“Tidak Setuju” Tidak Berarti “Saya Benci Kamu”

Oleh Dr. Edward Sri

Who Am I to Judge? Dr. Edward Sri (Sumber: st-patricks.org)

Ada perbedaan besar antara memberikan penilaian dan menilai jiwa seseorang.

Apakah saya bisa menggunakan akal budi saya dan membuat penilaian? Jika saya memperhatikan situasi sedang hujan, saya membuat penilaian: “Saya harus membawa payung.” Jika hujan salju, saya membuat penilaian: “Saya harus mengenakan mantel musim dingin.” Apakah ini berarti saya orang bigot (fanatik berlebihan), jika melakukan hal ini? Tentu saja tidak. Allah telah memberikan saya akal budi. Ia ingin saya menggunakannya.

Demikian pula, dapatkah saya menggunakan pikiran saya untuk membuat penilaian mengenai tindakan orang lain? Jika saya melihat anak perempuan saya yang masih balita lari ke jalan, bisakah saya membuat penilaian, “Itu tidak baik baginya. Dia mungkin tertabrak mobil”? Atau jika saya melihat dia ingin memegang kompor panas, bisakah saya menggunakan pikiran saya untuk membuat penilaian, “Itu tidak baik baginya. Dia akan terbakar.” Jika saya melakukan hal ini, saya tidak berkata bahwa dia seorang anak yang buruk. Saya hanya mengamati bahwa dia akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya.

Mari kita selangkah lebih maju. Bisakah saya menggunakan akal budi dan membuat penilaian mengenai tindakan moral seseorang? Katakanlah ada seorang wanita muda, dia seorang mahasiswi yang tidur dengan seorang pria setiap pekannya. Bisakah saya menggunakan pikiran saya dan membuat penilaian, “Hal itu tidak baik baginya”? Bisakah saya membuat penilaian, “Dia tidak akan bahagia dengan hidup seperti ini. Dia tidak akan pernah menemukan cinta sejati yang dia rindukan”? Tentu saja bisa.

Tapi mari kita perjelas: Saya tidak menghakimi jiwa seseorang jika saya melakukannya. Dia mungkin melakukan sesuatu yang salah secara objektif, namun saya tidak tahu situasi pribadinya di hadapan Allah. Saya tidak tahu latar belakangnya, situasinya, atau maksudnya. Siapa saya yang menghakimi ini? Status jiwa seseorang di hadapan Allah adalah sesuatu antara pribadinya dengan Allah saja. Ada berbagai macam faktor dalam kehidupan manusia dapat merusak pilihan bebas mereka sedemikian rupa sehingga membatasi tanggung jawab atas perbuatan atau kesalahan moral mereka[1]. Seperti yang dijelaskan oleh Paus Fransiskus, “Situasi setiap orang di hadapan Allah dan kehidupan mereka dalam rahmat adalah misteri yang tak seorang pun dapat sepenuhnya memahami dari luar[2].” Mungkin wanita muda ini tidak pernah merasakan cinta yang sejati. Mungkin dia mengalami pelecehan seksual. Mungkin dia selalui diajarkan bahwa inilah artinya menjadi wanita yang bebas. Wanita seperti ini perlu mengetahui belas kasih saya, bukan hanya pengajaran mengenai hukum moral.

Pada saat yang sama pula, dan hal ini juga sangat penting, jika saya peduli padanya sama sekali, haruskah saya berkata sesuatu mengenai dirinya tentang apa yang dia lakukan? Jika dia adalah teman dekat atau anggota keluarga, haruskah saya berbicara dengannya tentang hal itu? Saya tidak akan menghakimi jiwanya, menghakimi jiwa itu antara dia dan Allah saja. Namun mengasihi itu untuk kebaikan orang lain, untuk mencari yang terbaik bagi orang lain. Dan jika saya benar-benar mengasihi orang ini, maka hal yang penuh kasih adalah menunjukkan cara yang lebih baik kepadanya. Tentu saja saya harus melakukan hal ini dengan hati-hati, di waktu yang tepat, dengan cara yang benar, dan dengan kelembutan, kerendahan hati, dan ikut merasakan sepenanggungan dengan cara yang luar biasa. Namun, diam di belakangnya dan tidak pernah berbagi kebenaran dengan dia merupakan sikap tidak mengasihi.

Bayangkan jika saya melihat anak perempuan saya yang masih berusia 2 tahun yang akan menyentuh kompor panas dan saya berkata kepada diri saya sendiri, “Saya tidak akan melakukan itu. Namun saya tidak ingin menghakimi. Apa pun yang membuat dia senang …” Atau bayangkan jika anak saya itu akan lari menuju ke jalan dan saya berkata kepadanya, “Oh baik … jika itu yang kamu inginkan! … Saya pribadi tidak akan melakukan itu, tapi saya tidak mau memaksakan pandangan saya kepadamu. Itu hidupmu. Mari kita saling menghargai.” Apakah itu adalah hal yang penuh kasih? Tentu saja tidak.

Artikel ini berasal dari bukunya yang berjudul Who Am I to Judge?–Responding to Relativism with Logic and Love.”

Catatan kaki:

[1] Katekismus Gereja Katolik, 1735.

[2] Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium, 172.

Sumber: “I Disagree” Doesn’t Mean “I Hate You”

Advertisement

Posted on 24 April 2020, in Keluarga and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: