[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Beato Petrus Sin Tae-bo
Profil Singkat
- Tahun lahir: 1769
- Tempat Lahir: Gyeonggi-do
- Gender: Pria
- Posisi/Status: Pemimpin awam
- Usia: 70 tahun
- Tanggal Kemartiran: 29 Mei 1839
- Tempat Kemartiran: Jeonju, Jeolla-do
- Cara Kemartiran: Dipenggal
Petrus Sin Tae-bo lahir dekat Yongin, Gyeonggi-do dan dia menjadi seorang Katolik sekitar tahun 1795. Tidak diketahui banyak tentang keluarganya, namun prestasinya di kemudian hari menunjukkan bahwa dia berpendidikan.
Sepuluh tahun setelah Gereja Katolik berdiri di Korea, Petrus Sin menjadi seorang Katolik bersama dengan sepupunya Yohanes Yi Yeo-jin. Mereka ingin bertemu dengan Pastor Yakobus Zhou Wen-mo untuk menerima Sakramen, namun hal itu tidak mungkin karena Pastor Yakobus Zhou menjalankan kegiatannya secara rahasia.
Ketika Penganiayaan Shinyu pada tahun 1801 selesai, Petrus Sin pindah ke Gangwon-do untuk tinggal bersama keluarga martir di Yongin. Di sana mereka membentuk komunitas Katolik. Kemudian dia menghubungi umat Katolik lainnya termasuk sepupunya Yohanes Yi dan mereka memulai untuk membahas pertanyaan tentang membangun kembali Gereja. Apa yang tampak paling penting bagi mereka adalah mengundang imam dari Beijing. Pada akhir tahun 1811, Yohanes Yi pergi ke Beijing bersama umat beriman lainnya untuk mengantarkan dua surat yang ditulis oleh umat Katolik.
Setelah melakukan hal itu, pergerakan umat Katolik Korea untuk mengundang imam berjalan untuk waktu yang lama. Petrus Sin melakukan segala upaya yang mungkin dia lakukan untuk mempersiapkan biaya yang diperlukan. Namun demikian, keinginan mereka untuk mengundang imam tidak menjadi kenyataan. Petrus Sin yang memutuskan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa pergi dari satu daerah ke daerah lain untuk mewartakan Kabar Gembira tentang Yesus Kristus. Akhirnya dia menetap di Jatgol, Sangju, Gyeongsang-do dan hidup sebagai seorang pertapa. Dia menulis ulang buku-buku Katolik dan meyebarluaskannya kepada umat beriman.
Tak lama setelah Penganiayaan Jeonghae terjadi pada tahun 1827 di wilayah Jeolla-do, Petrus Sin mendengar berita itu. Dia bersiap-siap untuk melarikan diri bersama keluarganya ke sebuah tempat yang aman, namun polisi yang diberangkatkan dari Jeonju dan Sangju menemukan dia sebelum dia dapat melarikan diri.
Melalui umat beriman yang ditangkap sebelum dia, polisi menemukan di mana Petrus Sin tinggal dan dia telah menulis ulang buku-buku Katolik dan menyebarluaskannya kepada umat beriman. Tak lama kemudian, dia dibaw ke Jeonju dan menjalani interogasi dan siksaan yang berat. Kisahnya dicatat dalam catatan harian di penjara yang ia tulis atas permintaan Pastor Santo Jacques Chastan. Tulisan berikut menunjukkan kekejaman dari hukuman yang ia tanggung untuk mempertahankan iman dan agamanya:
“Seluruh tulang kaki saya patah dan di sekujurnya ditutupi luka-luka. Saya tak dapat duduk maupun makan. Luka-luka saya membusuk sehingga baunya tak tertahankan lagi. Selain itu sel penjara saya penuh dengan cacing dan kutu dan setiap orang takut mendekati saya. Untungnya, beberapa umat Katolik yang sehat membantu saya bergerak dan kadang-kadang mereka membersihkan sel penjara saya. Saya tak tahu bagaimana saya berterima kasih atas kasih persaudaraan dan kemurahan hati mereka.”
Walaupun dia dihukuman berat, Petrus Sin tidak pernah mengungkapkan tentang keberadaan sesama umat Katolik lainnya ataupun memberitahukan tempat buku-buku Katolik disembunyikan. Ketika kepala petugas berusaha untuk memaksanya agar dia mengkhianati agama Katolik, dia menjawab, “Tanpa agama Katolik, kita tidak dapat membenarkan kehendak seksual kita.”
Gubernur tidak memiliki pilihan lain selain memenjarakan dia bersama dengan umat Katolik lainnya. Dia dipaksa untuk tinggal di penjara di Jeonju selama dua belas tahun. Kadang-kadang dia kehilangan keberaniannya dan semangatnya menjadi lemah, namun dia mengatasi segalanya dengan imannya kepada Tuhan. Setelah Penganiayaan Gihae terjadi pada tahun 1839, dia digiring ke pasar di Jeonju dan dipenggal berdasarkan perintah raja dan dia meninggal sebagai martir. Pada saat itu tanggal 29 Mei 1839 (17 April pada penanggalan Lunar), dan dia berusia sekitar 70 tahun.
Sumber: koreanmartyrs.or.kr
Posted on 23 April 2015, in Orang Kudus and tagged Korea, Martir, Orang Kudus. Bookmark the permalink. 2 Comments.
Pingback: Beata Barbara Choe Jo-i | Terang Iman
Pingback: Beato Marselinus Choe Chang-ju | Terang Iman