[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Marselinus Choe Chang-ju
Profil Singkat
- Tahun dan tempat Lahir: 1749, Yeoju, Gyeonggi-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Keluarga kelas bangsawan
- Usia: 52 tahun
- Tanggal Kemartiran: 25 April 1801
- Tempat Kemartiran: Yeoju, Gyeonggi-do
- Cara Kemartiran: Dipenggal
Marselinus Choe Chang-ju, juga dipanggil dengan nama ‘Yeojong’ lahir di Yeoju, Gyeonggi-do di keluarga bangsawan. Pada usia 40-an dia menerima agama Katolik. Dia menjadi seorang Katolik yang setia dan membaktikan dirinya untuk memimpin keluarganya kepada Tuhan. Dia ditangkap ketika Penganiayaan Sinhae yang terjadi pada tahun 1791, dan dibawa ke Gwangju. Disana, dibawah berbagai hukuman berat, Marselinus Choe menyerah dari agamanya dan kemudian dibebaskan. Barbara Choe Jo-i yang menjadi martir di Jeonju pada tahun 1840 adalah putrinya.
Namun setibanya ia pulang, dia menyesal telah menyangkal agamanya. Dia bertobat dari dosa besarnya dan mencari cara untuk menebusnya melalui kemartiran. Dia mencoba untuk mendorong keluarga dan umat beriman agar tetap setia kepada agamanya. Dia memberikan kedua putrinya untuk menikah dengan orang Katolik yang saleh. Salah satunya menjadi istri dari Yohanes Won Gyeong-do, yang menjadi martir di Yeoju pada tahun 1801. Dan yang satunya lagi adalah Barbara Choe, yang menjadi menantu dari Petrus Sin Tae-bo yang menjadi martir di Jeonju pada tahun 1839.
Penganiayaan terjadi lagi pada Minggu Paskah tahun 1800, di wilayah Yeoju. Setelah mendengar berita bahwa menantunya Yohanes Won Gyeong-do ditangkap, istri Marselinus Choe meminta suaminya untuk berlindung bersamanya. Ibu dari Yohanes Choe juga menyarankan agar dia melarikan diri. Dia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan melarikan diri ke Seoul. Namun, tak lama setelah dia membuat keputusan baru untuk mati sebagai martir, dia pulang ke rumah. Dia ditangkap pada malam itu oleh polisi dan dipenjarakan di Yeoju.
Tak lama kemudian, hakim memulai interogasi dan menyiksa Marselinus Choe, dan mencoba memaksa dia memberitahukan nama-nama umat beriman. Dia dengan tegas menolaknya, dan berkata, “Sangat tidak mungkin untuk melaporkan satu orangpun dari umat beriman, karena Gereja Katolik melarang semua perilaku yang membahayakan orang lain.” Setelah menyatakan perkataan tersebut, dia dipenjarakan lagi bersama Yohanes Won dan Martinus Yi Jung-bae.
Kali ini dia ditahan di penjara selama enam bulan, kemudian pada bulan Oktober dia dibawa ke kantor gubernur di Gyeonggi-do. Disana dia disiksa dengan kejam dan mencoba memaksa dia menyangkal Tuhan, tetapi imannya tak tergoyahkan.
Ketika Penganiayaan Shinyu terjadi pada tahun 1801, gubernur mengeluarkan semua umat Katolik yang berada di penjara, kemudian menyiksanya dan memaksanya untuk menyangkal agama mereka. Marselinus Choe dengan berani menjawab untuk mewakili semua rekan Kristennya; “Kami tidak dapat mengkhianati Tuhan, karena Dia memberikan kami kebahagiaan untuk mengenal Tuhan, ‘Raja kami dan Bapa semua orang’ dan untuk melayani-Nya.”
Mendengar pernyataan itu, gubernur memperberat hukuman mereka, tetapi Marselinus Choe dan rekan-rekan Katoliknya, menjalankan seluruh hukuman dan godaan dengan saling menguatkan satu sama lain. Gubernur menyadari bahwa tidak mungkin untuk mengubah pikiran mereka, dia meminta mereka untuk menuliskan pernyataan terakhirnya dan kemudian melaporkannya ke istana. Istana memerintahkan bahwa mereka akan dieksekusi di kampung halamannya masing-masing, dalam rangka membuat orang-orang berubah melawan agama Katolik. Dengan demikian, Marselinus Choe dan umat Katolik lainnya dibawa ke Yeoju. Mereka dipenggal dan meninggal sebagai martir pada tanggal 25 April 1801 (13 Maret pada penanggalan Lunar), dan dia berusia 52 tahun.
Berikut ini adalah kutipan dari pernyataan terakhir yang dilaporkan oleh Gubernur Gyeonggi yang diserahkan ke istana mengenai Marselinus Choe:
“Choe Chang-ju tidak menganggap ayahnya sebagai ayah yang sebenarnya (oleh karena Tuhan disebut sebagai Bapanya). Dia adalah orang yang jahat, bahkan melupakan nama ayahnya sendiri. Walaupun dihukum berat, dia tidak memberitahukan dimana buku-buku Gereja berada. Dia berkata bahwa dia tidak akan mengubah pikirannya (imannya akan agama Katolik). Perbuatan seperti ini merusak hukum moral. Selain itu, dia berkata bahwa dia rela mati untuk imannya.”
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 7 November 2014, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 2 Comments.
Pingback: Beata Barbara Choe Jo-i | Terang Iman
Pingback: Beato Yohanes Won Gyeong-do | Terang Iman