[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Damai Sejahtera Kristus Menaklukkan Hati Seorang Ateis yang Gelisah – Kisah Peter Laffin

Peter Laffin (Sumber: chnetwork.org)
“Karena itu, Aku berkata kepadamu: Janganlah khawatir tentang hidupmu, mengenai apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir tentang tubuhmu, mengenai apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian? Pandanglah burung-burung di udara, yang tidak menabur, tidak menuai, dan tidak mengumpulkan dalam lumbung, namun Bapamu yang di surga memberi mereka makan. Bukankah kamu jauh lebih berharga daripada burung-burung itu?” (Matius 6:25-27 TB2)
Saya seorang yang mudah gelisah. Inilah kondisi yang diwariskan setidaknya selama dua generasi, dan mungkin lebih dari itu. Saya juga seorang ekstrovert yang senang berbagi, yang juga menjadi ciri khas keluarga saya.
Hal ini menjadi kesalahpahaman bahwa kedua identitas tersebut saling berlawanan. Jika Anda melihat saya dalam sebuah pesta, Anda akan mengira bahwa saya adalah orang terakhir yang larut dalam keasyikan. Saya ramah karena saya benar-benar menyukai orang-orang, terutama cerita dan keanehan mereka – dan karena saya takut akan keheningan. Hal ini membuat saya pandai dalam menjaga percakapan supaya tetap berlangsung. Saya sudah mendapatkan banyak teman dengan cara ini. Ternyata orang-orang sangat menarik jika Anda memaksa diri Anda untuk memperhatikan apa yang mereka katakan. Inilah salah satu dari sekian banyak anugerah Tuhan yang diberikan kepada saya.
Alkohol selalu menolong, dan itulah mengapa saya punya masalah dengan alkohol sejak masih muda. Dengan adanya minuman, saya dapat berbicara tanpa memperhatikan suara saya sendiri. Saya bisa mendengarkan dengan sungguh-sungguh tanpa tersesat dalam kabut pikiran saya sendiri. Saya bisa tertawa secara spontan. Di antara gelas minuman kedua dan kelima, saya merasa tenang, menguasai diri, dan sepenuhnya menyatu dengan momen tersebut. Saya juga mendapatkan banyak teman dengan cara ini.
Jebakan dalam mengobati kecemasan dengan alkohol sudah jelas, dan saya menghadapi setiap jebakan tersebut seiring berjalannya waktu. Sering minum alkohol tidak baik untuk kesehatan dan menghambat momentum dalam hidup. Minum terlalu banyak meningkatkan kecenderungan untuk bertindak bodoh. Minum menyebabkan mabuk, dan mabuk mematikan kemampuan inti jiwa, seperti imajinasi, kemampuan memahami, dan ingatan. Alkohol adalah pengobatan jangka pendek yang efektif untuk mengatasi kecemasan, tetapi dengan konsekuensi yang besar.
Kegelisahan Bertemu dengan Lawannya
Kegelisahan yang saya alami akhirnya bertemu dengan lawannya ketika saya berpindah keyakinan menjadi Katolik dari ateis, yang terjadi tepat sesudah saya lulus dari perguruan tinggi dengan gelar sarjana filsafat. Tidak mungkin untuk mendata semua faktor yang menyebabkan saya berpindah keyakinan – saya ragu saya akan pernah sampai ke dasarnya – tetapi cukuplah untuk mengatakan bahwa Tuhan menggunakan seluruh keberadaan saya, termasuk kegelisahan saya, untuk menarik saya ke dalam hati-Nya yang penuh kasih.
Saya memutuskan untuk berhenti minum alkohol di awal tahun pertama kuliah untuk fokus pada tesis sarjana saya, yang membahas tentang Kritik atas Nalar Murni karya Kant. Saya sudah cukup banyak membuang waktu untuk berpesta dengan teman-teman, dan masih ada kesempatan untuk masuk ke program pascasarjana jika saya berusaha keras. Tetapi tanpa obat yang saya resepkan sendiri, kegelisahan segera menguasai diri saya.
Saya mencari pengobatan di pusat kesehatan kampus, di mana saya dirawat oleh seorang dokter tua yang ceria dan bertubuh kecil yang berbicara dengan dialek Inggris British yang aneh, yang akhirnya saya ketahui bahwa hal ini disebabkan oleh masa kecilnya yang tinggal di Jamaika. Saya langsung merasa nyaman dengannya. Sudah lama sekali saya tidak merasa seperti itu di sekitar orang lain tanpa minum alkohol. Saya mulai membuka diri tentang hal-hal yang tidak pernah saya bicarakan sebelumnya yaitu tentang berbagai penyesalan hidup saya, hubungan saya yang hancur, kekosongan kehidupan modern, dan suramnya masa depan. Dia tidak banyak bicara selain sesekali berkata, “Kamu tahu Pete, kamu mungkin ingin mempertimbangkannya kembali.” Anehnya, kewibawaannya yang ceria itu sangat persuasif.
Janji temu kami tidak pernah terasa cukup lama. Saya selalu membuat catatan batin tentang apa yang telah kami bicarakan dan apa lagi yang harus saya katakan. Setelah sekian lama, saya merasa senang bisa melepaskan begitu banyak hal kepada pria yang mulai saya panggil “Dok” ini. Namun, begitu saya pergi, kecemasan akan kembali menguasai saya, dan saya akan sendirian lagi.
Ini adalah gejala terburuk dari kegelisahan: betapa kesepiannya Anda. Katekismus menggambarkan Neraka sebagai sebuah keadaan “pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus.” Berada di Neraka berarti benar-benar sendirian, dan satu-satunya cara untuk benar-benar sendirian adalah dengan hanya mementingkan diri sendiri. Mustahil untuk membayangkan sesuatu yang lebih tragis dan bodoh daripada pernyataan Sartre bahwa “Neraka adalah orang lain.” Sayangnya, itu adalah hal yang saya yakini sebelum saya berpindah keyakinan.
Dok mengetahui semua ini. Ia mulai mengajak saya ke restoran lokal untuk makan burger di penghujung hari kerja. Kegembiraan sederhana dengan kehadirannya – bersama dengan kemampuannya yang tak terbatas untuk menyerap neurotisme saya – mulai menanamkan sesuatu dalam diri saya, semacam harapan. Ia memancarkan kesehatan yang baik dan rasa percaya diri.
Pada suatu hari saya bertanya kepadanya apakah kami bisa bertemu pada hari Minggu, dan dia berkata kepada saya bahwa dia bisa mengajak saya makan siang hanya setelah dia pergi ke sesuatu yang disebut “Mah-ss” (aksen Inggris untuk Mass atau Misa –red.). Gereja yang dia datangi kebetulan berjarak sekitar 50 meter dari rumah tempat saya menyewa apartemen studio. Saya tahu persis di mana letaknya. Saya berjalan melewatinya setiap hari ketika pergi kuliah.
Menuruti Anjuran Dokter
Bukan hanya karena saya tidak percaya pada Tuhan. Bahkan saya membenci gagasan tentang Dia (butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa kebencian itu menyiratkan kepercayaan). Saya membenci aturannya yang sewenang-wenang dan pembiarannya yang tampak jelas terhadap kejahatan seperti bom dan kanker pada anak-anak. Saya membenci gagasan tentang kesempurnaan-Nya, dan yang paling utama adalah tentang kebaikan-Nya yang sempurna. Tiga tahun kuliah filsafat membuat saya yakin bahwa “baik” dan “jahat” adalah gagasan sederhana dari manusia purba, dan bahwa hakikat realitas yang sebenarnya berada di luar keduanya.
Tentu saja, saya tidak tahu apa yang dimaksud Gereja dengan kata “Allah.” Dalam pikiran saya, ilmu pengetahuan sudah mengakhiri omong kosong itu berabad-abad yang lalu.
Suatu sore, ketika berjalan pulang setelah mengikuti seminar yang berakhir lebih lama, saya masuk ke gereja Dok untuk mencoba mendamaikan kekaguman saya terhadapnya dengan keyakinan yang tidak masuk akal semacam ini. Saya tidak yakin dengan apa yang saya harapkan bisa saya lihat – mungkin wanita tua yang sedang mencambuki dirinya sendiri dan tatapan tajam para pria yang mengalami depresi seksual. Namun, yang saya lihat justru kedamaian. Dan bukan hanya di altar yang diterangi cahaya lilin atau di jendela kaca patri, tetapi juga di wajah Manusia yang tubuhnya hancur tergantung menyedihkan di kayu salib. Saya melihat kedamaian dalam ekspresi Dia yang sudah membuka pintu gerbang Surga dengan mengorbankan semua yang Dia miliki demi kita. Begitu banyak hal dalam agama Katolik sehingga saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahaminya. Begitu banyak hal yang masih membuat saya bingung. Tetapi saya langsung memahami Salib. Itu adalah kebalikan yang sempurna dari Sartre.
Besarnya kasih-Nya membasuh saya, dan rahmat memaksa saya untuk berlutut. Saya menangis untuk banyak hal, terutama untuk penderitaan yang disebabkan oleh sikap egois saya terhadap orang-orang yang saya kasihi. Penyesalan itu sangat kuat dan mengerikan, dan air mata saya terasa pahit. Tetapi hal terakhir yang saya rasakan adalah gelisah.
Tidak lama kemudian, saya menemui Dok di kantornya dan bertanya apakah saya bisa ikut dengannya pada hari Minggu nanti di St. Joseph’s untuk “Mah-ss (Misa –red.).” Dia menjawab dengan ekspresi senang yang kaget sehingga saya bertanya-tanya dengan apa yang sudah saya lakukan.
“One-duh-full (one hour full / satu jam penuh –red.),” katanya. “Just one-duh-full (just one hour full / hanya sejam penuh –red.).”
Pastor St. Joseph adalah seorang Kapusin tua bernama Romo Barnabas. Dia berjanggut panjang dan lebat serta memiliki varises di pipinya. Saya belum pernah bertemu dengan seorang imam sebelumnya, tetapi saya mengharapkan sosok yang lebih mengesankan. Romo Barnabas terbata-bata saat berbicara dan sesekali mengeluarkan ludah dari giginya yang sudah menguning. Segera terlihat jelas bahwa ia juga bukan orang yang punya kekuatan intelektual. Homilinya sepertinya hanya menyinggung dua topik: pentingnya doa dan penghormatan terhadap Ekaristi Kudus. Dok sering bercanda dengan riang tentang apakah kami akan mendengar “homili A” atau “homili B” pada suatu hari Minggu.
Romo Barnabas memakai topi bisbol Boston Red Sox ketika ia menyapa umat di luar gereja usai Misa, yang merupakan risiko yang wajar selama bulan Oktober di New York. Ketika ditanya, seperti yang sering terjadi, dia akan tertawa dan berkata, “Tidak, tidak, ‘B’ adalah singkatan dari Barnabas,” dengan keluguan yang menyenangkan sehingga orang akan mempertanyakan asal usulnya. Romo memeluk saya dengan erat setiap kali dia menyapa, dan dia memeluk saya ketika saya membawakan kue keju di hari ulang tahunnya, dan dia memeluk saya ketika saya menangis di kantornya setelah dia mengajari saya doa Yunus, “Ketika itulah Engkau mengangkat nyawaku dari dalam liang kubur, ya TUHAN, Allahku (Yunus 2:6 TB2)” dan dia memeluk saya setelah Misa Paskah pada tahun 2007, ketika saya menerima Komuni Pertama dengan Dok di sisi saya sebagai sponsor (wali).
Hati seorang Romo
Kasih Romo selalu bertumbuh dan tidak pernah pudar. Rasanya seperti kekuatan super. Semua yang dia lakukan adalah memberikan dirinya sendiri: mengasihi dan memberi dan memberi dan mengasihi. Selain cerutu yang sesekali saya lihat dia nikmati di malam hari di tempat parkir di belakang gereja, saya tidak pernah melihatnya memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia sudah tua, lemah, tidak punya uang, dan bebas.
Beberapa kenangan termanis dari awal pertobatan saya adalah ketika saya terdiam dan berdiam diri di samping tempat tidur saya, berdoa seperti yang diajarkan oleh Romo Barnabas. Dan duduk di bangku batu di danau kampus sambil melihat sinar matahari berkilauan di atas air yang beriak sementara bebek dan angsa bersenda gurau dan menyibukkan diri mereka sendiri, mengapung dengan mudah di sore hari dalam keselarasan yang sempurna dengan ciptaan. Itulah yang paling menarik perhatian saya, begitu keyakinan itu muncul: keteraturan alam yang Ilahi. Di depan mata saya, kumpulan atom yang kacau berubah menjadi tarian yang sangat indah. Tidak mungkin untuk melebih-lebihkan dampak yang ditimbulkan dari hal ini terhadap kegelisahan. Ini adalah perbedaan antara hidup selalu dalam ketakutan akan kehidupan yang direnggut dengan hidup selalu dalam rasa syukur atas anugerah keberadaan diri, yang Tuhan berikan kepada kita, seperti yang dinyatakan dalam Katekismus, “berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat karena kebaikan semata-mata (KGK 1).”
Membayangkannya saja sudah cukup untuk membuat hati saya meledak.
Kegelisahan saya masih akan muncul sesekali, tetapi kehidupan sakramen yang sehat dan kebersamaan dengan teman-teman baru saya perlahan-lahan mengikisnya. Saya tidak perlu lagi menderita dengan bodohnya dalam masa-masa sulit ketika hal itu terjadi. Akhirnya saya memiliki tempat untuk mencurahkan kegelisahan saya. Secara praktis saya dapat memanfaatkannya dengan mempersembahkannya kepada Kristus. “Inilah kegelisahan saya, ya Tuhan. Terimalah. Engkau dapat membuat hal yang baik dari kegelisahan ini. Hanya buatlah saya lebih dekat dengan-Mu.”
Sebagai seorang pemuda, saya selalu merasa gelisah karena tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan diri saya sendiri – bagaimana cara melanjutkan, di mana saya harus menyalurkan energi saya. Saya adalah seekor anak anjing yang mengembara, “bebas” sejauh saya hanya memiliki sedikit kendali atas dorongan hati saya, sedikit kesadaran diri, dan tidak tahu siapa Majikan saya. Pengaruh yang menenangkan dari kehidupan sakramental sangat besar – saya bayangkan, mirip dengan sekolah pelatihan untuk anak anjing. Saya akhirnya bisa melangkah maju dengan penuh percaya diri, punya tujuan dan rasa aman. Bagi sebagian orang, kehidupan Katolik tampak legalistik dan kaku. Tetapi, bagi mereka yang gelisah, strukturnya sangat membebaskan.
Rumah bagi Orang yang Gelisah
Setelah lulus, Dok tetap mengajak saya makan burger. Kami masih menghadiri Misa bersama setiap hari Minggu di St. Joseph, tempat dia melayani sebagai Pelayan Komuni Luar Biasa, dan saya sebagai anggota koor. Saya mendapatkan pekerjaan magang di sebuah majalah seni dan budaya terdekat, tempat saya menulis artikel tentang produksi teater lokal dan pameran galeri seni dan berbagai hal lain dan saya berpura-pura menjadi seorang ahli.
Pada hari Sabtu, kami bertiga – Dok, Romo Barnabas, dan saya – akan naik kereta api ke kota untuk mengunjungi museum dan gereja-gereja tua seperti Katedral St. Patrick, di mana Romo Barnabas mengenal beberapa orang yang bisa memberikan tur “di balik layar” kepada kami. Dia tampaknya punya banyak teman di tempat-tempat yang penting. Saya masih bisa melihat dia berlari di depan kami ( Romo adalah seorang pejalan kaki yang sangat cepat) dengan jubah coklat dan sandal kulitnya yang berjumbai saat kami melewati trotoar Manhattan yang ramai. Hanya di New York sosok seperti itu terlihat asing sekaligus berada di tempat yang tepat. Saya dan Dok menikmati peran sebagai asistennya, berkeliling di jalanan kota dengan misi kebaikan, amal dan kasih.
Saya mulai mengenal Romo Barnabas secara lebih utuh selama perjalanan ini. Saya sempat keliru memahami dia sebagai seorang guru yang tercerahkan atau guru untuk kedamaian batin – meskipun dia memang seperti itu. Tetapi dia juga seorang pejuang. Baru setelah kami melewati kota di bagian utara yang tenang, saya memahami hal ini. Kota New York menyelimutinya dengan konsentrasi dan keteguhan hati; kota ini membuat matanya yang berwarna biru pucat menjadi waspada terhadap kekuatan-kekuatan gelap yang terpancar dari papan-papan reklame di Times Square dan jeritan-jeritan orang-orang yang menderita di stasiun-stasiun kereta bawah tanah serta di jalanan.
Sebuah Kisah tentang Seorang Dokter dan Seorang Imam
Suatu kali saya bertanya kepada Romo mengapa ia membawa koper hitam berisi peralatan “ritual terakhir (kebutuhan untuk Viatikum dan Pengurapan Orang Sakit –red.)” ke kota. Dia hanya menoleh dan berkata, “Kamu tidak pernah tahu kapan kamu akan membutuhkannya.” Suatu hari, setelah Misa di St. Patrick, ia hampir saja menggunakannya.
Kami baru saja menuruni tangga batu ketika kerumunan orang berkerumun di sebuah tempat di trotoar yang berjarak sekitar satu blok. Romo Barnabas berlari ke arah mereka dengan langkah gesit – Anda tidak pernah melihat seorang pria tua bergerak begitu lincah – dan membelah kerumunan orang menuju seorang wanita paruh baya yang terjatuh. Pada saat saya dan Dok berhasil melewatinya, terlihat jelas bahwa wanita itu dalam keadaan sadar dan baik-baik saja. Romo Barnabas berlutut di sampingnya, memegang tangannya, dengan tas hitam kecilnya di sampingnya di trotoar. Dok mengambil tindakan, menanyai wanita itu dengan pertanyaan-pertanyaan medis standar sampai petugas medis tiba.
Dari belakang kerumunan saya hanya berdiri dengan penuh kekaguman terhadap kedua mentor saya. Mereka adalah orang-orang yang tahu di mana harus mencurahkan tenaga mereka sendiri. Orang-orang yang sudah dibentuk oleh kehidupan sakramental. Yang sebenarnya hanyalah cara lain untuk mengatakan bahwa mereka sudah dibentuk oleh interaksi yang teratur dengan Kebenaran. Keduanya tidak terbelenggu oleh kecemasan, tetapi keduanya bebas untuk bekerja dengan cekatan di banyak medan yang nyata. Dan meskipun bidang keahlian mereka berbeda – Dokter menyembuhkan tubuh sedangkan Romo Barnabas menyembuhkan jiwa – musuh mereka sama: kematian yang telah masuk ke dunia ketika Adam jatuh ke dalam dosa. Keduanya tidak takut, tidak bersembunyi darinya. Keduanya memberitakan kemenangan Kristus atas maut dan sudah membuat diri mereka menjadi seperti itu.
Saya ingin menjadi seperti mereka. Saya masih menginginkannya.
Peter Laffin adalah kontributor di Washington Examiner. Karyanya juga pernah dimuat di Real Clear Politics, The Catholic Thing, National Catholic Register, dan American Spectator. Saat ini ia tinggal di New England bersama istrinya yang cantik. Mereka menantikan kelahiran putra sulung mereka pada musim semi ini. Kisah ini pertama kali diterbitkan di The National Catholic Register pada tanggal 12 Desember 2022. Diterbitkan ulang dengan izin.
Sumber: “How The Peace of Christ Conquered My Anxious, Atheist Heart”
Posted on 4 May 2023, in Kisah Iman and tagged Alkoholisme, Ateisme. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0