Segalanya Dipertaruhkan – Kisah Keith Nester

Keith Nester (Sumber: Keith Nester YouTube Channel)

Saya dibesarkan di keluarga pendeta United Methodist di Iowa. Seingat saya, saya sudah mengasihi Yesus. Waktu saya berusia 11 tahun, saya sudah memberikan hati saya kepada Yesus di kamp gereja. Pendeta kami itu sudah memperingatkan kalau kami tidak mengucapkan doa ini, kami bisa masuk neraka. Saya langsung masuk dalam iman dan melakukan yang terbaik untuk hidup bagi Tuhan, meskipun belajar tentang iman bukan menjadi prioritas utama saya. Akhirnya, pada usia 19 tahun, saya membuat komitmen yang lebih kuat lagi untuk mengutamakan iman saya. Tapi tak lama sebelum melakukan komitmen itu, saya pindah ke Philadelphia, Pennsylvania untuk mengejar karier dalam bidang musik. Sebagai seorang drummer, saya akan bermain dengan band saya pada malam Minggu dan ke gereja di hari Minggu, saya berusaha  mencari jalan untuk menjadi seorang pemuda Kristen. Tapi saya mengalami kesulitan, tanpa memiliki gereja yang tetap. Akhirnya saya mulai ikut bersama jemaat Calvary Chapel sambil saya menumbuhkan kecintaan saya untuk belajar Alkitab. Saya merasa cukup yakin bahwa saya menjalani kehidupan yang berpusat pada iman.

Pada suatu malam, pendeta menyampaikan khotbah yang menantang kami semua untuk melakukan komitmen ulang hidup kita kepada Kristus dan mengorbankan apa pun yang menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Bagi saya, kendala itu adalah band. Band sudah menjadi hidup saya, bukan Yesus. Tapi bagaimana saya menghadapi perubahan itu?

Beberapa hari kemudian, ada seorang teman lama yang seorang pendeta, ia menelepon saya untuk menjadi pendeta muda di gerejanya. Saya tahu kalau Tuhan sedang memanggil saya, meskipun berat untuk meninggalkan band – belum lagi pacar saya – saya berkemas dan kembali ke Iowa untuk memulai hidup baru sebagai pendeta muda.

Pada masa ini, jelas sekali kalau saya tidak berpikir untuk menjadi Katolik. Seperti banyak orang yang berubah keyakinan, perjalanan iman saya bukan seperti garis lurus, tetapi serangkaian panjang zig dan zag, keberhasilan dan juga kegagalan, saat-saat yang jelas, tapi juga masa-masa kebingungan.

Seperti banyak orang lain, saya punya kesalahpahaman, hambatan, dan gangguan. Hambatan terbesar saya adalah cara pandang mengenai fakta iman/gereja dan juga karier saya. Selama 22 tahun berkarier di pelayanan, saya sudah menjabat berbagai jabatan: pendeta senior, pendeta pengajar, pemimpin penyembahan, koordinator misi, dll. Iman Kristen adalah karier saya, kemungkinan meninggalkan semua itu untuk menjadi Katolik menjadi pergumulan besar yang akan saya hadapi kemudian. Sejak awal, saya benar-benar ingin menjadi seorang pendeta Protestan.

Tidak ada yang Katolik di keluarga saya. Ketika dibesarkan, saya tidak terkena paparan Iman Katolik selain yang saya dengar dari orang-orang yang membenci Gereja Katolik. Ketika saya berjumpa dengan Estelle, istri saya, saya bertanya apakah dia suka ke gereja. Dia berkata, “Saya Katolik, tapi saya tidak ke gereja.” Saya membawanya masuk ke gereja saya, dan dia sangat menyukainya! Kami menikah di gereja United Methodist tempat saya bekerja, dan tidak pernah menoleh ke belakang. Sampai …

