Konsili Kalsedon dan Pengutukan Ajaran Nestorian
Oleh William Hemsworth
Konsili Kalsedon diadakan hanya dua puluh tahun setelah Konsili Efesus. Pengaruhnya terhadap Kristologi dan doktrin tidak bisa dianggap remeh. Konsili itu diadakan karena adanya ajaran baru tentang kodrat Kristus oleh seorang biarawan yang bernama Eutykhes. Untuk merangkum ajaran itu, dia mengajarkan bahwa Kristus memiliki dua kodrat, namun setelah mereka bersatu maka hanya ada satu kodrat. Dia adalah lawan dari Nestorius yang pandangannya merusak kodrat Kristus. Pandangan ini tampaknya menghancurkan baik kemanusiaan dan keilahian Kristus. Sayangnya, pandangan ini tidak jauh dengan kepercayaan banyak orang Kristen saat ini.
Konsili Kalsedon menekankan bahwa kodrat Kristus tidak berubah, dan dengan demikian konsili itu menolak Nestorianisme. Namun demikian, kisah konsili ini dimulai sebelum kisah yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu kisah seorang biarawan yang bernama Eutykhes. Setelah mendengar penjelasan Eutyches tentang kodrat Kristus, Patriark Flavianus merasa perlu menanggapi masalah ini. Flavianus yang kemudian menjadi Patriark Konstantinopel, mengadakan sinode dan mengutuk ajaran Eutykhes. Flavianus mempertahankan ajaran yang orthodoks, namun topik Kristologi masih dirumuskan1 di dunia kuno. Eutykhes mencari seorang sekutu yang adalah Uskup Alexandria yang bernama Dioscorus, yang kebetulan adalah sepupu dari Sirilus dari Aleksandria (Norris 29). Menurut Richard Norris, “Dioscorus dengan dukungan kerajaan, memimpin sebuah konsili di Efesus” (Norris 29). Konsili ini bertujuan untuk menggulingkan Patriark Flavian dan memulihkan posisi Eutykhes (Konsili ini disebut Konsili Efesus II yang tidak diakui oleh Gereja Katolik –red.).
Sebelum tindakan penggulingan ini, Paus Leo I sudah mengirimkan surat dukungan kepada Flavianus yang berisikan tentang penerimaan keputusan sinode (Sinode Konstantinopel tahun 448 –red.) yang dia selenggarakan atas nama seluruh Gereja. Paus Leo menyebut Konsili yang mengembalikan posisi Eutykhes sebagai “Sinode Pencuri” dan membuatnya menjalankan otoritas Gereja Roma (Norris 29). Permintaan Paus Leo untuk mengadakan konsili baru sudah dijawab dan tak lama kemudian Uskup Dioscorus dicopot dari keuskupannya.
Pernyataan iman Konsili itu bukan mencoba untuk menyatakan bagaimana kodrat Kristus yang seharusnya namun menyatakan bukti Kristen yang tidak dapat disangkal selama lebih dari 400 tahun. Konsili ini mengulangi tentang dua kodrat Kristus, yang menjadi perhatian bagi Nestorius yang telah berpendapat tentang hal itu dalam cara yang sesat. Konsili itu pula menegaskan pandangan yang dipegang oleh Sirilius dalam Konsili Efesus dalam tradisi yang dirumuskan di Nikea. Tomus Leo juga yang menjadi faktor dalam pejelasan keputusan di Kalsedon.
“Penjelasan” di Kalsedon menegaskan Syahadat Nikea dan Konstantinopel ketika syahadat itu dihasilkan untuk menjelaskan penebusan dan pribadi Kristus (Norris 30). Konsili itu juga menyatakan bahwa tradisi Kristologis yang bentuknya ekstrim itu terkutuk, adapun ajaran sesat itu diajarkan di sekolah-sekolah di Antiokhia dan Aleksandria (Norris 30). Penjelasan itu ditutup dengan pernyataan yang disusun berdasarkan keinginan raja. Sebagaimana Norris tuliskan, “Pernyataan ini, ditulis dengan tata bahasa kepada Sirilius, Leo, dan Rumusan Rekonsiliasi2.” Pernyataan itu menekankan bahwa Kesatuan Kristus itu sungguh Allah dan sungguh Manusia. Lebih penting lagi dalam pernyataan itu bahwa Kristus hadir dalam dua kodrat dan bukan dari dua kodrat3. Karena tata bahasa inilah penjelasan itu diberi penekanan baik di sekolah Antiokhia maupun di Aleksandria.
Catatan Kaki:
(1) Dirumuskan itu bukan berarti suatu ajaran itu baru ada. Namun suatu ajaran itu ditegaskan kembali melalui konsili untuk meluruskan ajaran yang salah.
(2) Rumusan Rekonsiliasi atau “Formula of Reunion” adalah rekonsiliasi antara St. Sirilius dari Aleksandria dengan Yohanes dari Antiokhia sebagai Partriark dari Antiokhia. Setelah konsili Efesus (431), kedua pandangan Yohanes dari Antiokhia dan Nestorius dikutuk sebagai ajaran sesat. St. Sirilius mendekati Yohanes untuk memecahkan masalah perbedaan teologis dan berdamai dengan berkompromi pada perbedaan ajaran tentang kodrat Kristus.
(3) Pandangan sesat Eutykhes yang menyatakan kodrat Ilahi dan kodrat manusia membentuk satu kodrat yang baru yaitu Kodrat Kristus.
Referensi: Norris, Richard A. The Christological Controversy. Fortress Press Philadephia: PA, 1980. Print.
Posted on 5 September 2018, in Apologetika, Sejarah Gereja and tagged Euthykhes, Flavianus dari Konstantinopel, Kodrat Kristus, Konsili Kalsedon, Nestorian, St. Leo I Agung, St. Sirilius dari Aleksandria. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0