Apakah Yesus Harus Wafat bagi Kita?

Oleh Karlo Broussard

Salib Tanda Kasih (Sumber: catholic.com)

Jawaban singkatnya adalah ‘tidak.’ Tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban itu.

Alkitab mengajarkan bahwa Yesus adalah “pendamaian untuk segala dosa kita dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia” (1 Yohanes 2:2). Ini adalah inti dari pesan Kristen: Kristus telah menebus dosa-dosa kita (membayar hutang) melalui wafat-Nya di kayu salib.

Namun pertanyaannya adalah, “Apakah ini perlu?” Apakah Yesus harus mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita? Atau bisakah Allah melakukan dengan cara lain?

Beberapa orang Kristen mengatakan bahwa hal itu perlu (tentu saja, yaitu tidak mungkin dengan cara lain, terlepas dari apa yang Allah kehendaki). Tetapi yang lain mengatakan tidak perlu (yaitu, penebusan dapat dilakukan dengan cara lain). Apa yang sebaiknya kita pertimbangkan?

Orang-orang Kristen yang mengatakan bahwa penebusan itu mutlak diperlukan sering kali menggunakan ayat-ayat seperti yang dikutip di atas. Mereka berargumen,“Alkitab mengatakan bahwa Yesus telah menebus dosa-dosa kita, sehingga penebusan itu perlu.”

Namun, penegasan bahwa kematian Yesus telah menebus dosa-dosa kita tidak secara logis menyatakan bahwa kematian Yesus adalah satu-satunya cara untuk menebus dosa-dosa kita. Memang benar bahwa jika Yesus menghendaki supaya kematian-Nya menjadi penebus dosa-dosa kita, maka dosa-dosa kita akan ditebus. Tetapi menyimpulkan bahwa dosa-dosa kita tidak akan dihapuskan jika Yesus tidak wafat berarti melakukan kekeliruan dengan meniadakan anteseden1 (jika A, maka B; bukan A, oleh karena itu bukan B).

Sekarang, mengenai alasan-alasan positif mengapa wafatnya Yesus tidak mutlak diperlukan bagi penebusan kita, kita dapat meminta bantuan St. Thomas Aquinas. Berikut adalah tiga alasan yang ia berikan dalam berbagai karyanya.

Alasan #1: Allah itu Mahakuasa.

Karena kemahakuasaan-Nya, Allah dapat melakukan apa pun yang tidak mengandung kontradiksi logis. Seperti yang dikatakan Maria, “Tidak ada yang mustahil bagi Allah” (Lukas 1:37). Gagasan bahwa Allah melunasi hutang dosa dengan cara lain selain kematian Yesus tidak mengandung kontradiksi logis. Oleh karena itu, seperti yang disimpulkan oleh Aquinas, “adalah mungkin bagi Allah untuk membebaskan manusia selain melalui penderitaan Kristus” (Summa Theologiae III:46:2).

Alasan #2: Pada akhirnya dosa adalah melawan Allah sendiri dan bukan yang lain.

Orang mungkin berpikir bahwa Allah tidak dapat mengampuni dosa umat manusia tanpa adanya penebusan (penderitaan yang dipaksakan) supaya Dia tidak berbuat tidak adil. Misalnya, seorang hakim tidak dapat mengampuni kesalahan tanpa hukuman ketika kesalahan tersebut menimpa orang lain (orang lain, negara, dll.).

Namun, seperti yang Aquinas tunjukkan, dosa memiliki “formalitas kesalahan karena dosa itu dilakukan terhadap [Allah] sendiri” (ST III:46:2 ad 3, penekanan ditambahkan). Dengan kata lain, dosa adalah pelanggaran pribadi terhadap Allah. Daud menangkap hal ini dengan baik dalam mazmur pertobatannya: “terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa” (Mazmur 51:6).

Jadi, jika Allah mengampuni dosa tanpa adanya penebusan, maka Ia sama sekali tidak akan bertindak melawan keadilan. Sebaliknya, pengampunan-Nya hanya akan menjadi sebuah tindakan belas kasihan. Pengampunan seperti itu sama adilnya dengan saya yang mengampuni kesalahan teman saya tanpa menghendaki dia membayarnya.

Alasan #3: Martabat pribadi Kristus tak terbatas.

Dalam pertanyaan kedua dari Quodlibet II, Aquinas menggunakan martabat pribadi Kristus yang tak terbatas sebagai alasan mengapa wafatnya Yesus tidak mutlak diperlukan. Mengingat bahwa Yesus adalah Firman Allah, dan dengan demikian bersifat ilahi, maka tindakan apa pun yang dilakukan-Nya memiliki kuasa yang tak terbatas. Aquinas hanya berfokus pada tindakan-tindakan penderitaan dalam teks ini. Tetapi prinsip ini berlaku untuk tindakan apa pun yang Yesus lakukan. Dengan demikian, Yesus dapat saja menetapkan segala tindakan-Nya untuk penebusan umat manusia dan dengan demikian menggenapinya.

Jadi, jika kematian Yesus tidak mutlak diperlukan untuk menebus dosa lalu mengapa Bapa menetapkannya? Berikut ini ada delapan alasannya.

Pertama, kurban dipahami oleh orang Yahudi dan semua manusia sebagai sesuatu yang membawa hubungan yang baik antara manusia dengan Sang Ilahi (lihat Jimmy Akin, A Daily Defense, Hari ke-4).

Kedua, kurban memiliki makna khusus bagi orang Yahudi, mengingat bahwa mereka dibebaskan dari perbudakan di Mesir melalui kurban anak domba Paskah. Karena Yesus dinyatakan sebagai anak domba Paskah yang baru (1 Korintus 5:7; lihat juga Yohanes 1:29), maka tepat bahwa Yesus dikurbankan (lihat Jimmy Akin, A Daily Defense, Hari ke-4).

Ketiga, kematian Yesus di kayu salib menyatakan kebenaran-kebenaran yang pasti tentang Allah. Kematian Yesus di kayu salib mewujudkan keadilan Allah karena kematian Yesus di kayu salib benar-benar menebus dosa, membayar hutang yang tidak dapat dibayar oleh umat manusia(ST III:46:1). Tetapi kematian Yesus juga mewujudkan kerahiman Allah, karena “manusia sendiri tidak dapat menebus dosa seluruh kodrat manusia”(ST III: 46:1; Bdk. I: 2 ad 2). Akhirnya, kematian Yesus menunjukkan betapa Allah mengasihi kita(ST III:46:3). Seperti yang Yesus ajarkan, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13 TB2). Yesus berbicara dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh kita semua – kematian sebagai kurban sama dengan kasih. Paulus setuju dengan hal ini, dengan menulis, “Namun,  Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8 TB2).

Keempat, kematian Yesus di kayu salib membantu kita untuk bertumbuh di jalan kekudusan dan menyelaraskan hidup kita dengan hidup-Nya. Wafat-Nya memberikan teladan kebajikan kepada kita, khususnya, kebajikan “ketaatan, kerendahan hati, keteguhan hati, [dan] keadilan” (ST III:46:3). Seperti yang ditulis oleh Petrus, “ Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya (1 Petrus 2:21 TB2).” Wafatnya Yesus juga memberi kita teladan untuk mati terhadap dosa secara rohani dan keinginan-keinginan duniawi kita (ST III:50:1; bdk. Quodlibet II.2), karena Paulus mengajarkan, “Sebab, Ia mati, yakni mati terhadap dosa … Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: Bahwa kamu telah mati terhadap dosa” (Roma 6:10-11). Akhirnya, keburukan dari wafat Yesus mengilhami kita untuk menahan diri dari dosa (ST III: 46:3).

Kelima, kematian Yesus dengan tepat melawan taktik pertempuran si Iblis. Melalui dosa Adam, yang disebabkan oleh godaan Iblis, manusia mengalami kematian sebagai hukuman atas dosa. Kristus menanggung maut untuk membebaskan kita dari maut (ST III:46:3, 50:1). Yesus juga melawan Iblis dengan kerendahan hati-Nya. Kesombongan Iblislah yang mendorongnya untuk mencobai Adam, yang menyebabkan manusia tidak dapat ditebus. Yesus melawan kesombongan tersebut dengan kerendahan hati untuk menebus manusia (ST III:46:3 ad 3). Akhirnya, Yesus menebus melalui keadilan (menebus dosa) untuk melawan serangan Iblis yang tidak adil terhadap manusia (ST III:46:3 ad 3).

Keenam, kematian Yesus menegaskan tiga kebenaran. Wafatnya-Nya menegaskan kebenaran tentang kebangkitan Yesus. Seperti yang ditulis Aquinas, “bagaimana mungkin kemenangan Kristus atas maut dapat terlihat, kecuali Ia menanggungnya di depan mata manusia, dan dengan demikian membuktikan bahwa maut telah dikalahkan oleh tubuh-Nya yang tidak binasa?” (ST III:46:3 ad 2). Kebenaran tentang kemanusiaan Yesus juga ditegaskan karena hantu tidak dapat menderita dan mati (ST III:50:1). Akhirnya, hal ini menegaskan keburukan dosa (ST III:46:3).

Ketujuh, karena Sang Firman mengambil kodrat manusiawi dan menebus umat manusia melalui kodrat manusiawi, suatu martabat tertentu dianugerahkan kepada manusia dengan memasukkannya ke dalam rencana penyelenggaraan Bapa untuk mengalahkan Iblis (ST III:46:3).

Kedelapan, sudah sepantasnya Yesus layak menerima kemuliaan melalui kerendahan hati (ST III:46:1). Yesus berkata tentang diri-Nya sendiri, “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Lukas 24:26). Pemuliaan Kristus ada tiga: kebangkitan-Nya, perwujudan keilahian-Nya, dan penghormatan yang ditunjukkan kepada-Nya oleh semua makhluk (Filipi 2:8-10).

1 Yohanes 4:8 mengatakan bahwa Allah adalah kasih. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika wafat Yesus di kayu salib, yang merupakan ungkapan kasih Allah, tidak akan meniadakan keharusan yang mutlak, karena kasih adalah ungkapan kebebasan yang paling besar. Kebebasan Allah untuk melakukan hal yang berbeda merupakan inti dari pesan Kristiani: Allah mengasihi Anda!

 

Catatan kaki:

  1. Istilah linguistik yang berarti unsur terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat.

 

Sumber: “Did Jesus Have to Die for Us?”

Posted on 5 April 2024, in Apologetika and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.