Santa Martha Kim Song-im

Martha Kim Song-im (Sumber: cbck.or.kr)

Dalam “Catatan Harian Penganiayaan Tahun 1839,” Santa Martha Kim Song-im (1787-1839) dikenal sebagai Keluarga Pup’yong, sebuah gelar yang mengacu karena dia menikah dengan seseorang dari Pup’yong.

Kim Song-im adalah seorang janda berusia 50 tahun yang bukan umat beriman. Suaminya punya perangai sangat tidak suka berkompromi sehingga tidak ada kedamaian dalam hubungan mereka. Keadaan ini terjadi sebelum Kim Song-im menjadi Katolik. Keadaaannya semakin memburuk, sehingga dia tidak mempunyai pilihan lain selain berpisah dari suaminya. Dia pergi diam-diam dan tinggal di Hanyang. Di sana dia bertemu dan tinggal dengan seorang laki-laki buta yang mencari nafkah dengan meramal nasib. Pada masa ini dia berusia lebih dari lima puluh tahun, namun dia masih belum belajar tentang iman Katolik.

Satu hari dia mendengar tentang Allah dan Yesus, Sang Putra Tunggal-Nya, dari seorang Katolik yang tinggal di rumah yang sama. Melalui pertemuan ini, dia mulai mempercayai Tuhan dan imannya berangsur-angur tumbuh.

Kehidupan bersama dengan suaminya yang buta sangat sulit, namun ketika tiba-tiba suaminya meninggal, masa depan Martha Kim Song-im menjadi tidak menentu. Beberapa umat Katolik datang kepadanya untuk memberikan bantuan. Martha mulai bekerja di rumah-rumah teman Katoliknya untuk membalas bantuan yang telah mereka berikan. Pada masa itulah, imannya semakin dalam dan dia bertobat dari dosa masa lalunya, yaitu ketidakmampuannya untuk tetap bersama dengan suami pertamanya dan kehidupan setelah perpisahannya dipengaruhi takhayul. Pada masa ini, Martha merasa sangat sedih, tapi dalam ketergantungan yang penuh kepada Tuhan, dia dapat mengatasi perasaan depresinya. Perhatian dan teladan Kristiani dari umat Katolik lainnya, membuat dia menyadari dan meneguhkan betapa besar kasih Allah.

Santa Martha Kim Song-im (Sumber: cbck.or.kr)

Suatu hari, Martha bersama dengan Magdalena Yi, Teresia Yi, dan Lusia Kim sedang membicarakan tentang penganiayaan, keberanian para martir dan sukacita di Surga. Mereka sangat tergerak hatinya oleh kasih Allah sehingga mereka semua memutuskan untuk menyerahkan diri mereka kepada aparat pemerintahan untuk menyatakan iman mereka.

Mereka ingin mengalami penderitaan dan pengorbanan seperti salib Yesus Kristus. Dalam Sejarah Gereja Katolik di Korea dituliskan: “Penyerahan diri dengan sukarela bukan menurut hukum pada umumnya. Kendati demikian, hal ini dimungkinkan karena rahmat Ilahi, atau Allah mungkin memberikan izin kepada mereka secara diam-diam, karena para wanita ini teguh akan imannya dan ingin menjadi saksi bagi Allah dengan menjadi martir. Ada teladan terpuji lain dalam sejarah Gereja, yang seperti Santa Plollina, Santa Aurelia dan lainnya.”

Pada akhir bulan Maret atau awal April 1839, para wanita pemberani itu pergi ke kantor polisi dan mereka berkata kepada polisi supaya mereka dimasukkan ke dalam penjara karena mereka itu umat Katolik. Kepada polisi tidak percaya, mereka menunjukkan rosario mereka. Kemudian, polisi mengikat mereka dan memasukkan mereka ke dalam penjara. Oleh karena itu, mudah dimengerti kalau para wanita saleh ini dengan berani menahan seluruh siksaan dan rasa sakit demi cintanya kepada Allah.

Kepala polisi menginterogasi para wanita itu.
“Apakah kamu percaya agama Katolik adalah agama yang benar?”
“Tentu saja. Jika tidak, kami tidak akan berada di sini.”
“Sangkal Allah!”
“Kami tidak akan pernah menyangkal Allah. Bahkan jika kami harus mati.”
“Apakah kalian tidak takut disiksa?”
“Anda membuang-buang waktu saja dengan membujuk kami supaya menyangkal Allah. Kami sudah menyerahkan diri kami demi Allah. Bagaimana mungkin kami menyangkal Allah? Kami akan mati jika itu diharuskan oleh hukum negara, namun kami tidak akan pernah menyangkal Allah.”

Mereka berulang kali disiksa dengan berat. Para wanita pemberani itu dikirimkan ke pengadilan yang lebih tinggi, di mana mereka diinterogasi lagi.
“Apakah kalian masih percaya bahwa agama Katolik adalah agama yang benar?”
“Betul. Kami menyembah Allah, dan kami bertekad untuk mati bagi-Nya.”

Kepala polisi menyiksa para wanita itu lebih berat daripada orang-orang lainnya, sebagai hukuman bagi mereka karena telah menyerahkan diri mereka. Namun, mereka tidak menyerah dari kepala polisi itu. Akhirnya mereka dijatuhi hukuman mati.

Berdasarkan Catatan Pemerintah Sungjongwon, keempat wanita saleh itu dan empat orang Katolik lainnya dipenggal di luar Pintu Gerbang Kecil Barat pada tanggal 20 Juli 1839. Ketika Martha dibunuh karena imannya, dia berusia 53 tahun.

Dia dibeatifikasi pada tanggal 25 Juli 1925, dan dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.

 

Sumber: cbck.or.kr

Posted on 17 December 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: