Berjumpa dengan Yesus di Kapel Adorasi – Kisah Lori Ann Mancini

Lori Ann Mancini (Sumber: chnetwork.org)

Ketika saya bertumbuh besar, iman adalah sesuatu yang serius. Orang tua saya termasuk golongan pasangan muda di akhir tahun 1950-an yang merantau dari wilayah pertambangan batu bara di Kentucky untuk mencari pekerjaan di Ohio dengan melakukan perjalanan melalui Rute 23. Saya lahir pada tahun 1969, anak bungsu dari tiga anak perempuan, orang tua saya umat dari Church of Christ. Banyak keluarga dari keluarga besar di kota kecil yang kami tempati punya iman yang sama. Sampai saat ini, saya masih menghargai lagu-lagu dan nyanyian akapela yang menjadi ciri tradisi iman ini. Ajaran dari Church of Christ yaitu baptisan selam, baptisan bagi orang dewasa saja, dan ajaran hanya Alkitab, semuanya kelihatan benar dan masuk akal bagi saya.

Retaknya fondasi hidup

Namun, sekitar saya berusia 12 tahun, perkawinan orang tua saya mulai berantakan. Ada banyak kekacauan yang terjadi di rumah kami. Saya selalu menjadi seorang anak yang sensitif dan memikirkan berbagai macam hal dengan sangat mendalam. Saya merasa dibiarkan sendiri dalam memahami, mempertanyakan, dan menjelajahi dunia luar. Pada masa ini pula saya memutuskan untuk dibaptis. Inilah yang membuat tantangan besar perdana dalam iman saya. Setelah saya dibaptis, saya merasa bahwa itu belum cukup. Saya tidak pernah merasa “sudah diselamatkan.” Sebaliknya, seolah-olah Tuhan menjauh dari saya, dan meskipun saya tetap menjadi umat di gereja itu dan terus berdoa, perasaan seperti itu semakin besar. Pada musim panas berikutnya, saya dibaptis ulang di kamp gereja. Tapi saya masih belum merasa kalau saya “sudah diselamatkan.” Sebaliknya, kecemasan akan eksistensi diri yang semakin mendalam dan gelap, inilah yang akan menentukan sisa masa remaja saya.

Saya juga punya banyak pertanyaan tentang Tuhan, alam semesta, dan Alkitab, dan semua itu ada di hadapan saya. Pada usia 17 tahun, saya melanjutkan studi ke David Lipscomb University di Nashville, Tennessee. Saya bertemu dengan para guru yang punya semangat luar biasa dalam iman, tapi pertanyaan-pertanyaan saya tidak terjawab. Pada musim panas sebelum tahun pertama kuliah, saya merasa tidak ada prospek untuk ada di sana, maka saya mendaftar di Ohio State University.

Hancur berantakan

Saya daftar kuliah untuk jurusan filsafat di kuartal pertama, dengan apa yang tersisa dari iman fundamentalis yang sudah hancur. Itulah masa-masa yang sangat menakutkan. Saya mengalami sulit tidur di malam hari, tidak tahu bagaimana untuk merasa betah di alam semesta. Saya mulai menegak minuman keras dan mengalihkan diri saya sendiri dari semua pertanyaan mendalam itu yang mengganggu diri saya dengan bersosialisasi dengan orang lain dan berpesta pora. Saya menganut ideologi feminis sekuler yang secara khusus dipromosikan dalam studi di universitas saya dan pada masyarakat pada umumnya. Saya akan hidup “sebebas siapa pun.” Kalau dipikir-pikir, waktu itu saya hidup lebih bebas dari kebanyakan kaum pria yang punya akal sehat memadai untuk menghindari situasi berisiko tinggi seperti posisi saya. Sementara waktu, saya menjadi umat di gereja Episkopal kampus, dan berpikir kalau saya bisa mencari jalan untuk tetap menjadi seorang Kristen sambil menolak prinsip fundamentalis dari iman masa kecil saya. Tapi hal itu tidak berhasil lama.

Berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan hidup

Pada masa ini, saya menyelesaikan dua gelar sarjana, dalam bahasa Prancis dan bidang pendidikan. Entah bagaimana saya dengan gampangnya mengambil bahasa Prancis dan tak lama kemudian saya fasih berbahasa Prancis. Saya tidak mampu untuk membayar biaya program studi di luar negeri, tapi saya bisa mengatur masa tinggal yang lebih lama di Prancis selama satu musim panas melalui Volunteers for Peace (Relawan untuk Perdamaian). Di kemudian hari, saya Kembali ke Prancis sebagai asisten guru bahasa Inggris untuk tahun ajaran 1994-95 setelah saya dipilih oleh Komite Pengajaran Fulbright. Hal ini benar-benar menjadi pengalaman yang mengubah hidup saya. Saya menjalani persahabatan yang langgeng, dan saya menganut tata cara intelektual Prancis, humanisme sekuler, yang mengejutkan tidak sadar akan sejarah Kristen di Prancis. (Pengaburan sejarah Kristen yang total dan sangat salah kaprah yang diajarkan di pendidikan universitas). Masa-masa di Prancis memberikan cukup banyak momen yang indah untuk memberikan kenangan seumur hidup.

Di akhir tahun itu, meskipun saya ingin tetap tinggal di Prancis, visa sementara saya habis, maka saya pulang ke Amerika Serikat. Hal itu menjadi masa adaptasi yang berat untuk pulang ke Ohio. Sesekali, pencarian rohani saya beralih ke kelas yoga (sekarang, saya tidak menganjurkan ini), tapi pada saat itu saya sudah belajar untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Pada paruh kedua tahun 1999, saya hampir berusia 30 tahun, seorang perokok, masih lajang, dan tidak bahagia dengan pacar kumpul kebo saya.

Peluang untuk pindah ke Texas terbuka lebar. Seorang mantan bos menelepon dan menawarkan kontak selama enam bulan untuk mengerjakan proyek buku teks di sana. Inilah yang saya butuhkan untuk mendapatkan kejelasan. Selama saya tidak di rumah bersama pacar saya, saya sadar bahwa hubungan kami seperti kebiasaan merokok saya, yaitu cara yang tidak sehat untuk “menghilangkan stress.” Bermaksud mencari hiburan, malahan saya menegak racun. Maka saya berhenti merokok dan mengakhiri hubungan ketika saya kembali dari Texas ke Ohio.

Tersesat dalam Kekacauan New Age

Beberapa bulan kemudian di tahun yang sama, saya bertemu dengan seorang pria yang menarik perhatian, namanya Nick. Ia seorang yang sensitif dan pemikir yang dalam. Ia sudah belajar filsafat dengan intensif, sudah menyelesaikan gelar master dan sebagian studi dalam gelar Ph. D.-nya. Ia bukan seorang peminum berat (seperti saya dulu), tapi kami punya banyak kesamaan minat, dan ia juga punya sifat yang baik dan rendah hati, itulah yang membuat saya tak berkutik. Saya mencintainya, dan kami menikah pada bulan Juli 2002.

Sekitar saya bertemu dengannya, yaitu menjelang akhir tahun 2000, saya mulai bekerja di sebuah restoran vegetarian yang dijalankan oleh para pemerhati lingkungan. Mereka memulai sebuah komunitas yang didasarkan pada penciptaan suaka alam liar, dan dalam aktivitasnya ditopang oleh spiritualitas New Age yang ekstensif. Secara khusus, ada salah satu pemiliknya yang sangat aktif terlibat dalam Teosofi, dan dia mengajar kelas di lantai atas restoran itu. Saya menikmati pekerjaan di kafe dan pada akhirnya saya memutuskan bergabung dengan para pemerhati lingkungan penganut New Age di tempat perkumpulan mereka yang disebut suaka.

Nick ragu-ragu tentang semua gerak-gerik itu. Dengan sikap bijak dan pemikiran jauh ke depan yang saya andalkan selama bertahun-tahun, Nick menyarankan supaya saya tidak menjual rumah sebelum saya pindah ke suaka itu. Maka, saya pindah ke pedesaan, sebagai penjaga properti milik suaka itu, dan Nick pindah ke rumah sederhana dengan dua kamar tidur sebagai seorang penyewa di sana. Nick mau melindungi say ajika ada masalah dengan cara hidup baru saya ini.

Keterlibatan saya dengan kelompok ini hanya berlangsung beberapa tahun saja, tapi berbagai macam hal menjadi sangat aneh dengan begitu cepat. Saya hanya akan berkata kalau kami itu mempelajari ajaran dan praktik spiritual, kami melakukannya untuk mendorong cinta dan penyembuhan dalam diri kami sendiri dan di dunia. Kami naif, spiritualitas ini adalah pemainan yang berbahaya. Ada beberapa dampak jangka panjang yang memengaruhi kesehatan fisik dan mental, juga kualitas hidup saya selama bertahun-tahun. Saya masih ingat ketika saya dicengkeram oleh depresi yang mengerikan menjelang akhir keterlibatan saya dengan kelompok itu. Misalnya, pada masa itu, si pemilik kafe yang menjadi penasihat untuk pengendalian kelompok, berkata kepada saya bahwa dia pikir bumi akan menhargai “sukarelawan” – yang dia maksud adalah bunuh diri. Itulah yang membuat saya sadar, dan menunjukkan seberapa jauh saya sudah tersesat.

Menjelang akhir kisah hidup saya dalam bab ini, saya mengalami kasus pneumonia parah dan terbaring di tempat tidur selama hampir sebulan. Beberapa bulan kemudian, saya mengalami emboli paru-paru yang pada awalnya salah diagnosis oleh dokter sebagai serangan asma dadakan. Hasil negatif palsu di CT scan juga tidak banyak membantu permasalahan ini, oleh karena itu, kondisi saya tetap menjadi misteri bagi para dokter selama delapan pekan.

Menemukan kesempatan hidup baru

Akhirnya, emboli paru-paru didiagnosis pada bulan Oktober 2004. Saat itu, saya sudah cukup tahu bahwa tata cara New Age itu sangat tidak sehat bagi saya dan sarat bahaya spiritual. Selain itu, saya merasa kalau diri saya sedang tergelincir, dan sepertinya saya bisa “membiarkannya” dan mati. Saya juga bisa merasakan apa yang saya artikan bahwa doa-doa orang yang saya kasihi itu melingkupi diri saya seperti arus hangat. Saya ingat bahwa, selama saya depresi berat, sebelum menderita pneumonia, saya punya perasaan kuat bahwa saya tidak ingin lagi ada. Dengan menghadapi kenyataan dari pemikiran ini, saya merenungkan bahwa hidup saya dengan suami saya itu hanya dua tahun. Saya merangkai kata dengan jelas dalam pikiran saya bahwa jika inilah waktu saya untuk pergi, saya mau pergi saja – karena perlahan-lahan dan benar-benar merasa tercekik sampai mati itu sangat mengerikan. Tapi, jika saya punya pilihan, saya lebih suka tetap hidup dan menjalani hidup dengan Nick dan menjadi seorang ibu.

Selama beberapa jam kemudian, hidup saya berubah arah. Dokter bisa memperoleh hasil pemindaian dari ventilasi/perfusi paru-paru. Ada gumpalan besar di paru-paru kanan bawah saya. Seorang ahli jantung juga turun tangan untuk membantu saya, dengan berkata kalau ia tidak suka ada orang yang masih sangat muda dan sangat menderita. Ia memutuskan untuk melakukan angiogram paru-paru untuk menentukan apa yang tidak berfungsi dengan baik. Tepat sebelum prosedur itu dilakukan, tiba-tiba suami saya menyadari sesuatu dan merasa ada “perasaan tidak enak” tentang obat yang akan diberikan perawat kepada saya. Nick menghentikan perawat ini dari salah memberi obat pengencer darah. (Kemudian kepala perawat datang, hampir menangis dan berterima kasih pada Nick) Dan entah bagaimana, setelah beberapa pekan berjuang untuk bernapas, kelelahan dan merasa takut, saya bisa melalui prosedur itu, dan dokter memastikan bahwa ada gumpalan besar di paru-paru saya.

Sebelum hari itu, saya sudah diperbolehkan pulang dari beberapa kali [lebih dari belasan kali] dari berbagai UGD rumah sakit dan hampir dinyatakan sebagai kasus psikiatri. Tahu apa yang saya derita menjadi sesuatu yang sangat melegakan. Sesudah itu saya menjalani masa pemulihan yang panjang. Selama berminggu-minggu, saya tidak bisa banyak berjalan, dan saya kehilangan kekuatan otot dan stamina. Tapi lambat laun, beberapa minggu kemudian, kemampuan berjalan saya bisa meningkat. Butuh waktu bertahun-tahun supaya pernapasan saya terasa lebih nyaman, bahkan sampai saat ini saya masih merasakan sisa-sisa penyakit jangka panjang itu.

Melakukan evaluasi ulang Kekristenan … melalui Buddisme

Di suatu waktu di musim semi 2007, saya belajar di kuil Buddha di daerah saya. Saya ikut tradisi Buddhisme Tibet yang disebut sekolah Karma Kagyu. Ada seorang teman kuliah yang menjadi psikolog hebat, sudah menjadi seorang Buddhis yang telaten selama beberapa dekade. Kuil ini yang didatanginya. Karena penasaran, suatu saat saya mencarinya, inilah yang menyebabkan saya rutin ikut di sana selama tujuh tahun.

Apa yang saya suka dari obrolan di sana adalah kepraktisannya. Pada dasarnya, ajaran-ajarannya berbau agnostik mengenai pertanyaan-pertanyaan besar tentang kerohanian. Tapi mereka memberikan kerangka pemikiran yang sangat pragmatis untuk membantu orang banyak semakin sadar akan pikiran dan kebiasaan mereka, sehingga bisa mendorong mereka untuk menimba sesuatu yang lebih baik lagi. Salah satu ajaran dasar mereka adalah bahwa semua manusia dilahirkan dengan cenderung angkuh dan egois, maka seseorang harus menaklukkan hasrat ini untuk tumbuh dalam cinta kasih. Ajaran ini mengena bagi saya, mirip dengan beberapa ajaran Kristen, dan menjadi persinggahan yang baik dari pengalaman kekacauan dalam spiritualitas New Age.

Sungguh ironis, pembelajaran Buddhisme yang saya lakukan mengajarkan saya untuk menjadi kurang reaktif, kurang agresif terhadap Kekristenan. Selama bertahun-tahun, saya punya prasangka negatif terhadap Kekristenan, ketika saya kehilangan kepercayaan akan historisitas Alkitab, dan juga tentang dasar kebenaran larangan sosial dan seksual Kristiani. Lebih jauh lagi, feminisme yang saya adopsi dari bangku kuliah membuat saya punya cara pandang pro-choice, dan saya tidak menerima orang Kristen yang pro-life. Masalahnya, saya berpikir bahwa pro-life adalah cara untuk mengendalikan kaum wanita. Namun yang menarik, di vihara saya menghadapi pertanyaan pro-life sebagai seorang Buddhis. Meskipun banyak Buddhis Amerika menolak ajaran pro-life, Buddhisme Tibet mengajarkan bahwa aborsi sebagai sesuatu yang amoral dan kesalahan besar yang disertai hutang karma yang sangat berat. Konsep ini ini jelas dimengerti pada saat ini, tapi pada saat itu konsep ini adalah ajaran yang tidak nyaman untuk saya hadapi.

Berbalik ke Gereja

Perlu diketahui, alasan saya menginjakkan kaki di wilayah Gereja pada tahun 2014 itu karena saya sadar bahwa sekolah negeri di tempat saya itu tidak akan cocok dengan Liliana, anak sulung kami. Lalu, saya mencari pendidikan yang lebih baik untuk anak kembar kami, Eve dan Georgia. Saya sudah berusaha setiap pilihan sekolah selain sekolah Katolik yang jaraknya empat blok dari kediaman kami. Tapi Nick yang meskipun seorang agnostik, ia menyarankan supaya saya mencari informasi tentang sekolah Katolik itu, karena kami “orang-orang berpikiran terbuka.”

Ketika saya berkeliling sekolah itu, saya merasakan pengalaman baik yang tidak saya pahami. Sebelum berkunjung, awalnya saya seperti masuk ke “wilayah musuh.” Tapi ketika saya membuka pintu dan masuk sekolah, saya sangat merasakan sensasi akan kebaikan, kehangatan, dan kedamaian. Setelah saya dan Nick sepakat mendaftarkan putri kami, saya mulai belajar iman Katolik … untuk melindungi anak saya dari ajaran itu. Segera saya sadar bahwa saya akan berurusan lagi dengan Alkitab, dan saya dipenuhi rasa takut.

Mencari-cari jawaban, saya menemukan situs web milik seorang mantan anggota Church of Christ dan seorang yang pindah keyakinan ke Katolik. Ia memberikan banyak jawaban atas pertanyaan saya tentang iman Katolik yang berbeda dengan ajaran iman masa kecil saya, beberapa diantaranya, secara khusus tentang cara baptisan yang benar, doktrin sola Scriptura (hanya Alkitab), dan memanggil presbiter dengan sebutan Father (Bapa/Romo). Sekarang situs web itu sudah tidak ada, tapi kemudian saya menemukan panduan yang lebih bermanfaat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini yaitu dalam buku Christ in His Fullness karya Diakon Bruce Sullivan. Ia sendiri juga seorang yang pindah keyakinan ke Katolik dari Church of Christ, buku itu menyertakan beberapa lampiran yang sangat membantu dalam membahas pergumulan saya lebih rinci lagi. Buku Catholicism and Fundamentalism karya Karl Keating juga sangat informatif, juga buku Bearing False Witness karya Rodney Stark yang seorang non-Katolik. Buku karya Stark ini membahas keberatan umum yang dituduhkan kepada Gereja Katolik di masyarakat maupun di dunia akademis.  Ada juga acara radio yang luar biasa bernama Called to Communion yang dipandu oleh Dr. David Anders, dari acara ini saya menemukan banyak jawaban atas pertanyaan saya.

Suatu perjumpaan dengan Ekaristi

Pada suatu hari, di pertengahan bulan September, saya merasa sangat tertarik dengan salah satu kapel di gereja kampus.  Saya mendapat informasi bahwa kapel itu sudah dibuka setiap hari sejak tahun 1998, dan dikelola sepenuhnya oleh para relawan. Dedikasi para relawan selama bertahun-tahun membuat saya terkesan. Pada suatu siang hari saya sedang keluar untuk memberikan sertifikat hadiah dan punya acara “Hari Ibu” tapi saya pergi menuju kapel ini sambil merasa gugup karena saya merasa tidak pantas berada di sana.

Saya membunyikan bel, kemudian ada seorang pria yang membukakan pintu untuk saya. Saya masuk dan berlutut dengan kedua lutut saya, karena saya sudah membaca etiket yang layak untuk dilakukan di sana. Kemudian saya duduk dan mulai menghitung napas saya, seperti yang sudah diajarkan kepada saya di tempat belajar Buddhis. Saat itu, saya benar-benar harus percaya lagi. Saya merasa tidak jauh dengan perkiraan saya. Sulit menjelaskan apa yang terjadi saat itu, tapi saya mulai merasakan perasaan kasih yang intens, hampir seperti beban yang meremukkan. Saya merasa bahwa saya harus menelungkup di lantai. Kendati demikian, ada orang lain di kapel itu, sehingga saya malu untuk melakukannya. Perasaan itu cukup kuat sehingga saya perlu menahan tangan saya ke bangku untuk menahan diri. Pada saat yang sama, ada kata-kata, “Aku selalu bersamamu; Aku selalu bersamamu; Aku selalu bersamamu,” yang berulang kali bergema dengan jelas di kepala saya. Saya juga mendengar detak jantung saya di telinga saya. Dalam benak saya, saya mengingat kembali ketika saya merasa “tersesat di kegelapan” jauh di luar kasih Tuhan. Pesan yang saya dengar sekarang lebih dekat lagi, “Aku tidak pernah meninggalkanmu, bahkan pada saat itu.” Sensasi yang saya rasakan ini terus berlanjut sekitar 20 menit.

Saya merasakan sesuatu dari kata “Ekaristi.” Saya memahami bahwa yang ada di hadapan saya adalah Ekaristi, dan dalam hati saya mengucapkan kata itu beberapa kali kepada diri saya sendiri. Kemudian saya terpikir bahwa Ekaristi ini memang seperti yang dikatakan Gereja, yaitu Yesus sendiri. Dan Ia baru saja menyatakan bahwa saya adalah kepunyaan-Nya dan sudah melingkupi diri saya dengan kasih-Nya.

Yesus Ekaristis hadir di sini dalam rupa roti yang ada di kapel itu melalui Gereja, yang menjadikannya Ekaristi seperti yang sudah Ia perintahkan kepada mereka melalui Konsekrasi. Dan meskipun Yesus mengizinkan saya untuk tetap duduk di hadirat-Nya, seharusnya saya berlutut seperti yang saya ingin lakukan. Setidaknya saya punya sedikit bayang-bayang Kitab Suci bahwa, “Dalam nama Yesus bertekuk lututlah semuanya.” Dan memang, setiap lutut akan bertelut seperti yang Ia kehendaki.

Menemukan fondasi baru

Beberapa pekan dan bulan berikutnya menjadi kesibukan dalam melakukan penelitian dan perluasan wawasan, ketika saya berusaha memahami apa yang sudah terjadi dengan diri saya. Saya ingat ketika mempelajari apa yang menjadi wasiat Yesus ketika Ia berkata, “Melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” adalah kuasa pengajaran-Nya. Yesus menganugerahkan kuasa ini kepada Gereja-Nya ketika Ia berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas Batu Karang ini, Aku akan membangun Gereja-Ku.” Gereja ini sudah ada ratusan tahun sebelum Alkitab, dalam hal penyusunan Alkitab dan “daftar isi” dan bahkan melalui kuasa Gereja inilah yang secara tidak sadar orang Protestan andalkan, yaitu Alkitab yang dipegang mereka sendiri. Maka, saya sadar bahwa Alkitab pada dasarnya adalah dokumen Katolik.

Selain itu, saya ingat ketika mempelajari St. Irenaeus sebagai murid Polikarpus, murid dari Rasul Yohanes, yang kepadanya sendiri Tuhan Yesus berkata dari kayu salib. Itulah garis suksesi yang otentik! Bagaimana saya tidak tahu ini? Suksesi apostolik merupakan hal yang nyata, dan Gereja Katolik punya garis suksesi yang tidak terputus yang bisa dilacak kembali sampai ke Yesus.

Berjalan dan bertumbuh dalam iman

Hanya beberapa pekan setelah saya resmi masuk Gereja, saya melakukan wawancara dengan pastor paroki. Ia bertanya kepada saya, “Jadi, bagaimana sikap kamu dengan Bunda Maria?” Saya berkata kalau saya tidak tahu. Saya memang ingin memastikan bahwa tidak ada batas yang dilanggar dalam menyembah di mana tidak ada yang diperbolehkan untuk disembah selain Tuhan saja. Menariknya, saya sudah memperhatikan bahwa devosi Maria ini tampaknya sudah meluas di kalangan umat Katolik menjadi suatu bentuk penghormatan dan penghargaan bagi kaum wanita secara umum dan keibuan secara khusus. Inilah perbedaan nyata dari belahan dunia lainnya dan saya tidak siap untuk itu. Saya sudah percaya bahwa kebohongan budaya yang mengatakan bahwa Gereja Katolik itu membenci kaum wanita.

Sebaliknya, bertahun-tahun sejak saat itu saya menjadi tahu bahwa iman itu sangat membantu untuk menyembuhkan serta menjadi penangkal pesan-pesan berbahaya yang saya serap seiring bertambahnya usia dan dikelilingi oleh norma-norma sekuler. Tuhan menghendaki sesuatu yang lebih daripada yang diidamkan oleh masyarakat kita. Ajaran Gereja itu tentang seluruh pribadi manusia, bahkan mencakup seksualitas kita yang indah dan yang memberikan diri untuk kehidupan. Martabat manusia yang diberikan Tuhan kepada kita benar-benar menakjubkan. Dan secara tidak sadar, saya sudah menukarkan semua itu dalam suatu kesepakatan yang begitu buruk sehingga saya jatuh dalam dusta dunia. Tapi Tuhan mengasihani saya dan memberikan kesempatan untuk belajar akan kebenaran ini pada waktunya sehingga bisa berdaya guna, bukan untuk diri saya sendiri tapi juga untuk perkawinan saya dan ketiga putri saya yang cantik.

Pada hari saya diwawancarai, presbiter itu mengatakan kepada saya bahwa tidak perlu heran kalau Bunda Maria hadir dalam hidup saya dalam beberapa pekan mendatang. Saya tidak tahu untuk menjawab perkataannya. Saya merasa senang masuk Gereja meskipun tidak ada teman atau keluarga yang ikut hadir pada Vigili Paskah itu. Jujur saja, Nick juga mendukung sekuat ia bisa, meskipun ia sendiri masih seorang agnostik. Namun, ia tidak bisa hadir pada acara di larut malam itu, ia memilih untuk tinggal di rumah karena takut ketiga anak kami yang masih kecil itu akan mengganggu. Memang Nick punya perbedaan pendapat yang sangat berbeda dengan doktrin Gereja, tapi ia menghormati keinginan saya untuk menjadi anggota Gereja dan menerima perubahan keyakinan saya.

Menemukan kalau Kasih punya seorang Ibu

Sekitar enam bulan kemudian, ada serangkaian peristiwa yang terjadi selama satu akhir pekan. Nyatanya, Bunda Maria hadir dalam hidup saya sewaktu saya tidak mengharapkannya. Dia melakukannya dengan cara yang sangat manis dan penuh kasih, berjejer berkat demi berkat, masing-masing diperuntukkan buat saya seolah-olah memberi tahu saya bahwa sungguh penting kalau saya mulai menggunakan Medali Wasiat sebagai devosi. Sebelum itu, saya tidak tahu ap aitu Medali Wasiat. Sebenarnya, seluruh praktik Katolik menggunakan sakramentali (benda-benda yang diberkati) itu menjadi hal asing bagi saya. Pada waktu larut malam hari sesudah saya mulai memakainya, devosi ini diperkenalkan oleh St. Katarina Labouré dan hari peringatannya di Amerika bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Di kemudian hari, saya mengetahui kalua medali itu memperingati Maria yang Dikandung Tanpa Noda. Nama ini juga yang menjadi nama paroki tempat saya mengalami perubahan keyakinan.

Seolah-olah anak perempuan yang sedang mengembara ini belum cukup dimanjakan, hanya dalam waktu beberapa bulan terjadi serangkaian peristiwa kebetulan yang mustahil, saya pergi ke Prancis, kali ini sebagai seorang Katolik yang taat. Waktu itu saya sangat ingin menikmati semua keindahan Gereja yang ada di sana, di dalam katedral-katedral dan di seluruh bagian negara itu. Sampai saya tiba di sana, saya tidak sadar kalau saya menyewa hotel yang jaraknya sangat dekat dengan kapel tempat St. Katarina Labouré menerima penglihatan. Saat itu saya sudah setahun menjadi Katolik, dan di tempat itu saya ditemani putri sulung saya berdoa di kapel tempat Bunda Maria memberikan medali yang saya kenakan ini kepada dunia.

Pemahaman saya akan rencana Tuhan ini terus terungkap melalui Maria. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan waktu untuk belajar tentang misteri dan keajaiban di dalam hidup ini.

Selamanya dikasihi dan selamanya berada di rumah

Beberapa tahun setelah di kapel adorasi, saya ingat kembali apa yang saya alami bertahun-tahun sebelum saya berada di sana. Kembali ke tahun 1995, saya sudah pernah ke Paris. Ada satu gereja yang pernah saya kunjungi yang berkesan bagi saya. Saya juga merasakan ada sesuatu di sana, suatu Kehadiran secara rohani. Hal itu cukup kentara sehingga saya bisa merasakannya meskipun melalui pikiran buram saya yang dipenuhi materialistik dan hedonistik. Bahkan melalui pengalaman itu menyebabkan beberapa pertanyaan kerohanian dari diri saya di tahun-tahun berikutnya. Gereja itu bernama Sacré-Coeur, meskipun waktu itu saya tidak tahu makna nama itu, di sana Ekaristi sudah diperlihatkan terus menerus (adorasi abadi) di altar utama gereja indah itu sejak tanggal 1 Agustus 1885. Sacré-Coeur artinya Hati Kudus, dan Ekaristi berkaitan erat dengan hati Yesus yang penuh kasih. Dalam beberapa mukjizat Ekaristi yang tercatat, ketika hosti berubah menjadi daging yang bisa dilihat oleh indra manusia dan analisis laboratorium, maka materi itu diidentifikasi sebagai jaringan jantung lurik yang mengalami penderitaan ekstrim. Saya tidak tahu semua kisah ini pada waktu saya mengunjunginya di tahun 1995, atau hari pertama saya masuk kapel Adorasi Ekaristi dan mendengar detak jantung di telinga saya, seperti yang Tuhan katakan pada saya bahwa Ia selalu bersama dengan saya.

Maka, pada suatu perjumpaan di kapel Adorasi, Tuhan menawarkan rahmat karunia iman yang luar biasa kepada saya dalam Ekaristi-nya dan juga di dalam Gereja-Nya. Bahkan saya tidak tahu berkat seperti apa itu semua, juga menjadi kepercayaan besar yang diberikan Tuhan kepada saya. Waktu itu saya baru tahu kalau Tuhan sudah memiliki saya, terlepas dari pengembaraan berbahaya yang sudah saya lakukan, dan saya masih kepunyaan-Nya, sekarang saya hanya ingin bersama dengan-Nya dan Ekaristi. Semoga saya akan memuji Nama Kudus Yesus untuk selama-lamanya, Tuhanku dan Allahku.

Epilog

Pada Paskah tahun ini, Nick, suami saya, dengan sukacita diterima di Gereja Katolik di Paroki St. Patrick di Colombus, Ohio. Segenap keluarga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Paroki St. Patrick dan para biarawan Dominikan, khususnya Romo Charles Shonk, melalui pengajaran yang indah dan setia pada Injil Yesus Kristus sudah menggerakan dan mengubah hati banyak jiwa. Dua anak kami yang paling kecil sangat senang ikut Misa Vigili Paskah yang pertama kalinya bagi mereka, mereka semua sangat senang bisa hadir untuk menyaksikan Ayah mereka menjadi anggota Gereja. Syukur kepada Allah!

Lori Ann Mancini lahir dan besar di Ohio. Waktu masih kecil, dia sering bepergian ke rumah orang tuanya di Martin County, Kentucky, yang menjadi bagian pembentukan diri dan didikan masa kecilnya. Dia pernah menjadi penyanyi/penulis lagu, copywriter, dan penyunting, dan banyak pekerjaan lainnya. Dia pernah tinggal di Nashville, Tennessee; Lyon dan Rennes di Prancis; dan di Austin, Texas. Lori Ann mengalami pertobatan radikal pada bulan September 2014 dan diterima di Gereja Katolik pada Paskah 2015. Saat ini dia tinggal di Colombus, Ohio bersama dengan Nick, suaminya, yang pertama kali dia jumpai waktu bermain musik, juga dengan ketiga putri mereka. Situs webnya di loriannmancini.com.

Sumber: “I Met Him in an Adoration Chapel”

Advertisement

Posted on 22 October 2022, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: