Kepausan di Gereja Perdana

Oleh Joe Heschmeyer

St. Petrus karya Peter Paul Rubens (Sumber: wikipedia.org)

Allah tidak hanya mendirikan Gereja-Nya, Ia juga menetapkan strukturnya

Salah satu argumen terkuat baik dari kalangan Protestan maupun Katolik yang menentang perkawinan sesama jenis dan inovasi-inovasi lainnya adalah bahwa struktur dasar dari perkawinan sudah ditetapkan oleh Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Focus on the Family dalam “Nilai-Nilai Dasar” dikatakan demikian, “Lembaga perkawinan adalah suatu perjanjian suci yang dirancang oleh Allah untuk menjadi teladan kasih Kristus bagi umat-Nya dan untuk melayani kebaikan baik secara umum maupun secara pribadi sebagai dasar dari peradaban manusia.” Dengan demikian, “Umat Kristen dipanggil untuk mempertahankan dan melindungi rancangan perkawinan milik Allah.”

Dengan kata lain, perkawinan adalah sesuatu yang kita temukan dan hormati sebagaimana dirancang oleh Allah, bukan sebagai sesuatu yang kita ciptakan atau definisikan sendiri. Inilah pesan yang sama sebagaimana yang Yesus nyatakan dalam Matius 19:4-6, ketika Ia berkata bahwa “Ia yang menciptakan mereka sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,” dan “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Apa yang gagal dipahami oleh banyak kalangan Protestan adalah bahwa Allah juga menetapkan struktur Gereja-Nya. Tentu saja akan menjadi aneh jika Allah yang telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk membentuk dan mengembangkan struktur dan kepemimpinan umat-Nya –  mulai dari para bapa bangsa, hakim-hakim, imam-imam, nabi-nabi, dan raja-raja Israel hingga para rasul – harus memutuskan bahwa Ia tidak lagi peduli untuk menahbiskan sebuah rancangan untuk Gereja yang Ia bangun dan menyerahkannya pada cara pemikiran kita yang tidak sempurna.

Dalam surat Ibrani, petunjuk berikut ini disampaikan:

Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan teladanilah iman mereka … Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya, supaya mereka melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu (Ibrani 13:7, 17 TB2).

Tetapi perintah-perintah ini menjadi tidak berarti jika masing-masing dari kita memiliki otoritas untuk memilih “kepemimpinan” pribadi kita sendiri. Kita bisa dengan mudah menumbangkan kebutuhan akan ketaatan pada kepemimpinan Gereja dengan menyatakan bahwa diri kita sendiri adalah pemimpin bagi kepemimpinan lain yang kita pilih sendiri.

Apalagi ketika kita mendengar Yesus berkata, “Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18 TB2), pikiran kita dengan mudahnya akan tertuju pada pertanyaan-pertanyaan seperti, “Siapa atau apa yang dimaksud dengan ‘batu karang ini’?” dan “Apakah arti dari perkataan ini bagi Petrus?” Namun, seharusnya kita tidak mengabaikan hal yang sudah jelas: bahwa Yesus berjanji untuk mendirikan Gereja. Dengan kata lain, rancangan Gereja tidak tergantung pada kita untuk menciptakannya, tetapi untuk kita temukan dan kita hormati sebagai sesuatu yang berasal dari Allah.

Tidak berubah sepanjang zaman

Jika ada sesuatu yang disebut sebagai struktur yang ditetapkan Allah untuk Gereja-Nya, apakah itu? Mungkin akan sangat membantu jika kita mempertimbangkan apa yang tidak kita cari. Kita tidak sedang mencari “kepausan modern” di dalam Gereja perdana. “Orang tua helikopter1” pada masa kini mempunyai kemampuan untuk mengawasi secara langsung kegiatan sehari-hari anak-anak mereka (dari mana saja di planet ini!) daripada yang bisa dibayangkan oleh para orang tua pada masa lalu.

Hal yang sama juga berlaku untuk kepausan: sebagai suatu hal yang sangat penting, sebagian besar keputusan dalam Gereja mula-mula dibuat “di tempat,” karena komunikasi ke dan dari Roma sering kali sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.

Kita juga tidak mencari “kepausan boneka.” Percaya bahwa seorang ayah adalah kepala keluarga tidak berarti percaya bahwa ibu dan anak-anak tidak memiliki hak atau masukan yang berharga dalam diskusi keluarga. Dan itu tidak berarti percaya bahwa ayah harus memutuskan setiap keputusan setiap harinya.

Hal yang sama juga berlaku untuk Gereja. Percaya kepada kepausan tidak berarti menolak otoritas para uskup atau konsili-konsili ekumenis. Bahkan pernyataan infalibilitas kepausan ditetapkan bukan oleh seorang paus yang menyatakannya secara sepihak, melainkan oleh Konsili Vatikan I yang merumuskannya pada tahun 1870.

Sebaliknya, dalam memahami struktur baik keluarga maupun Gereja, kita harus mencari suatu struktur dasar yang tidak berubah sepanjang zaman. Lagi pula, salah satu janji Yesus dalam Matius 16:18 adalah bahwa alam maut tidak akan menguasai Gereja yang sedang Ia dirikan, sehingga akan menjadi tidak konsisten jika kita percaya bahwa Ia menciptakan sebuah struktur yang sudah sepenuhnya dikuasai dan digantikan oleh struktur yang asing.

Mengenai kepausan, kita seharusnya melihat Petrus dan para uskup Roma berikutnya dalam memandang diri mereka sendiri (dan dipandang oleh orang lain) sebagai pihak yang memiliki otoritas khusus dalam menyelesaikan perselisihan di dalam Gereja secara final.

Menjadi penting pada masa konflik

Sangatlah penting bahwa pada umumnya kita menemukan struktur inti ini diungkapkan hanya pada saat terjadi konflik dan perselisihan. Dalam kata-kata Kardinal John Henry Newman yang akan segera menjadi santo, “Merupakan hal yang biasa bagi suatu perselisihan dan gugatan untuk memunculkan keadaan hukum.” Dan memang, Yesus menguraikan otoritas Gereja yang mengikat dan melepaskan justru dalam konteks konflik yang tidak dapat diselesaikan (Matius 18:15-18).

Mengapa demikian? Karena ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik, fokus seseorang jarang sekali tertuju pada hak dan tanggung jawab hukum. Newman dengan tepat membandingkan Gereja perdana dengan anggota keluarga yang “hidup bersama dalam ketidaktahuan yang membahagiakan akan hak dan harta benda mereka masing-masing sampai seorang ayah atau suami meninggal; dan kemudian mereka berada dalam perselisihan yang tidak mereka inginkan, dan dalam kepentingan yang berbeda, dan tidak berani mengambil keputusan tanpa penasihat hukum.”

Dengan mengingat semua hal ini, apa yang kita temukan pada masa-masa awal Gereja? Persis seperti yang kita harapkan. Ada mitos bahwa kepausan dibuat oleh Kaisar Konstantinus (272-337 M) atau pada saat Konsili Nicea I (325). Namun, pada kenyataannya, kita melihat para paus bertindak seperti paus jauh sebelum masa Konstantinus.

Perdebatan tentang Paskah

Sebagai contoh, pada bagian akhir abad kedua, Paus Viktor I (yang menjabat sekitar tahun 189-199) terlibat dalam perdebatan sengit dengan para uskup di Asia Kecil (Turki masa kini) mengenai penanggalan Paskah. Kesulitannya adalah bahwa Paskah pertama terjadi tiga hari setelah dimulainya Paskah Yahudi dan pada jatuh pada“hari pertama minggu itu” (Yohanes 20:1). Namun, hampir setiap tahun, orang-orang Kristen harus memilih antara merayakan Paskah sehubungan dengan Paskah Yahudi, terlepas dari hari apa pun dalam seminggu, atau merayakannya pada hari Minggu, terlepas dari kapan jatuhnya Paskah Yahudi.

Para uskup di barat, termasuk Paus Victor, menginginkan keseragaman dalam Gereja dan sepakat untuk mengadakan perayaan Paskah bersama pada hari Minggu. Seperti yang diingat oleh sejarawan Gereja perdana, Eusebius (263-339), “Sinode-sinode dan pertemuan-pertemuan para uskup diadakan untuk membahas hal ini” dan dengan suara bulat menyatakan bahwa “misteri kebangkitan Tuhan tidak boleh dirayakan selain pada hari Tuhan, dan kita harus merayakan akhir dari puasa Paskah hanya pada hari itu saja.”

Tetapi para uskup di Asia Kecil berbeda pendapat. Tradisi mereka dalam merayakan Paskah berdasarkan penanggalan Paskah Yahudi diturunkan langsung dari rasul Yohanes, dan mereka tidak mau mengubahnya. Mereka tidak menanggapi berbagai hasil sinode dan konsili, tetapi dalam sebuah surat yang “ditujukan kepada Viktor dan gereja di Roma,” yang menyatakan bahwa “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29).

Segala sesuatu tentang tanggapan mereka menunjukkan bahwa para uskup Asia memandang Viktor memiliki otoritas yang sah, tetapi dia menyalahgunakannya. Tidak terbayangkan bahwa seseorang akan menulis kepada seorang bawahannya “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” dalam menolak sebuah permintaan, dan sungguh mengejutkan bahwa penolakan mereka sepenuhnya didasarkan pada alasan bahwa mereka memandang hal itu sebagai suatu pelanggaran terhadap tradisi apostolik.

Yang lebih mengejutkan adalah tanggapan Paus Viktor: Eusebius mencatat bahwa ia “segera berusaha untuk memisahkan diri dari kesatuan bersama paroki-paroki di seluruh Asia, beserta gereja-gereja yang sepaham dengan mereka, sebagai heterodoks; dan ia menulis surat dan menyatakan bahwa seluruh saudara-saudara di sana telah diekskomunikasi.” St. Irenaeus dari Lyon, salah seorang sekutu paus dalam menetapkan hari Minggu sebagai hari Paskah, berhasil bertindak sebagai “pembawa damai mengenai hal ini, memberikan nasihat dan negosiasi atas nama perdamaian gereja-gereja.”

Namun, intinya di sini bukanlah apakah paus bertindak benar dengan mengekskomunikasi sebagian besar Gereja karena berpegang pada apa yang mereka anggap sebagai tradisi apostolik (hampir pasti paus tidak menganggap demikian). Melainkan bahwa tidak ada satu pun pihak yang dengan serius memperdebatkan apakah Viktor memiliki otoritas seperti itu atau tidak.

Klemens menegur jemaat Korintus

Berbicara tentang Irenaeus, tulisan-tulisannya sendiri mengungkapkan tentang bagaimana cara memandang kepausan. Dalam bukunya Adversus Haereses [Melawan Ajaran Sesat] (sekitar tahun 180), ia berbicara tentang bagaimana “menjadi suatu keharusan bagi setiap Gereja untuk sepakat dengan” Gereja Roma “karena otoritasnya yang tertinggi [potiorem principalitatem].” Menelusuri suksesi para uskup dari “Gereja yang sangat agung, sangat kuno, dan dikenal secara universal yang didirikan dan ditata di Roma oleh dua rasul yang paling agung, Petrus dan Paulus,” Irenaeus melanjutkan dengan menyebutkan nama-nama setiap uskup Roma sejak zaman para rasul hingga Paus Eleutherius di zaman Irenaeus.

Paus ketiga (setelah Petrus) yang disebut Irenaeus adalah Paus Klemens, yang menjadi paus pada sekitar tahun 88-99 Masehi. Eusebius melaporkan bahwa ini adalah Klemens yang disebut oleh St. Paulus sebagai “teman sekerja dan teman seperjuangan” dalam salamnya di Filipi 4:3. Irenaeus menulis tentang dia bahwa “karena ia sudah melihat para rasul yang diberkati, dan pernah berbicara dengan mereka, boleh dikatakan bahwa khotbah para rasul masih bergema [di telinganya], dan tradisi-tradisi [ajaran] mereka di depan matanya.” Tertulianus menceritakan bagaimana ia ditahbiskan oleh Santo Petrus sendiri. Sekitar tahun 96, Klemens menulis sebuah surat kepada jemaat di Korintus.

Peristiwa yang melatarbelakangi surat tersebut, seperti yang dikatakan Klemens, adalah “hasutan yang memalukan dan menjijikkan” di mana sekelompok jemaat Korintus menolak untuk tunduk pada para presbiter (imam) yang sah. Menanggapi hal ini, Klemens mengingatkan mereka akan asal-usul apostolik dari struktur Gereja, membandingkan para uskup, presbiter, dan diakon dalam Gereja dengan imam besar, imam, dan orang Lewi di Israel kuno. Seperti yang dicatat oleh Klemens, bahkan para rasul yang diutus oleh Kristus, dan Kristus yang diutus oleh Allah Bapa, merupakan “penunjukan” yang “dilakukan dengan cara yang teratur, sesuai dengan kehendak Allah.”

Maknanya jelas: orang banyak tidak memilih Yesus sebagai Mesias, mereka tidak bisa memilih para rasul-Nya, dan bukan hak mereka untuk memutuskan apakah mereka akan menaati uskup-uskup yang menjadi penerus para rasul tersebut atau tidak. Oleh karena itu, pihak-pihak yang menghasut harus kembali kepada ketaatan kepada para klerus yang ditahbiskan secara sah.

Penekanan terhadap struktur

Ada beberapa rincian tentang surat ini yang layak untuk diperhatikan. Yang pertama adalah tuntutan Klemens bahwa struktur Gereja berasal dari Kristus. Dalam kata-kata Romo Michael C. McGuckian, SJ, “Gagasan bahwa sebuah gereja memilih tatanan gerejanya tidak pernah terdengar dalam tradisi Kristen hingga abad keenam belas dengan adanya Reformasi di Swiss,” dan surat Klemens merefleksikan hal ini.

Ia berbicara tentang struktur Gereja sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Kristus, bukan sesuatu yang berkembang berdasarkan kebutuhan atau keinginan gereja setempat. McGuckian telah menunjukkan bahwa meskipun “proses kanonisasi Kitab Suci tercatat,” tidak ada jejak dari “proses kanonisasi yang sama terhadap keuskupan.” Dengan kata lain, Alkitab tidak turun kepada kita dalam bentuk yang tetap sejak abad pertama, tetapi struktur Gereja tetap.

Perlu juga diperhatikan bahwa Klemens benar-benar terlibat dalam situasi ini. Sudah jelas dari awal suratnya, di mana ia meminta maaf karena “agak terlambat dalam memberikan perhatian pada permasalahan yang saudara ajukan kepada kami,” bahwa sebenarnya jemaat Korintuslah yang menghubungi Klemens dan Gereja di Roma. Ini bukanlah kasus uskup Roma yang ikut campur, melainkan sebuah gereja Yunani yang menghubungi uskup Roma untuk menyelesaikan perselisihan internal.

Pertimbangkan juga penerimaan surat St. Klemens. Jika Gereja perdana adalah Protestan, kita mungkin berharap mereka tidak terlalu mengindahkan St. Klemens, memperlakukannya hanya sebagai anggota gereja yang lain atau sebagai ancaman bagi tatanan apostolik (sesuai dengan alasan George Rutledge yang akan dijelaskan di bawah).

Namun, sebenarnya masalahnya bukan itu. St. Hieronimus mencatat bahwa surat Klemens kepada jemaat Korintus “di beberapa tempat dibacakan secara umum.” Artinya, bahkan hingga abad keempat, kita menemukan gereja-gereja yang menggunakan surat Klemens secara liturgis di samping Kitab Suci. Dan memang, kita menemukan surat ini dimasukkan (setelah Kitab Wahyu) dalam naskah Alkitab abad kelima yang dikenal sebagai Codex Alexandrinus serta manuskrip-manuskrip Alkitab Yunani dan Koptik kuno lainnya.

Intinya di sini bukan untuk memperdebatkan bahwa surat Klemens adalah Alkitab yang diilhami (Gereja menyimpulkan bukan demikian). Tetapi semata-mata adanya pertanyaan tentang hal ini menunjukkan kepada kita mengenai bagaimana para anggota Gereja di luar Roma memandang para uskup Roma setelah St. Petrus.

‘Keutamaan kehormatan’

Beberapa penulis, khususnya Ortodoks Timur, telah mengemukakan bahwa Uskup Roma hanya menikmati “keutamaan kehormatan” dalam Gereja perdana. Namun, pendapat ini salah memahami bagaimana “keutamaan” dan “kehormatan” dipahami pada zaman dahulu.

Dalam bahasa Yunani dan Romawi, penggunaan kata “kehormatan” adalah cara untuk berbicara tentang jabatan dan otoritas. Itulah mengapa Aristoteles menyatakan dalam tulisannya Politika bahwa “jabatan-jabatan dalam sebuah negara adalah jabatan kehormatan,” dan mereka yang “dikecualikan dari kekuasaan akan dipermalukan” serta menceritakan bagaimana “kekayaan menjadi jalan menuju kehormatan, sehingga oligarki tumbuh secara alamiah.” Oleh karena itu, keutamaan adalah sesuatu yang lebih dari sekadar “kehormatan” dalam arti sempit yang kita maknai saat ini, itulah sebabnya Konsili Nicea Pertama (325) berbicara tentang Aleksandria yang memiliki “yurisdiksi” untuk memilih uskup-uskup setempat, namun kemudian berbicara tentang Yerusalem yang memiliki “tempat kehormatan berikutnya” untuk melakukannya.

Apa yang digambarkan oleh konsili bukanlah siapa yang paling disukai atau dianggap paling terhormat, tetapi uskup mana yang memiliki yurisdiksi di wilayah-wilayah tertentu untuk memilih para uskup. Jika dipahami dengan benar, dengan mengakui “keutamaan kehormatan” paus adalah sebuah pengakuan akan otoritas kepausan dan supremasi kepausan.

Para Bapa Gereja, baik secara individu maupun bersama-sama, mencerminkan struktur Gereja yang sama: sebuah keluarga kecil yang kolaboratif di mana konflik-konflik kadang-kadang muncul, konflik-konflik yang dapat dan akan ditengahi oleh Uskup Roma. Dengan cara ini, para penerus Petrus menjalankan (dan terus menjalankan) misi istimewa yang dipercayakan kepada Petrus oleh Yesus Kristus.

Alam maut tidak akan menguasainya

Pada Perjamuan Malam Terakhir, dengan membandingkan otoritas bangsa-bangsa lain dengan otoritas di dalam Gereja, Kristus berkata, “Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi seperti yang paling muda dan pemimpin menjadi seperti pelayan” (Lukas 22:26 TB2). Sambil menoleh kepada Petrus, Ia berkata, “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:31-32).

Struktur yang Kristus bentuk adalah struktur sebagai respons terhadap keinginan Iblis untuk menghancurkan semua rasul dan seluruh Gereja, Yesus secara rohani memberikan penopang kepada satu orang yang kemudian ditugaskan untuk menguatkan yang lain. Inilah yang Yesus gambarkan sebagai “otoritas” di dalam Gereja (bdk. Lukas 22:25-26). Otoritas ini adalah otoritas yang secara konsisten dijalankan oleh para penerus Petrus – mulai dari Linus dan Cletus hingga Benediktus dan Fransiskus – meskipun terkadang tidak sempurna.

Sisipan: St. Yohanes Tidak Bermasalah dengan Seorang Paus

Yang membuat Paus Klemens terlibat dalam perselisihan di Korintus menjadi lebih mengejutkan adalah karena hal itu terjadi sekitar tahun 96, ketika rasul Yohanes masih hidup. Dalam sebuah khotbah anti-Katolik yang penuh emosi pada tahun 1914, pendeta George Rutledge menyatakan di hadapan sekitar 1.500 orang bahwa klaim Katolik atas kepausan tidak mungkin benar karena “rasul Yohanes hidup beberapa tahun setelah kematian Petrus. Namun Roma menyatakan bahwa seseorang bernama Linus diangkat menjadi paus ketika seorang rasul masih hidup!”

Rutledge berargumen bahwa karena para rasul adalah tatanan tertinggi di dalam Gereja (1 Korintus 12:28), St. Yohanes akan “memiliki keberatan yang wajar dan dapat menghancurkan seluruh organisasi ini.” Namun, surat Klemens adalah bukti bahwa para penerus St. Petrus memang berperan penting dalam tata kelola Gereja perdana, bahkan pada masa hidup rasul Yohanes – dan sejauh yang tercatat, Yohanes tidak keberatan.

 

Catatan kaki:

  1. Orang tua helikopter (helicopter parents) adalah istilah parenting mengenai orang tua yang sangat memperhatikan pengalaman dan masalah anak atau anak-anak, terutama di lembaga pendidikan. Orang tua helikopter juga dikenal sangat mengawasi anak-anaknya dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam interaksi sosial. (Sumber: Wikipedia.org).

 

Sumber: “The Papacy in the Early Church”

Posted on 19 August 2023, in Apologetika and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.