Seperti orang lain yang pada akhirnya pindah keyakinan, pengalaman saya dengan seorang Katolik yang benar-benar menjalankan imannya terbukti bisa mengubah hidup. Namanya adalah Devin Schadt. Pada waktu kami bertemu, Devin bekerja sebagai desainer grafis. Saya mempekerjakannya untuk membuat logo pelayanan orang muda, karena itulah mengarah pada obrolan-obrolan menarik tentang iman dan gereja, yang pada akhirnya tentang iman Katoliknya. Kesan pertama tentangnya yaitu kalau Devin mengasihi Yesus dan punya iman yang hidup. Terasa aneh bagi saya, karena waktu saya duduk di ruang makannya, saya melihat logo-logo yang dibuatnya, saya tertarik dengan ikon, lukisan, dan barang-barang “berpenampilan Katolik” yang ia punyai di rumahnya. Siapa yang akan melakukan hal seperti itu? Apa yang dihadapinya? Dalam hal ini saya harus mendesaknya.

Sama sekali saya tidak pernah mendengar seorang Katolik membicarakan Yesus seperti yang Devin lakukan. Saya mengira bahwa Devin kurang membaca Alkitab untuk mengetahui bahwa iman Katolik bertentangan dengan Kitab Suci. Waktu itu saya sedang mencicipi daging sambil menceritakan pemikiran ayat-ayat sederhana dan menjelaskan Injil dengannya. Merasa yakin bahwa setelah beberapa menit Devin akan menjadi orang Kristen “sejati” dan mendoakan Doa Orang Berdosa, dan meninggalkan segala macam takhayul yang ada di belakangnya itu. Saya bertanya padanya, “Devin, kapan kamu diselamatkan?” Saya ingin tahu bagaimana seorang Katolik menjawab pertanyaan ini. Saya tidak berharap banyak. Tapi saya salah duga!

Devin bukan hanya punya jawaban untuk pertanyaan itu, tapi ia juga punya pertanyaan untuk saya. Pertanyaan yang sama sekali tidak saya persiapkan jawabannya! Contohnya, “Keith, dari mana asal mula Alkitabmu?” “Dengan kuasa apa kitab-kitab Perjanjian Baru ditetapkan?” “Mengapa begitu banyak denominasi Protestan?” Bagaimana kita bisa tahu siapa yang mengajarkan Kekristenan dengan tepat, ketika begitu banyak perbedaan antara denominasi Protestan?” Dan masih banyak lagi!

Dari mana pemikiran-pemikiran itu berasal? Betapa tertariknya saya, saya tidak bisa menutup kemungkinan bahwa Gereja Katolik mungkin menjadi satu-satunya Gereja yang benar yang didirikan oleh Kristus. Pemikiran bahwa ada satu Gereja sejati, yang didirikan oleh Yesus sendiri merupakan hal baru bagi saya. Saya selalu percaya bahwa yang penting iman dan kepercayaan seseorang terhadap Kitab Suci – bukan kaitan apa pun dengan institusi. Devin membantu saya untuk melihat bahwa Alkitab sendiri menunjukkan bahwa Yesus bukan hanya mendirikan satu Gereja, tapi juga masih ada sampai sekarang melalui pewarisan Iman dan otoritas para Rasul. Kendati demikian, ini bukan sesuatu yang bisa saya terima dengan mudah.

Saya dan Devin sering membicarakan semacam ini selama bertahun-tahun. Kami akan melakukan perjalanan bersama dalam ziarah ke Roma dan Medjugorje. Dan kami akan berdebat dengan sengit, saya berusaha menjadikannya Protestan dan ia berusaha menjadikan saya Katolik.

Selama masa ini, pelayanan saya dan juga keluarga saya bertumbuh. Saya sangat suka dengan peran saya di gereja. Tuhan berkarya dan segala sesuatunya baik adanya. Meskipun ada banyak hal yang sudah ditunjukkan Devin kepada saya yang menantang pemikiran Protestan saya, saya tetap menjauhkannya, takut untuk serius memikirkan gagasan pindah keyakinan.

Pada suatu malam, ketika Tuhan memanggil saya keluar. Ada seorang teman saya yang memimpin kelompok orang muda dalam kebaktian persekutuan di sebuah kamp gereja. Hal itu bukan sesuatu yang baru bagi saya, tetapi ketika ia melakukan caranya sendiri dalam kebaktian, ia mengangkat roti dan jus, ia berkata, “Inilah lambang Yesus.”  Saya tahu kalau itu bukan yang Yesus katakan. Saya tahu juga kalau itu bukan yang diimani oleh Gereja Kristen selama 1.500 tahun. Seolah-olah Tuhan memanggil saya untuk “pulanglah dan akan Ku tunjukkan yang lebih dari itu.” Saya menangis dan meninggalkan ruang pertemuan itu. Saya memanggil Devin dan mengaku kepadanya kalau saya merasa terpanggil menjadi Katolik. Saya takut kalau Devin akan merasa dirinya menang kalau dirinya benar (karena itulah yang akan saya lakukan), namun Devin tidak melakukannya. Devin hanya berkata kalau ia ada di sana untuk membantu.

Saya berharap peristiwa ini menjadi bagian kisah saya pindah keyakinan, ternyata bukan. Ketakutan menahan diri saya. Saya ditebus karena tidak bisa memikirkan bisnis perubahan keyakinan ini bisa menopang kehidupan saya yang nyaman. Pekerjaan apa yang akan saya lakukan? Apa yang akan dipikirkan keluarga saya?

Istri saya dibesarkan sebagai Katolik, tapi tidak pernah ke gereja. Bahkan melalui pacaran dan menikah dengan saya, perjalanan Estella keluar dari Gereja Katolik sudah selesai. Saya berkata kepadanya, “Gereja Katolik itu cuma sekumpulan tradisi buatan manusia yang tidak alkitabiah. Jika kamu mau mengalami Kekristenan yang sejati, ikut saya ke gereja Alkitab saya.” Estelle melakukannya, dan cukup begitu saja. Dia sudah berubah dari seorang Katolik yang tidak menjalankan imannya menjadi seseorang yang punya semangat besar dalam berelasi dengan Yesus, bahkan sekarang menjadi istri pendeta Protestan! Bagaimana saya bisa menjelaskannya? Semua gangguan ini digaungkan untuk mengalahkan keyakinan yang saya rasakan. Inilah salah satu penyesatan terbesar dalam hidup saya, bahwa saya tidak punya keberanian untuk menindaklajuti keyakinan saya.

Lebih dari satu dekade kemudian, saya mengalami pasang surut kehidupan, pada akhirnya panggilan Tuhan untuk pulang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar keisengan. Saya sudah menjadi Pendeta Muda dan Misi di sebuah gereja United Methodist yang ukurannya sedang selama beberapa tahun ketika seorang teman baik saya, Greg, mengundang saya dan istri saya untuk ikut hadir dalam pemutaran film berjudul Apparition Hill. Film itu adalah film documenter yang mengisahkan tujuh orang asing yang berziarah ke Medjugorje. Saya tidak memikirkan perjalanan yang sudah saya lakukan ke Medjugorje dulu, tapi ketika Greg menelepon, saya pikir lebih baik pergi, karena dialah yang awalnya membawa saya pada perjalanan pertama yang dibayarinya beberapa tahun lalu. Saya dan Estelle pergi bersama Gred dan Sandi, istrinya. Film itu membawa begitu banyak kenangan sehingga berkali-kali membuat saya menangis. Film ini bagus dalam bagai tingkatan, tapi bagi saya jelas sekali kalau film itu digunakan Bunda Maria untuk menjangkau saya.

Saya mengalami sedikit badai di gereja saya. Meskipun gereja lokal saya itu hebat, tapi denominasi kami secara keseluruhan itu berantakan. Menjadi kejelasan bagi saya bahwa tanpa suara yang berotoritas untuk menafsirkan Kitab Suci dan sejarah, kekacauan dan perpecahan tidak bisa dielakkan lagi. Bagi umat United Methodist, juga bagi umat Protestan lainnya di abad 21 ini, masalah budaya sekitar perihal perkawinan dan Kitab Suci mengungkapkan apa yang dulunya denominasi yang kuat. Seiring waktu berlalu, saya juga berselisih dengan banyak anggota gereja. Tampaknya hal ini tidak mengganggu mereka bahwa Kitab Suci dengan jelas mendefinisikan perihal perkawinan dan seksualitas manusia. “Itu cuma satu tafsiran.” “Selama bertahun-tahun, gereja sudah melakukan kesalahan, dan kami akan memperbaikinya.” “Tuhan tidak benci. Ia mengasihi semua orang sehingga Anda tidak bisa menghakimi siapa pun.” Inilah beberapa pernyataan yang saya lawan, sambil saya tahu kalau saya tidak bisa berdiri tanpa adanya otoritas lahiriah yang diberikan Tuhan untuk memberi tahu hal yang sebaliknya. Di suatu percakapan dengan seorang pendeta wanita yang sangat liberal, dia berkata kepada saya, “Keith, jika kamu percaya semua hal tentang otoritas Gereja, kenapa kamu tidak jadi Katolik?” Pertanyaan bagus!

Saya mulai membuka kembali pemikiran itu. Semakin saya memikirkan segala sesuatu yang sudah diperdebatkan saya dan Devin, sekarang – bertahun-tahun kemudian – apa yang dikatakannya masuk akal. Saya berada di tempat berbeda, saya berpijak di sisi yang lain, dan saya belajar kalau tidak mendengarkan Tuhan merupakan hal terburuk yang dilakukan. Saya masih punya berbagai keberatan; saya masih punya masalah. Tapi saya mulai merasakan panggilan baru, kehadiran baru akan kebenaran dalam hidup saya.

Saya butuh beberapa saat untuk menyentuh kebenaran itu, tapi semuanya datang bersamaan ketika saya mempersiapkan khotbah tentang Kabar Sukacita (waktu itu masa Adven, sebagai umat Methodist kami membicarakan Maria). Ketika saya mengerjakan bahan khotbah itu di kantor saya, saya diliputi emosi. Saya semakin memikirkan Maria, saya merasa semakin menyadari bukan hanya tentang betapa mengagumkan Maria itu, tapi betapa terhubungnya Maria dengan Roh Kudus. Saya benar-benar merasakan kehadirannya. Kemudian, ketika saya menyampaikan khotbah itu kepada jemaat, saya bisa merasakan Roh Kudus berkarya. Saya berbicara mengenai Maria sebagai Hawa Baru dan Tabut Perjanjian yang Baru. Saya berbicara tentang betapa menakjubkannya Maria kerena malaikat Gabriel menyapanya sebagai yang “penuh rahmat.” Umat sangat tertarik dengan khotbah ini. Setelah itu, ada seorang pria maju ke depan, sambil menangis ia mengaku bahwa dirinya belum pernah mendengar sesuatu yang seperti itu. Masih ada banyak hal yang bisa saya katakan mengenai peristiwa yang menentukan itu, namun intinya adalah: keberatan doktrinal saya diselesaikan, bukan dengan argumen, tetapi oleh Bunda Maria yang menangkap hati saya.

Dan lagi, masih ada masalah yang belum selesai. Perubahan hidup seperti apa yang akan saya hadapi jika saya berubah keyakinan. Saya masih belum tahu bagaimana masa transisi ini akan seperti apa. Dalam suatu kesempatan, ayah saya pernah memberi tahu, “Keith, kamu tidak bisa begitu saja berhenti dari pekerjaanmu dan menjadi Katolik, kamu harus punya jalan.” Ia bermaksud kalau saya perlu tahu bagaimana saya akan memberi makan keluarga saya. Pekerjaan apa yang akan saya lakukan? Bagaimana dengan pelayanan saya?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu belum diungkapkan kepada saya selama beberapa waktu. Tapi saat-saat pribadi mengenai kebenaran datang pada saya di suatu malam waktu saya berdoa di hadapan salib ber-corpus (crucifix). Saya berkata kepada Yesus, “Tuhan, saya siap menjadi Katolik, tapi saya ingin Engkau memberi jalan.” Dengan banyak kejelasan yang saya terima dari Tuhan, Yesus berkata kepada saya dari salib itu. “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.  Kamu tidak memerlukan Aku untuk memberikan jalan, kamu hanya perlu AKU.”

Saya tahu apa artinya. Saya baru saja menerima berkat pada waktu Misa karena saya belum bisa menerima Ekaristi. Yesus menunjukkan kepada saya bahwa Ia bukan hanya hadir dalam Ekaristi, tapi juga kebutuhan utama saya bukanlah Tuhan yang menjadikan segala sesuatu menjadi mudah atau diungkapkan sepenuhnya, melainkan saya dipanggil untuk melangkah keluar dari iman dan hanya melakukan apa yang Ia kehendaki supaya saya berbuat. Ia sebenarnya menunjukkan kepada saya apa yang paling saya butuhkan, yaitu bukan kekuasaan, bukan kepastian, tapi diri-Nya sendiri.

Ketika saya pulang ke rumah di malam itu, saya memberi tahu istri saya kalau saya perlu untuk merubah keyakinan. Saya tahu kalau dia sudah mengalami pergumulan yang sama dengan apa yang terjadi di denominasi kami, tapi saya tidak pernah mengharapkan dia ikut dengan saya dalam perjalanan perubahan keyakinan ini (dalam kasusnya, “kembali ke keyakinan semula”). Tanggapannya begitu mengejutkan saya, “Keith, jika ini panggilan Tuhan bagi kita, maka saya setuju.”

Keesokan harinya, saya ke kantor pendeta senior saya dan memberitahunya kalau saya akan menjadi Katolik. Hal itu menjadi kejutan besar bagi jemaat; ketika kami sudah merencanakan begitu banyak proyek bersama-sama. Faktanya, hari Minggu terakhir saya berada di sana, kami mengadakan upacara peletakan batu pertama untuk fasiltas ibadah baru senilai $10 juta.

Hal itu sungguh sulit. Saya mengasihi orang-orang di gereja saya sebelumnya, dan saya masih mengasihi mereka sampai saat ini. Saya tidak mau menyakiti perasaan mereka, saya tidak mau mereka merasa ditinggalkan. Banyak yang mendukung karena mereka mengasihi saya, namun beberapa orang berpikir bahwa saya sudah kehilangan akal sehat, dan beberapa orang merasa sakit hati. Ada banyak momen menyakitkan dalam kepergian saya. Ketika Anda sudah menghabiskan seluruh hidup dan karier dalam pelayanan, hubungan dan akarnya semakin dalam. Penting untuk dipahami bahwa ada harga, pengurbanan, dan rasa sakit. Tapi ada banyak yang bisa diperoleh dalam apa yang harus dibayar itu.

Bahkan, jika kita kehilangan yang kita punya di dunia ini tapi memperoleh Yesus, kita sudah menang! Saya harus pergi ke suatu tempat di mana saya tidak membutuhkan semuanya itu untuk bekerja dengan baik dalam rangka berubah keyakinan. Begitu saya sanggup mengambil langkah itu, semuanya menjadi jelas. Tidak melihat ke yang sudah-sudah. Yesus berkata, “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (lihat Matius 13:44).

Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya siap untuk membeli ladang itu. Saya sangat sedang melakukannya. Pada tanggal 8 Oktober 2017, saya diterima di Gereja Katolik. Istri saya ada di samping saya, dia kembali ke pangkuan Gereja, ketika saya menyatakan iman bersama dengan beberapa teman dekat. Itulah peristiwa yang luar biasa.

Seperti yang diperkirakan, sejak menjadi Katolik, hidup tidak mudah. Saya sudah kehilangan teman, penghasilan, keamanan, stabilitas dan banyak hal lain. Tapi apa yang saya dapatkan jauh lebih berharga daripada yang saya minta. Apa yang saya korbankan tidak sebanding dengan berkat yang saya terima. Tuhan setia akan janji-Nya. Saya tahu bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup ini, saya tidak akan pernah meninggalkan Gereja Katolik. Misi hidup saya sekarang adalah membantu orang lain dalam perjalanan iman mereka. Saya merasa rendah diri karena Tuhan memperkenankan saya dalam banyak hal untuk melakukan apa yang paling diinginkan hati saya.

Pada tahun 2018, saya menulis buku berjudul “The Convert’s Guide To Roman Catholicism: Your First Year in the Church.” Dalam buku ini, saya berusaha membantu orang-orang yang berpindah keyakinan untuk memahami seperti apa transisi yang dialaminya, bukan hanya pada tingkatan teologis, juga dalam tingkatan praktis dan pribadi. Saya bersyukur melihat bagaimana buku itu bisa membantu banyak orang dalam perjalanan iman mereka, dan juga membantu umat Katolik suam-suam kuku untuk memandang Gereja melalui cara pandang orang yang berpindah keyakinan. Selain itu, saya sudah membuat saluran YouTube, kelompok doa Rosario harian secara live streaming, dan podcast yang bernama Catholic Feedback. Tuhan juga sudah membukakan pintu bagi saya untuk melakukan perjalanan dan menjadi pembicara akan iman saya ini di berbagai paroki dan acara. Tanggapannya luar biasa. Ketika Anda mengikuti panggilan Tuhan, bukan berarti hidup Anda menjadi lebih mudah, tetapi menjadi lebih bermakna. Saya bersyukur atas rahmat yang telah Ia karuniakan bagi saya, dan saya bertanya-tanya di mana perjalanan saya bisa sejauh ini.

 

Keith Nester adalah Direktur Eksekutif dari ‘Down to Earth Ministry,’ sebuah pelayanan dalam bidang pengajaran yang berusaha melakukan komunikasi kebenaran iman Katolik dengan cara yang jelas, menarik dan berdaya guna. Keith seorang mantan pendeta/pendeta muda Protestan yang sudah lebih dari 20 tahun berkarya dalam pelayanan penuh waktu. Keith pernah melayani di United Methodist, Gereja Sidang Sidang Jemaat Allah (Assemblies of God), gereja-gereja Evangelikal Bebas dalam berbagai jabatan. Pada tahun 2017, setelah proses memilah-milah selama 20 tahun, Keith mengundurkan diri dari jabatan pelayanan penuh waktu dan masuk ke Gereja Katolik. Pada bulan Oktober 2018, Ketih merasakan panggilan Tuhan untuk menulis sebuah buku tentang seperti apa kehidupan orang yang pindah keyakinan di tahun pertama. “The Convert’s Guide to Roman Catholicism: Your First Year in the Church” adalah pandangan realistik mengenai transisi, hambatan, sukacita, dan tantangan yang dihadapi orang-orang yang berpindah keyakinan pada zaman ini. Melalui pelayanan ‘Down to Earth,’ Keith menggunakan karunia berkhotbahnya untuk berbicara di berbagai gereja dan acara tentang iman, teologi, dan pejalanan imannya ke Katolik. Keith juga sangat aktif di YouTube, di mana ia membuat video dan konten lainnya untuk membawa kebenaran Iman Katolik ke dunia dengan gayanya sendiri yang unik. Waktunya di luar pekerjaan, Keith suka mengendarai Harleynya dan memanfaatkan waktu bersama keluarga dan temannya. Keith dan Estelle, istrinya, memiliki tiga anak yang sudah dewasa dan tinggal di Cedar Rapids, Iowa.

 

Sumber: “Risking It All”

Advertisement

Posted on 26 August 2021, in Kisah Iman and tagged . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: