[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Apakah Misa itu Kurban?
Oleh Dr. Brant Pitre

Holy Sacrifice of the Mass – A painting inside the chapel of St. Benedict’s Monastery in Corte, Carmen, Cebu, Philippines karya Jun Rebayla (Sumber: flickr.com)
Ada satu pertanyaan tentang Misa, di mana ada perikop yang dijadikan kontroversi di abad ke-16 oleh para reformator Protestan, terutama Martin Luther. Ketika kebanyakan umat Katolik masa kini membicarakan tentang Reformasi Protestan maka seringkali membahas perdebatan mengenai Kehadiran Nyata – misalnya tentang Transsubstansiasi.
Ada teori-teori yang berbeda mengenai Kehadiran nyata pada zaman Reformasi. Apakah Yesus hanya hadir secara rohani dalam roti dan anggur, seperti pendapat Calvin? Atau konsubstansiasi seperti pendapat Luther, di mana roti dan anggur hadir bersama dengan Tubuh dan Darah Kristus? Dan itu semua salah. Maka, apa itu transsubstansiasi yang diajarkan Konsili Trente? Yaitu tidak ada roti dan anggur setelah konsekrasi atau tidak ada lagi substansi roti dan anggur setelah konsekrasi – yang masih tetap adalah rupanya, tetapi yang hadir di altar adalah Yesus Kristus, Tubuh, Darah, Jiwa dan Keilahian-Nya.
Sering kali perdebatan yang terjadi berkisar hal ini. Tapi pada zaman Reformasi dan ketika Anda membaca tulisan para reformator itu sendiri, maka Anda akan melihat bahwa salah satu hal yang sebenarnya mereka tentang adalah bukan tentang kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Bukan itu masalah utamanya, tapi masalah tentang apakah Misa harus digambarkan sebagai kurban atau bukan. Apakah Misa itu adalah kurban?
Jika Anda membaca tulisan Martin Luther tentang hal ini, ia menggunakan beberapa retorikanya yang paling keras untuk menentang dan mengkritik gagasan Misa sebagai kurban. Kita baca kutipan Martin Luther dari traktat yang berjudul “The Abomination of the Secret Mass (Kekejian Misa Secreta)” yang judulnya bombastis begitu juga dalam tata bahasanya, kita bisa melihat bagaimana cara Luther menggambarkan iman Katolik bahwa Misa adalah kurban, inilah kutipannya:
Sekali lagi imam mempersembahkan Yesus Kristus, yang sudah mempersembahkan diri-Nya hanya satu kali (Ibrani 9:25-26), sama seperti ketika Ia mati untuk sekali saja dan tidak dapat mati lagi atau tidak bisa dipersembahkan kembali (Roma 6:9-10) … Tapi mereka [para imam Katolik] terus menerus bahkan setiap hari mempersembahkan-Nya kembali lebih dari seratus ribu kali di seluruh dunia. Dengan demikian mereka melakukan penyangkalan bahwa Kristus sudah menghapus dosa dan sudah mati dan bangkit kembali, baik dengan perbuatan maupun dengan hatinya. Oleh karena itu, saya tidak percaya kalau kekejian seperti ini cukup dengan hukuman di muka bumi, jika saja api yang murni diturunkan dari surga. Penistaan ini begitu besar sehingga harus menunggu api kekal neraka. (Martin Luther, The Abomination of Secret Mass, disunting oleh Jaroslav Pelikan, Luther’s Works, vol. 36, hlm. 320)
Itulah pemikiran bahwa Misa sebagai kurban yang dianggap sebagai penghujatan sehingga semua imam Katolik yang ada di setiap altar di dunia jika dihujani dengan api surgawi maka hukuman itu belum cukup atas penghujatan yang sudah mereka lakukan. Maka perlu menantikan hukuman dalam kutukan kekal.
Inilah retorika yang sangat kuat. Mengapa Luther sangat menentang pemikiran tentang Misa sebagai kurban? Karena begitulah cara Luther menafsirkan Ibrani 9:25-26.
Kita bisa melihat bagaimana pemikiran Luther ketika kita menyebut Misa sebagai kurban, akibatnya menganggap bahwa kurban Yesus di Kalvari belum cukup atau tidak mencukupi. Maka pemikiran ini punya konsekuensi, karena ada dosa manusia maka belum cukup, sehingga perlu membunuh Yesus, dan kita perlu berulang kali mengorbankan Yesus dalam setiap Misa yang dipersembahkan demi penghapusan dosa.
Maka menurut Luther, Misa sebagai kurban adalah penyangkalan akan daya penebusan Kalvari. Setelah Luther menolak Misa, kemudian Konsili Trente pada abad ke-16 menjawab dengan dekrit tentang Misa dan Ekaristi. Secara khusus, ada satu bagian yang berjudul Doktrin dan Kanon mengenai Kurban Misa. Inilah isinya:
Dalam kurban ilahi yang dirayakan dalam Misa, Kristus yang sama yang mempersembahkan diri-Nya sekali dengan cara yang berdarah [lih. Ibrani 9:14, 24f.] di atas altar Salib hadir dan dipersembahkan dengan cara yang tak berdarah.
Kemudian, pada tahun 1992, Katekismus Gereja Katolik yang berdasarkan pada Konsili Trente sedikit lebih jauh mengembangkannya dan mengatakan demikian:
Kurban Kristus dan kurban Ekaristi hanya satu kurban: “karena bahan persembahan adalah satu dan sama; yang sama, yang dulu mengurbankan diri di salib, sekarang membawakan kurban oleh pelayanan imam; hanya cara berkurban yang berbeda.” “Dalam kurban ilahi ini, yang dilaksanakan di dalam misa, Kristus yang sama itu hadir dan dikurbankan secara tidak berdarah… yang mengurbankan diri sendiri di kayu salib secara berdarah satu kali untuk selama-lamanya” (Konsili Trente: DS 1743). (KGK 1367)
Pendapat keliru Luther yang menyebut Misa sebagai kurban adalah bentuk penghujatan karena Luther menganggap bahwa Misa dan Kalvari adalah dua kurban yang berbeda. Sehingga di satu sisi ada kurban Kalvari dan di sisi lain ada kurban Misa yang entah bagaimana caranya ditambahkan ke kurban Kalvari.
Tapi Konsili Trente dan Katekismus Gereja Katolik menjawab kekeliruan itu dengan mengatakan tidak demikian, Luther salah paham. Hanya ada satu kurban dan itulah kurban Yesus Kristus. Tapi satu kurban Kristus di Kalvari itu dihadirkan dengan cara yang berbeda dalam kurban Misa yang tidak berdarah. Jadi Kalvari adalah kurban yang berdarah, dan Misa adalah kurban yang tak berdarah. Tapi kurban Ekaristi dan kurban salib adalah satu kurban yang tunggal.
Mungkin Anda berpikir, “Sepertinya bagus, tapi mengapa kurban Kalvari dan Misa bisa jadi satu kurban? Bagaimana Anda bisa tahu?” Dengan membaca konteks Ibrani 9:26, yang menyatakan demikian:
Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja [once for all] menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya.
Konteksnya ada dalam Ibrani 7 ketika dikatakan bahwa Ia mempersembahkan diri-Nya “satu kali untuk selama-lamanya [once for all]” dalam Ibrani 7:27. Identitas diri-Nya sebagai imam besar menurut peraturan Melkisedek yang akan memasuki tempat kudus surgawi untuk mempersembahkan diri-Nya di bait suci di dalam kekekalan yang tidak dibuat dengan tangan manusia, satu kali untuk sepanjang masa.
Dengan kata lain, alasan Luther tidak melihat bagaimana Misa bisa menjadi suatu kurban karena ia memusatkan perhatian pada Kalvari dan melupakan kenaikan Yesus ke surga. Dan hal ini sangat penting, jika Anda berusaha untuk memahami Misteri Paskah yang sering dipikirkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan wafat Yesus, dan jika Anda melupakan kebangkitan dan kenaikan-Nya maka akan salah paham. Dan apa yang ada dalam misteri Kenaikan Yesus ke Surga itu mengungkapkan bagaimana Yesus membawa kurban duniawi di Kalvari menuju ke kekekalan. Dan begitu Anda memahami bahwa Yesus membawa kurban duniawi ke dalam kekekalan, maka Anda bisa mamahami bagaimana dari surga, Yesus bisa hadir – Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keilahian-Nya – dalam setiap altar di seluruh dunia setiap hari sampai akhir zaman.
Dan sayangnya, sampai dengan saat ini, banyak orang lupa akan Kenaikan-Nya. Kita lebih fokus dengan wafat Sang Kristus dalam Jumat Agung. Kita juga lebih fokus dengan Kebangkitan pada hari Minggu Paskah. Tapi kita lupa dengan salah satu misteri utama iman Kristen yaitu Kenaikan Yesus ke Surga. Karena seperti yang diungkapkan dalam Ibrani 9 kepada kita, bahwa dalam misteri Kenaikan, Yesus menggenapi hari raya orang Yahudi, Yom Kippur. Dan Yesus menetapkan Hari Pendamaian yang baru yang bukan hanya terjadi dalam waktu Kenaikan saja tapi dalam kekekalan, dengan mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Bapa atas nama umat manusia satu kali untuk selama-lamanya.
Persembahan diri surgawi yang kekal ini dihadirkan kembali setiap kurban Misa dipersembahkan di setiap altar di seluruh dunia sampai akhir zaman.
Sumber: “Is the Mass a Sacrifice?”
Posted on 16 August 2022, in Ekaristi and tagged Brant Pitre, Ekaristi, Kehadiran Nyata, Martin Luther, Transubstansiasi. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0