Ekaristi dan Akhir Zaman

oleh Joe Heschmeyer

(Sumber: catholic.com)

Ekaristi (Katolik) hadir dengan cara yang menakjubkan dan mistis dalam kitab Wahyu.

Di hari Paskah pagi, dua orang murid Yesus sedang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Emaus. Mereka mungkin adalah suami dan istri, tetapi teks ini tidak menyebutkan secara pasti. Lukas hanya menyebutkan salah satu dari keduanya: Kleopas. Jika mereka adalah pasangan suami-istri, mereka mungkin adalah bibi dan paman Yesus (Hegesippus, seorang penulis Kristen dari abad kedua, menyebut “paman Tuhan, Klopas”). Jika Klopas dan Kleopas adalah orang yang sama, maka kita tahu bahwa istrinya adalah Maria, salah seorang wanita yang ada di tempat penyaliban (Yohanes 19:25), dan mereka memiliki anak bernama Yakobus dan Yoses (Markus 15:40), yang disebut sebagai “saudara-saudara” Yesus (Markus 6:3). (Karena bahasa Ibrani tidak memiliki istilah untuk sepupu, maka sepupu dapat disebut sebagai “saudara,” seperti halnya Abraham dan Lot yang disebut sebagai “saudara” dalam Kejadian 13:8 dan 14:14-16, meskipun mereka adalah paman dan keponakan).

Apapun ceritanya, kedua murid ini sedang berjalan pulang sejauh tujuh mil dari Yerusalem ke Emaus, “bercakap-cakap dan bertukar pikiran,” ketika seorang asing lain bergabung dengan mereka (Lukas 24:15). Melihat kesedihan mereka, ia bertanya apa yang sedang mereka bicarakan, dan mereka menjawab:

Kata-Nya kepada mereka: “Apakah itu?” Jawab mereka: “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan seluruh bangsa kami. Namun, imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang akan membebaskan bangsa Israel. Sementara itu, sekarang sudah hari ketiga sejak semuanya itu terjadi. Namun, beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat yang mengatakan bahwa Ia hidup. Beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati persis seperti yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat” (Lukas 24:19-24 TB2).

Jika Kleopas dan Klopas adalah orang yang sama, maka istrinya dan kemungkinan besar teman seperjalanannya itu adalah salah satu dari “perempuan yang bersama kami” yang menjadi saksi pertama dari kubur yang kosong itu (Lukas 24:10). Pengembara yang lain kemudian menjawab, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu untuk mempercayai segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Lukas 24:25-26 TB2).

Setibanya kembali di Emaus, mereka mengundang orang asing itu untuk bergabung dengan mereka. Di sana, “Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap syukur, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (Lukas 24:30-31 TB2).

Di sinilah Kleopas dan temannya menyadari dua hal. Pertama, bahwa orang asing yang bergabung dengan mereka adalah Yesus (Lukas menjelaskan dalam ayat 16 bahwa “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia”). Kedua, bahwa Yesus telah menjelaskan Kitab Suci Perjanjian Lama kepada mereka dengan cara yang sangat baru: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (ayat 32). Mereka segera bangkit dan melakukan perjalanan sejauh tujuh mil kembali ke Yerusalem, untuk menceritakan kepada para rasul tentang “bagaimana mereka mengenali Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti” (ayat 35 TB2).

Ini adalah bagian penting yang sering kali kita abaikan. Yesus adalah kunci untuk membuka kitab suci Perjanjian Lama: “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab Nabi-nabi” (Lukas 24:27 TB2). Tetapi mereka baru menyadari siapa Dia, dan bagaimana Dia memahami Kitab Suci, setelah mereka mengenal-Nya “dalam pemecahan roti.”

Ungkapan ini bersifat ekaristis: “memecahkan roti” adalah cara Lukas menggambarkan Ekaristi Kristen perdana (Kisah Para Rasul 2:42, 46), dan caranya dalam menggambarkan adegan ini sangat mirip dengan caranya menggambarkan Perjamuan Terakhir. Perhatikanlah cara Lukas menggambarkan momen ini dengan cermat: Yesus “mengambil roti,” “mengucap syukur,” “memecah-mecahkannya,” dan “memberikannya kepada mereka” (ayat 30).

Mengapa Lukas menggunakan empat kata kerja untuk menggambarkan peristiwa ini? Sepertinya, ia tahu bagaimana cara kita makan roti, dan ia tidak berusaha meyakinkan kita bahwa mereka sedang berdoa sebelum makan.

Bukan suatu kebetulan bahwa inilah cara Lukas dan para Penginjil lainnya mengisahkan perbuatan Yesus pada Perjamuan Terakhir. Dalam Lukas: “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: ‘Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu. Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku’” (22:19 TB2). Dalam Matius: “Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya, lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: ‘Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku’” (26:26 TB2). Lagi-lagi empat tindakan yang sama: Yesus mengambil, mengucap syukur, memecah-mecahkan, dan memberikan. Yesus mengungkapkan diri-Nya dan kitab suci pun terbuka.

Kita melihat hal ini dengan cara lain yang lebih mistis dalam kitab Wahyu. Yohanes melihat sebuah gulungan kitab yang “dimeterai dengan tujuh meterai” di “tangan kanan Dia yang duduk di atas takhta itu” (5:1 TB2). Seorang “malaikat yang kuat” berseru dengan suara nyaring, “Siapa yang layak membuka gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya?” (ayat 2 TB2). Ketika “tidak ada seorang pun yang di surga atau di bumi atau di bawah bumi” (ayat 3 TB2) yang dapat membuka gulungan kitab itu, Yohanes pun menangis. Kemudian salah seorang tua-tua di surga berkata kepadanya, “Jangan menangis! Lihatlah, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya” (ayat 5 TB2).

Namun, apa yang kemudian dilihat oleh Yohanes bukanlah seekor singa, melainkan seekor anak domba. Lebih spesifik lagi, Yohanes melihat “seekor Anak Domba seperti telah disembelih” (ayat 6), yang kemudian mengambil gulungan kitab itu, sementara itu surga bersorak-sorai: “Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya. Sebab, Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku, Bahasa, umat, dan bangsa. Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi” (ayat 9-10 TB2).

Ada ironi yang luar biasa dalam bagian ini. Kita mengira “malaikat yang kuat” itu mampu membuka meterai itu, tetapi dia tidak bisa; tidak ada makhluk yang sanggup melakukannya. Dan kemudian kita berharap Putra Allah dapat membukanya karena Dia adalah Singa Yehuda sang penakluk. Tetapi Kristus menyatakan diri-Nya bukan dalam kekuatan, tetapi dalam kerendahan hati: “berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih.” Bahkan gambaran ini bersifat paradoksal: yang disembelih tidak pernah terlihat berdiri tegak. Ini adalah gambaran Yesus yang menaklukkan melalui kelemah-lembutan dan pengorbanan diri serta kematian-Nya.

Namun, bukan hanya itu saja yang menggambarkan Kristus yang disalibkan, tetapi juga Kristus sebagai anak domba yang disembelih, yang mengingatkan kita akan Paskah Perjanjian Lama dan Perjamuan Tuhan yang di dalamnya “anak domba Paskah kita, yaitu Kristus, juga telah disembelih” (1 Korintus 5:7 TB2). Jadi, hanya dengan mengenal Yesus Kristus dengan cara ini, maka segala sesuatu yang lain akan terbuka. Jika tidak, beberapa gulungan kitab akan tetap termeterai bagi pemahaman kita. Kita tidak akan mengalami hati yang berkobar-kobar di dalam diri kita.

Maka, Yesus yang ekaristis adalah kuncinya. Pemahaman Katolik tentang Ekaristi yaitu Yesus memberikan diri-Nya sendiri kepada kita dalam Ekaristi. Ketika kita menerimanya, kita menerima Dia secara utuh. Ekaristi bukan hanya sebuah simbol, atau hanya “kehadiran rohani” Yesus. Ekaristi benar-benar adalah Yesus.

 

Sumber: “The Eucharist and the Apocalypse”

Posted on 7 November 2024, in Ekaristi and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.