[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Makna Beristirahat di Hari Minggu
Oleh Simone Rizkallah

Beristirahat (Sumber: catholic.com)
Mengapa kita harus beristirahat sejenak dari kesibukan sehari-hari dan benar-benar istirahat di hari Minggu? Karena Tuhan berkata demikian.
Baru-baru ini dalam perjalanan ke Israel, saya berkesempatan untuk merayakan makan malam Sabat dengan beberapa rekan Katolik di rumah sebuah keluarga Yahudi Ortodoks – sebuah keluarga yang pada umumnya tidak bergaul dengan orang Kristen. Bagi rekan-rekan Katolik lain yang ikut dalam perjalanan ini (yang disponsori oleh Philos Project), hal ini menjadi pengalaman pertama mereka untuk makan malam Sabat, di mana ritual “eksotis” berkaitan dengan pemberkatan dan minum anggur tradisional, makan roti challah, dan makan bersama.
Bagi saya, pengalaman ini tidaklah asing, karena saya pernah merayakan apa yang beberapa orang Katolik tertentu sebut sebagai “Perjamuan Malam Hari Tuhan.” Pada dasarnya, ini merupakan versi Kristiani dari makan malam Sabat. Alih-alih merayakannya pada hari Jumat malam, awal dari hari Sabat bagi orang Yahudi, acara ini diadakan pada hari Sabtu malam, yaitu saat hari Minggu dimulai pada zaman Alkitab. Inilah sebabnya mengapa Misa sore pada hari Sabtu “dihitung” sebagai kewajiban liturgis hari Minggu.
Di Yerusalem, begitu hari Sabat dimulai, semuanya ditutup. Bahkan saya tidak bisa mematikan pemanas di kamar hotel saya; karena tidak diperbolehkan. Restoran dan toko-toko cendera mata tutup, dan nyaris tidak ada mobil di jalanan karena mengemudi dilarang pada hari Sabat. Bahkan ada yang namanya lift khusus hari Sabat, yang memungkinkan para penumpang yang beragama Yahudi untuk tidak menekan tombol lift. Larangan yang tampaknya aneh ini berasal dari Keluaran 35:3: “Pada hari Sabat jangan menyalakan api di semua tempat kediamanmu (TB2).” Orang Yahudi yang sangat taat menganggap listrik modern sebagai “menyalakan api,” yang berarti mereka dilarang untuk mengoperasikan perangkat elektronik apa pun – meskipun mereka memperbolehkan untuk naik lift yang kebetulan berhenti di setiap lantai, termasuk lantai mereka.
“Menyalakan api” hanyalah salah satu dari tiga puluh sembilan kategori kegiatan (disebut Melakhot) yang harus dihindari oleh orang Yahudi Ortodoks. Yang lainnya termasuk menulis, membawa barang, berjualan, membeli, mencuci, menjahit, memasak, membangun, dan menggunakan telepon. Singkatnya, Tuhan beristirahat pada hari ketujuh (Kejadian 2:1-3), yang berarti Tuhan berhenti menciptakan sesuatu yang baru, dan orang Yahudi Ortodoks berusaha meneladani Tuhan dalam peristirahatan ilahi dengan melakukan hukum-hukum itu.
Bagi sebagian besar orang Kristen, hal ini merupakan bentuk kekudusan yang ekstrim.
Memang benar bahwa orang Kristen tidak lagi memegang hari Sabat pada hari Sabtu; namun, kita merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu. Seperti yang dicatat dalam Katekismus:
Kalau mereka yang berjalan-jalan di dalam kebiasaan lama sampai kepada harapan baru dan tidak lagi menaati hari Sabat, tetapi hidup menurut hari Tuhan, pada hari mana kehidupan kita juga diberkati melalui Dia dan kematian-Nya… bagaimana kita dapat hidup tanpa Dia? (KGK 2175)
Tetapi bagaimana jika umat Katolik Amerika mulai memandang Hari Tuhan dengan serius seperti umat Yahudi Ortodoks memandang hari Sabat mereka? Ini adalah pertanyaan yang diajukan Paus Yohanes Paulus II kepada seluruh gereja dalam surat apostolik tentang Hari Tuhan yang berjudul Dies Domini pada tahun 1998. Menjalani hari Sabat di Yerusalem membuat saya teringat kembali.
Yang saya maksud dengan “seserius mungkin” bukanlah mengikuti aturan yang sama persis seperti tiga puluh sembilan Melakhot. Namun, yang saya maksudkan adalah menghidupi Perintah Ketiga – “kuduskanlah hari Sabat” – dengan lebih sungguh-sungguh daripada hanya sekadar menyesuaikan waktu Misa dengan jadwal Anda. Misa hanya satu jam. Bagaimana dengan satu hari itu?
Tentu saja Ekaristi merupakan “jantung hari Minggu” (Dies Domini bab 3), dan hari Minggu adalah “inti dari kehidupan Kristiani” (paragraf 7). Jika umat Kristiani dapat memperoleh kembali hari Minggu lebih dari sekadar “hanya” misa, kita bisa mendapatkan kembali diri kita sendiri, budaya, dan ruang publik. Yohanes Paulus II menutup suratnya dengan mengatakan hal yang sama: hal ini tidak akan gagal untuk memberikan pengaruh positif bagi masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana kita memperoleh kembali “jantung kehidupan”?
Izinkan saya untuk menggambarkan pandangan dunia Kristen dengan cara ini. Bayangkan ada Allah yang menciptakan Anda untuk menikmati pengalaman menjadi hidup. Karena Allah adalah “kehidupan” itu sendiri, maka menjadi hidup pada saat yang sama berarti mengalami Allah, dan karena Allah adalah sukacita, maka ketika Anda menikmati kehidupan, maka Anda mengalami Allah dua kali.
Allah yang sebenarnya tidak perlu menciptakan manusia, tetapi Ia justru menciptakan manusia. Dalam arti tertentu, dengan cara yang terbaik, keberadaan manusia memang tidak diperlukan. Tuhan bekerja untuk menciptakan ruang, waktu, dan dunia, dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang mampu bekerja bersama dengan-Nya dalam sejarah.
Setelah menciptakan, Allah beristirahat sebagai teladan bagi kita untuk beristirahat juga. Peristirahatan ini adalah pengingat bahwa kita diciptakan bukan semata-mata untuk bekerja, namun kemampuan kita untuk bekerja adalah ekspresi dari martabat kita. Hanya makhluk rasional yang dapat bekerja dan mengetahui makna kerja. Sedangkan makhluk yang tidak rasional seperti binatang, tidak mampu.
Namun kemudian, dengan seiring berjalannya waktu, pekerjaan tidak lagi menjadi ekspresi martabat dan kreativitas manusia, tetapi pertamanya menjadi pekerjaan yang melelahkan dan kemudian menjadi berhala – sesuatu yang menjadi candu, obsesi, dan oleh karena itu menjadi kondisi yang bukan kebebasan, tetapi menjadi perbudakan. Pekerjaan yang seharusnya merupakan semacam partisipasi dalam penyembahan kepada Allah, menjadi semacam ilah. Karena Allah dilupakan, manusia sendiri juga dilupakan. Makna dari pekerjaan dan manusia menjadi hilang.
Pada saat inilah kita berada. Ada alasan mengapa Paus Yohanes Paulus II menyerukan “Evangelisasi Baru.” Ada alasan mengapa “menemukan kembali hari Minggu” adalah bagian penting untuk mengenal kembali Allah dan diri kita sendiri. Jika setidaknya ada cukup banyak orang Kristen yang merebut kembali Hari Tuhan, hal ini akan cukup untuk mengubah budaya menjadi lebih baik, yang sepertinya tidak dapat dilakukan oleh Gereja Amerika.
Hal ini juga akan mempengaruhi politik. Seperti yang diamati oleh Romo Neuhaus, agama adalah akar dari budaya, budaya adalah akar dari politik. Perhatian dan prioritas kita menjadi terbalik, dan kemudian kita bertanya-tanya “apa yang salah dengan dunia ini.”
Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana merayakan Hari Tuhan dengan benar dapat meringankan penyakit sosial yang paling tragis. Tetapi semua masalah sosial dan budaya, dengan satu cara atau cara lain, berakar pada kurangnya martabat manusia. Katekismus dengan gamblang menyatakan bahwa Hari Sabat adalah “hari protes terhadap kerja paksa dan pendewaan uang” (KGK 2172).
Hari Sabat juga merupakan protes terhadap diri saya sendiri dan untuk menguasai keinginan diri saya sendiri. Pada awalnya, pengangguran rohani mungkin tampak menarik, tetapi seberapa baik individualisme yang ada dalam diri kita sudah bekerja untuk kita? Kita tidak mau diberi tahu apa yang harus kita lakukan oleh Allah Bapa, namun kemudian kita sadar bahwa kita berada dalam keadaan yatim piatu secara eksistensial. Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) berkhotbah, “Kita memandang Gereja hanya sebagai tatanan lahiriah yang membatasi kebebasan kita dan dengan demikian mengabaikan realitas bahwa Gereja adalah rumah rohani kita, yang melindungi kita, membuat kita tetap aman baik dalam kehidupan maupun kematian” (What it Means to be a Christian, hal. 48-49). Dan ketika kita berada di rumah, kita dapat dengan mudah menjadi seorang putra atau putri, tanpa syarat.
Keputusan untuk beristirahat juga merupakan perlindungan dari siklus tanpa akhir dari tekanan hidup, sekolah, pekerjaan, mobilitas, dan kelelahan yang tak terhindarkan. Kita mungkin tidak perlu dibebaskan dari perbudakan fisik dari orang Mesir (lihat Keluaran 6:6) atau ilah-ilah palsu mereka, seperti yang dialami bangsa Israel, tetapi kita memiliki berhala-berhala kita sendiri yang membuat kita tetap berada dalam perbudakan rohani.
Ada psikolog yang akan memberitahu Anda bahwa inti dari segala bentuk adalah gangguan keintiman, dan pada zaman sekarang ini siapa yang tidak memiliki kecanduan? Berapa banyak kecanduan yang akan disembuhkan jika kita dapat kembali ke keintiman dengan Tuhan dan dengan satu sama lain?
Sangat menarik untuk memikirkan fakta bahwa Yesus melakukan banyak penyembuhan pada hari Sabat (Dies Domini 63). Sabat bukan hanya tentang istirahat; Sabat adalah semacam peristirahatan yang mengantarkan kita ke hadirat Tuhan dan damai sejahtera-Nya yang sesungguhnya. Beristirahat dari pekerjaan kita dan mengorbankan hiburan yang sepele dan bahkan kegiatan-kegiatan baik lainnya yang tidak perlu, artinya kita berpartisipasi dalam sebuah kebenaran yang tidak banyak dipahami atau dialami dalam kehidupan modern: kasih tanpa syarat dan tanpa pamrih adalah nyata.
Merayakan Perjamuan Malam Hari Tuhan pada Sabtu malam adalah cara yang saya sukai untuk merasakan kesakralan hari Minggu karena hubungan dengan akar agama Yahudi membuat saya melihat matahari terbenam dengan persepsi adikodrati. (Paus Pius XI pernah berkata, “Secara rohani, kita adalah orang Yahudi.”) Seolah-olah Ibu Pertiwi menyetujui saya untuk melepaskan pekan ini dan semua kekhawatirannya. Nenek saya di Mesir sering berkata kepada ibu saya, “Saya tidak menyentuh jarum (jahit) pada hari Minggu.” Pembebasan. Bagi saya sendiri, membebaskan hari Minggu berarti sisa hari lainnya dalam seminggu harus diatur dengan baik sehingga saya tidak menggunakan hari Minggu sebagai hari kejar tayang. Hal ini membuat hari Senin hingga Sabtu menjadi lebih menyenangkan, karena dengan memiliki batasan rohani pada hari Minggu, bukan hanya membuat saya tahu bahwa saya tidak bisa memiliki segalanya atau melakukan semuanya, tetapi juga membebaskan saya dari beban untuk mencoba memiliki segalanya dan melakukan semuanya itu.
Ada banyak cara lain untuk membuat hari Minggu menjadi berbeda. Saya mengenal beberapa keluarga yang mengadakan makan siang pada hari Minggu setelah Misa, berdoa vesper, mendaki gunung, atau bermain musik bersama. Saya selalu menghargai tradisi anggota keluarga yang menceritakan bagaimana Allah secara khusus memberkati mereka di minggu sebelumnya. Anda juga dapat mendoakan Litani atau Examen alkitabiah (pemeriksaan batin alkitabiah) di waktu senggang untuk membantu Anda bertumbuh dalam kapasitas untuk beristirahat.
Apa pun yang Anda atau keluarga Anda putuskan tentang bagaimana Anda akan merebut kembali hari itu, Yohanes Paulus II menyatakan dengan jelas: meskipun “ikut ambil bagian dalam Ekaristi adalah inti dari hari Minggu, tetapi tugas untuk menguduskan hari Minggu tidak dapat direduksi menjadi hanya itu saja” (Dies Domini 52).
Posted on 29 July 2023, in Kenali Imanmu and tagged Dies Domini, Ekaristi, Katekismus Gereja Katolik, Minggu, Sabat, St. Yohanes Paulus II. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0