Rosario dan ‘Pengulangan yang Sia-sia’

Oleh Paul Senz

(Sumber: catholic.com)

Yesus mengecam ‘pengulangan yang sia-sia’ dalam berdoa … tetapi umat Katolik juga punya doa rosario.

Apakah umat Katolik bersalah karena melakukan “pengulangan yang sia-sia” dalam berdoa? Seringkali umat Protestan melontarkan tuduhan ini. Bukannya berdoa dengan spontan dan langsung bicara dari dalam hati tanpa adanya rumusan atau persiapan, mereka mengatakan bahwa mengulang-ulang doa baku tidak ada gunanya dan bahkan membahayakan. Biasanya, hal ini muncul dalam berkaitan dengan rosario suci, tetapi sering kali diterapkan secara lebih luas. Klaim yang mereka kemukakan adalah bahwa Tuhan secara khusus mengutuk doa yang diulang-ulang semasa pelayanan-Nya di dunia, dan umat Katolik melanggar larangan ini.

Ayat yang dimaksud berasal dari Khotbah di Bukit dalam Injil Matius: “Lagi pula, ketika kamu berdoa, janganlah bertele-tele seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa dengan banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. Jadi, janganlah seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (6:7-8 TB2). Dalam beberapa terjemahan, termasuk King James yang merupakan terjemahan pilihan bagi banyak umat Protestan, kata “bertele-tele (TB2) atau empty phrases (RSV)” diterjemahkan sebagai “vain repetitions (pengulangan yang sia-sia).”

Jadi, apakah Yesus mengutuk pengulangan dalam berdoa?

Mari kita perhatikan dengan saksama kata sifat dalam kalimat tersebut, karena kata sifat itu memperjelas apa yang Tuhan katakan: vain repetitions (pengulangan yang sia-sia) atau empty phrases (kata-kata hampa). Yesus tidak mengutuk semua pengulangan dalam doa, jika Ia bermaksud demikian maka Ia tidak akan membutuhkan kata sifat itu. Akan lebih jelas misalnya Ia berkata, “Janganlah kamu mengulang-ulang kata dalam doa, yang merupakan perbuatan sia-sia” atau sesuatu yang serupa. Karena itu, Yesus tidak mengutuk semua pengulangan, tetapi pengulangan yang sia-sia atau kata-kata hampa.

Tetapi mungkin yang paling jelas adalah apa yang Tuhan maksud dengan kecaman-Nya terhadap “kata-kata hampa” atau “pengulangan yang sia-sia” terdapat dalam ayat-ayat berikutnya. Yesus berkata, “Karena itu, kamu harus berdoa begini” dan melanjutkan dengan mengajarkan doa Bapa Kami. Hal ini jelas merupakan instruksi untuk doa yang standar dan tidak dibuat-buat. Jika semua pengulangan dalam doa adalah “hampa” atau “sia-sia,” lalu mengapa Tuhan mengajarkan doa seperti ini tepat sesudah Ia mengecam pengulangan?

Alasan lain mengapa tidak masuk akal jika Yesus mengutuk semua pengulangan adalah karena pengulangan dalam doa sudah lama menjadi bagian dari tata cara orang Yahudi (dan kemudian, orang Kristen), baik dalam doa pribadi maupun dalam doa komunal dan liturgi.

Kita melihat banyak contoh doa repetisi di sepanjang Kitab Suci, di mana doa yang diulang-ulang bukan hanya diakui, tetapi juga dipuji. Dalam Taurat, Tuhan memerintahkan umat Israel untuk berulang kali mengucapkan doa “Syema”: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHANlah Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah kau taruh dalam hatimu. Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya, ketika engkau duduk di rumahmu atau sedang dalam perjalanan, ketika engkau berbaring atau bangun” (Ulangan 6:4-7 TB2).

Kita juga membaca tentang penglihatan Yesaya di mana para serafim berulang kali mengucapkan doa “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN Semesta Alam” (Yesaya 6:3 TB2). Mazmur 136 mengulangi frasa “Sesungguhnya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya (TB2)” sebanyak dua puluh enam kali dalam dua puluh enam ayat. Contoh lainnya, dari kitab Daniel, ketika Sadrakh, Mesakh, dan Abednego berada di dalam perapian untuk menghadapi hukuman mati, dan mereka berdoa sebanyak tiga puluh satu kali, “Pujilah Tuhan … bernyanyilah bagi-Nya dan tinggikanlah Dia selama-lamanya” (Tamb. Daniel 3:35-68 TB2).

Ada beberapa contoh dalam Injil ketika Yesus sendiri berdoa sambil mengulang-ulang atau memuji mereka yang berdoa. Salah satu contohnya terjadi di Taman Getsemani, selama penderitaan Tuhan pada malam Ia dikhianati. Kita membaca bahwa Yesus berdoa kepada Bapa, mengajukan permohonan yang sama, dan terus menyampaikan permohonannya dalam doa: “Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi lagi dan berdoa untuk ketiga kalinya dengan mengucapkan doa yang sama” (Matius 26:44 TB2).

Dalam Injil Lukas, kita menemukan Yesus mengajarkan tentang pentingnya ketekunan dalam doa. “Karena itu, Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Sebab, setiap orang yang meminta, menerima; setiap orang yang mencari, mendapat; yang mengetuk, baginya pintu dibukakan” (Lukas 11:9-10 TB2).

Kita ambil contoh lain, suatu variasi dari tema yang sama: perumpamaan tentang janda yang gigih dan hakim yang tidak adil (Lukas 18:3-9). Janda itu tetap bertekun dalam permintaannya, yakin bahwa kegigihannya pada akhirnya akan membuat hakim itu berbalik, dan ternyata itu terjadi. Dalam menjelaskan perumpamaan ini, Yesus berkata bahwa Allah akan menjawab mereka yang berseru kepada-Nya siang dan malam – dengan kata lain, ketekunan dalam doa, berulang kali menyampaikan permohonan yang sama.

Dalam kitab Wahyu, para malaikat bernyanyi “siang dan malam.” “Tanpa henti-henti mereka berseru” dengan kata-kata yang sama, dan inilah kalimat yang tidak asing lagi bagi umat Katolik: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Maha Kuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (4:8 TB2).

Pertimbangkan hal ini juga: membaca Kitab Suci itu sendiri adalah sebuah doa. Akankah ada seorang Protestan yang percaya dengan serius mengklaim bahwa membaca Alkitab hanya bermanfaat pada saat pertama kali Anda membaca suatu bagian dari Alkitab, karena setelah itu hanyalah “pengulangan yang sia-sia”? Saya pikir tidak ada.

Lalu, apa yang dimaksud dengan pengulangan yang sia-sia? Sampai di sini, kita telah mengetahui bahwa tidak semua doa yang diulang-ulang itu sia-sia atau “hampa.” Namun, ada juga doa yang sia-sia, jadi apa bedanya? Apa yang membuat beberapa doa menjadi sia-sia? Apa yang hendak Yesus sampaikan?

Seperti yang telah kita bahas, jika kita memperhatikan konteksnya, jelaslah bahwa Yesus tidak mengecam semua doa yang berulang-ulang. Yang dikecamnya adalah cara orang bangsa-bangsa lain mengucapkan doa yang bertele-tele dan berulang-ulang demi menenangkan dewa-dewa mereka. Kata-kata itu diucapkan berulang-ulang seperti mencentang kotak dalam to do list (daftar kegiatan yang harus dilakukan).

Ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan: doa-doa orang dari bangsa-bangsa asing sia-sia karena dewa-dewa mereka sebenarnya tidak ada! Ingatlah juga tentang Elia dan persaingannya dengan para nabi Ba’al. Elia yakin bahwa doa-doa mereka tidak akan berguna, karena Ba’al tidak ada (lihat 1 Raja-raja 18:20-40). Mungkin Elia kurang ramah dibanding Tuhan Yesus, Elia mengejek para nabi: “Panggillah keras-keras, bukankah dia Allah? Mungkin ia sedang merenung, mungkin ada urusannya, atau ia sedang bepergian. Barangkali ia sedang tidur dan harus dibangunkan” (ayat 27 TB2). Jelaslah bahwa doa akan sia-sia jika ditujukan kepada ilah yang tidak ada. Tetapi, bukan berarti semua doa yang diulang-ulang tidak ada gunanya.

Apakah ada bentuk doa modern yang sia-sia dan berulang-ulang yang harus kita waspadai? Salah satu contohnya adalah mantra yang berasal dari filosofi Zaman Baru (New Age), yang sering kali menggabungkan elemen-elemen dari agama-agama timur seperti Hinduisme dan Buddhisme. Mantra adalah nyanyian yang diulang-ulang untuk membantu meditasi atau pencerahan. Orang-orang pagan pada zaman Yesus melantunkan doa-doa sia-sia untuk menenangkan ilah-ilah palsu, tetapi mantra aliran New Age masa kini dirancang untuk menenangkan dan meningkatkan kesadaran orang yang menggunakannya. Mantra ini sama sekali bukan doa, kecuali mungkin bisa disebut doa untuk diri sendiri.

Bukan hanya orang-orang pagan dan ateis yang melakukan doa yang sia-sia. Umat Katolik harus waspada dan tidak membiarkan doa berubah menjadi sesuatu yang dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan, untuk mencentang kotak dalam daftar pekerjaan yang harus dilakukan, untuk mencegah Allah murka. Doa adalah suatu percakapan, suatu bentuk komunikasi dengan Allah. Daripada merangkai kalimat-kalimat hampa, marilah kita berdoa dengan penuh kesungguhan.

Ketika Tuhan Yesus mengecam pengulangan yang sia-sia dan kata-kata hampa dalam doa, Dia tidak mengecam semua pengulangan. Doa-doa baku seperti Bapa Kami, Salam Maria, Mazmur, dll., sangat membantu dalam mendekatkan diri dengan Allah dalam doa dan dalam memfokuskan pikiran, hati, dan jiwa kita.

 

Sumber: “The Rosary and ‘Vain Repetition’”

Posted on 26 October 2024, in Kenali Imanmu and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.