[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Dari Bar Mitzvah ke RCIA – Kisah Phillip Seeberg

Phillip Seeberg (Sumber: chnetwork.org)
Saya lahir pada tahun 1960 di wilayah barat daya jauh kota Chicago. Kedua orang tua saya adalah orang Yahudi, maka tentu saja, saya dibesarkan sebagai orang Yahudi. Ada sekitar 40 rumah di kompleks besar kami, tiga di antaranya dihuni keluarga Yahudi. Sisanya kebanyakan orang Irlandia dan Polandia. Saya pikir mereka beragama Katolik, tetapi saat itu saya benar-benar tidak tahu perbedaan antara Katolik dan Protestan. Bahkan, saya tidak tahu apa-apa tentang agama Kristen. Saya tahu bahwa orang Kristen percaya pada Yesus tetapi tidak benar-benar tahu apa makna atau seluk-beluk dari Perjanjian Baru.
Didikan saya sebagai orang Yahudi
Meskipun saya dibesarkan dalam keluarga Yahudi Reformasi, saya mengikuti sebuah sinagoga Konservatif. Artinya, kami tidak memelihara hukum kosher, tidak mematuhi hari Sabat, dan orang tua saya tidak tahu bahasa Ibrani atau mengikuti ibadah (yang sebagian besar dalam bahasa Ibrani).
Saya mengikuti Sekolah Ibrani (sekolah agama bagi anak-anak Yahudi –red.) pada hari Selasa, Kamis, dan Minggu dari kelas 4 sampai kelas 7, dan sambil belajar untuk mengikuti Bar Mitzvah(ritual bagi anak Yahudi laki-laki ketika mencapai usia dewasa [13 tahun], dan bermakna perbuatan yang dilakukannya bukan menjadi tanggung jawab orang tuanya lagi –red.) , saya juga ikut kebaktian Jumat malam dan Sabtu pagi selama dua tahun itu. Saya ingat berjalan ke sinagoga sepulang sekolah pada sore hari. Pada satu hari dalam seminggu, saya berjalan bersama dengan teman-teman sekelas yang Katolik untuk mengikuti kelas CCD (Confraternity of Christian Doctrine atau kelas katekumen –red.) di gereja St. Bede, di seberang jalan dari sinagoga Beth Jacob. Selebihnya saya berjalan sendiri.
Saya melaksanakan Bar Mitzvah pada tanggal 19 Mei 1973, menjadi Bar Mitzvah pertama dalam keluarga saya dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun. Saya memimpin hampir seluruh ibadah Sabtu pagi.
Pada bulan Desember 1973, sinagoga kami digabungkan dengan sinagoga lain. Ini artinya saya harus berjalan lebih dari tiga mil (± 5 km), sedangkan dulu hanya berjarak enam blok saja. Tak lama setelah itu, saya berhenti pergi mengikuti ibadah, karena sulitnya mengatur perjalanan.
Masa-masa SMA
Seperti anak remaja pada umumnya, saya merasa tidak aman. Saya berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman dan orang lain yang saya temui di SMA. Tidak menonjolkan agama saya yang berbeda adalah bagian dari itu. Ketika saya masuk SMA, saya mulai melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain, hanya untuk menyesuaikan dengan mereka.
Saya ingin diterima dan dilibatkan dalam kegiatan dengan anak-anak lainnya. Ketika saya mendapatkan SIM dan orang tua saya memiliki Chevrolet Impala baru, Chevelle lama mereka diberikan kepada saya. Itulah yang membantu saya diikutsertakan dalam acara malam, karena di tahun pertama, tidak ada satupun teman yang punya mobil. Kami biasanya pergi ke arena roller rink, menonton film, bermain kartu, dan menonton pertandingan bisbol White Sox.
Meskipun pada saat itu agama tidak berperan besar dalam hidup saya, saya masih merasakan suara hati yang sesekali membuat saya gundah. Kondisi ini menyebabkan saya bertanya-tanya tentang cara saya menjalani hidup, dan saya berpikir bahwa diperlukan beberapa perubahan. Pada tahun terakhir SMA, saya minum-minum bersama teman-teman hampir setiap minggu, bahkan selama musim panas kemudian, hampir setiap malam.
Saya sangat menginginkan pengakuan, namun pada penghujung malam, saya akan pulang ke rumah dan merasa sangat kesepian. Saya menginginkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari kehidupan, tetapi hanya terombang-ambing dari satu pesta ke pesta lainnya. Upaya untuk melakukan sesuatu yang lain hanya menghasilkan masalah. Segalanya menjadi semakin parah pada suatu Sabtu malam di musim panas tahun 1978. Saya dan seorang teman berkeliling menembak jendela rumah dengan katapel, karena mengira perbuatan itu menyenangkan. Keesokan sorenya, kami melakukannya lagi. Saya tidak pernah pandai dengan jalan, dan saya melewati jalan yang sama dua kali. Ada seorang wanita yang rumahnya kami tembak pada malam sebelumnya sedang berada di luar rumah untuk mencatat plat nomor saya ketika saya melewati rumahnya untuk kedua kali. Butuh waktu seminggu, namun polisi datang ke rumah saya dan membawa saya untuk diinterogasi dan difoto seperti kriminal. Saya diperiksa identitasnya dan di penjara hampir sepanjang malam. Saya berbohong kepada polisi dan kepada kedua orang tua saya, mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak ada hubungannya dengan insiden itu. Akhirnya saya pulang ke rumah dengan perasaan semakin depresi.
Orang tua saya mempercayai saya dan memberikan dukungan. Dukungan itu hanya membuat saya merasa lebih buruk. Saya tidak pantas mendapatkan dukungan mereka. Saya sangat senang kuliah pada musim gugur tahun itu, karena saya tidak tahan untuk menatap mata ibu saya dan terus berbohong. Saya terus berharap menemukan cara untuk mengubah hidup saya. Setelah beberapa bulan kuliah, ketika akhir pekan di rumah, saya tidak tahan lagi dengan kebohongan itu. Orang tua saya sudah menyewa seorang pengacara untuk membela saya, tetapi saya tidak tahan lagi dengan perasaan bersalah dan akhirnya saya mengatakan yang sebenarnya kepada orang tua saya. Mereka cepat-cepat mengatur penyelesaian di luar pengadilan, tetapi hubungan saya dengan kedua orang tua saya sempat rusak untuk sementara waktu.
Pertobatan
Kembali ke sekolah, saya lagi-lagi bertanya pada diri saya sendiri apakah ada sesuatu yang lebih dari kehidupan ini. Karena ada orang-orang yang berkhotbah di alun-alun kampus University of Illinois setiap hari, saya terus-menerus diingatkan tentang Tuhan. Saya tidak bisa menyingkirkan pertanyaan tentang Tuhan dari pikiran saya. Mendengar para pengkhotbah, saya sadar bahwa pengetahuan saya tentang Alkitab sangat minim. Mereka berbicara tentang nubuatan yang digenapi, tetapi saya tidak tahu apa-apa tentang nubuatan. Saya mencoba meyakinkan diri saya tentang keasliannya dan kemungkinan nubuatan itu menjadi kenyataan.
Sebagai seorang anak, saya diberitahu bahwa orang-orang Yahudi tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi tidak pernah diberitahu mengapa. Saya semakin penasaran tentang agama Kristen. Karena lebih dari separuh penduduk negara itu saya anggap sebagai orang Kristen, saya berpikir bahwa saya harus mencari tahu apa yang membuat mereka berpaling kepada Yesus sejak awal.
Saya mendengarkan khotbah dan merasa tergelitik oleh kerumunan orang yang terus-menerus mencemooh mereka. Meskipun saya tidak percaya dengan apa yang mereka katakan, saya tetap berada di luar sana sambil mendengarkan, karena dengan begitu membuat saya tidak menghabiskan uang untuk bermain video game di Illini Union.
Pada Rabu Abu 1979, orang-orang Gideon, yang suka meninggalkan Alkitab di kamar-kamar hotel, membagi-bagikan Kitab Perjanjian Baru di kampus. Saya mengambil satu. Sebagai seorang Yahudi, saya belum pernah membaca Perjanjian Baru dan pasti malu untuk membelinya. Sisi gelap saya berpikir bahwa saya mungkin akan menggunakannya untuk mengejek para pengkhotbah. Tetapi untuk sementara waktu, saya tidak membacanya.
Tahun itu, ada sekelompok anak yang ramah di asrama kami. Saya belajar cara bermain backgammon dan kadang-kadang hanya berjalan ke kamar lain untuk mencari seseorang untuk diajak bermain. Suatu kali, saya masuk dan berada di tengah-tengah pelajaran Alkitab. Saya segera pamit, tetapi kemudian, saya kembali dan bertanya kepada Bob, pemimpin pelajaran Alkitab, bagian mana dari Perjanjian Baru yang dia sarankan untuk saya baca. Dia menyarankan agar saya membaca Injil Yohanes. Saya melakukannya, dan mendapatkan beberapa makna yang kuat dari Injil itu, termasuk yang berikut ini:
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku akan mendakwa kamu di hadapan Bapa; yang mendakwa kamu adalah Musa, yaitu Musa, yang kepadanya kamu menaruh pengharapanmu. Sebab jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia telah menulis tentang Aku. Tetapi jikalau kamu tidak percaya akan apa yang ditulisnya, bagaimanakah kamu akan percaya akan apa yang Kukatakan?” (Yohanes 5:45-47)
Saya memutuskan untuk mempelajari lebih lanjut tentang Perjanjian Lama, karena tampaknya Perjanjian Baru tidak akan masuk akal tanpanya. Tetapi ketika saya kembali ke sekolah pada bulan Agustus itu, saya tidak lagi memikirkan tentang Tuhan di sepanjang musim panas. Saya melihat para pengkhotbah lagi, dan saya mencemooh mereka pada hari pertama saya masuk sekolah. Baru saja pindah ke asrama teknik, saya mulai bercanda tentang para pengkhotbah kepada teman sekamar saya yang baru, dan ia tidak menganggap lelucon saya lucu; ia adalah seorang Kristen yang dilahirkan kembali. Hari pertama itu terasa sedikit menantang, tetapi saya segera merasakan kehadiran Roh Kudus di bagian kamarnya. Saya terus mendengarkan para pengkhotbah di alun-alun, tetapi dengan telinga untuk kebenaran.
Sementara itu ada seorang pengkhotbah perempuan yang memberikan pesan tentang api neraka dan hukuman kekal, sementara pengkhotbah yang lain duduk di bawah pohon menunggu gilirannya. Saya merasa sangat mudah untuk berbicara dengannya. Dia mampu menyatukan kedua perjanjian Alkitab, menunjukkan kepada saya di mana semua hal tentang Yesus dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Dia memberi saya kartu panggilan yang memiliki pepatah yang menurut saya sangat mendalam: “Jika kita bertemu dan Anda melupakan saya, Anda tidak akan kehilangan apa-apa. Jika Anda bertemu Yesus dan melupakan Dia, Anda telah kehilangan segalanya.”
Saya masih belum yakin tentang kebenaran agama Kristen, jadi saya mulai berdoa kepada Tuhan setiap hari untuk menunjukkan jalan yang benar kepada saya. Karena ingin menjadi orang Yahudi yang baik dan memahami apa yang dikatakan Kitab Suci, saya berdoa kepada Tuhan Perjanjian Lama. Saya mengajukan pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh banyak orang Yahudi di abad pertama: “Apakah Yesus ini adalah Mesias yang sudah dinubuatkan?”
Tak lama kemudian, saya percaya bahwa Yesus adalah penggenapan nubuatan. Dalam upaya lebih lanjut untuk menemukan kebenaran, saya mengikuti pelajaran Alkitab yang dipimpin oleh salah satu pengkhotbah kampus pada tanggal 28 Agustus 1979. Selama kami berdoa, saya merasakan sesuatu seperti sengatan listrik dan tidak bisa bergerak. Saya tidak tahu apa itu saat itu, tetapi sekarang saya percaya bahwa itu adalah Roh Kudus. Setelah pengalaman itu, saya memutuskan bahwa saya harus dilahirkan kembali. Malam berikutnya saya duduk di tengah-tengah alun-alun dan berdoa memohon pengampunan dan bimbingan selama sekitar 40 menit. Perasaan puas dan damai datang kepada saya sehingga saya menganggapnya sebagai malam pertobatan saya. Yesus sudah datang kepada saya, dan saya sudah menerima-Nya. Malam berikutnya, saya dibaptis di kolam renang halaman belakang.
Saya bergabung dengan Intervarsity Christian Fellowship. Organisasi ini adalah kelompok studi sosial dan keagamaan mahasiswa yang mengadakan pertemuan pada hari Jumat malam. Kegiatan ini berjalan dengan baik karena saya tidak lagi ingin menjadi korban dari kehidupan bar pada Jumat malam. Ada juga pertemuan kelompok kecil mingguan lainnya di mana kami melakukan pendalaman Alkitab dan doa bersama. Karena teman sekamar saya, Jeff, dan saya sama-sama berada dalam satu kelompok, kelompok kecil kami berkumpul di kamar asrama kami.
Orang-orang Kristen mula-mula adalah orang Yahudi yang harus menentukan seberapa banyak agama Yahudi yang harus tetap ada di dalam praktik iman baru mereka. Pertanyaan pertama saya sepanjang waktu itu (karena saya belum meninggalkan Yudaisme) adalah apakah saya harus pergi ke ibadah Rosh Hashanah yang sedang diadakan di kampus. Ibadah ini adalah Tahun Baru Yahudi, dan tak lama setelah itu adalah hari Yom Kippur, Hari Penebusan, sebagai waktu untuk berdoa memohon pengampunan dosa. Setelah berpikir dan berdoa, saya memutuskan bahwa saya percaya bahwa dosa-dosa saya sudah diampuni oleh Yesus di kayu salib, dan saya tidak perlu lagi mengikuti ibadah-ibadah ini. Saya menyimpulkan bahwa Rosh Hashanah dan Yom Kippur sudah digantikan.
Saya pergi bersama keluarga saya ke San Diego untuk Bar Mitzvah seorang sepupu. Kejadian ini terjadi sebelum orang tua saya tahu bahwa saya sudah menjadi Kristen. Mereka menemukan Alkitab Gideon milik saya di saku saya, dan saya mengatakan kepada mereka bahwa saya hanya membacanya. Apakah perbuatan saya itu seperti Petrus yang menyangkal Yesus? Mungkin. Ada seorang pengkhotbah Kristen di luar sinagoga. Saya ingat ia berkhotbah kepada orang-orang Yahudi, dan saya ingin memberinya dukungan, tetapi saya pikir bahwa orang itu mungkin sedikit tidak sopan karena berada di sana, dan saya takut. Apakah saya menyangkal Yesus lagi?
Suatu malam, saya mendapat telepon dari seorang teman SMA sekitar pukul 02:00 dini hari. Saya terbangun dari tidur nyenyak, dan jelas-jelas ia sedang mabuk. Pada saat itu, saya sudah berhenti minum-minum, terutama saya tidak suka dibangunkan oleh mereka yang mabuk. Saya pikir ia hanya ingin berbasa-basi, tetapi saya menghantamnya dengan khotbah yang panjang tentang kemabukan adalah dosa, dan bahwa upah dosa adalah maut.
Perbuatan saya pasti benar-benar membuatnya khawatir. Kemudian, satu atau dua hari kemudian, saya mendapat telepon dari orang tua saya. Saya tidak tahu apakah mereka menelepon karena mereka tahu bahwa saya adalah seorang Kristen, atau untuk memberitahu saya bahwa kakek saya yang berusia 81 tahun sudah meninggal. Ternyata saya ketahuan sebagai seorang Kristen, dan orang tua saya sangat terkejut; mereka mengancam akan mengeluarkan saya dari sekolah. Tetapi setelah pembicaraan telepon pertama, kami mendiskusikan situasi ini dengan tenang, meskipun tidak nyaman.
Ketika saya berkata kepada mereka bahwa Yesus dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, mereka menjawab bahwa nubuatan itu berasal dari Perjanjian Lama Kristen, bukan Perjanjian Lama Yahudi. Mereka tahu bahwa Katolik dan Protestan memiliki perbedaan dalam Alkitab mereka, dan mereka pikir nubuatan itu tidak ada dalam Alkitab Yahudi. Bahkan jika memang ada, mereka mengambil sikap bahwa Alkitab tidak harus dipahami secara harfiah. Orang tua saya mengirimkan Alkitab Yahudi kepada saya. Saya membacanya dan menemukan bahwa keduanya secara substansial sama.
Konflik di antara umat beriman
Tak lama kemudian, saya mengetahui adanya perselisihan yang sedang berlangsung di antara kelompok-kelompok Kristen yang berbeda yang sudah saya ikuti. Awalnya saya ingin bergabung dengan sebanyak mungkin kelompok Kristen yang saya bisa, jadi sangat melukai hati saya melihat mereka saling bertengkar satu sama lain.
Dalam pengamatan saya, saya merasa bahwa beberapa masalah yang saya hadapi adalah masalah yang sama dengan yang dialami oleh gereja perdana. Saya dapat memahami mengapa ada begitu banyak denominasi Kristen yang berbeda saat ini. Sangat mudah jika pergumulan batin meledak menjadi perpecahan besar.
Saya sering melihat kembali ke masa itu, memikirkan perumpamaan tentang penabur dan benih. Saya adalah benih yang jatuh di tanah berbatu, tumbuh dengan cepat tetapi gagal menumbuhkan akar (Lukas 8:6, 13).
Saya mulai meragukan Kristus dan kelompok-kelompok di mana saya berada. Orang Kristen seharusnya penuh kasih, dan perdebatan yang saya lihat sepertinya bertentangan dengan semua yang telah saya pelajari tentang agama Kristen. Keyakinan saya pada penggenapan Kristus atas banyak nubuatan Perjanjian Lama membuat saya kembali ke masa lalu saya yang berlatar belakang Yahudi, karena saya percaya bahwa semua nubuatan itu harus digenapi. Namun, tekanan untuk mencoba menemukan identitas agama saya, ditambah dengan beban kerja sekolah saya, menyebabkan saya menjauh dari semua agama untuk sementara waktu. Kelompok-kelompok “dilahirkan kembali” yang saya ikuti tidak mengizinkan saya untuk keluar dari kelompok tersebut. Jadi ketika saya bolos pertemuan atau berkumpul dengan kelompok yang berbeda, saya dibuat merasa tidak nyaman.
Ketika semester musim semi tahun 1980 dimulai, saya mulai bergaul dengan sebuah kelompok campuran dari asrama terdekat. Setelah beberapa bulan, kami mulai berpasangan. Calon istri saya, Lisa, ada dalam kelompok itu. Dia beragama Katolik.
Berjalan sambil tidur di sepanjang tahun 1980-an
Selama dua tahun berikutnya, saya ikut di Gereja Katolik St. John di kampus bersama Lisa. Setelah saya menjadi seorang Kristen, saya merasa bahwa saya bisa berdoa kepada Tuhan di gereja mana pun. Saya tidak setuju dengan (atau mungkin tidak tahu) kepercayaan Katolik di beberapa topik, tetapi saya menyadari bahwa dogma tertentu tidak muncul di setiap Misa.
Mencari gereja seperti Goldilocks yang mencoba menemukan semangkuk bubur yang enak. Saya bergabung dengan First Congregational Church of Des Plaines, yang berafiliasi dengan United Church of Christ. Saya mencari sebuah gereja yang bisa membuat saya dan Lisa merasa nyaman untuk beribadah bersama. Saya tidak ingin bergabung dengan Gereja Katolik, sebagian alasannya adalah karena calon ayah mertua saya adalah seorang Katolik yang keras kepala, dan juga sangat kolot, sementara itu ego laki-laki saya tidak ingin saya terlihat seperti tunduk kepadanya.
Saya selalu merasa paling dekat dengan Tuhan ketika saya bernyanyi. Saya akan merasakan kehadiran-Nya dalam diri saya. Ketika saya beribadah di United Church of Christ, nyanyian-nyanyian pujiannya tidak cocok untuk saya. Kebaktian mereka terasa lebih seperti acara sosial.
Di gereja yang baru ini, ada banyak diskusi tentang apakah lembaga gereja nasional harus mengizinkan penahbisan homoseksual. Saya pikir Alkitab dengan jelas mengutuk perbuatan ini. Jika gereja menyerah pada tekanan publik dalam hal ini, ajaran apa lagi yang mungkin akan diubah di kemudian hari?
Saya tidak pernah menyukai para pengkhotbah yang mencampurkan politik atau perencanaan keuangan dengan agama. Suatu kali saya membawa Lisa ke Gereja Evangelikal sesudah kami menikah, pengkhotbah mulai berbicara tentang bagaimana cara menginvestasikan uang. Pada saat itu kami berdua sedang mengikuti kuliah kelas malam untuk mendapatkan gelar MBA dan tidak beribadah di gereja sekadar untuk mendapatkan nasihat keuangan. Khotbah tersebut sangat tidak menarik sehingga kami meninggalkannya.
Saya dan Lisa mengunjungi sebuah gereja Katolik di dekat tempat tinggal kami di Arlington Heights. Saya sampai pada suatu tahap di mana saya tidak setuju dengan sikap suka mengutuk dari beberapa gereja Evangelikal dan khawatir dengan perubahan doktrin di gereja-gereja Protestan lainnya. Saya merasa seperti berada dalam versi iman Goldilocks dan Tiga Gereja (suatu bentuk ungkapan dengan membandingkan suatu kondiri dengan kisah dongeng Goldilocks and Three Bears –red.), dan Gereja Katolik adalah gereja yang terbukti “benar.”
Bergabung dengan Gereja Katolik
Saya sepakat dengan Paus Yohanes Paulus II dalam sebagian besar masalah moral, dan saya merasa sangat penting bagi saya dan Lisa untuk beribadah bersama. Ayah Lisa adalah seorang Katolik, tetapi ibunya adalah seorang Methodist. Akibatnya, Lisa tidak pernah pergi ke gereja bersama ibunya. Karena hal ini mempengaruhi Lisa, saya sejak awal memutuskan untuk ikut ke Gereja Katolik untuk beribadah bersamanya. Gereja Katolik di Arlington Heights sangat padat, sehingga untuk mengakomodasi jemaat, mereka mengadakan beberapa kali Misa di arena olahraga gereja. Saya menikmati suasana sederhana di ruang olahraga itu. Karena latar belakang saya sebagai seorang Yahudi dan larangan iman terhadap patung, saya selalu merasa lebih nyaman beribadah di lingkungan yang tidak banyak hiasan.
Saya dan Lisa membangun rumah di Downers Grove dan pindah ke sana pada bulan Januari 1987, di mana kami bergabung dengan paroki Katolik Divine Savior. Saat itu adalah waktu yang luar biasa. Saya merasa sangat dekat dengan Tuhan, sehingga pada tahun 1988, saya memutuskan untuk mengikuti RCIA (Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.) dan menjadi seorang Katolik. Sekitar separuh kelas dipimpin oleh pastor, Romo Bob, yang mengajarkan kami tentang apa yang diimani dalam Gereja; dan kelas-kelas lainnya dipimpin oleh seorang wanita awam yang mengajarkan kami tentang sejarah gereja.
Pada tanggal 25 Maret 1989, pada Misa Vigili Paskah dengan kelompok RCIA lainnya, saya menyatakan pengakuan iman.
Saya senang bahwa Romo Bob menerima baptisan yang saya terima di kolam renang sebagai baptisan yang sah. Ia berkata bahwa, karena saya dibaptis “Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus,” maka itu bisa diterima.
Salah satu hal yang menjadi masalah bagi saya dalam Gereja Katolik adalah memanggil seorang presbiter dengan sebutan Bapa/Romo. Saya pernah membaca Matius 23:9 (“Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga.”) dan saya merasa bahwa saya tidak boleh memanggil siapa pun sebagai Bapa kecuali Bapa kita yang ada di Surga. Sejak saat itu saya sudah bisa melupakan hal ini, tetapi butuh waktu bertahun-tahun. Anehnya, meskipun saya sudah beberapa kali membaca kitab Matius, saya tidak pernah membaca Matius 23:10, “Janganlah pula kamu disebut pemimpin [guru], karena hanya satu Pemimpinmu [Gurumu], yaitu Mesias.” Diperlukan membaca (pada tahun 2011!) sebuah buku karya David Currie yang berjudul Born Fundamentalist, Born Again Catholic, untuk mendapatkan lebih banyak perspektif tentang ayat ini. Tampaknya tidak ada yang memiliki masalah dalam menyebut orang lain sebagai “pemimpin/guru.” Bukankah penyebutan “bapa” juga memiliki makna yang sama?
Ketika anak-anak kami masih kecil, saya sibuk dengan kegiatan Indian Guides, Baseball, Cub Scouts (setara dengan Pramuka Siaga yang berusia 7-10 tahun), dan Boy Scouts (setara dengan Pramuka Penggalang dengan rentang usia 11-15 tahun dan Pramuka Penegak dengan rentang usia 16-18 tahun). Saya tidak punya cukup waktu atau minat dalam kegiatan gereja.
Saya cenderung berpindah dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya. Salah satu hal yang dibawa Lisa ke dalam hidup saya adalah sedikit keseimbangan, menjaga supaya saya tidak terlalu jauh dari pusat. Meskipun saya tidak selalu menghargai batasan yang diberikannya pada beberapa bentuk ungkapan religius saya, namun hal ini juga membuat saya tidak melangkah terlalu jauh ke arah lain.
Reuni ke-20 dan seterusnya
Pada tahun 1998, kami baru saja pindah ke rumah baru (dan paroki) di Naperville. Kedua anak kami telah menyita sebagian besar waktu kami selama delapan tahun belakangan ini, dan di luar Misa Minggu, saya tidak terlibat dalam banyak kegiatan gereja sejak kami dikaruniai anak kedua.
Tahun itu saya menghadiri reuni SMA saya yang ke-20. Ketika tahun 1998 berganti menjadi 1999, saya mulai menantikan ulang tahun ke-20 saya sebagai seorang Kristen, dan ulang tahun ke-10 saya sebagai seorang Katolik. Tonggak sejarah ini membuat saya berpikir tentang jalan rohani yang saya tempuh dan bagaimana saya harus mengisi kekosongan rohani yang telah merasuk ke dalam hidup saya.
Saya ikut retret paroki pada tahun 1999 dan 2000 dan bertemu dengan beberapa pemimpin Gereja yang kuat imannya. Saya merasa bahwa mengikuti Misa adalah seperti menjaga mobil kita supaya bensinnya tetap terisi, sedangkan sesekali mengikuti retret adalah seperti mengganti oli yang dibutuhkan mobil kita agar bisa terus berjalan.
Pada tahun 2005, saya membaca Bacaan Pertama dalam Misa – dalam bahasa Ibrani! Mereka mengadakan Misa keberagaman untuk Pentakosta, dan saya mengunduh bahasa Ibrani dari Internet. Kisah Para Rasul 2:1-11 adalah bacaan yang panjang. Saya berlatih hampir sepanjang minggu dan melakukan tugas itu dengan baik, dan semua itu menjadi lebih bermakna karena saya tidak pernah tahu apa arti dari kata-kata itu ketika saya biasa melantunkan doa-doa untuk kebaktian Sabat di sinagoga pada hari Jumat malam.
Saya menghadiri satu seminar yang dibawakan oleh Scott Hahn di Gereja Sts. Peter dan Paul pada tahun 2011. Saya baru saja membaca bukunya tentang perubahan keyakinannya dari Presbiterian. Ia menjelaskan dengan sangat baik tentang kepercayaan Katolik yang sulit dipahami oleh orang Protestan. Ia berbicara tentang hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan berbicara tentang Tabut Perjanjian yang dibawa dan dihormati oleh bangsa Israel. Ia kemudian berbicara tentang Perawan Maria sebagai Tabut Perjanjian Baru; saya tidak pernah memikirkannya dengan cara seperti itu dan, melalui pembacaan ini, saya menumbuhkan rasa hormat kepadanya yang belum pernah saya miliki sebelumnya. Ia juga berbicara tentang kitab Wahyu dengan cara yang benar-benar baru dan membuka mata saya tentang apa yang sebenarnya terkandung di dalam kitab Wahyu. Bukan sesuatu yang bersifat masa depan, tetapi Ekaristi.
Dalam Gereja Katolik, bayi dibaptis, dan anak-anak menerima penguatan ketika masih tinggal di rumah orang tua mereka dan masih berada di bawah pengawasan orang tuanya. Saya pernah mengatakan kepada seorang romo bahwa sungguh disayangkan sepertinya tidak ada sakramen Gereja bagi umat Katolik suam-suam kuku yang baru beriman saat dewasa, sementara umat Protestan mempunyai peristiwa “lahir baru” yang isinya berupa doa supaya diselamatkan. Presbiter tersebut mengejutkan saya dengan mengatakan bahwa Gereja memang mempunyai sakramen untuk orang-orang seperti itu, yaitu Rekonsiliasi (Pengakuan Dosa). Gereja juga mempunyai Komuni Kudus bagi umat beriman supaya mereka dapat “datang kepada Yesus.” Melalui berbagai pertemuan ini dan pertemuan-pertemuan serupa, saya menemukan bahwa ada banyak kesempatan untuk mempelajari iman dan melakukan retret. Ada lebih dari cukup bagi orang dewasa untuk mendekat dan bertumbuh lebih kuat di dalam Kristus. Kita mempunyai waktu seumur hidup untuk mempersiapkan diri untuk kekekalan bersama Tuhan. Sebagai umat Katolik, kita tahu bahwa kita dapat menjadi kudus sebagaimana Ia kudus adanya (bandingkan Imamat 19:2 dan Matius 5:48). Ada rahmat yang cukup untuk perubahan besar itu, asalkan kita terus berjalan dalam persahabatan dengan-Nya.
Phillip Seeberg menjadi umat di Gereja Katolik St. Raphael di Naperville, Illinois sejak tahun 1998. Selama bertahun-tahun di sana, ia pernah menjadi ketua Komisi Pembinaan Iman Orang Dewasa, pemimpin Kelompok Studi Alkitab, sponsor RCIA, katekis, lektor, dan Pelayan Komuni Tak Lazim.
Sumber: “From Bar Mitzvah to RCIA”
Posted on 5 June 2023, in Kisah Iman and tagged Yahudi. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0