Beata Maria Yi Seong-rye

Beata Maria Yi Seong-­rye (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Beata Maria Yi Seong-­rye (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Profil Singkat

  • Tahun lahir: 1801
  • Tempat Lahir: Hongju, Chungcheong-do
  • Gender: Wanita
  • Posisi/Status: Keluarga kelas bangsawan
  • Usia: 39 tahun
  • Tanggal Kemartiran: 31 Januari 1840
  • Tempat Kemartiran: Danggogae, Seoul
  • Cara Kemartiran: Dipenggal

Maria Yi Seong-rye lahir pada tahun 1801 di Hongju, Chungcheong-do. Dia berasal dari keluarga Luis Gonzaga Yi Jon-chang, seorang rasul yang saleh di wilayah Naepo. Maria Yi seorang yang cerdas dan memiliki kepribadian yang kuat. Dia menikah dengan dengan Santo Fransiskus Choe Kyeong-hwan ketika dia berusia 18 tahun. Dia tinggal di Saeteo, Darakgol, Hongju (sekarang Nongam-ri, Hwangseong-myeon, Cheongyang-gun, Chungnam). Dia melahirkan putra pertamanya, Thomas Choe Yang-up pada tahun 1821, yang kemudian hari menjadi imam kedua Korea.

Maria Yi seorang ibu rumah tangga yang bijak dia tahu bagaimana membuat keharmonisan dan kedamaian di antara kerabat dan tetangganya. Dia menghormati dan taat kepada suaminya, walaupun usia suaminya lebih muda daripada usianya, dan dia membuat keluarganya bahagia. Kemudian dia pindah ke Seoul bersama keluarganya, namun karena bahaya penganiayaan, mereka harus pindah lagi ke Bupyeong, Gyeonggi-do melalui jalan Gangwon-do kemudian ke Surisan (sekarang, Anyang 3-dong, Anyang-si, Gyeonggi-do). Putra sulungnya, Thomas Choe menjadi kandidat untuk masuk seminari oleh Santo Mauban, seorang imam misionaris dari Serikat Misi Paris (Paris Foreign Missions Society / Société des Missions étrangères de Paris disingkat menjadi M.E.P.). Dia dikirim ke Makau untuk belajar teologi.

Dia dengan murah hati menerima seluruh konsekuensi dari imannya seperti kemiskinan, sering diusir dan kesulitan lainnya. Ketika anak-anaknya yang masih kecil mengeluh kelaparan, dia meminta mereka untuk bersabar dengan menceritakan kisah Santa Maria dan Santo Yosef yang berlindung di Mesir, atau kisah Yesus Kristus yang mendaki Bukit Kalvari sambil membawa salib yang berat di pundak-Nya. Ketika mereka menetap di Surisan, dia membantu suaminya untuk mendirikan sebuah desa Kristen.

Ketika Penganiayaan Gihae terjadi pada tahun 1839, suaminya, Fransiskus Choe sering pulang pergi ke Seoul untuk mengurus jenazah para martir dan memakamkan mereka. Suaminya juga memelihara umat beriman. Selama waktu itu, Maria Yi membantu suaminya dan membesarkan anak-anak mereka. Suatu hari, polisi menyerbu desa itu untuk menangkap Fransiskus Choe. Maria Yi membuktikan amal kasih Kristianinya dengan memberikan makanan dan memperlakukan mereka dengan baik. Maria Yi membawa anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti suaminya dan polisi ke Seoul.

Ketika mereka mencapai Pusat Kepolisian di Seoul, Maria Yi memisahkan diri dari suaminya dan juga anak-anaknya, kecuali dengan anaknya yang baru lahir, Stefanus. Pada hari berikutnya, dia harus menghadapi interogasi dan siksaan, yang mana seluruh cara digunakan untuk memaksa dia agar dia mengkhianati Tuhan. Walaupun lengannya patah dan seluruh tubuhnya terluka akibat siksaan, dia dengan berani menyatakan imannya kepada Tuhan.

Maria Yi lebih menderita karena kasih sayangnya sebagai seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil daripada penderitaan fisiknya. Stefanus yang masih berumur dua tahun sekarat karena kekurangan ASI. Payudaranya sudah kering (tidak lagi menghasilkan ASI). Suaminya dipukuli sampai meninggal sebagai martir. Melihat kondisi yang menyedihkan karena bayinya sekarat di lantai penjara yang kotor, imannya mulai goyah.

Maria Yi menyerah karena godaan duniawi, dan dia dibebaskan dan pulang ke rumahnya. Namun demikian, dia ditangkap kembali karena pihak berwenang menemukan bahwa putra sulungnya, Thomas Choe berada di Makau untuk belajar teologi. Kemudian dia dibawa ke Departemen Hukum.

Kemudian Tuhan dengan pengampunan-Nya yang tak terbatas, telah mengasihani hamba-Nya yang miskin itu dan memberikan dia anugrah keselamatan-Nya. Setibanya di Departemen Hukum, Maria Yi menguatkan sesama umat Katolik dengan keberaniannya. Dia sangat menyesali kesalahannya dan menyerahkan dirinya kepada hakim. Dia dengan berani menyatakan bahwa dia menarik pernyataan yang telah dikatakan sebelumnya. Dengan rahmat Ilahi dan doa-doa dari sesama umat Katolik, Maria Yi mampu mengatasi seluruh godaan. Dia merasa damai dan sukacita sehingga dia menyerahkan putra bungsunya kepada Tuhan. Putranya yang kedua, Yakobus Choe Ui-jeong merawat ibunya dan umat Katolik lainnya selama lebih dari satu bulan, dengan mengunjungi mereka di penjara.

Maria Yi dijatuhi hukuman mati setelah interogasi dan siksaan terakhir sesuai dengan kebiasaan yang berlaku saat itu. Dia meminta anak-anaknya untuk tidak datang ke tempat eksekusi karena dia khawatir akan kehilangan keberanian. Dia meninggalkan surat ini kepada anak-anaknya:

“Sekarang, pulanglah. Jangan lupa dengan Tuhan dan Maria yang Suci, Bunda Allah. Cintailah satu sama lain, dan janganlah terpisah satu dengan yang lainnya dalam keadaan apapun. Tunggu sampai kakak sulungmu Thomas kembali.”

Pada tanggal 31 Januari 1840 (27 Desember 1839 pada penanggalan Lunar), Maria Yi dibawa bersama dengan enam umat Katolik lainnya ke tempat eksekusi di Danggogae (sekarang, Wonhyoro 2-ga, Yongsan-gu, Seoul), mereka dipenggal dan meninggal sebagai martir. Pada saat itu Maria Yi berusia 39 tahun. Dikatakan bahwa  Maria Yi terlihat sangat damai dan sukacita sampai saat-saat terakhirnya.

Sumber: koreanmartyrs.or.kr

Advertisement

Posted on 19 May 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: