Membelah Laut Merah, Mitos?

Oleh Dave Armstrong

Parting the Red Sea (Sumber: catholic.com)

Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa peristiwa Musa membelah Laut Merah bisa jadi lebih dari sekadar legenda keagamaan

Orang-orang yang skeptis terhadap Alkitab sering kali menyatakan salah satu atau beberapa hal berikut ini mengenai peristiwa seperti pembelahan Laut Merah:

  • hal itu tidak mungkin terjadi, karena mukjizat tidak mungkin terjadi;
  • bahwa tokohnya yang kelihatannya “mitos” atau fantastis membuktikan bahwa Perjanjian Lama tidak dapat diandalkan secara historis; dan
  • tidak ada penjelasan alamiah yang dapat diberikan.

Senada dengan hal tersebut, arkeolog Mesir Zahi Hawass memberikan pendapatnya mengenai keseluruhan kisah Keluaran seperti yang disajikan dalam Alkitab: “Sungguh, itu hanya mitos … Kadang-kadang sebagai arkeolog kita harus mengatakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi karena tidak ada bukti sejarahnya.”

Saya percaya bahwa apa pun yang terjadi dalam peristiwa ini sekitar 3.250 tahun yang lalu, antara Musa, Firaun, dan suatu perairan, Tuhan ada di baliknya, untuk tujuan-Nya, dan hal tersebut sangat luar biasa. Saya memberikan penjelasan alamiah tentang terbelahnya Laut Merah ini kepada para pembaca untuk direnungkan dan dipertimbangkan, juga sebagai bahan pemikiran. Jika tidak ada yang lain, hal ini tentu saja menarik.

Carl Drews adalah seorang insinyur perangkat lunak yang memiliki gelar Master of Science di bidang ilmu atmosfer dan kelautan dari University of Colorado di Boulder dan Sertifikat Pascasarjana di bidang oseanografi. Tesis Masternya adalah “Penerapan Pemodelan Gelombang Badai pada Penyeberangan Musa di Laut Merah; dan Teluk Manila, Filipina.” Ia bekerja di National Center for Atmospheric Research, sebuah institusi terkemuka di AS. Artikelnya, yang cukup membuat heboh, adalah “Dinamika Penurunan Angin di Suez dan Delta Sungai Nil Timur.” Artikel ini sudah dibahas dan dianalisis di banyak tempat terkenal, termasuk New Scientist, The Atlantic, The Guardian, Smithsonian Magazine, The Washington Post, dan sejumlah media berita dan informasi lainnya.

National Public Radio (NPR) memberikan gambaran umum:

“Ini adalah sesuatu yang dikenal dalam ilmu meteorologi sebagai penurunan angina (wind setdown),” kata Drews kepada Guy Raz dari NPR …

Setelah membuat model perairan yang menyerupai perairan yang memerangkap Musa dan bangsa Israel, Drews menerapkan hukum fisika dan menerapkan tekanan angin pada perairan tersebut. . .

“Tempat yang saya pilih bukanlah di Laut Merah yang sebenarnya, melainkan di ujung utara Terusan Suez di salah satu laguna dangkal di sepanjang Laut Mediterania.” . . . Ini adalah area yang sama di mana seorang jenderal Inggris bernama Alexander Tulloch menyaksikan peristiwa angin yang sama pada tahun 1882.

“Ia mengamati hembusan angin timur yang kuat sepanjang malam, dan di pagi hari airnya benar-benar hilang,” kata Drews. “Danau itu tertiup angin sejauh tujuh kilometer ke arah barat.”

The Guardian mengutip Drews:

Simulasi ini cukup cocok dengan kisah dalam Keluaran. . . . Terbelahnya air dapat dipahami melalui dinamika fluida. Angin menggerakkan air dengan cara yang sesuai dengan hukum fisika, menciptakan jalur yang aman dengan air di dua sisi dan kemudian secara tiba-tiba membiarkan air masuk kembali.

Drews menjelaskan penelitian ilmiah dan spekulasi dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Plos One. Fenomena penurunan angin yang “terjadi di daerah pantai yang dangkal ketika angin kencang bertiup ke lepas pantai.” Eksperimennya mensimulasikan “peristiwa penurunan angin di ujung timur Danau Tanis, yang membentang dari Damietta ke Pelusium selama Periode Kerajaan Baru Mesir (sekitar tahun 1250 SM).”

Model tersebut menunjukkan bahwa sebuah celah bisa saja terbuka “di mana cabang Pelusiak dari Sungai Nil mengalir ke Danau Tanis.” Hal ini akan menghasilkan sebuah jembatan daratan dengan lebar sekitar 3 mil (± 5 km) dan panjang 2 hingga 2,5 mil (± 3 hingga 4 km), yang akan tetap terbuka selama empat jam di bawah angin berkecepatan 64 mil per jam (± 103 km/jam).

Ada bukti yang menunjukkan bahwa ada sekitar 20.000 orang yang ikut serta dalam Keluaran. Dengan mengingat angka-angka Drews di atas, lebar rata-rata seorang pria (bahu-ke-bahu) adalah sekitar 1,5 kaki (± 4,5 m). Jika kita menggunakan angka tersebut untuk setiap orang (dengan mengetahui bahwa wanita dan anak-anak lebih kecil), maka bisa jadi angka tersebut dapat menjelaskan ruang di antara orang-orang.

Sekarang, di area selebar 3,1 mil (± 5 km), ada sekitar 10.912 orang bisa muat berdampingan (menggunakan lebar kaum pria). Ini artinya, hanya dibutuhkan dua baris untuk menampung 20.000 orang (atau sepuluh baris yang masing-masing terdiri dari 2.000 orang, yang akan menghabiskan seperlima dari lebar yang tersedia). Jalan kaki lambat sekitar dua mil per jam (± 3 km/jam), jalan kaki cepat tiga mil per jam (± 5 km/jam). Jika kita menggunakan kecepatan berjalan yang lebih lambat, jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu satu jam lima belas menit, dan model ini memungkinkan ditempuh dalam waktu empat jam.

Dengan demikian terlihat bahwa penyeberangan tersebut (dengan asumsi kemungkinan model Drews) sangat mungkin terjadi – sama sekali bukan masalah “logistik” untuk jumlah orang sebanyak itu. Jika tentara Mesir berada cukup jauh di belakang orang Ibrani sehingga para prajurit tidak bisa menembakkan panah ke arah mereka, maka mereka semua bisa menyeberang sebelum orang Mesir mulai mengejar mereka melintasi dataran kering di daerah yang sebelumnya dipenuhi air.

Keluaran 14:21 menyatakan, “Dan sepanjang malam TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras (TB2).” Dalam perkiraan waktu yang lebih panjang dari Drews (dengan angin yang lebih kencang), daratan kering selama 7,4 jam. Hal ini dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai “sepanjang malam” (katakanlah jam 11 malam sampai jam 6:24 pagi). Setelah orang Mesir berada di tempat yang kering, air mengalir kembali karena angin berhenti, oleh karena pemeliharaan Tuhan, pada waktu yang tepat.

Semuanya masuk akal, asalkan gambaran dan perhitungan Drews benar. Tentu saja, perkiraan tersebut dapat dipertanyakan di beberapa bidang, terutama mengenai rincian topografi dan tata letak Delta Nil, dengan semua aliran airnya yang terus berkembang, 3.250 tahun yang lalu.

Tiga tahun setelah artikel inovatifnya, Drews menerbitkan “Using Wind Setdown and Storm Surge on Lake Erie to Calibrate the Air-Sea Drag Coefficient (Penggunaan Penurunan Angin dan Gelombang Badai di Danau Erie untuk Mengalibrasi Koefisien Hambatan Udara-Laut)” di jurnal yang sama. Drews menyatakan demikian,

Pada tanggal 1-2 Desember 2006 dan 30-31 Januari 2008, terjadi badai angin kencang di atas Great Lakes yang menyebabkan terjadinya gelombang ekstrim di Danau Erie. Dalam kedua kasus tersebut, angin datang dari arah barat, yang menyebabkan perpindahan antara permukaan air di ujung barat dan timur danau sebesar 4,2 m [13,8 kaki] pada tahun 2006 dan 5,1 m [16,7 kaki] pada tahun 2008.

Hal ini patut dicatat karena Danau Erie, salah satu dari Great Lakes (sekitar 30 mil [± 50 km] dari rumah saya di Michigan) merupakan perairan yang dangkal, untuk ukuran danau, dengan kedalaman rata-rata 62 kaki (± 19 m). Dengan demikian, perbedaan ketinggian air antara ujung barat dan timur danau (panjangnya sekitar 241 mil [± 388 km]) mencapai 22 persen dari kedalaman rata-rata pada badai tahun 2006 dan 27 persen pada tahun 2008.

Untuk memberikan kesan mental tentang apa artinya kejadian ini, saya memiliki sebuah kolam kecil di halaman belakang rumah saya dengan kedalaman 4 kaki (± 1,2 m) dan diameter 15 kaki (± 4,5 m). Perbedaan ketinggian air yang setara, dibandingkan dengan badai di Danau Erie ini, adalah perbedaan kedalaman 10,6 inci (± 27 cm) lebih tinggi di satu sisi kolam dibandingkan dengan sisi lainnya (analogi dengan badai 2006), atau 13 inci (± 33 cm) (analogi dengan 2008). Maka, kita dapat dengan mudah mengamati bahwa kejadian angin seperti itu dapat menyebabkan munculnya daratan kering di perairan yang lebih dangkal, terutama jika angin yang bertiup sangat kuat.

Ada persyaratan kedua untuk menyelaraskannya dengan Keluaran 14, yaitu air harus terbelah, membuat daratan kering (atau berlumpur!) yang dapat dilalui untuk waktu yang cukup lama supaya 20.000 orang bisa menyeberanginya, dan air tersebut harus cukup dalam saat kembali ke kedalaman normal untuk menenggelamkan orang Mesir (14:26-28). Drews menetapkan modelnya (untuk berbagai alasan ilmiah) pada kedalaman 3 meter (atau 9,8 kaki) untuk “cabang Pelusiak dari Sungai Nil dari Bubastis ke Dafenneh (Tahpanhes),” di mana ia percaya bahwa “pembelahan  air” mungkin pernah terjadi di sini. Jika perhitungannya benar, maka lebih dari cukup untuk menenggelamkan tentara Mesir.

 

Sumber: “Parting the Red Sea: A Bible Myth?”

Advertisement

Posted on 24 April 2023, in Apologetika and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: