Santo Petrus Yi Ho-yong

Peter Yi Ho-yong (Sumber: cbck.or.kr)

Di antara tujuh puluh sembilan martir pada masa penganiayaan tahun 1839, orang yang pertama kali ditangkap dan juga menghabiskan waktu paling lama di penjara adalah kakak-beradik Agatha Yi (1784-1839) dan Petrus Yi Ho-yong (1803-1838). Petrus Yi Ho-yong adalah orang pertama dari 103 santo-santa yang memenangkan mahkota kemartiran. Dalam catatan penganiayaan tahun 1839, namanya disebut paling pertama begitu juga ketika Paus Pius XI melakukan beatifikasi tujuh puluh sembilan martir pada tahun 1925, nama Petrus Yi Ho-yong disebut yang paling pertama.

Petrus Yi lahir di Inch’on pada tahun 1803, dan ia pindah ke Seoul setelah kematian ayahnya. Meskipun keluarga Petrus Yi hidup dalam kondisi yang sangat miskin, mereka hidup dengan damai. Petrus Yi mulai mengunjungi Paulus Yi Kyong-on dan belajar darinya. Yi Kyong-on adalah keturunan generasi kelima belas dari T’ae-jong, raja ketiga dinasti Choson, dan ia adalah adik dari Karolus Yi Kyong-do dan Lutgardis Yi, yang keduanya menjadi martir pada tahun 1801. Paulus Yi Kyeong-on terus menerus mengajari Yi Ho-yong sampai dia ditangkap pada tahun 1827. Dibawa ke Chonju, Paulus Yi meninggal di penjara setelah menjalani siksaan yang paling kejam. Kemartirannya mengajarkan arti iman yang nyata bagi Petrus Yi Ho-yong.

Pada bulan Januari 1834, Pastor Pasifikus Yu Pang-che dari Tiongkok memasuki Korea, yang menjadi imam pertama setelah tiga puluh tiga tahun. Umat Katolik sangat bersukacita dan sukacita mereka tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Untuk pertama kalinya mereka menerima pengakuan dosa dan komuni. Pastor Yu melihat kualitas kesalehan, kelembutan dan keterusterangan dari Petrus Yi Ho-yong, dan menjadikannya sebagai seorang katekis. Suatu hari Petrus Yi bermimpi bahwa ia lulus ujian negara. Pada mimpi itu, ia mendengar lagu yang indah dan seseorang berkata kepadanya bahwa pembantu raja mencintainya. Petrus Yi berpikir bahwa mimpi ini adalah isyarat tentang kemartirannya. Kenyataannya, pada suatu hari di bulan Februari 1832, ketika ia kembali ke rumah untuk pekerjaannya, sekelompok penculik menunggu dan menangkapnya. Petrus Yi dipenjara selama empat tahun, di sana ia menderita karena menghadapi berbagai siksaan dan kesulitan. Ia sendiri menggambarkannya dalam sepucuk surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan beserta jawabannya.

“Mengapa Anda percaya akan agama Katolik yang menentang untuk menghormati orang tua dan dilarang oleh pemerintah?”

“Itu tidak benar. Setiap orang yang percaya akan iman Katolik harus menghormati raja dan orang tua mereka dan juga mengasihi yang lain. Bagaimana mungkin Anda mengatakan bahwa agama yang luar biasa ini menentang untuk menghormati orang tua?”

“Anda tidak memberikan persembahkan kepada orang tua Anda yang sudah meninggal. Oleh karena itu, Anda lebih buruk daripada seekor binatang, dan layak untuk mati. Akankah Anda menyangkal agama Anda atau Anda mati?”

“Sangat bodoh sekali untuk berpikir bahwa orang yang sudah meninggal dapat memakan makanan persembahan. Seseorang yang mati bagi raja bukanlah seorang pengkhianat. Allah adalah Raja dari para raja yang menciptakan langit dan bumi, manusia, malaikat dan seluruh ciptaan di alam semesta. … Bagaimana Anda bisa menghukum orang yang merasa lebih baik mati daripada menyangkal Bapa dari seluruh umat manusia?”

Santo Petrus Yi Ho-yong (Sumber: cbck.or.kr)

Hakim memukulinya sampai tulang kakinya terpelintir dan keluar dari sendinya, dan hakim meminta supaya ia menyangkal Allah. Namun Petrus Yi berkata, “Saya tidak akan pernah menyangkal Allah.” Hakim menyuruh orang-orangnya untuk memukul pinggang dan kakinya, dan ia berkata kepadanya: “Jika kamu berteriak, saya akan menganggapnya sebagai tanda bahwa kamu menyangkal agamamu.” Kemudian Petrus Yi tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

Dalam “Catatan Harian Penganiayaan 1839” dikatakan, “Seperti seekor domba yang digiring ke pembantaian, ia tidak membuka mulutnya, bahkan dalam kesakitan karena pukulan yang kejam.”

Petrus Yi berkata jika itu sudah kehendak Allah, ia akan senang hati untuk mati karena penyakit di penjara. Selama empat tahun di penjara, ia meneruskan doa dan puasa, dan menunjukkan teladan kebaikan dan kesederhanaan yang bahkan dipuji oleh sipir penjara dan sesama tahanan. Ada seorang tahanan yang sudah tua, yang tinggal di ruang sel yang sama dengannya, ia sangat terkesan olehnya dan ia menyesali masa lalunya dan menerima arahan dari Petrus untuk dibaptis. Walaupun ia dan kakak perempuannya Agatha Yi berada dalam sel yang berbeda, sipir penjara kadang-kadang mengatur mereka untuk bertemu, dan dalam kesempatan itu mereka saling menguatkan satu sama lain dan berjanji untuk mati sebagai martir pada hari yang sama. Namun perlahan-lahan Petrus Yi menyerah karena dia sudah lemah dan karena penyakit, sehingga ia meninggal lebih dulu.

Pastor Antoine Daveluy yang tiba di Korea pada tahun 1845 dan kemudian menjadi uskup kelima di Korea, dan Uskup Felix Ridel yang dipenjarakan di Korea pada tahun 1877, keduanya menuliskan tentang kehidupan penjara.

Ada banyak umat Katolik yang ditahan di sebuah sel sehingga mereka tidak bisa berbaring. Mereka semua sepakat bahwa hidup di penjara lebih parah daripada disiksa. Karena bau busuk dari darah, nanah dan anyaman jerami busuk, mereka akan segera jatuh sakit, dan beberapa orang meninggal dalam dua atau tiga hari. Namun, yang terburuk adalah kelaparan dan kehausan. Tak sedikit dari mereka yang menahan siksaan, akhirnya menyerah karena kelaparan. Dengan dua genggam beras sehari, terkadang mereka menyobek anyaman jerami dan mengunyahnya, ataupun memakan kutu yang sedang merangkak di sel penjara. (Uskup Daveluy)

Saya melihat suatu kejadian ketika mereka menderita karena kelaparan dan berjalan sempoyongan. Mereka terlihat seperti kerangka berjalan daripada manusia. Penampilan mereka berubah karena penderitaan, kelaparan, gatal dan luka-luka, mereka sangat mengerikan untuk dilihat. (Uskup Ridel)

“Saya ingin mati oleh pedang, namun saya tidak menginginkannya jika itu bukan kehendak Allah”, itulah yang dikatakan Petrus, dan tak lama kemudian ia meninggal. Pada saat itu, tanggal 2 November 1838, dan ia masih berusia 36 tahun.  Oleh karena itu, ia menjadi martir pertama dalam 103 santo-santa martir dari Korea. Petrus Yi Ho-yong dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925 dan dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus (Santo) Yohanes Paulus II.

 

Sumber: cbck.or.kr

Posted on 8 August 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. 3 Comments.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: