[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Inkonsistensi Kisah Injil Minggu Palma?
Oleh Karlo Broussard

Minggu Palma (Sumber: catholic.com)
Kali ini kita akan membahas lima rincian yang ada dalam Injil pembuka dan bacaan kedua untuk Minggu Palma, Tahun A. Untuk Injil, kita akan berfokus pada bacaan untuk prosesi daun palem di awal Misa karena bacaan tersebut secara khusus berkaitan dengan Minggu Palma. Injil itu berasal dari Matius 21:1-11, yang menceritakan tentang masuknya Yesus ke Yerusalem. Bacaan kedua berasal dari Filipi 2:6-11. Topik-topik apologetika yang berkaitan dengan rincian itu adalah reliabilitas historis Injil dan keilahian Yesus.
Mari kita mulai dengan Injil pembuka, yaitu Matius 21:1-11 tentang masuknya Yesus ke Yerusalem. Ada dua rincian dari bacaan ini yang akan kita bahas.
Jumlah Keledai
Yang pertama adalah Matius yang menyebutkan ada “dua ekor keledai.” Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah keduanya kepada-Ku” (ayat 2).
Ada satu masalah yang muncul ketika kita memperhatikan bahwa para penulis Injil lainnya, dalam versi mereka tentang masuknya Yesus ke Yerusalem, berbicara tentang para murid yang membawa seekor keledai, seekor keledai muda (Markus 11:2; Lukas 19:30; Yohanes 12:14).
Apakah Matius bertentangan dengan Injil yang lain? Jawabannya adalah tidak.
Supaya tidak ada kontradiksi, penulis Injil yang lain harus menyangkal bahwa ada dua keledai, dan mengatakan sesuatu seperti, “hanya ada satu keledai.” Tulisan yang menegaskan bahwa para murid mengambil keledai itu tidak berarti bahwa hanya ada satu keledai. Ini hanyalah sebuah niat untuk fokus pada satu hal dan menghilangkan hal lainnya – dalam hal ini, adanya keledai yang lain.
Penghilangan rincian tertentu adalah sesuatu yang disebut perkiraan deskriptif. Para penulis kuno sangat selektif dengan materi mereka dan harus memilih hal-hal yang ingin mereka cantumkan atau yang tidak dicantumkan. Beberapa penulis memasukkan rincian tambahan dan yang lainnya menyederhanakan hal-hal yang ada. Penulis Injil lainnya menyederhanakan rincian tentang keledai, sedangkan Matius memasukkan keduanya.
Mengapa Matius melakukan hal ini?
Seperti yang dijelaskan oleh Jimmy Akin dalam bukunya A Daily Defense (hal. 327), jawabannya berkaitan dengan tafsiran spesifik dari nubuat yang Matius kutip dari Zakharia 9:9. Nubuat itu berbunyi sebagai berikut, “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda (versi bahasa Inggris: an ass, on a colt, the foal of a beast of burden.).”
Pada masa Kristus, beberapa orang menafsirkan nubuat ini merujuk kepada dua binatang dan yang lainnya menafsirkannya merujuk kepada satu binatang. Pandangan satu binatang melihat “keledai (an ass)” merujuk kepada “anak keledai (a colt)” yang adalah “anak binatang (foal of a beast)”? Pandangan dua binatang melihat “keledai (an ass)” merujuk pada induknya, sedangkan anak keledai adalah “anak binatang (foal of)”? Alkitab New American Bible tampaknya mengadopsi pandangan ini dan menerjemahkan teks ini sebagai, “on an ass, and on a colt, the foal of a beast of burden (di atas keledai, dan di atas anak keledai, anak dari binatang beban).”
Ada kemungkinan bahwa Matius sangat memperhatikan para pendukung pandangan dua binatang dan ingin meyakinkan mereka bahwa Yesus memang menggenapi nubuat tersebut. Oleh karena itu, ia menyebutkan kedua binatang itu.
Di sisi lain, Injil-injil lain tidak terlalu memperhatikan penafsiran dua binatang ini. Oleh karena itu, mereka menyederhanakan narasi mereka dan hanya menyebutkan satu binatang saja.
Jumlah Keledai yang Ditunggangi Yesus
Rincian kedua dalam bacaan Injil ini sangat berkaitan dengan yang pertama. Matius melaporkan bahwa para murid “keledai betina itu bersama anaknya, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka dan Yesus pun naik ke atasnya.” Matius tampaknya menunjukkan bahwa Yesus duduk di atas kedua binatang itu (dengan tertulis sit on them).
Ada dua masalah yang muncul di sini. Pertama, bagaimana mungkin Yesus menunggangi kedua binatang itu pada saat yang bersamaan? Kedua, penulis Injil yang lain melaporkan bahwa Yesus mengendarai satu keledai, sehingga hal ini menimbulkan kontradiksi.
Mengenai masalah pertama, Matius bisa jadi merujuk pada pakaian yang “diduduki” Yesus. Bahkan jika kita mengakui bahwa Matius bermaksud mengatakan bahwa Yesus duduk di atas keledai-keledai itu, kita tidak perlu mengartikannya bahwa Ia mengendarai keledai-keledai itu secara bersamaan. Masuk akal jika Ia menunggangi salah satunya untuk beberapa lama, kemudian turun, dan kemudian menunggangi keledai lainnya untuk beberapa lama lagi. Dan Ia akan melakukan hal ini untuk menggenapi nubuat menurut pandangan dua binatang: raja akan datang dengan menunggangi seekor keledai betina, dan juga seekor keledai muda, anak dari si keledai betina.
Sekarang, masalah kedua yaitu adanya kontradiksi tentang ini tidak dapat diterima karena jika memang ada kontradiksi, maka para penulis Injil yang lain harus mengatakan sesuatu seperti, “Yesus hanya menunggangi keledai muda.” Menegaskan bahwa Yesus menunggangi keledai tidak berarti bahwa Ia tidak menunggangi induk keledai. Tetapi para penulis Injil tidak menyangkal bahwa Yesus menunggangi induk keledai. Mereka hanya menghilangkan rincian ini. Oleh karena itu, tidak ada kontradiksi.
Sekarang mari kita beralih ke bacaan kedua yaitu Filipi 2:6-11. Inilah yang kita baca:
[Kristus Yesus] yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!
Di sini ada tiga rincian yang semuanya berhubungan dengan satu topik: keilahian Yesus.
Penegasan Paulus tentang Kesetaraan Yesus dengan Allah
Sekarang ada seorang cendekiawan Perjanjian Baru agnostik bernama Bart Ehrman, dalam bukunya How Jesus became God, Ehrman berpendapat bahwa kata kerja Yunani untuk “menggenggam” (bahasa Yunani: harpagmos) “hampir selalu digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang tidak dimiliki oleh seseorang, tetapi ia menggenggamnya, seperti seorang pencuri yang merampas tas seseorang.” Istilah ini diterapkan pada Yesus, Ehrman berpendapat bahwa Yesus tidak memiliki kesetaraan dengan Allah. Sebaliknya, kesetaraan itu adalah sesuatu yang Ia raih.
Sebagai tanggapan, Ehrman gagal untuk mempertimbangkan bahwa kata Yunani untuk “menggenggam” dapat digunakan sebagai sebuah ungkapan yang berarti “mengambil keuntungan.” Dalam pandangan ini, Paulus bermaksud untuk membandingkan Yesus dengan para penguasa kuno di dunia kuno. Tidak seperti para penguasa ini yang menggunakan kekuasaan mereka demi kepentingan pribadi, Yesus tidak menggunakan hak prerogatif ilahi-Nya untuk kepentingan pribadi. Dan hal ini sesuai dengan seluruh konteks kerendahan hati Yesus yang dinyatakan dalam pengosongan diri-Nya: “[Yesus] telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba” (ay.7). Tanggapan ini sangat terkenal dan diberikan oleh para penulis seperti R. W. Hoover, Gordon Fee, N.T. Wright, dan Michael J. Gorman.
Kedua, mengatakan bahwa Yesus sedang menggenggam keilahian seolah-olah Ia belum memilikinya, justru tidak sesuai dengan pernyataan Paulus bahwa Yesus “dalam rupa Allah.” Berbicara tentang berada dalam “rupa Allah” berarti berbicara tentang memiliki kodrat yang sama dengan Allah atau dengan kata lain, Yesus itu ilahi. Paulus menyejajarkan bentuk ilahi ini dengan bentuk manusia-Nya, dengan menulis, “mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (ay.7). Dengan kata lain, Yesus mengambil rupa manusia. Karena Paulus memahami Yesus memiliki kodrat yang sama dengan Allah, dan dengan demikian sebenarnya Ia memiliki keilahian, maka harpagmos tidak dapat ditafsirkan sebagai Yesus yang sedang merenggut keilahian yang belum Ia miliki.
Rincian kedua dalam bacaan kedua ini yang relevan untuk membuktikan keyakinan Paulus akan keilahian Yesus adalah komentar Paulus bahwa nama Yesus “di atas segala nama” (ay.9). Bagaimana mungkin nama Yesus berada di atas nama Allah yang tertinggi, yang bahkan tidak pernah diucapkan oleh orang-orang Yahudi, kecuali jika Yesus adalah Allah itu sendiri?
Rincian ketiga, yang merupakan kelanjutan dari rincian sebelumnya, adalah bahwa dalam nama Yesus, Paulus berkata, “bertekuk lutut segala yang ada.” Menurut Yesaya 45:23, semua orang bertekuk lutut di hadapan Allah Yang Mahakuasa. Tuhan berkata, “semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku.” Dengan mengatakan bahwa bertekuk lutut segala yang ada kepada nama Yesus, Paulus berarti percaya bahwa Yesus adalah Tuhan atau sedang melakukan penghujatan. Saya pikir yang pilihan pertama adalah yang lebih masuk akal.
Kesimpulan
Bacaan-bacaan untuk Minggu Palma yang akan datang ini tidak gagal dalam memberikan kita bahan untuk memberi pertanggungjawaban. Bacaan-bacaan ini memberi kita kesempatan untuk mempertahankan reliabilitas historis dari Injil dan kepercayaan Kristen mula-mula akan keilahian Yesus.
Saya harap Anda menjalani Minggu Palma yang luar biasa.
Dukung podcast Sunday Catholic Word dari Catholic Answers di berbagai platform.
Sumber: “Inconsistencies in the Gospel Story of Palm Sunday?” dengan modifikasi cara penulisan.
Posted on 1 April 2023, in Apologetika and tagged Alkitab, Kitab Suci, Minggu Palma, St. Paulus, Yesus Kristus. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0