[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Makna Adegan dalam Film “The Passion of the Christ” (Bagian 3-Habis)
Posted by Terang Iman
Oleh Joby Provido
Artikel ini adalah bagian terakhir dari rangkaian artikel mengenai adegan-adegan non-Alkitabiah dalam film The Passion of the Christ.
Salib yang Tidak Jatuh
Ketika Yesus disalibkan ada dua hal yang diperlihatkan dan tidak dicatat dalam Injil manapun. Yang pertama adalah bahwa prajurit memaku kedua tangan Yesus yang terlalu jauh sehingga mereka perlu menarik bahu Yesus sehingga bahu Yesus terlepas untuk menjangkau tangan-Nya. Beberapa mistikus telah menunjukkan hal ini di antaranya Yang Mulia (Venerable) Maria dari Agreda, dan Beata Anne Catherine Emmerich. Seorang mistikus lainnya yaitu Santa Brigitta dari Swedia, telah menerima doa oleh Kristus, yang disetujui oleh Paus Pius IX pada tahun 1862. Dalam doa-doa itu menggambarkan tentang kisah penyaliban Kristus:
Ingatlah akan kekecewaan yang Engkau derita, ketika orang-orang Yahudi dengan paluan yang bertubi-tubi memaku tangan dan kaki-Mu dengan paku-paku besar yang tumpul. Mereka menganggap derita-Mu masih kurang, dan mereka melampiaskan kebuasan hati mereka dengan memperparah luka-luka-Mu, dan terus menambah kesakitan demi kesakitan dengan kesadisan yang tidak bisa di ungkapkan, mereka merentangkan badan-Mu di kayu salib, menarik-Mu dari segala arah, hingga memutuskan otot-otot Mu. (Lima Belas Doa St, Brigitta terjemahan ekaristi.org)
Selama adegan penyaliban, peristiwa kedua yang tidak dicatat Kitab Suci adalah salib secara perlahan dibalikkan sehingga para algojo bisa menekuk paku-paku agar tidak terlepas selama korban itu menggeliat ketika salib dinaikkan. Adegan ini adalah adegan yang mengerikan karena kita akan mengira bahwa ketika salib dibalikkan maka Kristus akan jatuh dengan wajah-Nya yang mendarat di tanah yang berbatu.
Namun, penglihatan Maria dari Agreda menjelaskan bahwa ketika salib dibalikkan, malaikat mencegah Kristus terluka dengan cara ini. Para malaikat memastikan supaya ada ruang kosong antara wajah Kristus dengan tanah yang berbatu. Dalam film ini, hal ini ditunjukkan bahwa seolah-olah salib itu ada yang menyangga. Kita tidak bisa melihat bagian bawah salib itu jadi kita tidak tahu apakah salib itu tersangkut di antara batu-batu. Film ini membuat suatu imajinasi bagaimana hal seperti ini bisa terjadi. Intinya bukan pada apa mukjizat itu, tetapi bagi siapa mukjizat itu.
Walaupun Maria dari Agreda tidak menyebutkan siapa yang melihat mukjizat ini, dalam film ini menunjukkan bahwa Maria Magdalena menyadarinya. Hal ini terjadi pada saat yang tepat, karena kita melihat dia terkejut sambil menangis dengan tak terkendali, seolah-olah kehilangan harapan. Kita harus ingat bahwa Yesus dianggap sebagai Mesias, dan orang Yahudi memiliki gagasan yang spesifik tentang apa yang dilakukan oleh Mesias. Salah satunya adalah melawan musuh-musuh mereka dan melepaskan mereka dari perbudakan. Jadi dengan melihat Yesus ditawan dan dihukum mati, maka tidak sesuai dengan Mesias yang mereka bayangkan. Para murid Kristus pun tak lama kemudian meninggalkan Dia karena mereka kehilangan harapan akan Yesus sebagai Mesias – bagaimana mungkin Yesus adalah Mesias jika dia akan mati (dan itu menjadi alasan para murid ketakutan karena mereka mungkin akan diburu dan juga dihukum mati).
Jadi dalam film itu, mukjizat ini bermakna bagi Maria Magdalena. Itulah mukjizat kecil bagi dirinya, untuk memberinya kekuatan. Dan kira bisa melihatnya di film, Maria Magdalena berdiri tegak dengan wajah yang menunjukkan penuh keyakinan yang baru. Tentu saja, dia masih menderita, tetapi dia menderita dengan memiliki harapan. Harapan dan penderitaan adalah saling berkaitan, dan inilah pelajaran yang bisa kita petik dari adegan ini.
Amin dari Maria
Bagi umat Katolik, keikutsertaan Maria dalam kisah sengsara adalah sangat penting. Dia bukan hanya seorang yang ikut menyaksikan saja, tetapi ikut ambil bagian di dalam peristiwa itu. Dari peristiwa Kabar Sukacita, dia menerima rencana Allah dan menerima untuk menjadi ibu bagi Mesias melalui jawaban “jadilah padaku menurut perkataanmu” (Lukas 1:38). Dan di sini, di Kalvari di samping Yesus yang sedang menghadapi kematian, disposisi hatinya tidak berubah.
Yang menjadi masalah untuk media yang sangat visual seperti sebuah film adalah bagaimana menunjukkan apa yang ada dalam batin Maria. Maia Morgenstern yang memerankan Maria harus menggunakan gerakan untuk mengungkapkan sikap batinnya itu. Ketika Yesus yang tersalib diangkat, kita bisa melihat Maria mencengkram tanah dan kemudian berdiri (bersama dengan Yesus yang salibnya sedang diangkat) sambil memegang kerikil dan tanah dalam kedua tangannya. Itulah cara untuk menunjukkan bahwa dia sedang “mencengkram jerami” (suatu idiom yang memiliki makna tentang upaya keputusasaan untuk pulih dari situasi yang buruk –red.).
Ketika para prajurit akhirnya menempatkan supaya salib jatuh pada tempatnya, maka nasib Yesus ditentukan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu Yesus wafat. Pada saat inilah kamera memfokuskan pada tangan Maria yang lemas dan melepaskan kerikil dan pasir ke tanah. Inilah cara visual yang mengungkapkan penyerahan dirinya. Itulah “amin”-nya terhadap kehendak Allah.
Jadi, jika hal ini tidak mencerminkan hal yang ada dalam Kitab Suci, namun hal ini mencerminkan apa yang umat Katolik ketahui tentang hati Maria yaitu hati yang berserah total kepada Allah.
Maria, Ibu Kami
Beberapa kali dalam film ini, beberapa tokoh mengatakan sesuatu yang tidak dicatat dalam Injil, namun ditambahkan untuk mendorong dan menjelaskan apa yang Kristus katakan. Salah satunya ketika Maria berkata, “Daging dari dagingku, hati dari hatiku …”
Ada beberapa latar belakang teologis mengenai hal ini. Kita harus ingat bahwa Kristus tidak memiliki ayah biologis yang berkontribusi terhadap DNA-Nya. Jadi secara teknis, seluruh susunan genetik Kristus berasal dari Maria. Jadi ketika Maria mengatakan kalimat itu, dia cukup akurat mengartikan secara harfiah tentang Kristus adalah daging dari dagingnya, tulang dari tulangnya, dan hati dari hatinya.
Dan seseorang yang paling dia cintai sebagai seorang ibu yaitu putranya akan wafat, dia tidak memiliki alasan apapun untuk hidup dan dia memohon untuk mati bersama-Nya, “Putraku, biarkan aku mati bersama-Mu.”
Hal ini mendorong Yesus untuk memberi tahu Maria bahwa misinya belumlah selesai. Dia memberikan Maria kepada St. Yohanes ketika Dia berkata, “Ibu, inilah anakmu; Inilah ibumu.” Untuk sementara percakapan ini bersifat pribadi, namun umat Katolik melihat bahwa Yohanes adalah mewakili Gereja (karena dia adalah seorang rasul dan Kristus bersabda bahwa Dia akan mendirikan Gereja-Nya di atas para rasul (bdk. Efesus 2:20) yang pada saat itu sedang bersembunyi kecuali Yohanes). Kemudian para rasul akan memahami bahwa Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, yang satu dan tidak terpisah dari Kristus. Dengan demikian, dalam adegan ini, di mana Kristus memanggil Maria dengan sebutan “Wanita (woman)” yang mengingatkan kita kepada Hawa yang adalah ibu dari segala yang hidup, maka Maria menjadi ibu dari semua yang hidup dalam Kristus.
Hari Penebusan
Dalam buku Romo Bartunek tidak menyebutkan tentang hal ini namun saya pikir perlu untuk menyebutkannya karena ada hubungannya dengan kurban Perjanjian Lama yang menjadi pertanda di masa depan akan kurban Kristus. Dalam Perjanjian Lama, Imam Agung akan melakukan dua hal ketika Hari Penebusan. Yang pertama adalah untuk mengambil seekor kambing dan membuang dosa umat beriman kepada kambing itu, kemudian membawa kambing itu keluar gerbang Yerusalem sehingga kambing itu akan mati. Hal ini dimaksud agar kematian kambing (hewan kurban) akan membayar dosa-dosa. Tentu saja kota bisa melihat bahwa Kristus sebagai “kambing hitam” untuk umat manusia dan pengorbanan-Nya terjadi di luar gerbang Yerusalem.
Hal yang kedua yang dilakukan Imam Agung adalah mengurbankan seekor lembu jantan dan memercikan darahnya kepada orang-orang, dan juga memercikannya di Ruang Mahakudus, Imam Agung akan memercikan darah yang sama pada Tabut Perjanjian. Hal ini adalah simbol dari kesatuan antara Allah dan manusia. Dikatakan bahwa hadirat Allah hadir di atas Tabut itu yang disebut sebagai “tahta belas kasih” karena di situlah Allah memberikan belas kasihan-Nya dan mengampuni dosa-dosa manusia. Melalui darah, baik Allah maupun manusia disatukan, sehingga mereka menjadi satu lagi (di mana istilah penebusan dalam bahasa Inggris adalah atonement dan kita bisa melihat istilah ini dengan lebih baik dengan mengejanya menjadi at-one-ment)
Hal ini sangat menarik karena Tabut Perjanjian adalah menggambarkan bayangan masa depan tentang Maria. Tabut itu terdiri dari manna (roti surgawi), sepuluh perintah Allah (Sabda Allah), dan tongkat Harun (imam agung). Ketika Yesus berada dalam Rahim Maria, maka dalam diri Maria terdapat roti surgawi (Yohanes 6), Sabda Allah (Yohanes 1), dan sang imam agung yang akan mewakili kita dalam pengurbanan-Nya.
Jadi dalam adegan ini ketika Cassius, yang kemudian dikenal sebagai St. Longinus, menikamkan tombak ke bagian sisi tubuh Kristus, dan darah-Nya terpercik kepada Maria dalam Hari Penebusan yang sempurna di mana Allah dan manusia benar-benar menjadi satu kembali melalui pengorbanan Kristus. Film ini menangkap adegan ini dan bahkan mungkin tidak bermaksud dengan impikasinya Alkitabiahnya.
Pieta
Seni Kekristenan memilki banyak adegan ketika Maria memangku tubuh Yesus yang tidak bernyawa setelah diturunkan dari salib. Karya seni itu disebut “Pieta” dan yang paling terkenal adalah karya Michelangelo yang bisa kita temukan di Basilika Santo Petrus di Roma.
Kebanyakan karya seni Pieta (baik patung maupun lukisan –red.) akan menggambarkan Maria yang memandang putranya sambil menggendong-Nya, namun tidak demikian dalam film ini. Ketika kita melihat tubuh Kristus yang tidak bernyawa di hadapan Maria, kita melihat pandangan Maria yang menatap lurus ke arah kita (kepada penonton –red.). Hal ini adalah gerak tubuh untuk mengingatkan kita bahwa untuk kitalah penderitaan ini. Dengan tangan Maria yang terbuka, seolah-olah Maria sedang berkata, “Lihat, ini telah dilakukan demi kalian.”
Sumber: “Inside The Passion of the Christ – Part 3/3”
Share this:
- Click to share on Twitter (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Pinterest (Opens in new window)
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- More
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Tumblr (Opens in new window)
- Click to share on Reddit (Opens in new window)
- Click to share on Pocket (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on Skype (Opens in new window)
Related
Posted on 28 March 2019, in Kitab Suci, Seni dalam Gereja and tagged Joby Provido, John Bartunek, Maria, Maria Magdalena, St. Yohanes Penginjil, The Passion of the Christ, Yesus Kristus. Bookmark the permalink. 1 Comment.
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Pingback: Makna Adegan dalam Film “The Passion of the Christ” (Bagian 2/3) | Terang Iman