Dia tinggal di tempat persembunyiannya, mempelajari dan mengingat doktrin Katolik sendirian. Dia menyembunyikan benda rohani agama Katolik. Dia tidak takut akan hukum negara, dan dia tidak dapat mengabaikan Sepuluh Perintah Allah. Dia menyatakan niatnya yang murni untuk mati bagi Tuhan dengan tulus hati, dan berkata ‘Kematian hanya terjadi sekali dalam hidup saya.’ Dengan mempertimbangkan dosanya yang berat ini dia layak mati sepuluh ribu kali.”
Dalam perjalannnya ke Yesan, Andreas Kim dan Petrus Kim sudah sangat kelelahan oleh karena siksaan yang kejam, bahkan mereka sudah tidak dapat berjalan. Namun, wajah mereka tampak gembira dan tenang, berkat keberanian dan kekuatan yang Tuhan berikan bagi mereka. Ketika saatnya tiba untuk berpisah, mereka saling memegang tangan seperti yang sudah dijanjikan oleh mereka. Mereka saling mengucapkan selamat tinggal dengan berkata, “Mari kita bertemu lagi di Surga besok, pada siang hari.”
Pada hari berikutnya, Andreas Kim dibawa oleh tandu ke tempat eksekusi di Yesan. Dia berdoa Rosario dengan suara nyaring selama di perjalanan. Ketika sampai di tempat tujuan, dia berkata kepada algojo: “Mohon tunggu sebentar.” Dia berlutut di tanah dan berdoa dengan suara nyaring. Ketika dia selesai berdoa dia meletakkan kepalanya di bantal kayu dan memberikan hidupnya pada tebasan kedua. Pada saat itu tanggal 25 Agustus 1801 (17 Juli pada penanggalan Lunar). Saat itu, Andreas Kim berusia sekitar 60 tahunan.
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 12 December 2014, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 2 Comments.
Pingback: Beato Fransiskus Kim Hui-seong | Terang Iman
Pingback: Beato Petrus Kim Jeong-deuk | Terang Iman