[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Perjalanan Gadis Yahudi kepada Kristus – Kisah Melissa Zelniker-Presser

Melissa Zelniker-Presser (Sumber: godisinmytypewriter.com)
Awal Mula Perjalanan Iman Saya
Sebagai seorang gadis Yahudi yang dibesarkan di Florida Selatan, saya sudah tahu dari sejak kecil bahwa Tuhan itu nyata. Di usia tiga tahun, saya mengalami suatu perjumpaan dengan Tuhan, di mana Ia hadir seutuhnya dan menampakkan diri-Nya kepada saya. Ia ada di sana, bagaikan seorang sahabat, benar-benar nyata, sangat penuh kasih. Tentu saja waktu itu saya tidak tahu mengapa Ia memilih saya dan mendekati saya dengan cara ini. Saya masih sangat kecil, masih sangat muda, dan entah bagaimana perjumpaan itu tertanam dalam diri saya, terukir dalam jiwa saya. Baru di kemudian hari di kehidupan saya, saya akan menemukan alasan bahwa Ia telah memilih untuk datang kepada saya, tinggal bersama saya, bahkan ketika saya memilih untuk menjauh daripada-Nya.
Pada usia empat atau lima tahun, saya mengalami pelecehan seksual oleh seorang anak lainnya. Pelecehan itu terjadi lebih dari sekali dalam suatu rentang waktu tertentu, sampai keluarga itu pindah. Pada tahun 1980-an, pelecehan seksual bukan menjadi topik yang dibicarakan atau diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Kenyataannya, dalam keluarga Yahudi konservatif yang ketat seperti keluarga saya, topik seperti itu dibatasi. Apa yang terjadi pada saya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan saya tidak bisa memahami bagaimana Tuhan yang datang kepada saya itu adalah Tuhan yang penuh kasih, lembut, dan dengan cara yang pribadi bisa duduk bersama di sela-sela waktu kekejaman itu terjadi. Saya tahu kalau Tuhan hadir dalam peristiwa-peristiwa itu ketika kejahatan terjadi. Namun, sebagai seorang gadis kecil, saya tidak bisa mendamaikan kasih-Nya bagi saya dengan amarah yang baru saja terjadi. Tidak seperti korban-korban pelecehan lainnya, saya tidak memilih untuk meninggalkan Tuhan pada saat itu juga. Melainkan, saya menerima apa yang terjadi pada diri saya sebagai bagian kehendak Tuhan. Saya membayangkan Tuhan sebagai “entitas” tanpa wajah. Saya tidak mempersonalisasikan Tuhan, karena rasa sakit membayangkan Tuhan yang membiarkan semua hal berat itu menimpa seorang gadis kecil. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa rencana Tuhan melibatkan penderitaan saya, dan bahwa saya ditakdirkan untuk mati. Saya tidak tahu bahwa ada seseorang, yaitu Pribadi Yesus Kristus yang sudah melakukan hal itu bagi saya 2.000 tahun lalu di Kalvari.
Hidup Saya di Kenisah
Daripada menjauh dari Tuhan, saya memilih untuk mengejar-Nya dengan penuh semangat. Kedua orang tua saya merupakan orang Yahudi yang tidak religius yang juga tidak suka datang ke kenisah. Tetapi, saya memohon kepada mereka untuk ikut bergabung dengan umat setempat sehingga saya bisa ikut sekolah Ibrani (sekolah agama atau sekolah Minggu –red.) dan kebaktian Sabtu. Kedua orang tua saya mewajibkan, dan setiap hari Sabtu sesudahnya saya dengan setia ikut di kenisah dan sekolah Ibrani. Karena saya belum terdaftar di sekolah Ibrani dari usia muda, saya ditempatkan di kelas remedial dengan beberapa siswa lain yang situasinya sama dengan saya. Pelajaran-pelajaran di sekolah Ibrani dan waktu di kenisah menjadi sangat penting, karena jiwa saya melonjak untuk menyenangkan Tuhan dan saya memampukan diri menjadi orang yang religius. Saya mempelajari Bahasa Ibrani siang dan malam hari dan menjadi sangat mahir dalam menulis dan membacanya, sehingga guru saya Bu Evelyn memindahkan saya dari kelas remedial ke kelas regular. Saya duduk di kelas enam, dan akhirnya saya masuk ke dalam kehidupan Yahudi yang sebenarna. Saya menemukan posisi saya sebagai seorang anak Yahudi, dan dengan berada di kenisah, saya dibebaskan dari rasa sakit akibat pelecehan. Semakin banyak saya belajar tentang hari raya, adat istiadat, dan tata caranya, semakin saya ingin membawa pulang pengetahuan itu dan menerapkannya. Tetapi karena anggota keluarga lainnya bukan orang yang taat beribadah, saya tidak punya siapa-siapa untuk menceritakan iman saya. Maka saya merasa semakin sulit untuk merayakan dan menghidupi iman Yahudi saya. Rumah saya tidak kosher (hukum halal-haram Yahudi –red.), dan kami tidak merayakan liturgi Yahudi, dan saya tidak punya pembimbing. Akibatnya, saya lebih banyak menghabiskan waktu di kenisah, di lingkungan anak-anak yang keluarganya religius, dan saya berusaha mencari tempat dalam rumah tangga Tuhan. Pada waktu itu, bagi saya Tuhan masih sebuah “entitas” dan saya hanyalah hamba. Tapi saya sudah menerima penderitaannya bagi Tuhan dan berjanji untuk tetap dekat dengan-Nya. Kemudian ada pengumuman besar: kami pindah ke California!
Kepindahan yang Sulit
Pindah ke California merupakan salah satu masa paling sulit dalam hidup saya. Saya merasa jauh dari keluarga, teman-teman saya, dan yang paling penting jauh dari kenisah. Kehidupan Yahudi berpusat di sekitar kenisah, dan saya merasa tersesat. Tapi, tidak lama kemudian, kedua orang tua saya menemukan sebuah komunitas umat setempat yang bisa saya ikut bergabung di dalamnya, dan sekali lagi saya sangat terlibat dalam ibadah Sabtu, sekolah Ibrani, dan mulai mempersiapkan Bat Mitzvah, suatu ritual seorang gadis Yahudi memasuki masa dewasa. Komunitas tempat kami pindah itu lebih kecil daripada yang berada di Miami, dan sulit untuk bertemu dengan umat Yahudi lain yang seperti saya. Saya mulai terbiasa dengan kelas enam saya yang baru hanya dengan beberapa hari saja. Di sekolah saya disapa secara fisik oleh seorang anak laki-laki mana “tanduk dan ekor”mu. Ia menghentikan saya di tempat tersembunyi dan memukul saya dan memanggil saya “kike,” nama yang tidak pernah saya dengar. Di kemudian hari saya tahu bahwa nama itu adalah nama yang merendahkan dan rasis untuk seorang Yahudi, kemudian saya larut dalam kesedihan. Ketika ayah saya membahas perundungan yang saya alami dengan kepala sekolah, menjadi jelas bahwa kepala sekolah itu punya sudut pandang yang rasis seperti anak laki-laki itu, oleh karena itu kami pindah sekolah ke kota lain. Saya terus percaya bahwa saya secara khusus dipilih untuk menderita bagi Tuhan dan bertanya-tanya kapan Ia akan mengambil hidup saya ini. Hidup terasa semakin sulit. Saya baru berumur sebelas tahun.
Di suatu hari Sabtu, di sekolah Ibrani, saya bertanya tentang Yesus kepada seorang rabi, saya bertanya siapa Yesus dan mengapa kita tidak percaya kepada-Nya. Sekarang saya percaya kalau itu bisikan Roh Kudus, karena sebelumnya saya tidak punya pengetahuan tentang Yesus dan tidak pernah dibicarakan oleh teman atau saudara saya. Rabi itu berpaling kepada saya sambil marah dan berkata, “Jangan pernah mengucapkan nama itu lagi!” Ia tidak mau membahas dan menjawab tentang Yesus dengan saya. Sebaliknya, ia pergi, sementara itu saya berdiri dengan bertanya-tanya, “Siapa Yesus ini dan kenapa saya tidak boleh membicarakan-Nya?”
Bagi saya, kebenaran itu selalu menjadi yang terpenting. Saya tahu kalau hidup saya punya tujuan dan makna, tapi sulit menemukannya di tengah rasa sakit dan penderitaan. Saya tetap berada dalam batasan agama Yahudi karena hanya itu yang saya tahu, dan saya merasa aman di sana. Setiap anggota keluarga saya adalah orang Yahudi, dan ketika tumbuh dewasa saya tidak mengerti apa itu orang Kristen. Saya memperoleh kesan bahwa semua orang bukan Yahudi itu orang Kristen, karena mereka bukan Yahudi, dan Yesus bukanlah seseorang yang relevan bagi saya. Kenyataannya, seperti yang ditunjukkan oleh rabi itu, nama Yesus tidak boleh diucapkan atau ditanyakan. Tetapi melalui rahmat Tuhan, ini bukan terakhir kalinya Roh Kudus mendorong saya kepada Yesus Kristus.
Mempertanyakan Segala Hal
Sungguh malang bagi saya, saya mengalami pelecehan seksual berkali-kali selama masa ini. Saya rentan dan menyalahkan diri saya sendiri karena menempatkan diri dalam situasi seperti ini. Pada saat yang sama, saya melanjutkan studi agama Yahudi saya, dan tidak mengungkapkan rasa sakit dan penderitaan kepada siapa pun, sehingga saya mulai membatin. Tuhan tampaknya tidak ingin ikut campur dalam hidup saya, dan saya takut meninggalkan-Nya, maka saya terus melanjutkan iman saya namun dengan pemisahan yang jelas. Ia jauh berada di surga dan saya berada di bawah sini yaitu di bumi. Pada titik ini, saya berhenti ke kenisah dan memisahkan diri dari kehidupan kenisah bersamaan dengan berbagai bentuk kehidupan orang Yahudi. Tampaknya yang saya lakukan ini tidak membuat perbedaan dalam penderitaan saya, dan saya percaya kalau Tuhan memperkenankan saya untuk dilecehkan lagi saat remaja, dan saya semakin yakin kalau tujuan hidup saya itu untuk menderita dan mati. Saya masih menjaga jarak dengan Tuhan dan tidak memperkenankan Ia mendekati saya. Tapi Tuhan itu luhur mulia. Ia tetap berada di satu sisi, selalu berada di sana, selalu memperhatikan, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak yaitu dalam waktu-Nya dan dalam waktu saya.
Ketika saya berada di SMP, kakek saya meninggal dunia. Karena ia bukan orang yang religius, maka kami harus mencari seorang rabi setempat untuk merayakan kebaktian. Rabi datang kembali ke rumah itu dan mendaraskan doa yang diperlukan sementara kami melakukan duduk shivah (duduk di lantai selama waktu berkabung menurut agama Yahudi seperti dalam Ayub 2:13 –red.). Saya satu-satunya orang di ruangan itu yang tahu doa-doanya.
“Tapi kamu seorang perempuan,” kata rabi itu. “Kamu tidak bisa menjadi orang yang mendaraskan doa.”
Pada masa ini, saya seorang remaja yang cerdas, pintar, dan juga agak suka memberontak. Dan waktu itu saya hanya punya satu jawaban yang tepat, “Rabi, ini kakek saya dan ini rumah saya. Jadi Anda bisa berdoa dengan saya atau Anda bisa pergi, itu pilihannya.”
Saya berpaling darinya dan kembali berlutut untuk berdoa. Rabi itu ikut berdoa. Waktu itu hanya ada kami berdua, dan saya mulai mempertanyakan segala hal. Saya merasa bahwa Tuhan tidak mungkin kurang mengasihi saya karena saya seorang perempuan atau saya itu masih remaja. Saya merasa mampu mendaraskan doa-doa itu seperti rabi, dan saya merasa Tuhan telah memilih saya dan mempersiapkan saya untuk peristiwa itu. Dan saya berpikir: Mengapa Tuhan membuat saya begitu cerdas, mengisi saya dengan banyak pengetahuan dan mempersiapkan diri saya untuk kehidupan rohani jika Ia tidak berkehendak saya ikut ambil bagian di dalamnya? Saya juga tidak dapat mendamaikan keyakinan saya yang saya buat sendiri yaitu saya diciptakan untuk menderita dan mati dengan semua latar belakang yang Tuhan persiapkan dalam diri saya. Dan seperti Perawan Maria, saya merenungkannya di dalam hati.
Hidup Menjauh dari Tuhan
Setelah itu, hidup menjadi lebih sulit. Setelah berkali-kali menjalani terapi, satu rangkaian terapi berlalu dengan cepat ketika masa kuliah, saya berdiri di dekat pohon di kampus universitas dan saya dengan lantang mengucapkan kata-kata ini, “Saya tidak pernah dilecehkan. Itu tidak pernah terjadi!” Saya tahu kalau Tuhan ada di sana dan hadir ketika saya mengucapkan kata-kata itu. Dengan perkataan itu saya menemukan pribadi yang benar-benar baru, dan dalam benak saya, saya menjauh dan meninggalkan Tuhan. Namun Tuhan, Ia ada sepanjang hidup saya, menjadi semacam “Pemburu dari Surga.” Yang tanpa henti-hentinya mengejar saya di setiap ruang dan waktu, seolah-olah saya adalah magnet bagi setiap penginjil Kristen di kampus.
Karena saya pindah ke sana dari perguruan tinggi lain, saya tidak punya banyak kenalan di kampus. Maka ketika saya diundang ke gereja, ini menjadi kesempatan baik untuk pergi dan mendapatkan teman baru. Namun, ketika saya tiba dengan karavan di gereja itu untuk menghadiri acara Drama Penyaliban, saya mulai berkeringat. Saya seorang gadis Yahudi dalam sebuah gereja Kristen, dan tentu saja Tuhan akan marah! Selama drama itu, saya merasa tidak nyaman berada di tempat duduk saya, mencari jalan untuk kabur. Ketika drama itu berakhir, saya disapa oleh banyak sekali wanita yang mencintai Yesus yang berkata kepada saya bahwa “banyak orang lain” yang seperti saya di sini, yang seperti ini seperti itu, yang juga orang Yahudi. Saya memejamkan mata saya dan mengingat lingkungan lama saya, apa yang rabi katakan tentang Yesus, dan bagaimana gereja ini bisa menyebabkan kutukan kekal bagi saya. Maka, saya diam-diam mengundurkan diri dan mulai lari untuk hidup saya sendiri. Tentu saja secara rohani saya berjalan ke arah yang salah …
Perjumpaan dengan Kristus yang Tidak Terduga
Saya menjauh dari Tuhan untuk selamanya (begitulah saya memikirkannya) pada tanggal 27 September 2007, pada hari nenek saya tercinta meninggal dunia. Dia adalah orang yang berada di sisi saya dan mengasihi tanpa pamrih. Setelah pemakaman, saya berdiri di kuburannya, setelah melepaskan kupu-kupu, saya menengadah ke langit dan berkata kepada Tuhan, “Saya bisa menangani pelecehan, dan penderitaan karena pelecehan itu, dan saya tidak pernah menyalahkan Engkau atau meminta apa pun dari-Mu. Tetapi Engkau mengambil satu-satunya penopang saya, orang yang paling saya cintai. Saya akan ikut jalan saya sendiri dan Engkau dengan jalan-Mu sendiri.” Hari itu juga, saya mulai meninggalkan agama Yahudi dan masuk ke tempat yang belum pernah dijelajahi.
Saya menikah, punya anak, dan merasa bahwa hidup saya sudah lengkap. Saya sama sekali bukan orang ateis, tapi saya terus menjaga jarak dengan Tuhan, dan saya tahu Ia masih berada “di sana,” tapi saya memilih untuk tidak melibatkan-Nya. Meskipun sudah bertahun-tahun saya menyangkal pelecahan yang saya alami secara lisan, namun dampak pelecehan itu mulai timbul dalam hidup saya di tempat-tempat yang tidak terduga. Perkawinan saya mulai berantakan, saya sendiri juga hancur, saya mati-matian berusaha menemukan Tuhan di mana pun Ia berada. Pertama-tama saya menyelami agama Yahudi, khususnya Kabbalah, karena saya selalu punya aspek mistik dalam spiritualitas saya. Setelah Kabbalah, saya mengeksplorasi agama-agama Timur, namun tidak ada yang terasa benar. Saya menghadapi jalan buntu, dan semakin saya melakukan penelitian, saya semakin tenggelam. Di mana Tuhan? Kali ini Ia diam.
Perlu seluruh hidup saya berantakan, supaya Tuhan membawa saya ke tempat di mana saya tidak bisa pergi satu menit pun tanpa-Nya. Dalam keputusasaan, saya menghubungi Karen, ibu dari seorang teman, saya bertanya tentang hadir di gereja. Saya tidak tahu apakah dia juga suka ke gereja tau tidak, tapi saya dan suami saya sepakat bahwa dia adalah orang terhebat yang pernah kami jumpai, dan saya ingin apa pun yang dia miliki. Saya mengirim pesan kepadanya di Facebook dan bertanya apakah dia suka ke gereja, dan jika suka ke gereja, apakah dia mau membawa saya. Keesokan harinya, pada jam 10 pagi, saya berjalan-jalan ke sebuah gereja non-denominasi, tidak tahu apa yang hendak terjadi. Perbedaan? Kali ini saya akan membuka diri.
Khotbah di sana dibawakan oleh seorang pengkhotbah keliling, dan setiap katanya seolah-olah ditujukan kepada saya. Dengan berlinang air mata, saya memarahi Karen karena sudah menceritakan kisah saya kepada pengkhotbah itu. Karen menatap saya sambil terisak, air matanya berlinang tidak berhenti. Katanya, “Melissa, itulah kekuatan Roh Kudus, itulah kekuatan Tuhan. Saya tidak memberi tahu apa pun kepada pengkhotbah itu.”
Pengkhotbah itu selesai, kami berdua keluar bersama sambil berlinang air mata. Karen mulai membawa saya menjauhi orang banyak, dan kami berdua duduk di sofa, apakah dia mau mendoakan saya. Itulah pertama kalinya ada seseorang yang mendoakan saya, dan yang lebih mengejutkan saya, doa itu bukan dalam bahasa Ibrani. Dia mendoakan saya dalam bahasa Inggris, dengan kepastian dan keteguhan, dengan keyakinan, dan saat itu saya mengalami kasih Tuhan dengan cara yang mendalam dan pribadi.
Selama bertahun-tahun, saya sudah memandang Tuhan sebagai sesuatu, sebagai sebuah “entitas,” Tuhan yang murka. Tapi ketika saya duduk bersama Karen, sekali lagi saya merasa seperti anak tiga tahun. Tuhan adalah Pribadi yang nyata, dan nama-Nya Yesus Kristus. Sepakan kemudian, saya menemukan jati diri saya, Alkitab ada di tangan saya, menanggapi panggilan altar, di mana saya menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi, dan saya dibaptis dalam nama-Nya.
Saya kira perjalanan kembali menuju Tuhan itu sudah selesai, tapi ini baru awal mulanya.
St. Edith Stein dan Perjalanan Pulang Saya ke Gereja Katolik
Saat ini saya sedang menjalani dan menghirup iman Kristen yang baru saya temukan bersama dengan suami saya yang orang Yahudi dan sekarang sudah menjadi Kristen, ketika saya merindukan untuk berdoa di sebuah ruangan kapel. Meskipun kehidupan Kristen yang baru saya jalani ini adalah segalanya yang melampaui apa yang saya bayangkan, saya merasa ada kepingan diri saya yang hilang, dan saya merasa belum berada di “rumah.” Maka tahun 2014 menjadi waktu perjalanan setahun bagi saya, karena Roh Kudus membimbing saya untuk mencari “tempat suci” untuk berdoa, namun setiap kali saya berusaha pergi ke sebuah gereja di tengah hari, saya selalu mendapatkan jawaban: “Kami sedang tutup.”
Waktu itu saya sedang mulai menulis tentang blog tentang agama, ketika Julie, seorang teman di blog mengirimi saya sebuah e-mail, memberi tahu saya tentang St. Edith Stein yang merupakan orang yang berpindah keyakinan dari Yahudi ke Iman Katolik. Dan kenyataannya, St. Edith Stein itu seorang biarawati! Julie sendiri dibesarkan sebagai seorang Anglikan, tapi dia punya kecintaan yang dalam pada Gereja Katolik. Dia mendorong saya untuk membaca beberapa buku tentang kehidupan St. Edith Stein. Dengan buku pertamanya, saya membuka halaman itu dan tidak dapat menahan air mata saya. Edith Stein dan saya punya tanggal ulang tahun yang sama, bahkan lebih dari itu, nenek dari Edith Stein dan nenek saya namanya sama persis. Nama Adelaide bukanlah nama yang umum, tidak ada cara lain untuk menyebut ini suatu kebetulan selain mengakui bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Saat saya membaca buku-buku itu, saya menangis lagi. Hidupnya dan hidup saya saling melengkapi, dengan banyaknya persamaan dan begitu banyak benang yang mengikat kami bersama. Dan kemudian, di tengah halaman itu ada tulisan: Ekaristi. Apa itu?
Saya bertekad semampu saya untuk belajar tentang St. Edith Stein dan Ekaristi, jadi saya mencari seorang teman Katolik di tempat kerja untuk menjawab pertanyaan yang saya punya. Suatu hari, ia memberi tahu saya untuk membawa saya ke suatu tempat. Kami pergi ke sebuah kapel di sebuah paroki Katolik. Waktu itu kami datang pada waktu Adorasi Ekaristi. Saya tidak tahu apa yang sedang saya lihat, tapi dengan cara yang paling baik dan paling lembut, teman saya membisikan sesuatu kepada saya dan menjelaskan segalanya. Saya merasa cemas, tapi saya tahu kalau di sini ada sesuatu yang lebih. Jadi, keesokan harinya waktu jam makan siang, sekali lagi saya pergi ke kapel itu untuk berjumpa dengan Tuhan kita. Saya tidak berkata apa pun, hanya duduk dengan Tuhan dan menunggu. Kemudian, ketika berkendara pulang dari gereja, saya melihat kilatan cahaya, dan ada suara, saya dengar Tuhan berkata: “Melissa, sudah waktunya untuk pulang.” Tak lama setelah itu, saya hadir di Misa pertama saya dan mulai belajar Iman Katolik. Pada tahun 2016, setelah ikut program RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.), saya menjadi seorang Katolik.
Ada Tujuan dalam Penderitaan
Baru setelah saya menjadi Katolik, saya bisa memahami penderitaan dalam cara pandang Kristus. Kesembuhan saya dari pelecehan seksual menjadi panggilan hidup saya, rasa sakit menjadi tujuan saya. Dan di sepanjang perjalanan hidup saya, saya berjumpa dengan seseorang yang membawa saya ke suatu wawancara dengan seorang Katolik lainnya, ia adalah pembawa acara televisi larut malam yang bernama Stephen Colbert. Wawancara ini membantu saya untuk masuk ke dalam kehendak Allah dan tujuan hidup saya. Selain itu juga membantu saya untuk memahami penderitaan yang saya alami sebagai jalan untuk menentukan siapa diri saya sebenarnya, dan mempersiapkan tempat untuk pelayanan saya dalam Iman Katolik, yaitu dalam sebuah konsep yang disebut penderitaan penebusan.
Pak Colbert mengatakan hal ini bahwa dalam suatu wawancara tahun 2015 yang ia berikan kepada Majalah GQ, “Kamu harus belajar mencintai bom (kiasan tentang permasalahan hidup –red.).” Kata saya, “Wah, apakah saya sudah punya bom ketika saya umur10 tahun. Suatu ledakan yang cukup. Dan saya belajar untuk mencintainya. Jadi itulah alasannya. Mungkin saya tidak tahu. Mungkin itulah mengapa Anda tidak melihat saya sebagai seseorang yang marah dan sedang melatih setan di panggung hidup saya. Saya sangat menyukai hal yang paling tidak ingin terjadi ini.”
Saya Mencintai Hal yang Paling Tidak Ingin Terjadi dalam Hidup Saya!
Pernyataan ini mengubah hidup saya selamanya. Sekarang, saya bukan saja menemukan kebenaran Iman Katolik, tapi juga menemukan makna sejati dari kasih Allah dalam penyaliban. Colbert sendiri adalah yang paling muda dari sebelas bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat, ia kehilangan ayah dan dua saudaranya dalam kecelakaan pesawat yang tragis ketika ia berusia 10 tahun. Namun, melalui iman Katoliknya, ia sudah mempelajari makna penderitaan. Ia bukan hanya bertahan, tapi ia berkembang, dan memahami rasa sakitnya melalui pribadi Yesus Kristus. Dan dengan cara seperti ini yang bisa mengisi hidupnya, dan juga mulai mengisi hidup saya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Saya sangat memegang erat salib, kehidupan Gereja, dan panggilan saya untuk berbicara bagi mereka yang mengalami trauma.
Akhirnya saya memahami bahwa Allah tidak ingin saya menderita dan mati. Melainkan, saya khusus dipilih untuk membawa pesan dari seseorang yang sudah melakukannya kepada saya, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus.
Melissa Zelniker-Presser adalah seorang istri, ibu dari tiga anak, dan pengacara yang bekerja dalam pidana kriminal.
Posted on 22 January 2021, in Kisah Iman and tagged Non-denominasi, Yahudi. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0