Semua Agama Sama Saja?

Oleh Paul Senz

Pilihan Warna Krayon (Sumber: catholic.com)

Semua agama di dunia memang memiliki beberapa kemiripan, tapi bukan berarti semuanya sama.

Ada sekitar 8 miliar orang di dunia. Sekitar 85 persen dari penduduk dunia menganut agama tertentu. Sebagian besar dari orang-orang tersebut menganut agama-agama besar di dunia: ada sekitar 2,5 miliar orang umat Kristiani (sekitar 1,4 miliar di antaranya penganut Katolik, sekitar 800 juta penganut Protestan, dan 260 juta penganut Ortodoks), 1,8 miliar umat Islam, sekitar 15 juta umat Yahudi, 1 miliar umat Hindu, 500 juta umat Buddha, 17 juta penganut Mormon, dan masih banyak lagi.

Tidak perlu dikatakan lagi bahwa agama-agama ini berbeda, dengan keyakinan-keyakinan yang bertentangan dan bersifat mutually exclusive1, tidak mungkin semuanya benar. Semuanya bertentangan satu sama lain, beberapa di antaranya dalam hal-hal yang paling mendasar dan paling utama. Beberapa di antaranya mungkin mengejutkan bagi pembaca (misalnya, kepercayaan umum bahwa “Mormon adalah Kristen” adalah salah besar), tetapi meskipun demikian, ada pernyataan umum yang sering digunakan bahwa, terlepas dari perbedaannya, semua agama “pada dasarnya mengatakan hal yang sama.” Apakah yang dimaksud dengan “hal yang sama” ini, dan apakah semua agama pada dasarnya mengatakan hal yang sama?

Ketika kita mendengar seseorang berkata bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan hal yang sama, yang dimaksud adalah bahwa semua agama bermuara pada sebuah aturan moral: cukup berbuat baik pada orang lain. Mengesampingkan fakta bahwa tidak semua agama mengatakan demikian, ada persoalan lain.

Masalahnya bukan hal ini yang paling mendasar dari masing-masing agama itu. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya mengatakan hal yang sama. Klaim yang menjadi inti dari setiap agama pada dasarnya berbeda antara satu agama dengan agama lainnya.

Apa kesamaan yang dimiliki oleh agama-agama di dunia? Tentu saja, kebenaran tetaplah kebenaran, dan Gereja mengakui bahwa banyak agama-agama di dunia ini memiliki beberapa elemen kebenaran, meskipun dari pemahaman yang tidak lengkap (bahkan sangat tidak lengkap). Bahkan, pernyataan Konsili Vatikan II, Nostra Aetate, mempertimbangkan banyak hal yang biasanya disetujui oleh semua orang, baik yang beragama Katolik maupun non-Katolik.

Semua agama di dunia memiliki kemiripan dalam hal kepercayaan terhadap sesuatu di luar apa yang dapat kita lihat, rasakan dan sentuh. Sebagian besar dari mereka mengakui hal yang bersifat adikodrati, dan bahkan semacam keilahian, meskipun di sini ada variasi yang tak terhitung banyaknya. Sebagian besar juga mengajarkan cinta dan kepedulian terhadap sesama manusia, bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat utilitarian2, tetapi karena manusia memang layak mendapatkannya.

Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang (Nostra Aetate 2 terjemahan RP. R. Hardawiryana, SJ. Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI). Maka, Gereja memandang kebaikan dan kebenaran yang ada di dalam agama-agama lain – tetapi tidak berhenti di situ. Tidak ada sedikit pun sikap indifferentisme dalam deklarasi konsili. Justru sebaliknya: “Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni ‘jalan, kebenaran dan hidup’ (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.”

Maka, setelah Gereja mengakui unsur-unsur kebenaran yang mungkin ada dalam agama lain, Gereja tetap mengingatkan agar kita dipanggil untuk memberitakan Injil, untuk membawa semua orang kepada Kristus. Tidak ada istilah “sama-sama baik” atau “biarkan hidup masing-masing saja.” Sebaliknya, amanat Yesus kepada kita tetap berlaku sepenuhnya (lihat Matius 28:19-20).

Pertanyaan yang sering ditanyakan: mengapa hal ini penting? Mengapa kita harus peduli dengan perbedaan agama? Bahkan jika kita mengakui bahwa semua agama “pada dasarnya tidak sama,” bukankah ini hanyalah perbedaan pendapat? Seperti selera rasa es krim?

Tentu saja bukan seperti itu! Hal ini penting karena kebenaran itu penting. Iman agama bukan hanya masalah opini. “Saya seorang Katolik” tidak mempunyai bobot yang sama dengan “Saya seorang Nasionalis” atau “Saya penggemar AC Milan atau saya penggemar Real Madrid.” Kebenaran itu ada, dan berbagai ajaran agama membuat klaim yang berbeda tentang kebenaran itu-hal-hal itu adalah satu cara, dan bukan cara lain yang saling bertentangan. Air pada dasarnya adalah basah; tidak mungkin kering. Allah itu ada, dan Dia satu-satunya sembahan; tidak mungkin ada banyak sembahan. Yesus Kristus adalah inkarnasi dari Pribadi Kedua dari Tritunggal Mahakudus; Dia tidak mungkin hanya seorang guru moral yang baik yang tidak ilahi. Dua hal yang bertentangan tidak mungkin benar, karena kebenaran itu objektif.

Tidak ada yang salah dengan membandingkan dan membedakan berbagai ajaran agama yang berbeda, atau menemukan titik temu di antara agama-agama tersebut. Bahkan, menemukan kesamaan dapat menjadi sarana penginjilan yang penting. Namun, adanya kemiripan bukan berarti menunjukkan adanya kesamaan yang mendasar. Kenyataannya, berbagai kemiripan justru membuat perbedaan-perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok, dan penting untuk mengenali dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan ini.

Hal ini bukan berarti bahwa kita hanya menerima perbedaan, yang sudah berlalu biarlah berlalu, dan biarkanlah setiap orang berjalan sendiri-sendiri. Tetapi, kita dipanggil untuk menginjili, untuk memberitakan kabar baik, untuk pergi ke seluruh dunia dan membaptis. Gereja ditugaskan oleh Kristus untuk karya kerasulan ini, dan supaya pekerjaan kita berbuah, kita harus mengakui bahwa Gereja Katolik berbeda dengan agama-agama lain di dunia.

Dalam banyak kasus, penginjilan kepada para penganut agama-agama lain bisa dimulai dari sebuah dialog, mencari titik temu. Semua agama pada dasarnya tidak “mengatakan hal yang sama,” tetapi hal-hal yang kita katakan bersama adalah titik awal yang sempurna untuk melakukan penginjilan.

 

Catatan kaki

  1. Suatu kejadian yang bersifat saling lepas atau tidak bisa terjadi secara bersamaan, dalam hal agama maka sifat dari agama itu bersifat eksklusif atau tidak saling mempengaruhi. Dan teologi dasar masing-masing agama tidak bisa sama-sama benar. Hal ini yang membuat seseorang harus memilih salah satu.
  2. Utilitarianisme adalah teori etika normatif yang menentukan bahwa kebaikan adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua individu terdampak (Wikipedia).

 

Sumber: ‘Aren’t All Religions Basically the Same?’ dengan penyesuaian konteks

Posted on 12 January 2024, in Apologetika and tagged , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.