Penyaliban – Kutukan Salib

Oleh Dr. Brant Pitre

XII Station Jesus Dies on the Cross by Patricia Trudeau (Sumber: fineartamerica.com)

Ada satu elemen terakhir mengenai penyaliban dalam konteks Yahudi yang sangat penting. Salib bukan sekadar sesuatu yang kejam, bukan sekadar penghinaan baik secara publik atau sosial. [Elemen pertama bisa dibaca di artikel ‘Penyaliban – Brutalnya Salib’ dan elemen kedua bisa dibaca di artikel ‘Penyaliban – Penghinaan di Kayu Salib’]. Tapi punya signifikansi teologis dalam agama Yahudi, yaitu dianggap sebagai tanda kutukan Allah: kutukan penyaliban. Sekarang kita akan membahas konteks tentangg kutukan, kita biasanya mengartikan kutukan sebagai sumpah serapah atau kata-kata kotor, betul? Perlu diingat, dalam Yudaisme, jika seseorang dikutuk berarti memiliki tanda yang kelihatan dari tidak berkenannya yang Ilahi, atau dihukum dengan cara yang nyata oleh Allah sebegai tanda bahwa orang itu tidak berkenan kepada-Nya. Orang itu adalah kekejian bagi-Nya atau orang itu berdosa berat (dosa mortal atau dosa maut), orang itu sudah melanggar perjanjian. Maka apa pun bentuk pemutusan hubungan dengan Allah akan membuat seseorang dianggap terkutuk. Itulah yang akan kita maksud ketika berbicara kutukan dalam penyaliban.

Dan kita lihat dalam tradisi Yahudi kuno, pemikiran mengenai salib sebagai kutukan, konsisten sejak zaman Pentateukh, berkenaan dengan hukuman gantung secara umum, dan kemudian sampai abad pertama dan seterusnya berkenaan dengan penyaliban sebagai metode umum kematian dengan cara digantung di zaman kuno. Mari kita melihat beberapa naskah mengenai itu. Dalam Pentateukh, dalam kitab Ulangan ada naskah yang sangat menarik dalam bagian mengenai eksekusi. Ulangan 21:22-23 dikatakan demikian:

“Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.”

Jadi kita bisa melihat ada beberapa poin. Pertama, Anda bisa memperhatikan bahwa kitab Ulangan mengasumsikan bahwa kematian dengan cara digantung adalah semacam cara eksekusi yang lazim. Kedua, Anda akan melihat tentang perhatian utama dari naskah itu bukan cara mengatur eksekusinya tapi mengatur setelah eksekusi. Apa yang harus dilakukan dengan mayat seseorang yang digantung di pohon? Dan perhatian utama kitab Ulangan adalah, “Jangan biarkan mayatnya digantung di tiang (atau pohon) semalaman. Anda harus menguburkannya.”

Nah, sekarang mengapa hal itu menjadi perhatian? Karena salah satu hal yang dilakukan orang banyak dalam eksekusi dengan digantung adalah membiarkan mayat itu supaya dimakan burung, atau dibiarkan mayat itu dimakan oleh binatang yang melewatinya. Jika mayatnya digantung tidak terlalu tinggi, akan ada anjing atau binatang semacam itu yang akan memakan kaki dari mayat itu, mungkin binatang itu akan mengoyak mayat itu, dan tentu saja burung pemangsa (gagak, elang, dan semacamnya) akan memakannya.

Nah hal ini hanya akan memperpanjang penghinaan sampai mati, kan? Seseorang bukan hanya dieksekusi di hadapan semua orang, tapi semua orang akan melihat mayat orang itu dimakan oleh burung dan binatang buas. Begitulah cara yang umum dilakukan dengan hukuman gantung. Maka dalam kitab Ulangan menunjukkan beberapa batasan. Kedengaran agak aneh, tapi ingat, saya selalu mengatakan untuk menempatkan naskah dalam konteksnya. Jadi di Timur Dekat pada zaman kuno, mereka akan melakukan segala macam cara dengan korban yang digantung atau dipaku itu. Mereka akan memaku orang itu pada tiang sekitar setinggi 12 meter dan membiarkannya sehingga semua orang bisa melihat orang yang dieksekusi itu. Jadi kitab Ulangan kita tidak boleh melakukan mayat sampai dimakan binatang. Anda harus menurunkan mayatnya dari pohon, menguburkannya sehingga Anda tidak menajiskan tanah. Nah, ini akan menjadi kekejian di mata Allah. Tapi di sini juga ada alasannya, orang yang digantung dikutuk oleh Allah, sebagaimana yang dikatakan naskah itu. Maka sekali lagi, orang yang mengalami hukuman ini dipandang terkutuk.

Kita maju dari zaman Pentateukh sampai ke zaman Yesus Kristus. Dalam Gulungan Laut Mati, abad kedua SM, abad pertama SM, sampai zaman Kristus. Dalam Gulungan Laut Mati mengutip teks yang sama dan memberikan lebih banyak konteks tentang bagaimana kutukan hukuman gantung itu bisa dipahami pada abad pertama. Dalam dokumen yang disebut Gulungan Bait Suci (Temple Scroll), 11Q Temple Scroll Kolom 64.

Jika seseorang menyampaikan hal ikhwal melawan bangsanya atau mengkhianati bangsanya kepada bangsa asing, atau melakukan kejahatan terhadap bangsanya, engkau harus menggantungnya di sebatang pohon dan ia akan mati. Atas barang bukti dari dua saksi mata atau atas dasar tiga orang saksi mata ia harus dihukum mati dan mereka harus menggantungnya di sebatang pohon. … Jika kebetulan ada satu orang yang melakukan tindak pidana berat dan melarikan diri di antara bangsa-bangsa dan mengutuki bangsanya/dan/bani Israel, ia juga harus engkau gantung di pohon dan ia akan mati. Dan mayatnya jangan dibiarkan semalaman di pohon itu; melainkan engkau harus menguburkannya pada hari itu juga karena mereka yang dihukum di sebatang pohon adalah orang yang dikutuk oleh Allah dan manusia; dengan demikian engkau tidak akan mencemari tanah yang Aku berikan kepadamu sebagai pusaka (11Q Temple Scroll 64:6-13).

Perhatikan penambahan pada Temple Scroll di atas pada naskah kitab Ulangan. Pertama, siapa yang akan digantung seperti itu? Orang semacam apa yang akan dihukum gantung seperti itu? Apa sebab dari hukuman gantung? Jadi ini adalah konteks politik, bukan? Siapa pun yang mengkhianati bangsanya, atau menkhianati suatu bangsa kepada bangsa asing atau siapa pun yang melakukan kejahatan kepada seluruh bangsanya, begitu kan? Jadi bukan hanya seseorang yang membunuh sesamanya atau berzinah atau juga membunuh orang lain karena amarah akibat pertengkatan karena ada orang yang mencuri lembu. Hukuman ini dilakukan karena seseorang melawan seluruh bangsa. Dengan kata lain, ada konteks politis juga dalam penyaliban. Penyaliban menjadi semacam kematian bagi kriminal politik. Apa yang akan kita sebut politik, tidak ada kategori yang jelas karena tidak dipisahkan dengan jelas. Di Timur Tengah, agama dan politik, semuanya itu bercampur menjadi satu. Tapi kita coba memilahnya. Perhatikan konteks politiknya di sini, yaitu orang yang melakukan kejahatan terhadap bangsa keseluruhan.

Hal ini menjadi penting karena saya ingin Anda memikirkannya terhadap Yesus. Mungkin Anda bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Yesus sampai disalib? Mengapa orang banyak mengolok-olok Yesus? Apa yang diperbuat Yesus terhadap orang banyak? Mengapa orang yang merayakan Paskah Yahudi begitu kejam dan mengolok-olok Kristus ketika Ia digantung di kayu salib? Itu karena Ia dipandang sebagai seorang pengkhianat, sebagai nabi palsu, sebagai penipu umat Allah. Yesus tidak berbuat salah terhadap Pilatus atau terhadap Kayafas. Ia dianggap berbuat salah terhadap bangsa Israel secara keseluruhan. Itu hal penting. Anda akan melihat ironi ketika Anda memandang Israel secara keseluruhan. Bagaimana Israel digambarkan satu kelompok yang membentuk satu tubuh? Sebagai mempelai perempuan YHWH. Semua individu bersama-sama membentuk mempelai perempuan Allah. Dan justru itu, tubuh persekutuan itulah yang dipandang dalam diri orang yang disalibkan, sebagai seseorang yang berdosa terhadap tubuh persekutuan.

Perhatikan juga, bahwa supaya seseorang dijatuhi hukuman dengan disalibkan, Anda perlu dua atau tiga orang saksi mata. Nah, apakah Anda mulai menyadarinya? Apa yang mereka lakukan dalam persidangan? Ya, mereka mencoba menyeret Yesus dengan meminta setidaknya dua atau tiga orang saksi yang melihat ketika Yesus berkata, “Aku akan meruntuhkan Bait Suci ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikan yang lain (bdk. Matius 26:57-68, Markus 14:55-63).” Seseorang harus melakukan kejahatan terhadap negara, terhadap Bait Suci, terhadap bangsa, supaya bisa dijatuhi hukuman dengan digantung di pohon.

Dan akhirnya, perhatikan bahwa dikatakan jika seseorang disalibkan di pohon (atau tiang), maka orang itu bukan hanya dikutuk Allah tapi juga dikutuk oleh manusia. Orang banyak membenci yang dijatuhi hukuman itu. Maka bisa dikatakan orang yang dijatuhi hukuman itu tidak termasuk sebagai umat manusia karena orang itu sudah disingkirkan dari umat manusia, orang itu menjadi terkutuk. Dan akibatnya, orang yang dijatuhi hukuman itu menajiskan tanah. Nah itulah ironinya. Apakah Darah Kristus sebagai orang yang digantung membuat tanah menjadi najis? Tidak. Justru dengan darah-Nya tanah itu ditebus, tanah itu ditahirkan. Yesus melakukan apa saja kecuali menajiskan tanah dengan wafat di salib. Maka semua ini menjadi pertanyaan ketika membicarakan salib.

Akhirnya, kita masuk abad ke-2 M, dalam Mishnah Yahudi, melanjutkan tradisi memahami salib dengan cara ini:

Bagaimana mereka menggantung seseorang? Mereka memasang sebatang balok ke tanah dan sebilah kayu menonjol dari balok itu. Kedua tangannya disatukan dan digantung … Dan segera mereka menurunkannya: jika ia tetap ada di sana semalaman, maka perintah larangan itu sudah dilanggar, karena ada tertulis, “Janganlah tubuhnya tidak digantung semalaman di atas tiang, tetapi engkau harus menguburkannya pada hari itu juga, karena yang digantung adalah sutu kutukan Allah” (Mishnah, Sanhedrin 6: 4, mengutip Ulangan 21:23)

Menarik sekali cara hukuman itu. Bahkan Anda juga bisa melihat sisi tidak manusiawi seseorang. Mereka sekarang menyebut orang itu sebagai mayat, kan? Jatuhkan, silangkan tangannya. Itulah penggambarannya, bahwa mereka yang digantung si salib dan kedua tangannya akan disatukan. Itulah salah satu bentuk penyaliban. Kadang-kadang kedua tangannya direntangkan, tapi kadang-kadang kedua tangannya dipaku bersamaan di atas kepala dan itulah yang tampak dijelaskan dalam Mishnah.

Nah, jangan bingung dengan istilah digantung. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh David Chapman dalam bukunya, meskipun buku itu dalam konteks komtemporer, jika saya berkata seseorang digantung, maka Anda akan membayangkan tentang kematian dengan cara digantung di tiang/ambang dengan tali di leher, kan? Terminologi digantung sebagaimana Chapman buktikan di bab-bab awal bukunya itu bahwa digantung adalah dengan bentuk salib. Baru pada zaman sekarang istilah digantung memiliki cara yang berbeda. Pada zaman dahulu, digantung bisa dengan diikat, dipaku, dan berbagai macam cara berbeda supaya tubuhnya tergantung, tapi caranya berbeda dengan hukuman gantung pada zaman sekarang. Maka istilah penyaliban adalah istilah teknis dalam bahasa Ibrani untuk menjelaskannya. Maka poin terakhir yang bisa Anda perhatikan adalah tidak diperbolehkan meninggalkan mayat semalaman sehingga tidak melanggar perintah dalam Ulangan 21:23 tentang kutukan kematian dengan penyaliban.

Nah, itulah tiga hal yang bisa kita lihat dalam penyaliban. Pertama, kebrutalan fisik penyaliban, kekejaman rohani atau batin dari penghinaan penyaliban, dan yang terakhir adalah signifikansi teologis dari penderitaan dari kematian penyaliban. Semuanya disajikan ketika Yesus mulai berkata kepada para murid seperti “memikul stauros-nya dan mengikut Aku.” Anda akan menyadari bahwa pendengar yang mula-mula mendengarnya seperti para murid, mereka tahu seperti apa salib itu. Nah, itulah yang ingin saya perjelas. Bukan sekadar kiasan seperti saya berpantang kue setelah makan siang, atau memilkul salib dengan berpantang coklat pada Masa Prapaskah. Tapi memikul salib serta kebrutalannya, penghinaannya, kekejamannya, itulah kutukan yang kelihatan dan nyata dari Allah sendiri. Dan Yesus berkata, “Ya. Jika engkau mau menjadi murid-Ku. Rela menerima semua itu kemudian datanglah kepada-Ku dan Aku akan menunjukkan ke mana Aku hendak membawamu.”

Dan itu juga konteks di mana Yesus hendak mengatakan hal-hal seperti itu “Baiklah, saat perkawinan-Ku belum tiba.” Dan kemudian ketika para penjaga tiba untuk menangkapnya di Taman Getsemani, “Saatnya telah tiba.” Maka saatnya telah tiba bermakna Yesus menyatukan dua hal yang benar-benar bertentangan dengan pemikiran Yahudi kuno. Jika Anda pernah ada dalam perkawinan. Ada beberapa hal yang lebih menyenangkan, mempersatukan, meriah, berkesan, dan indah daripada perkawinan itu. Dan Yesus di sini sedang menggabungkan kedua hal itu menjadi satu dengan kutukan dari salib yang penuh kehinaan, salib sebagai pohon penghinaan.

Sumber: “Crucifixion: The Curse of the Cross”

Advertisement

Posted on 1 April 2021, in Kenali Imanmu and tagged , , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: