Masalah Terbesar Protestan tentang Alkitab

Oleh Casey Chalk

Sola Scriptura (Sumber: catholic.com)

Bukan sola Scriptura. Bukan juga sola fide. Tapi satu doktrin bahkan kebanyakan orang tidak tahu namanya.

Saya hendak menyampaikan pernyataan yang kontroversial. Doktrin Protestan yang paling penting bukanlah sola scriptura, bahwa hanya Alkitab saja yang menjadi satu-satunya aturan iman Kristen yang tidak dapat salah. Bukan sola fide, bahwa hanya iman saja, terlepas dari perbuatan apa pun, yang menyelamatkan orang Kristen. Bahkan bukan sola gratia, bahwa hanya anugerah Allah saja, dan bukan perbuatan baik orang Kristen, yang membawa keselamatan.

Bukan, doktrin Protestan yang paling mendasar adalah doktrin yang bahkan nama resminya tidak diketahui oleh sebagian besar orang Protestan. Saya berbicara tentang doktrin perspicuitas, atau yang lebih sering disebut doktrin kejelasan.

Semua tokoh Reformasi Protestan mula-mula menganut suatu bentuk perspicuitas. Misalnya, Martin Luther menyatakan, “Makna Kitab Suci, hanya ada dalam Kitab Suci itu sendiri, sangat pasti, mudah dipahami dan jelas sehingga Kitab Suci menafsirkan dirinya sendiri dan menguji, menilai, serta menerangi segala sesuatu yang lainnya.” Kita dapat menemukan pernyataan yang serupa dalam tulisan-tulisan Calvin, Zwingli, dan para Reformator mula-mula lainnya.

Mungkin penegasan yang paling terkenal tentang perspicuitas ditemukan dalam Pengakuan Iman Westminster, sebuah dokumen kredo Presbiterian Inggris yang diterbitkan pada tahun 1647. Di sana kita membaca pernyataan berikut ini:

Tidak semua perihal yang ada di dalam Alkitab sama mudahnya untuk dipahami, dan juga tidak semua perihal tersebut sama jelasnya bagi semua orang. Akan tetapi, perihal-perihal yang harus diketahui, dipercayai, dan diperhatikan demi keselamatan begitu jelas dikemukakan dan dibukakan di satu bagian atau bagian lainnya di dalam Alkitab, sehingga bukan hanya kaum terpelajar, tetapi kaum yang tidak terpelajar pun, dengan mempergunakan sarana-sarana biasa, bisa mendapatkan pemahaman yang cukup tentang perihal-perihal tersebut (Terjemahan dari Sinode GKIM).

Hal di atas biasanya dipahami sebagai definisi klasik dari perspicuitas: apa yang perlu kita ketahui supaya kita diselamatkan, diajarkan dengan jelas di dalam Alkitab, yang sedemikian rupa membuat setiap orang, tanpa memandang kemampuan intelektual atau latar belakang pendidikannya, seharusnya bisa memahami Alkitab. Banyak orang Protestan akan memperingatkan bahwa Roh Kudus diperlukan, atau bahwa seseorang mungkin membutuhkan bimbingan dari tafsiran atau khotbah yang sesuai dengan Alkitab, dan yang terakhir inilah yang disebut dalam kutipan di atas sebagai “sarana-sarana biasa.”

Untuk memahami mengapa perspicuitas sangat penting, pikirkanlah definisi sola scriptura, doktrin yang sering disebut-sebut sebagai yang paling penting dari semua ajaran Protestan. Umat Protestan percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber kebenaran yang tidak dapat salah tentang yang ilahi. Jika memang demikian, maka kita akan membutuhkan suatu cara untuk menafsirkannya sendiri tanpa memerlukan otoritas perantara. Jika tidak, umat Protestan akan terdorong kembali ke dalam paradigma yang telah mereka tinggalkan ketika mereka menolak Roma. Tanpa perspicuitas, Alkitab bagaikan peti harta karun yang berisi keajaiban-keajaiban yang nilainya tidak ternilai, tetapi tidak ada cara untuk mendapatkannya. Perspicuitas berfungsi sebagai kunci yang membuka kunci Alkitab sehingga kita dapat mengakses pesan Allah bagi umat manusia.

Sekarang cobalah eksperimen ini: ambil buku teologi Protestan mana saja, atau dengarkan acara radio Protestan sebentar, dan perhatikan seberapa sering penulis atau pembicara berbicara tentang apa yang “diajarkan dengan jelas” oleh Alkitab. Anda mungkin akan terkejut betapa seringnya orang Protestan berbicara tentang kejelasan, bahkan jika mereka belum pernah mendengar tentang doktrin perspicuitas. Mereka akan berbicara tentang bagaimana Alkitab “dengan jelas mengajarkan” sesuatu yang khas Protestan dan tidak ada dalam tradisi Kristen lainnya; mereka akan berbicara tentang bagaimana Alkitab “dengan jelas mengajarkan” bahwa doktrin Katolik itu salah; bahkan mereka akan berbicara tentang bagaimana Alkitab “dengan jelas mengajarkan” suatu gaya hidup atau program parenting (pengasuhan anak).

Umat Protestan tidak bisa lepas dari hal ini, karena meskipun tidak ada pendeta atau guru sekolah minggu yang secara eksplisit menyampaikan penjelasan ajaran Luther, Calvin, atau rumusan ilahi dari Pengakuan Iman Westminster tentang perspicuitas, namun inilah yang selalu ada dalam pengajaran umat Protestan. Ajaran kejelasan adalah Protestanisme, dan tanpa ajaran ini seluruh sistem keagamaan akan runtuh. Seseorang harus melakukan penafsiran terhadap Alkitab. Dalam tradisi Katolik, Magisteriumlah yang diberi hak istimewa ini oleh Kristus sendiri. Dalam Protestanisme, pada akhirnya setiap orang Kristen atau masing-masing orang Protestan adalah magisterium bagi dirinya sendiri.

Dengan mengatakan seperti itu, kemungkinan besar akan membuat marah beberapa orang Protestan. Mereka akan berbicara tentang perlunya Roh Kudus, persyaratan kerendahan hati, kewajiban untuk mempertimbangkan “sarana-sarana biasa” itu. Namun, untuk sampai ke inti masalahnya, Roh Kudus yang mana, kerendahan hati seperti siapa, sarana biasa yang mana? Seperti yang sering dikatakan oleh Fox News, “Anda yang memutuskan!” Dan hal ini menjelaskan sejarah perpecahan Protestanisme selama lima abad, yang membuat setiap orang Kristen yang mengaku dirinya paus bagi dirinya sendiri.

Bayangkan ada dua orang Protestan yang bermaksud baik yang duduk bersama dan membaca Alkitab dan menghasilkan perbedaan pendapat yang kontradiktif mengenai makna dari beberapa prinsip utama. Mungkin mereka terpaku pada keselamatan, baptisan, Ekaristi, pastor wanita, atau perilaku seksual yang dilarang. Mereka berdebat, berpendapat, dan menggunakan berbagai bukti-bukti untuk mendukung penafsiran mereka. Mereka membawa otoritas lain seperti sumber-sumber Patristik, teolog Protestan favorit mereka, atau para sarjana modern yang ahli dalam bahasa-bahasa kuno, sejarah, dan arkeologi.

Namun, inilah masalahnya: umat Protestan juga tidak sepakat mengenai kebenaran atau otoritas dari sumber-sumber sekunder tersebut. Mereka tidak sepakat mengenai Bapa Gereja perdana manakah yang harus dipercaya (dan seberapa besar kepercayaan mereka); mereka tidak sepakat mengenai otoritas Luther, Calvin, atau Zwingli; dan mereka tidak sepakat mengenai cara terbaik untuk menafsirkan catatan sejarah atau bahasa Ibrani dan Yunani. Sekali lagi, setiap orang Protestan tetap memegang kendali, meskipun mereka tidak menginginkannya.

Dalam hidup saya, saya menghabiskan beberapa tahun sebagai seorang Protestan untuk mencoba mengidentifikasi apa yang sebenarnya diajarkan oleh Alkitab tentang doktrin pembenaran dan baptisan. Apa yang saya temukan adalah berkembangnya berbagai pendapat Protestan yang berbeda yang tumbuh – dan menjadi semakin esoterik (dan lebih jauh lagi, tidak jelas) – di setiap generasi. Saya menyadari bahwa pada akhirnya, terserah kepada saya untuk memutuskan ke kubu Protestan mana saya akan menyelaraskan diri. Meskipun saya mengutip para pendeta, teolog, dan ahli Alkitab yang terpercaya, saya sendiri yang memutuskan siapa yang akan menjadi otoritas yang bisa dipercaya.

Bagi umat Protestan yang masih menganut sola scriptura (banyak yang tidak menganutnya – ini adalah masalah lain yang sangat jelas), perspicuitas sudah terbukti tidak mampu menentukan “makna yang jelas” dari Alkitab. Karena mereka tidak dapat sepakat tentang “makna yang jelas” tersebut, mereka terpaksa mencari jalan lain kepada otoritas sekunder, tetapi mereka tidak sepakat tentang otoritas mana yang dapat dipercaya. Inilah alasan mengapa Protestanisme sangat individualis dan subjektif: setiap orang Protestan tidak bisa lepas dari otoritasnya sendiri dalam hal wahyu ilahi dan maknanya.

Memang, para Reformator yang paling awal tidak bermaksud demikian. Mereka percaya bahwa Gereja Katolik yang korup dan jahat telah mengaburkan apa yang sudah jelas. Misi yang ditetapkan sendiri oleh para Reformator adalah untuk membawa Alkitab ke tangan setiap orang sehingga semua umat beriman dapat memahami ajaran-ajarannya yang jelas. Hal ini tidak berjalan seperti itu – bahkan dalam masa hidup mereka, seperti yang dibuktikan oleh perdebatan antara Luther dan Zwingli mengenai Ekaristi di Kolokium Marburg.

Alkitab tidak jelas – setidaknya bukan dalam makna yang diklaim oleh umat Protestan. Lebih dari lima ratus tahun sejarah Protestan seharusnya membuat hal itu menjadi jelas. Orang Kristen membutuhkan paradigma yang berbeda untuk menafsirkan Alkitab yang koheren, yang dapat dipertahankan secara historis dan intelektual, dan yang membawa kita kepada Kristus dan bukan kepada diri kita sendiri. Dan model tersebut ada dalam Gereja Katolik.

 

Sumber: “The Protestant’s Biggest Bible Problem”

Posted on 23 June 2023, in Apologetika and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.