[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Apakah Misa Katolik itu Alkitabiah?
Oleh Karlo Broussard

Misa Katolik (Sumber: romancatholicman.com)
Apakah umat Katolik merupakan orang Kristen yang alkitabiah? Bagi seorang Katolik yang merenungkan pertanyaan ini mungkin akan berpikir demikian, “Saya tahu bahwa orang Protestan memanggil dirinya sendiri sebagai orang Kristen yang alkitabiah, dan karena umat Katolik jarang sekali menggunakan istilah ”alkitabiah.” Maka saya kira, saya harus menjawab ‘Tidak’.” Tapi, umat Katolik harus menjawab pertanyaan itu dengan cepat tanggap dengan jawaban “YA!”
Sebagai orang Katolik, kita adalah 100% orang Kristen alkitabiah, yang berarti bahwa Gereja Katolik percaya bahwa Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah, menurut Konsili Vatikan II, Alkitab “merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani” (Dei Verbum 21). Oleh karena itu, umat Katolik memang umat Kristen yang alkitabiah, dan mungkin tidak ada aspek iman Katolik yang mencontohkan hal yang alkitabiah ini selain dari kurban kudus Misa.
Pengenalan akan firman Allah akan menuntun seseorang untuk menyimpulkan bahwa Misa Katolik bukanlah hal asing dalam Alkitab. Kenyataannya, strukturnya, kata-katanya, tata geraknya, dan bahkan teologi dalam Misa itu semuanya tertanam dalam halaman-halaman Kitab Suci. Ada suatu penyelidikan atas “cetak biru Alkitab” ini mengarahkan kepada penemuan bahwa tata cara penyembahan Katolik itu sangat alkitabiah.
Ritus Pembuka
Umat Kristen dapat mengenali sisi alkitabiah dalam tata penyembahan Katolik dari doa pembuka Misa yaitu tanda salib. Bahasa dari doa itu langsung berasal dari Matius 28:19, di mana Yesus memerintahkan para rasul untuk pergi dan menjadikan semua bangsa dan baptisalah mereka “dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.” Gerakannya yakni sebuah salib di atas tubuh kita, secara implisit bisa ditemukan dalam kitab Yehezkiel ketika nabi Yehezkiel menerima perintah berikut ini: “Berjalanlah dari tengah-tengah kota, yaitu Yerusalem dan tulislah huruf T pada dahi orang-orang yang berkeluh kesah karena segala perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan di sana” (Yehezkiel 9:4). Tanda yang dibubuhkan bermaksud untuk menandai mereka di antara umat Allah yang setia yang membenci kekejian kepada Tuhan dan menghindarkan mereka dari murka dan hukuman Allah.
Pentingnya gerakan salib dalam sebuah tanda dalam satu kata Ibrani taw yang merupakan satu huruf Ibrani, yang berbentuk seperti huruf X atau tanda tambah (+). Dalam versi Yunani adalah huruf tau, yang berbentuk huruf T, seperti salib Fransiskan. Jadi praktik umat Katolik melakukan tanda salib bukan hanya mengingatkan orang Kristen akan salib Kristus saja, yang karena tanda itu beroleh karunia keselamatan, namun juga dalam terang tradisi alkitabiah, tanda itu bermakna sebagai ungkapan kesetiaan yang nyata terhadap Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus dan memisahkan diri cara-cara jahat dunia.
Bagian lain dalam ritus pembuka yang paralel dengan cetak biru Alkitab adalah salam. Ketika imam berkata, “Tuhan bersamamu,” dan umat menjawab, “Dan bersama rohmu.” Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah asal alkitabiah dari bahasa tersebut. Perkataan tersebut berasal dari 2 Timotius 4:22: “Tuhan menyertai rohmu.” Sama seperti tanda salib, ada sisi teologis yang berasal dari Perjanjian Lama. Sepanjang sejarah keselamatan, frase itu tidak pernah digunakan untuk orang biasa dalam situasi yang biasa pula. Frase itu menandakan suatu panggilan dan pengutusan yang khas yang akan berdampak pada seluruh sejarah Israel dan memastikan adanya perlindungan dan pertolongan dari Allah dalam menjalankan pengutusan itu.
Contohnya, ketika malaikat memanggil Gideon untuk berjuang demi umat Allah dari serbuan bangsa asing, “Tuhan menyertai engkau” (Hakim-hakim 6:12). Begitu pula ketika malaikat Gabriel memberi salam kepada Maria (Lukas 1:28). Ketika kita menerapkannya ke dalam pengalaman liturgis kita, maka salam ini menekankan bahwa umat awam memiliki akses ke dalam kuasa Allah untuk membawakan panggilan yang khas dalam rencana keselamatan Allah, yaitu menjadi “saksi sampai ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1:8) dan untuk “menjadikan semua bangsa menjadi murid” (Matius 28:19). Demikian pula, ketika umat menjawab, “Dan bersama rohmu,” maka kita mengakui bahwa imam juga memiliki panggilan khas dalam rencana keselamatan Bapa, yaitu untuk membuat salib Kristus hadir di altar.
Pernyataan Tobat (Confiteor), merupakan doa yang dimulai dengan “Saya mengaku kepada Allah Yang Mahakuasa,” doa ini juga berakar dari tradisi Alkitabiah. Suatu studi literatur tentang Alkitab mengenai Perjanjian Lama mengungkapkan bahwa pengakuan verbal adalah bagian penting dalam peribadatan publik bagi orang Israel Kuno. Ketika bangsa Israel kembali ke Yerusalem dari pembuangan Babel, mereka memperbarui perjanjian dengan Yahwe melalui imam Ezra, mereka “berdiri di tempatnya dan mengaku dosa mereka” (Nehemia 9:2). Imamat 5:5 menyatakan bahwa orang yang bertobat harus menyatakan dosa-dosanya sebagai bagian ritual untuk korban penghapus dosa.
Dan doa terakhir dalam ritus pembuka yang bisa kita lihat sebagai doa yang dibentuk dari cetak biru Alkitab adalah Kemuliaan (Gloria). Baris pertama adalah kutipan langsung dari Alkitab: “Kemuliaan kepada Allah di surga, dan damai di bumi kepada orang yang berkenan kepada-Nya. Inilah kata-kata yang sama yang diucapkan malaikat kepada para gembala ketika mengumumkan kelahiran Mesias (Lukas 2:14). Sebutan-sebutan bagi Allah yang ditetapkan dalam doa itu ditemukan juga dalam Kitab Suci, seperti “Yang Mahakuasa” (bdk. Mazmur 68:14, 91:1) dan “raja surgawi” (bdk. Mazmur 98:6, 99:4; Yesaya 43:15). Mengenai Yesus, istilah “putra yang tunggal” berasal dari Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal [(Yunani: monogene]. Gelar “Anak Domba Allah berasal dari Yohanes 1:29, “Kudus” ditemukan dalam Wahyu 3:7 dan 16:5, dan “Tuhan” dalam 1 Korintus 8:6 dan Filipi 2:11.
Liturgi Sabda
Bagian Misa berikutnya yaitu Liturgi Sabda, banyak bagian dalam liturgi ini yang ditanamkan dari Kitab Suci. Yang utama, tindakan mewartakan Firman Allah dalam konteks liturgi bisa ditelusuri dalam Kitab Keluaran. Dalam upacara liturgis pengikatan perjanjian di Sinai, Musa “mengambil kitab perjanjian, daan dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu …” (Keluaran 24:7). Bangsa Israel kemudian menganggapinya dengan iman sambil berkata, “Segala firman Tuhan akan kami lakukan dan akan kami dengarkan” (Keluaran 24:7).
Hal ini cocok dengan praktik liturgi menanggapi bacaan dari Alkitab dengan perkataan, “Syukur kepada Allah.” Itulah bentuk tanggapan iman dari umat Israel Baru terhadap Perjanjian Baru. Oleh karena itu, liturgi merupakan tempat yang selayaknya untuk mewartakan firman Allah, maka liturgi pula menjadi elemen penting dari cetak biru tentang tata cara peribadatan bagaimana cara melakukan persembahan bagi Allah yang dilakukan oleh umat Israel yang lama maupun yang baru.
Beberapa doa dan tata gerak sekitar pembacaan Injil, memiliki keutamaan yang alkitabiah juga. Salah satu doanya yaitu Alleluia (bahasa Ibrani yang artinya “Pujilah Tuhan”) dan kita bisa menemukan kata itu dalam akarnya yaitu Mazmur Hallel Yahudi (Mazmur 113-118), yang didoakan dalam liturgi Paskah Yahudi untuk memuji Yahwe atas pembebasan dari Mesir dalam Keluaran.
Alleluia juga ditemukan dalam penglihatan surgawi yang dialami Yohanes mengenai perjamuan kawin Anak Domba, di mana para malaikat memuji Allah atas karya keselamatan yang Ia perbuat melalui Yesus dan mewartakan hari perkawinan Anak Domba telah tiba (lih. Wahyu 19:1-9). Maka dari itu, doa Katolik “Alleluia sebelum bacaan Injil” menandakan perayaan Paskah baru dan keikutsertaan dalam pesta perkawinan surgawi Anak Domba.
Sementara kita mendoakan Alleluia, jika kita perhatikan, semua umat berdiri untuk persiapan pembacaan Injil. Peristiwa ini mengingatkan kita akan Nehemia 8:5, di mana seluruh umat berdiri ketika imam Ezra mulai membacakan kitab perjanjian ketika bangsa Israel memperbarui perjanjian dengan Yahwe setelah kembali ke Yerusalem dari pengasingan. Sama seperti umat Israel berdiri untuk pembacaan Hukum Musa yang lama, umat Kristen berdiri untuk pembacaan Hukum Yesus yang ada dalam Injil.
Ada juga detail lain yang sangat berharga untuk diketahui, yaitu doa pribadi imam di depan altar ketika menuju ambo: “Bersihkanlah hatiku dan bibirku, Allah Yang Mahakuasa sehingga saya dapat dengan pantas mewartakan Injil Suci-Mu.” Permohonan ini mengingatkan kita akan pembersihan bibir Yesaya dalam Yesaya 6:6-7, sebelum pewartaan nubuat firman Tuhan kepada Israel. Imam dalam Misa, sama dengan Yesaya, memohon supaya bibirnya dibersihkan sebelum mewartakan firman Tuhan kepada Gereja, Israel yang Baru.
Baca juga: “Bagaimana Membuat Tanda Salib Sebelum Bacaan Injil”
Liturgi Ekaristi
Ketika Misa berlanjut ke Liturgi Ekaristi, maka kita akan mengenali suatu kerangka doa, tata gerak, dan praktik yang disinggung dalam Alkitab. Misalnya, roti dan anggur mengingatkan kita akan kurban ucapan syukur yang dipersembahkan imam-raja Melkisedek dalam Kejadian 14:18-20. Hal ini bertentangan dengan latar belakang imamat Perjanjian Lama (harus dari suku Lewi –red.), bahwa Yesus yang menurut penulis Surat kepada Orang Ibrani merupakan imam menurut peraturan Melkisedek (Ibrani 5:10), yang mempersembahkan roti dan anggur pada Perjamuam Malam Terakhir.
Maka dari itu, persembahan roti dan anggur dalam Misa Katolik menandakan kurban yang akan segera terjadi adalah seperti yang dilakukan Melkisedek, yaitu kurban ucapan syukur (bahasa Yunani: eucharistia), dan kurba itu dipersembahkan oleh seorang imam menurut peraturan Melkisedek, yaitu imam yang bertindak in persona Christi.
Perikop Alkitab lainnya yang mungkin terlintas selama doa-doa persembahan adalah dalam Daniel 3:39-40, ketika Azarya berdoa sambil berdiri di tengah perapian, “Tetapi semoga kami diterima baik, karena jiwa yang remuk redam dan roh yang rendah, seolah-olah kami datang membawa korban-korban bakaran domba dan lembu serta ribuan anak domba tambun. Demikianlah hendaknya korban kami di hadapan-Mu pada hari ini berkenan seluruhnya kepada-Mu. Sebab tidak dikecewakanlah mereka yang percaya pada-Mu.”
Perikop ini yang mungkin menjadi latar belakang doa penerimaan kurban yang didoakan hanya oleh imam, yang berbunyi, “Dengan rendah hati dan tulus, kami menghadap kepada-Mu, ya Allah, Bapa Kami. Terimalah kami, dan semoga persembahan yang kami siapkan ini berkenan kepada-Mu. (Tata Perayaan Ekaristi 2005 – Buku Imam)”
Bersamaan dengan doa-doa persembahan, tindakan imam mencuci tangan merupakan contoh tradisi Alkitab. Menurut Keluaran 30:18-21, Allah melalui Musa memerintahkan para imam Lewi untuk mencuci tangannya dalam bejana tembaga yang terletak di dekat mezbah di luar tabernakel sebelum masuk untu memulai tugas mereka sebagai imam. Imam Katolik mencuci tanganya karena dia akan memasuki tabernakel surgawi yang hadir dalam ruang dan waktu ketika sang imam mengadakan Ekaristi.
Ritual tambahan yang layak untuk diperhatikan adalah persembahan dupa oleh imam. Bagi setiap orang Yahudi, hal ini mengingatkan akan mezbah pembakaran ukupan dalam tempat yang maha kudus dalam tabernakel sewaktu di padang gurun dan dalam Bait Allah yang dibangun Salomo, tempat di mana imam Lewi melakukan pelayanan. Lebih jauh lagi, St. Yohanes dalam Kitab Wahyu, para penatua yaitu para imam (Bahasa Yunani: presbyteros) mempersembahkan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan di tempat kudus surgawi (bdk. Wahyu 5:8). Oleh karena itu, persembahan dupa dalam Misa Katolik adalah salah satu praktik umum di antara umat Allah sepanjang sejarah keselamatan dan menandakan bahwa umat beriman Katolik secara mistik ikut serta dalam penyembahan di Bait Suci Surgawi.
Doa penting berikutnya yang isinya langsung berasal dari Alkitab adalah Kudus (Sanctus). Tiga aklamasi kekudusan Allah, Kudus, kudus, kudus, ditemukan dalam Perjanjian Lama dan juga dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjan Lama, Nabi Yesaya menggambarkan penglihatannya mengenai tahta surgawi dan di dalamnya dia melihat dan mendengar para malaikat berseru, Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yesaya 6:3). Begitu pula, St. Yohanes melihat hal yang sama ketika dia diperkenankan untuk melihat tahta surgawi Anak Domba. Dia menuliskannya dalam Wahyu 4:8, “Dan keempat makhluk itu … tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” Hal ini masuk akal sekali jika kita lebih dalam mengetahui prefasi sebelum doa Sanctus:
“Dari sebab itu, kami mengumandangkan kidung kemuliaan bagi-Mu bersama para malaikat dan seluruh laskar surgawi yang tak henti-hentinya bernyanyi.”
Dengan demikian, Sanctus adalah tanda bagi umat Katolik bahwa mereka secara sakramental memasuki tempat kudus surgawi untuk bergabung bersama dengan para makhluk surgawi.
Doa Konsekrasi
Setelah itu adalah kata-kata institusi atau kita lebih akrab dengan istilah kata-kata konsekrasi, yang sayang sekali karena batasan artikel ini tidak dapat dijelaskan dengan lebih terperinci. Namun, beberapa poin inti ini perlu dijelaskan.
Yang pertama adalah kata-kata “Inilah tubuh-Ku … Inilah darah-Ku” yang berasal dari narasi Perjamuan Malam Terakhir dalam Injil Sinoptik dan Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus (lihat Matius 26:26-28, Markus 14:22-24, Lukas 22:19-20, 1 Korintus 11:24-25).
Yang kedua adalah frase “darah perjanjian baru dan kekal” yang merupakan kombinasi dari tulisan Lukas, di mana dia menuliskan perkataan Yesus, “perjanjian baru dalam darah-Ku” (Lukas 22:20) dan menurut Matius yang menuliskan demikian, “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian” (Matius 26:28).
Injil Matiuslah yang paling eksplisit membuat hubungan dengan tradisi Perjanjian Lama. Jika seorang Yahudi mendengarkan frase “darah perjanjian,” maka dia akan mengingat upacara pengikatan perjanjian di Sinai dalam Keluaran 24, di mana Musa berkata, “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu, berdasarkan segala firman ini” (Keluaran 24:8). Oleh karena itu, perkataan Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir menandakan bahwa perjamuan itu adalah upacara pengikatan Perjanjian Baru. Pada upacara Perjanjian Baru inilah, umat Katolik ikut serta dan hadir secara mistik dalam perayaan Ekaristi.
Doa terakhir yang ditetapkan sebagai bagian cetak biru Alkitab adalah anamnesis Doa Syukur Agung IV yang dalam bagian doa itu berbunyi demikian, “kami mempersembahkan pada-Mu Tubuh dan Darah-Nya: kurban yang berkenan pada-Mu dan membawa keselamatan bagi seluruh dunia.” Mempersembahkan Yesus dalam kurban menimbulkan bunyi yang mengerikan di telinga umat Protestan, mengingat dalam Ibrani 7:27 menyatakan bahwa, “[Yesus] yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.”
Apakah Gereja Katolik menyalibkan lagi Yesus dan akibatnya mereka mengambil ayat Ibrani 6:6, “namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di muka umum.” Kunci untuk menjawab pertanyaan di atas ada dalam doktrin Katolik bahwa Ekaristi hadir dalam kurban Kristus yang satu dan sama dalam Misa di balik tanda roti dan anggur (bdk. KGK 1366-1367). Maka dari itulah, kurban Misa bukan menyalibkan lagi Yesus.
Namun hal ini tetap menjadi pertanyaan: Apakah gagasan teologis ini alkitabiah? Jawabannya, ya! Penulis surat Ibrani menggambarkan Yesus sebagai “yang melayani ibadah di tempat kudus, yaitu di dalam kemah sejati, yang didirikan oleh Tuhan dan bukan oleh manusia” (Ibrani 8:2). Dalam kata lain, pelayanan imamat Yesus berlangsung untuk selama-lamanya di alam surgawi (bdk. Ibrani 7:24). Maka sekarang, karena “setiap Imam Besar ditetapkan untuk mempersembahkan korban dan persembahan dan karena itu Yesus perlu mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan” (Ibrani 8:3).
Apa yang dipersembahkan Yesus kepada Bapa di tempat kudus surgawi sebagai seorang imam besar? Persembahan itu tidak lain dari perngorbanan-Nya di kayu salib, karena itulah tindakan imamat-Nya yang sangat nyata. Oleh karena itu, cetak biru Alkitab mengungkapkan tentang kurban yang satu dan sama dari Kristus di kayu salib, yang hadir di tempat kudus surgawi dengan cara yang tidak berdarah. Kesimpulan yang sama juga didukung oleh fakta bahwa St. Yohanes menggambarkan Yesus rampil sebagai Anak Domba yang telah disembelih di tempat kudus surgawi (bdk. Wahyu 5:6).
Dengan demikian, penyaliban Yesus Kristus dihadirkan untuk selamanya di hadapan Bapa yang tidak terikat ruang dan waktu. Konsekuensinya, kurban yang sama dilakukan secara substansial hadir di tempat ini dan saat ini dalam cara yang tidak berdarah setiap kali umat beriman yang secara iturgis memperingati kurban Kristus dalam anamnesis.
Kesimpulannya, yang tertanam dalam Kitab Suci adalah firman kudus Allah yang merupakan cetak biru bentuk penyembahan yang berkenan kepada Tuhan dengan umat kudus Allah, yaitu Gereja. Misa dan Alkitab tidak dapat dipisahkan, dan bersama-sama mengarahkan umat beriman Katolik ke tujuan seluruh umat manusia yang disebut surga.
Posted on 1 November 2019, in Apologetika, Ekaristi and tagged Anak Domba Allah, Gloria, Imamat, Imamat Khusus, Misa Kudus, Persembahan, Tanda Salib. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0