Bagaimana Bersukacita ketika Tidak Bahagia?

Oleh Romo Samuel Keyes

Minggu Gaudete (Sumber: FB Andika Hananto Gunawan)

Ketika St. Paulus berkata, ‘Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan,’ penekanannya adalah ‘di dalam Tuhan.’

Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!

Anda mungkin sudah memperhatikan bahwa saat ini adalah hari Minggu Merah Jambu (Rose) – salah satu dari hanya dua kali dalam setahun ketika kita bisa melihat busana ini. Sepertinya muncul dalam tradisi sebagai pencerahan warna yang berbeda dari warna ungu yang menandakan pertobatan. Hal ini dimaksudkan supaya sesuai dengan nuansa dari warna liturgi, meskipun di awal Adven tetap mempertahankan tema penghakiman, namun dengan nada yang lebih positif. Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan: Gaudete in Domino semper.

Saya ingin mengangkat kata “bersukacita.” Kata ini berasal dari kata gaudeo dalam bahasa Latin, chiaro dalam bahasa Yunani. Kata ini muncul sebanyak 74 kali dalam Perjanjian Baru. Dua di antaranya kita dengar pagi ini: satu dari Introit dari surat Filipi, dan satu lagi dari pembacaan surat 1 Tesalonika.

Lalu apa arti dari kata ini? Kata ini adalah kata yang umum, terutama di gereja. Namun, meskipun kita sering mendengarnya, bukan berarti kita memahaminya. Lantas, apa artinya “bersukacitalah” atau “bergembiralah”? Apakah itu artinya sesuatu yang sangat berbeda dengan kebahagiaan, sehingga Anda dapat bersukacita bahkan ketika Anda tidak bahagia? Menanyakan hal itu berarti mengasumsikan bahwa kita tahu apa arti kebahagiaan (yang mungkin sebenarnya tidak kita ketahui) terlepas dari perasaan yang samar-samar, atau kondisi emosional, dan itu hal yang baik. Namun, sekali lagi, semuanya tergantung pada apa yang baik itu, dan apakah mungkin untuk mengatakan sesuatu yang rasional tentang kebaikan terlepas dari perasaan kita. Inilah pertanyaan yang dunia modern ajukan kepada kita bahwa kita tidak diperbolehkan untuk menjawabnya, jadi jika kita mendekati pertanyaan tersebut dari sudut pandang penggunaan kata “bersukacita” saat ini, kita tidak akan mendapatkan apa-apa.

Tetapi mari kita lihat kata ini dalam Perjanjian Baru. Bersukacitalah atau chiaro. Pada zaman Paulus, kata ini paling sering digunakan sebagai salam. Itulah cara Anda memulai sebuah surat. Ini seperti mengucapkan “Salam!” atau “Salam hormat!” Mungkin kini kebanyakan orang tidak memulai surat dengan cara seperti itu, meskipun sangat sedikit orang yang sekarang masih menulis surat. Paulus memiliki variasi yang terkenal dari kebiasaan ini. Sementara di dunia Yunani, chairo adalah salam standar, di dunia Ibrani (seperti dalam bahasa-bahasa Semit lainnya) salam standarnya adalah damai atau syalom. Maka Paulus, dalam surat-suratnya, menggabungkan keduanya, tetapi dengan sedikit perubahan: Sebagai ganti kata chairo, ia menggunakan kata charis: yang berarti, “Kasih karunia dan damai sejahtera menyertaimu.”

Kedua kata ini – kasih karunia dan sukacita – memiliki akar kata yang sama. Jadi “bersukacita” dalam Perjanjian Baru, baik dalam tulisan-tulisan Paulus maupun dalam Injil, ketika Maria “bersukacita karena Allah, Juruselamatnya,” berarti menemukan sukacita tidak dapat dipisahkan dari menemukan kasih karunia, yaitu menemukan kebaikan Allah sebagai anugerah. Jadi, terkait dengan charis, maka, kita mendapatkan kata dalam bahasa Inggris seperti charisma, yang secara efektif berarti “karunia adikodrati.” Kita mendapatkan karunia-karunia rohani, karisma. Kita juga mendapatkan hubungan lain yang cukup mencolok dengan apa yang kita lakukan pagi ini dan di setiap Misa. Sakramen Ekaristi mengambil namanya dari kata-kata pembuka dialog tersebut: “Marilah kita bersyukur kepada Tuhan, Allah kita.” Mengucap syukur atau Ekaristi. Namun sebenarnya kata Yunani ini adalah sebuah kata majemuk: eu dan chairo, yang berarti mengucapkan sukacita yang baik. Dan jika demikian, maka bersukacita dalam arti tertentu merupakan inti dari misteri Kristiani.

Satu hal lagi, beberapa ahli berpendapat bahwa akar kata chairo dalam bahasa Indo-Eropa adalah akar kata yang sama dengan kata carol, choir, chorus, court, dan garden – atau kata dalam bahasa Slavia, grad, yang berarti “kota.” Apa kesamaan dari kata-kata tersebut? Semuanya berkaitan dengan lingkungan, dengan keteraturan, dengan semacam definisi terbatas tentang kebaikan sosial. Memiliki sebuah taman (garden), bukan hanya sebidang tanah maka taman berarti memiliki sesuatu yang jelas. Memiliki sebuah paduan suara (choir), bukan hanya sekelompok suara tak beraturan tetapi memiliki kebaikan dan keteraturan dalam bernyanyi.

Bisa dibilang inilah cara kita mendapatkan kata bersukacita, setidaknya secara tidak langsung. Karena apa yang kita gambarkan dengan konsep sukacita ini bukanlah sekadar rasa kesenangan fisik atau intelektual, sesuatu yang mungkin atau tidak bertahan lama-tetapi sebuah kebaikan struktural, kebaikan yang masuk akal, kebaikan yang dapat ditemukan atau dipahami hanya di dalam komunitas tertentu.

Lantas kenapa? Mengapa tidak mengatakan sesuatu dengan cara yang lebih sederhana, seperti yang sering saya dengar, bahwa kebahagiaan itu cepat berlalu, tetapi sukacita berasal dari Tuhan? Atau sukacita itu adalah sejenis kebahagiaan spiritual yang dapat bertahan lama bahkan dalam penderitaan yang hebat? Atau sukacita itu adalah kebahagiaan karena mengenal dan mengasihi Allah?

Semua itu benar, dan pantas untuk dikatakan lagi. Tetapi saya menemukan bahwa sering kali pernyataan-pernyataan luhur tentang sukacita itu sebenarnya hanyalah cara yang indah untuk menggambarkan kebahagiaan. Jadi, bagi siapa pun yang tidak terlalu bahagia – mereka yang sedang tertekan, atau menghadapi penderitaan atau kehilangan besar – desakan bahwa orang Kristen seharusnya memasang wajah bahagia dan mengingat bahwa Yesus adalah Tuhan tidaklah terlalu membantu atau benar. Karena sukacita Kristus tidak hanya lebih baik daripada sukacita yang kita dapatkan dari menyantap makanan yang lezat; sukacita ini memiliki tatanan yang berbeda sama sekali, karena sukacita ini bukan tentang saya dan perasaan pribadi saya. Ini adalah kebahagiaan karena ditemukan dalam sebuah tubuh atau dalam sebuah komunitas, di mana kebahagiaan dan kesedihan serta penderitaan dan kesenangan saya yang sekejap dapat menemukan maknanya dalam kisah tentang bagaimana Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya.

Jadi, ketika St. Paulus berkata, “Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan,” penekanannya haruslah di dalam Tuhan, yaitu di dalam Tubuh-Nya. Hal ini bukanlah masalah mengubah dunia dengan wajah kita yang tersenyum (meskipun itu mungkin memang ada benarnya); masalahnya adalah terikat kepada yang lain yaitu kepada Kristus dan Gereja-Nya, yang dengan cara itu kebahagiaan yang lebih dalam akhirnya bisa dicapai, karena itu adalah kebahagiaan Yesus, bukan kebahagiaan kita. Dan pada akhirnya, inilah inti dari Ekaristi juga: ketika kita bertumbuh lebih dekat dengan Yesus, kita menerima hidup-Nya sebagai hidup kita sendiri; kita menjadi terikat dengan-Nya, dan Dia dengan kita, sehingga kebaikan-Nya menjadi kebaikan kita.

Ketika Yohanes Pembaptis berseru-seru di padang gurun untuk “mempersiapkan jalan bagi Tuhan,” ia menyuruh orang-orang untuk bertobat. Pertobatan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan sukacita. Pertobatan justru merupakan rekonstruksi dan pemulihan ikatan-ikatan yang mengikat kita satu sama lain dan dengan Tuhan. Itulah tema hari ini: bersukacita dan pertobatan dapat beriringan. Jika kita ingin menemukan sukacita ketika Tuhan datang, jika kita ingin “merayakan pesta yang akan datang” seperti yang dikatakan dalam doa sesudah komuni hari ini, kita harus belajar menemukan sukacita di dalam Dia sekarang juga dengan cara merawat taman yaitu Gereja-Nya.

Mengaku dosa. Berdoa rosario. Lakukanlah karya-karya amal kasih. Kita tidak akan pernah dapat menghendaki diri kita sendiri ke dalam sukacita sejati melalui tindakan kehendak pribadi, tetapi kita dapat menanamkan diri kita di tempat di mana sukacita itu dapat menemukan kita dan bertumbuh di dalam diri kita.

Sebab seperti bumi memancarkan tumbuh-tumbuhan,
dan seperti kebun menumbuhkan benih yang ditaburkan,
demikianlah Tuhan ALLAH akan menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian
di depan semua bangsa-bangsa (Yesaya 61:11)

Sumber: “How to Rejoice When You’re Unhappy”

Posted on 18 December 2023, in Kenali Imanmu and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.