[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Ekaristi sebagai Kurban
Oleh John M. Grondelski

Sakramen Mahakudus (Sumber: catholic.com)
Mungkin Anda sering mendengar Ekaristi sebagai suatu perjamuan. Tetapi ada banyak hal yang lebih dari itu.
Saat ini, jika Anda mendengarkan orang-orang Katolik mendiskusikan Sakramen Mahakudus, Anda mungkin akan mendengar – tidak hanya, tetapi terutama di kalangan tradisional – menekankan Ekaristi sebagai “kurban” dan kritik mengenai penekanan berlebihan pada Ekaristi sebagai “perjamuan.”
Mungkin Anda bertanya-tanya: apa yang sedang mereka bicarakan?
Nah, diskusi tentang Ekaristi sebagai kurban tentu saja bukan hal yang baru. Bahkan, mungkin begitulah cara sebagian besar umat Katolik mendiskusikan sakramen, tentu saja hingga beberapa saat yang lalu.
Tetapi kurban? Ingat, kita sudah berada di abad ke-21, bukan?
Baiklah, tetapi hal itu tidak membuat Ekaristi menjadi kurang nyata sebagai suatu kurban.
Nah, diskusi tentang Ekaristi sebagai kurban tentu saja bukan hal yang baru. Bahkan, mungkin begitulah cara sebagian besar umat Katolik mendiskusikan sakramen, tentu saja hingga beberapa saat yang lalu.
Di dunia kuno, termasuk di zaman yang digambarkan dalam Perjanjian Lama, kurban adalah cara seseorang untuk memeteraikan suatu perjanjian. Suatu perjanjian bukan hanya sebuah “kontrak” atau “kesepakatan.” Melainkan sebuah komitmen hidup antara dua pihak. Untuk memasuki suatu perjanjian berarti melakukan kewajiban yang paling sakral di mana kedua belah pihak mempertaruhkan nyawa mereka. Anda pernah mendengar ungkapan “menyeberang hatiku dan berharap untuk mati?” Ungkapan anak kecil itu hari ini mengungkapkan sesuatu tentang betapa seriusnya komitmen yang dibuat oleh dua pihak yang mengikatkan diri mereka satu sama lain.
Perjanjian dilaksanakan dengan darah karena bagi sebagian besar umat manusia di zaman kuno, darah adalah sumber kehidupan. Jika darah Anda keluar, Anda menjadi lemah. Jika keluar terlalu banyak, Anda akan mati. Itulah sebabnya mengapa binatang dipersembahkan sebagai kurban: darah mereka dianggap mewakili orang-orang yang membuat perjanjian.
Perjanjian bisa terjadi antara pihak yang setara, tetapi biasanya terjadi antara pihak yang tidak setara, antara atasan dan bawahan. Seorang raja yang dikalahkan yang kemudian menjadi bawahan bagi penakluknya terikat oleh perjanjian.
Dan ketika Allah membuat perjanjian seperti dengan Abraham, dengan Musa, dengan Israel, maka perjanjian-perjanjian itu jelas sekali merupakan perjanjian di antara pihak-pihak yang tidak setara.
Mitra perjanjian mengikatkan diri mereka dengan hidup mereka untuk melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu terhadap yang lain. Seorang rakyat mengikatkan diri untuk setia dan membela rajanya. Israel mengikatkan diri untuk menaati Hukum Allah, dan Allah mengikatkan diri-Nya untuk menjadi Allah mereka dan mereka menjadi umat-Nya.
Perjanjian Allah yang pertama adalah penciptaan: Allah mengikatkan diri-Nya kepada manusia dengan cara yang istimewa yaitu dengan menciptakan manusia dalam “gambar dan rupa-Nya.” Manusia melanggar perjanjian itu dengan tidak mau menjadi gambar dan rupa Allah, melainkan ingin menjadi “seperti Allah,” mau memutuskan apa yang baik dan apa yang jahat menurut dirinya sendiri. Israel melanggar perjanjian Allah dengan terus-menerus melakukan kemunduran dalam hal religius.
“Berulangkali Engkau menawarkan perjanjian bagi mereka dan … mengajar mereka tentang pengharapan akan keselamatan” (Kutipan dalam Doa Syukur Agung IV)
Perjanjian yang terakhir dan pasti, “perjanjian baru dan kekal,” ditetapkan bersama Allah di dalam Kristus. Perjanjian ini diikat dengan darah-Nya, bukan dengan “darah kambing jantan dan darah lembu jantan” (Ibrani 9:13-14 TB2), tetapi dengan darah seorang manusia yang sekaligus juga Allah. Sebagai manusia, Ia mempersembahkan diri-Nya secara mutlak kepada Allah; sebagai Allah, persembahan-Nya benar-benar sempurna. Yesus melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tetapi perlu dilakukan demi kita. Dia mempersembahkan diri-Nya di atas kayu salib, sampai mati.
Namun, apa hubungannya dengan Ekaristi?
Yesus secara eksplisit berbicara tentang Ekaristi sebagai tubuh dan darah-Nya. Ekaristi tidak “menggambarkan” atau “melambangkan” tubuh dan darah-Nya; Ekaristi adalah tubuh dan darah-Nya, “darah-Nya, yaitu darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa (Terjemahan TPE 2020).” Perbuatan penyerahan diri Yesus seutuhnya kepada kehendak Bapa-Nya, bahkan sampai mati, dihadirkan kembali setiap Misa.
Dengan jelas Yesus menghendaki supaya Ekaristi menjadi bagian dari persembahan-Nya di kayu salib. Teologi Katolik berbicara tentang Ekaristi sebagai “kurban Kristus yang hadir.”
Tetapi Yesus melembagakan Ekaristi pada Kamis Putih malam, dan Dia belum wafat sampai Jumat Agung sore. Jadi, bagaimana keduanya terhubung?
Perlu diingat, bagi Allah waktu bukanlah masa lalu, masa kini dan masa depan. Yesus tidak sedang duduk di sebelah kanan Allah, menunggu untuk melihat bagaimana sejarah akan berubah. “Milik-Nyalah segala masa,” demikianlah yang kita ucapkan pada saat penyalaan lilin Paskah pada Vigili Paskah. Bagi kita yang adalah makhluk fana, waktu dialami sebagai sesuatu yang sedang berlangsung: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bagi Tuhan, semua waktu adalah sekarang.
Jadi, betul sekali, Yesus mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selamanya (sebuah argumen utama Protestan yang juga sesuai dengan Ibrani 10:10). Tetapi persembahan Yesus meliputi sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya di Kalvari yang telah diantisipasi dalam Perjamuan Terakhir dan dihadirkan dalam setiap Ekaristi yang telah dirayakan sejak saat itu hingga akhir zaman. Inilah Yesus yang mempersembahkan diri-Nya sendiri.
Yesus memerintahkan para rasul-Nya untuk “lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku” bukan sebagai renungan, bukan sebagai “Yesus melakukan ini, dan bukankah ini hal baik?” Bukan seperti itu, “mengenang” dalam konteks Yahudi memiliki makna yang spesifik. Ini artinya menghadirkan sesuatu yang dikenang di sini dan saat ini.
Perjamuan Terakhir adalah perjamuan Paskah. Paskah Yahudi menjadi gambaran awal Ekaristi. Ketika Allah menetapkan Paskah (Yahudi), Dia memerintahkan Musa bahwa Israel harus mengadakan “peringatan” ini selamanya (Keluaran 12:14) karena setiap generasi orang Yahudi berdiri bersama Musa, Harun, dan bangsa Israel di Mesir yang dengan mereka Allah menetapkan perjanjian ini. Bahkan sampai hari ini, saat perjamuan Paskah, anak bungsu bertanya, “Mengapa malam ini berbeda dengan malam-malam lainnya?” Perhatikan kata kerja dan kata sifatnya: anak itu tidak bertanya “mengapa malam itu berbeda [bentuk lampau]” tetapi “mengapa malam ini berbeda [bentuk sekarang]?” Di hadapan Allah yang Mahakuasa, setiap orang Yahudi yang dulu, sekarang, dan yang akan datang adalah bagian dari perjamuan Paskah (Yahudi).
Dan jika Paskah hanya gambaran awal persembahan kurban Anak Domba Allah, maka persembahan yang sesungguhnya di Kalvari menyiratkan kenangan yang sama nyatanya: setiap orang yang menjadi milik Kristus ikut ambil bagian dalam setiap Ekaristi, dipersatukan di Ruang Atas dan Kalvari. Jika melalui pembaptisan kita menjadi bagian dari kematian Yesus (Roma 6:3-11), maka pembaptisan membuat kita ikut ambil bagian dalam kematian itu sehingga kita menjadi bagian dari tubuh mistik Kristus.
Jadi, apakah Ekaristi hanyalah suatu perjamuan? Ya, tetapi dengan makanan yang istimewa, karena ini juga merupakan sebuah kurban, yang karenanya (dan hanya karenanya) kita diselamatkan.
Dengan mengambil bagian dan menerima Ekaristi, kita yang adalah Tubuh Mistik Kristus, ikut serta dalam persembahan tertinggi dari sang kepala kepada Allah. Itulah mengapa kita menyebut imam yang merayakan Misa sebagai “in persona Christi.” Maka, ini bukanlah “Misa Romo A atau Misa Romo B.” Melainkan Misa Kristus, yang bertindak melalui para pelayan manusia untuk mengakomodasi kita, makhluk fana yang terikat oleh ruang dan waktu, mengangkat kita ke dimensi Allah yang tidak terikat oleh batas-batas itu.
(Untuk membaca lebih lanjut tentang Ekaristi sebagai kurban, lihatlah Katekismus Gereja Katolik, 1362-1372)
Sumber: “The Eucharist as a Sacrifice”
Posted on 7 November 2023, in Ekaristi and tagged Ekaristi, Misa Kudus. Bookmark the permalink. 1 Comment.


Pingback: Mengapa Kita Mempersembahkan Misa untuk Orang Meninggal? | Terang Iman