Kamis Putih: Mandat, Perjamuan, dan Pelayanan

Oleh Dr. James R. A. Merrick

The Last Supper (c. 1562), karya Juan de Juanes (Sumber: stpaulcenter,com)

Bayangkan jika Anda menjadi salah satu dari para rasul pada minggu ini. Pada Minggu Palma menjadi waktu yang mereka tunggu-tunggu, atau lebih tepatnya, apa mereka persiapkan sudah tiba. Akhirnya rabi mereka diakui sebagai raja di Kota Suci. Dan semuanya terjadi pada salah satu waktu yang paling suci dalam setahun yaitu Paskah (Paskah Yahudi atau Passover). Tentu saja rasanya tidak masuk akal.

Saya yakin mereka merasa sangat senang menjadi bagian dari orang-orang terdekat dari Tokoh yang dielu-elukan oleh Yerusalem. Namun, peristiwa ini lebih dari sekadar para murid yang menjadi pusat perhatian. Peristiwa ini merupakan penggenapan dari ribuan tahun sejarah Alkitab. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang telah mereka dengar sejak kecil yang dinanti-nantikan, kisah tentang tokoh-tokoh seperti Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, dan banyak lagi. Rasanya pasti sangat dahsyat.

Kemudian, pada hari Kamis Putih, sesuatu yang sangat luar biasa terjadi. Mereka bersiap untuk merayakan Paskah lagi, sebuah perayaan yang sudah sangat mereka hafal. Namun, seperti yang telah Ia perbuat dengan begitu banyak ayat-ayat Kitab Suci dalam ajaran-Nya, Yesus mengejutkan mereka dan mengubah peristiwa yang sudah mereka kenal. Ia menetapkan sebuah perjanjian baru dan memberikan perintah baru.

Mari kita lihat lebih dalam apa yang kita rayakan pada hari Kamis Putih (Holy Thursday) atau Kamis Mandat (Maundy Thursday). Perayaan liturgi Kamis Putih menggabungkan beberapa peristiwa: Yesus membasuh kaki para rasul, penetapan Ekaristi, pemberian perintah baru, dan Yesus berdoa di Taman Getsemani.

Imamat Baru

Ritual Kamis Putih yang paling mengharukan dan terkenal adalah pembasuhan kaki. Ritual ini telah menjadi ciri khas perayaan Kamis Putih setidaknya sejak abad ketujuh. Hal ini sering kali dianggap sebagai sebuah tindakan yang menunjukkan kerendahan hati dan pelayanan Kristus yang mendalam, ketika sang tuan memenuhi perintahnya sendiri dengan menjadi pelayan bagi para hambanya (lihat Matius 20:26-28).

Tetapi pembasuhan kaki bukan hanya tentang kerendahan hati dan kasih Kristus. Jelas ada sesuatu yang signifikan yang terjadi di sini. Ketika Petrus menyadari bahwa Yesus membasuh kakinya, ia menolak. Yesus bersikeras dan berkata:

Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak (Yohanes 13:7).

Setelah membasuh kaki semua murid, Yesus mengatakan kepada orang banyak apa yang Ia katakan kepada Petrus secara pribadi:

Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? (Yohanes 13:12)

Jelaslah bahwa pembasuhan kaki lebih dari sekadar membersihkan kaki.

Dalam membasuh kaki para rasul, Kristus sedang melembagakan suatu imamat yang baru. Ia menahbiskan para rasul untuk menjadi pelayan-pelayan Perjanjian Baru yang akan Ia dirikan pada Perjamuan Terakhir. Bagaimanakah kita bisa mengetahui hal ini? Adegan pembasuhan kaki mengandung beberapa kiasan yang mencolok tentang pembasuhan para imam dalam Perjanjian Lama. Sebagai contoh, setelah Musa menyelesaikan Kemah Suci, dikatakan bahwa Musa dan Harun “membasuh tangan dan kaki mereka” sebelum mereka masuk dan menuju mezbah (Keluaran 40:31). Dalam Imamat 8, yang dalam Alkitab modern diberi judul “upacara penahbisan” atau “Pentahbisan Harun dan anak-anaknya (Alkitab TB),” Musa membasuh Harun dan putra-putranya dengan air dan mengurapinya, menahbiskan mereka menjadi imam (Imamat 8:5-12).

Ada kesamaan yang signifikan antara peristiwa Yesus membasuh kaki dengan Imamat 16. Di sana, dikatakan bahwa Harun, sang imam, menanggalkan jubahnya (Imamat 16:23), sama seperti Yesus yang “menanggalkan jubah-Nya” (Yohanes 13:4). Harun kemudian membasuh dirinya sendiri, mengenakan kembali pakaiannya, dan kemudian mempersembahkan kurban. Demikian juga, setelah Yesus membasuh kaki para rasul-Nya, Ia mengenakan kembali pakaian-Nya (Yohanes 13:12) dan kemudian merayakan perjamuan pemberian tubuh-Nya dan pencurahan darah-Nya sebagai kurban. Apakah ini sebuah kebetulan bahwa pembasuhan kaki memiliki urutan yang sama seperti yang kita temukan dalam Perjanjian Lama, yaitu para imam seperti Harun?

Petrus tampaknya mengerti. Ketika ia menemukan Yesus membasuh kaki-Nya, ia memprotes tetapi akhirnya ia menerima peristiwa tersebut:

Kata Petrus kepada-Nya: “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Jawab Yesus: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” Kata Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!” (Yohanes 13:8-9).

Yesus menyebutkan “bagian” mengingatkan kita pada para imam Perjanjian Lama yang memiliki Tuhan sebagai “bagian” dari mereka (Ulangan 10:9). Apa yang Yesus katakan, yang dipahami oleh Petrus, adalah jika kaki Petrus tidak dibasuh, ia tidak akan menjadi imam, ia tidak akan memiliki “bagian” dalam pelayanan, pengorbanan, dan bait suci perjanjian baru milik Tuhan.

Apa yang sedang Yesus perbuat sampai mereka tidak dapat memahaminya? Ia sedang menahbiskan mereka menjadi imam-imam Perjanjian Baru yang sedang Ia tetapkan dalam Perjamuan Terakhir.

Perintah Baru

Dalam Injil Yohanes, pembasuhan kaki menjadi awal dari “perintah baru” yang diberikan oleh Yesus. Inilah sebabnya mengapa Kamis Putih dalam bahasa Inggris sering disebut “Maundy Thursday” – “maundy” berasal dari bahasa Latin mandatum, yang berarti “perintah” atau “hukum.” Mandatum novum do vobis atau, Yesus berkata, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).

Yang menarik, perintah baru ini terjadi di antara peristiwa Yesus menubuatkan pengkhianatan Yudas dan nubuat-Nya tentang penyangkalan Petrus. Perikop ini membahas tentang kepergian Yesus – “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang” – dan “Anak Manusia dipermuliakan.” Sekali lagi, perintah baru ini bukan hanya tentang bersikap baik dan saling mengasihi, tetapi terutama tentang pemuliaan Kristus melalui Gereja-Nya. Kristus memanggil para imam-Nya yang baru untuk menjadi satu persaudaraan, bukannya mementingkan diri sendiri atau melindungi diri sendiri seperti Yudas atau Petrus. Kemuliaan Kristus akan dikenal di dunia melalui kesatuan Gereja-Nya, kasih yang dimiliki oleh para imam dan umat-Nya satu sama lain.

Perjanjian Baru

Inti dari Kamis Putih adalah peringatan penetapan Ekaristi Kudus oleh Kristus. Di mana-mana para Penginjil, khususnya Yohanes, menghubungkan Perjamuan Kudus dengan Paskah Yahudi. Yesus mengubah Paskah Yahudi menjadi sebuah peringatan pengorbanan-Nya sebagai Anak Domba Allah di kayu salib. Ia adalah Musa baru yang memimpin umat Allah dalam sebuah eksodus baru, bukan dari perbudakan di Mesir dan perhambaan kepada Firaun, tetapi dari perbudakan dosa dan penawanan oleh Iblis. Tubuh-Nya yang akan menjadi roti dari surga bagi kita di padang gurun dunia ini dan Darah-Nya yang akan melindungi kita dari maut.

Dengan ikut ambil bagian dalam Tubuh dan Darah Yesus melalui Ekaristi, kita menjadi sama seperti Yesus, menjadi anak Bapa. Ekaristi adalah perjamuan keluarga kita, saat kita makan bersama dalam persekutuan keluarga dan ikut ambil bagian dalam persekutuan. Dengannya, kita dimasukkan ke dalam keluarga kekal Tritunggal Mahakudus. Ini adalah suatu bentuk “mencicipi” perjamuan kekal dari penglihatan yang membahagiakan dari Allah di surga.

Dalam sebuah homili Kamis Putih yang mendalam dan indah, Uskup Hugh Gilbert, O.S.B. dari Aberdeen, Skotlandia bertanya “apakah ada kata-kata di dunia ini yang sama dengan ‘kata-kata institusi’ yang isinya,’Ambillah, makanlah, inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu, inilah piala Darah-Ku, yang ditumpahkan bagimu.’” Memang, sekurang-kurangnya perkataan yang diucapkan Yesus pada malam yang menentukan itu sangat aneh. Namun, seperti yang diamati oleh Uskup Gilbert, kata-kata itu bergaung dan bergema di seluruh dunia. Kata-kata itu adalah kata-kata yang akan didengar oleh dunia sampai Kristus datang kembali. Uskup Gilbert merenungkan pengamatannya ini, dan bertanya:

“Berapa banyak bahasa yang telah diucapkan? Berapa banyak tempat yang sudah mendengarnya? Berapa kali kata-kata itu diucapkan setiap hari? Adakah perkataan yang begitu memenuhi ruang dan waktu? Shakespeare menulis drama-drama terkenal, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dipentaskan berulang kali di seluruh dunia selama 400 tahun. Pertanyaannya apakah kata-kata itu ‘menjadi atau tidak menjadi’ yang ternama. Siapa yang tidak tahu kalimat terkenal dari Hamlet. Namun, kalimat itu memudar di hadapan kata-kata Yesus. Tidak ada kata-kata di dunia ini yang memiliki daya dan kekuatan seperti itu – inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu, inilah cawan Darah-Ku yang dicurahkan bagimu.”

Sungguh menakjubkan untuk memikirkan dampak dan daya tahan yang dimiliki oleh kata-kata ini.

Uskup Gilbert melanjutkan dengan membahas bagaimana Ekaristi adalah kunci untuk memahami penyaliban Kristus. Ekaristi adalah tindakan dan kekuatan nyata dari Sengsara-Nya. Saya tidak dapat menyempurnakan apa yang telah Ia katakan, jadi yang terbaik adalah membiarkan Ia yang mengatakannya:

“Apa yang Ia [Kristus] maksudkan? Apa yang dikatakan-Nya? Katakanlah begini: Ia sedang memperlihatkan apa yang sebenarnya akan terjadi keesokan harinya, di atas kayu Salib. Dari luar, Sengsara-Nya terlihat seperti sesuatu yang pasif. Yesus tampak lebih banyak diperankan daripada berperan. Ia ditangkap oleh penguasa Bait Allah. Ia diborgol. Ia dibawa ke sini, dibawa ke sana. Ia dikhianati. Ia disangkal. Ia ditanyai, diinterogasi, ditertawakan, dipukuli, diadili, dihakimi, dan dihukum. Ia diserahkan kepada orang Romawi, diserahkan untuk disalibkan. Ia digiring keluar, dipaku, diberi cuka. Ia tidak sepenuhnya diam, tetapi sebagian besar diam. Air naik sampai ke lehernya. Lambungnya ditusuk. Ia dinyatakan mati dan dikuburkan. Ia tidak lagi menjadi subjek dalam kalimat itu; Ia adalah objeknya. Ia tidak lagi berada di kursi kemudi; ia telah digabungkan ke kursi paling belakang. Tetapi malam ini di Ruang Atas, pada malam sebelum semuanya terjadi, Ia mengambil, Ia memberkati, Ia memecah-mecahkan dan Ia memberi, dan Ia berkata: “Inilah Tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu… inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagi kamu. Beberapa isyarat dan kata-kata ini menyelimuti hari Jumatnya di hari Kamis. Inilah kisah nyata di dalam sengsara. Inilah tindakan. Ini adalah suatu perbuatan. Ini bebas dan dipilih dan dilakukan dengan sengaja. Inilah pemberian tubuh ini dan pencurahan darah ini. Inilah pemberian diri. Inilah suatu pengorbanan. Dilakukan dengan sukarela, dalam ketaatan kepada Bapa, yang menghasilkan pengampunan dosa.”

Ekaristi adalah peneguhan perjanjian baru dari darah Kristus. Inilah cara kita mengakses realitas kematian Kristus. Meskipun kita tidak berada di sana untuk menyaksikannya, kita menerima dampak penyelamatannya dengan menerima roti dan anggur Ekaristi.

Pengkhianatan Baru

Setelah Perjamuan pada Kamis Putih, para imam dan pelayan membawa Sakramen Mahakudus ke “altar peristirahatan” yang biasanya didekorasi seperti taman. Ini adalah representasi dari cara di mana-setelah Perjamuan Kudus-Yesus dan para rasul-Nya meninggalkan Ruang Atas dan pergi ke Taman Getsemani. Setiap kali seseorang berada di sebuah taman dalam Alkitab, kita akan langsung teringat akan Taman Eden yang terkenal itu. Memang, kita baru saja membahas bagaimana Ekaristi adalah peneguhan kembali perjanjian dengan Allah, kembalinya surga ke bumi, kembalinya Taman Eden yang sesungguhnya.

Namun, seperti biasa, akan ada pengkhianatan baru. Tentu saja, Yudas akan mengkhianati Kristus dengan ciumannya yang terkenal itu. Tetapi ada pengkhianatan yang lain. Para rasul tidak dapat berjaga-jaga bersama Yesus saat Ia berdoa kepada Bapa. Mereka tertidur, dan harus dibangunkan dua kali oleh Kristus. Dan ketika Yesus ditangkap dan diadili, mereka semua meninggalkan-Nya.

Pada saat ini di dalam liturgi, kita diundang untuk berjaga-jaga bersama Kristus dengan menyembah Sakramen Mahakudus. Kita didorong untuk tidak melarikan diri keluar dari pintu paroki, tetapi untuk tinggal sebentar dan berdoa bersama Kristus, untuk berlama-lama di Taman Eden Ekaristi Kudus.

Kesimpulan

Kamis Putih memberi kita makna Sengsara Kristus, peneguhan Perjanjian Baru melalui imamat baru dan Paskah baru. Hal ini mengembalikan kita kepada Taman Eden di mana kita berusaha untuk tidak meninggalkan Tuhan kita seperti yang dilakukan oleh Adam dan Hawa atau para rasul. Inilah saat untuk mengucap syukur atas Ekaristi dan untuk para imam dan uskup kita. Inilah saatnya untuk bertanya pada diri kita sendiri, “Dapatkah kita tetap tinggal di dalam Kristus? Dapatkah kita berdoa bersama-Nya dan mempersembahkan diri kita kepada Bapa sebagai kurban pujian yang hidup? Dapatkah kita mengasihi satu sama lain sebagaimana Kristus telah mengasihi kita?”

 

James R. A. Merrick adalah seorang dosen di Franciscan University of Steubenville, Anggota Senior di St. Paul Center for Biblical Theology, dan seorang guru teologi dan bahasa Latin di St Joseph’s Catholic Academy di Boalsburg, Pennsylvania.

 

Sumber: “Holy Thursday: A Mandate, a Meal, and a Ministry”

Advertisement

Posted on 6 April 2023, in Ekaristi and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: