[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Fransiskus Choe Bong-han
Profil Singkat
- Tahun lahir: 1785
- Tempat Lahir: Hongju, Chungcheong-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Umat awam
- Usia: 30 tahun
- Tanggal Kemartiran: Sekitar bulan Mei 1815(Penanggalan Lunar)
- Tempat Kemartiran: Daegu, Gyeongsang-do
- Cara Kemartiran: Meninggal dalam tahanan
Fransiskus Choe Bong-han juga dipanggil dengan nama ‘Yeo-ok’, dia lahir di Desa Daraegol, Hongju, Chungcheong-do (sekarang, Nongam-ri, Hwaseong-myeon, Cheongyang-gun, Chungnam). Nama kecil dia adalah ‘Jin-gang’. Dia belajar Katekismus dari ayahnya ketika dia masih kecil. Andreas Seo Seok-bong dan Barbara Ku Seong-yeol yang menjadi martir pada tahun 1815 dan 1816 di Daegu adalah mertuanya.
Fransiskus Choe pindah ke Museongsan di Gongju. Mendengar kabar bahwa Pastor Yakobus Zhou Wen-mo datang ke Korea, dia pergi ke Seoul untuk bertemu dengannya bersama dengan ibu dan adik perempuannya. Sekitar waktu itu ayahnya meninggal.
Di Seoul, Fransiskus Choe menerima sakramen-sakramen dari Pastor Yakobus Zhou dan tinggal di rumah Agustinus Jeong Yak-jong. Dia memiliki hubungan yang akrab dengan Alexius Hwang Sa-yeong dan Thomas Choe Pil-gong. Sementara itu, ibunya meninggal. Dia meminta adik perempuannya untuk tinggal di rumah Agustinus Jeong dan dia sendiri pulang ke kampung halamannya.
Dia berpikir untuk hidup selibat, namun karena tekanan terus menerus dari kerabatnya dia mengubah pikirannya. Dia menikah dengan putri dari Andreas Seo Seok-bong. Setelah pernikahannya, Fransiskus Choe pindah bersama dengan istri dan mertuanya ke Desa Kristen Noraesan di Cheongsong, Gyeongsang-do (sekarang, Norae 2-dong, Andeok-myeon, Cheongsong-gun, Gyeongbuk), dia disana tinggal bersama dengan umat beriman.
Pada Minggu Paskah 1815, ketika mereka merayakan Hari Raya Kebangkitan Yesus Kristus, polisi yang dipimpin oleh seorang informan menyerbu Desa Kristen Noraesan dan menangkap mereka semua. Mereka dibawa ke Gyeongju. Ketika mereka ditangkap, Fransiskus Choe mengatakan kepada sesama umat Katolik agar membebankan dia dengan seluruh pertanggungjawabannya, jika mereka diinterogasi. Namun ketika kenyataannya sudah diketahui, dia dihukum lebih berat lagi.
Ketika dia di dalam penjara di Gyeongju, melihat ibu mertuanya kehilangan keberanian untuk teguh dalam imannya, Fransiskus Choe terus menguatkan dia dan tidak mengabaikan dia kehilangan iman kepada Tuhan. Dia sendiri menunjukkan suatu sikap yang kuat dan lembut di tengah hukuman dan siksaan berat.
Ketika Fransiskus Choe dipindahkan ke Daegu, dia dikenal sebagai kepala umat Katolik. Hal ini berarti dia harus menjalani hukuman yang lebih berat lagi. Ketika interogasi dan siksaan berlangsung dia pingsan berkali-kali, namun keberanian dan semangatnya tetap teguh. Namun demikian, dia tidak dapat bertahan dari hukuman-hukuman yang terus menerus, dan kemudian dia meninggal sebagai martir di dalam penjara. Fransiskus Choe berusia sekitar 30 tahun. Pada saat itu sekitar bulan Mei tahun 1815 pada penanggalan Lunar.
Berikut ini adalah kutipan dari surat hukuman yang dikeluarkan oleh Gubernur Daegu mengenai Fransiskus Choe:
“Choe Bong-han adalah kepala dari umat Katolik di dalam penjara. Ketika Penganiayaan Shinyu terjadi pada tahun 1801, dia mengumpulkan buku-buku agama dan pergi ke sebuah gunung terpencil di Gyeongsang-do. Disana dia membentuk sebuah komunitas Katolik dan mengajar orang-orang bodoh itu. Oleh karena itu, dia layak dihukum dengan berat berdasarkan hukum nasional.”
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 19 March 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 2 Comments.
Pingback: Beata Barbara Ku Seong-yeol | Terang Iman
Pingback: Beato Andreas Seo Seok-bong | Terang Iman