Pertanyaan Historis Seputar Kebangkitan Yesus

Kebangkitan Yesus (Sumber: stpaulcenter.com)

St. Paulus menjelaskan bahwa Kebangkitan adalah aspek penting dari iman Kristen. Ia menyatakan, “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1 Korintus 15:17-19).

Pentingnya hari raya Paskah ditegaskan dalam Ketekismus Gereja Katolik:

Zaman baru kebangkitan menerangi seluruh tahun liturgi dengan Trihari Paska sebagai sumber terangnya. Tahun itu disinari langkah demi langkah oleh liturgi sebelum dan sesudah Trihari Paska. Sesungguhnya itulah “tahun rahmat Tuhan” … Karena itu Hari Raya Paska bukan saja salah satu pesta di antara yang lain, melainkan “pesta segala pesta”, “perayaan segala perayaan”, sebagaimana Ekaristi adalah Sakramen segala Sakramen (Sakramen agung). Santo Atanasius menamakan pesta Paska “Minggu agung” (ep. fest. 1), sebagaimana pekan suci di dunia timur dinamakan “pekan agung”. Misteri kebangkitan, di mana Kristus mengalahkan kematian, meresapi zaman kita yang lama dengan kekuatannya yang besar, sampai segala sesuatu ditaklukkan kepada Kristus (KGK 1168-1169).

Namun tidak sedikit pula mereka yang membantah historisitas dari Kebangkitan Yesus. Salah satu alasan paling umum dari para ahli yang seringkali mengajukan pertanyaan tentang kebenaran historis dari kisah kebangkitan adalah fakta sederhana bahwa menggambarkan suatu peristiwa yang ajaib, sesuatu yang diceritakan terlalu luar biasa untuk dipercaya secara historis. Apakah ini wajar?

Sementara itu, karya historis menuntut penilaian kritis, penegasan penolakan apriori (asumsi sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya –red.) atas kemungkinan kejadian seperti Kebangkitan Yesus, menganggapnya tidak kurang dari komitmen metafisik daripada menerimanya. Untuk mengesampingkan apriori dari kemungkinan peristiwa yang tidak dapat dijelaskan ini, yang sulit sekali dibuktikan dengan metodologi yang benar-benar kritis.

Inilah yang semua orang tahu tentang narasi Injil: Semuanya sepakat bahwa pada Minggu Paskah pagi hari, Maria Magdalena datang ke kubur tempat Yesus dibaringkan. Akan tetapi, para ahli mencatat bahwa pembacaan yang cermat dari laporan para penginjil mengungkapkan sejumlah perbedaan yang jelas.

Sebelum menjelaskan lebih jauh, perlu beberapa kata mengenai historiografi dan harmonisasi. “Harmonisasi” mengacu pada upaya untuk mendamaikan aspek-aspek yang berbeda dari berbagai laporan, yang tampak berbeda atau kontradiktif. Ketika terjadi harmonisasi, maka kita harus berhati-hati.

Di satu sisi, harmonisasi telah menyebabkan beberapa bacaan yang sangat tidak mungkin. Kita harus waspada terhadap pendekatan semacam itu. Contohnya, beberapa orang berusaha untuk membuktikan kebenaran historis Kitab Suci, telah berusaha menemukan cara untuk menyelaraskan semua perkataan Yesus. Namun kenyataannya, para penulis kuno tidak mengharapkan untuk selalu menyampaikan perkataan yang tepat dari perkataan lisan.

Misalnya apakah Yesus berkata, “Inilah darah-Ku, darah perjanjian” (Markus 14:24), atau “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku , yang ditumpahkan bagi kamu “ (Lukas 22:20), itu kehilangan intinya. Mereka semua sepakat bahwa Yesus mengucapkan perkataan atas cawan Ekaristis, dan perkataan ini berkaitan antara cawan itu dengan darah-Nya dan juga dengan konsep perjanjian. Penulis kuno diharapkan untuk menyampaikan substansi dari apa yang dikatakan, namun belum tentu ipsissima verba (kata-kata yang tepat).

Singkatnya, historiografi yang buruk merupakan usaha untuk upaya untuk menyelaraskan semuanya.

Di sisi lain, hal ini bukan berarti bahwa semua harmonisasi adalah gagasan yang buruk. Historiografi pasti akan melibatkan sejumlah harmonisasi. Karya sejarah pasti akan melibatkan pengakuan bahwa kadang-kadang kemungkinan terjadinya harmonisasi. Pertanyaannya di sini, apakah kisah Injil tentang Minggu Paskah itu sangat tidak berdaya dan secara dramatis tidak konsisten sehingga harus dilihat sebagai sesuatu yang dibuat-buat.

Sekarang mari kita beralih ke beberapa masalah yang tampak jelas.

Pertama, siapa sebenarnya yang pergi ke kubur-Nya? Kita bisa memecahkan berbagai tulisan itu menjadi demikian:

  • Dalam Injil Matius disebutkan dua orang wanita, Maria Magdalena dan “Maria yang lain” (Matius 28:1).
  • Dalam Injil Markus disebutkan ada tiga orang wanita: Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome (Markus 16:1).
  • Dalam Injil Lukas disebutkan Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, tidak ada disebutkan nama Salome namun disebutkan Yohana dan para wanita lainnya (Lukas 24:10).
  • Dalam Injil Yohanes hanya disebutkan Maria Magdalena saja yang pergi ke kubur-Nya.

Namun yang paling menarik adalah dalam Injil Yohanes. Segera setelah memberi tahu kita tentang Maria Magdalena yang pergi ke kubur-Nya, Yohanes memberi tahu kita bahwa Maria Magdalena berlari kembali untuk memberi tahu Petrus dan “murid yang lain”: “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan” (Yohanes 20:2).  Penggunaan bentuk jamak dalam kalimat itu menunjukkan bahwa Maria Magdalena tidak sendirian.

Dan tidak ada catatan Injil yang dengan sendirinya mengecualikan hal yang lain. Matius tidak mengatakan hanya Maria Magdalena dan Maria yang lainnya adalah orang-orang yang pergi ke kubur. Yohanes tidak pernah mengatakan, “Salome tinggal di rumah karena dia harus mengurus roti tak beragi yang rusak.”

Dengan kata lain, kita mungkin bertemu kepada seorang kolega pada hari Senin pagi dan berkata kepadanya bahwa pada hari Minggu kemarin kita berada di gereja dan mengatakan kepadanya bahwa setelah itu kita berbincang-bincang sesaat dengan seorang yang kita kenal. Kita mungkin meninggalkan orang-orang lain yang juga kita ajak bicara karena mungkin tidak begitu akrab dengan mereka.

Namun jika di kemudian hari kita menyebutkan beberapa orang lain kepada seorang lain, apakah kita menemukan “kontradiksi” dengan diri kita sebelumnya? Tentu saja tidak. Singkatnya, mungkin dalam komunitas Lukas mengenalnya sebagai “Yohana” bukan “Salome.”

Yang lebih mengejutkan lagi adalah detail yang disepakati oleh tulisan-tulisan itu. Yang paling mengejutkan adalah semua Injil menjelaskan bahwa para saksi pertama itu adalah para wanita. Dan ini hal penting. Di dunia kuno, wanita tidak dianggap sebagai saksi yang bisa diandalkan. Seorang sejarawan Yahudi pada abad pertama yang bernama Josephus menulis demikian, “Jangan ada bukti yang diterima dari para wanita, karena kesembronoan dan kelancangan dari jenis kelamin itu” (Antiquitates Iudaicae 4.219).

Jika orang Kristen mula-mula mengarang cerita tentang kebangkitan, maka tidak akan terlihat seperti itu!

Dan kemudian ada pertanyaan baru, kapan para wanita itu datang ke kubur. Sekali lagi mari kita lihat tulisan dari Injil:

  • Matius: para wanita datang “menjelang menyingsingnya fajar” (Matius 28:1).
  • Markus: mereka tiba “setelah matahari terbit” (Markus 16:2).
  • Lukas: mereka datang “pagi-pagi benar” (Lukas 24:1).
  • Yohanes: Maria Magdalena datang “pagi-pagi benar ketika hari masih gelap” (Yohanes 20:1).

Harus ditunjukkan bahwa hanya tulisan Yohanes yang tampaknya menimbulkan masalah. Namun apakah tulisan Yohanes di sini benar-benar menjadi bukti bahwa cerita itu dibuat-buat?

Yang pertama, setidaknya perhatikan kesamaan ketiga kisah itu. Bukan hanya Maria Magdalena yang berada di kubur itu, namun juga pada hari Minggu dan pada pagi hari.

Kembali ke tulisan Yohanes. Tentu saja ada kemungkinan bahwa para wanita itu pergi ke kubur sangat awal dan pada saat itu masih gelap ketika mereka berangkat namun pada akhir kisah itu langit mulai terang.

Kita juga harus memperhatikan bahwa ada sesuatu yang tampak penting yang digunakan oleh Yohanes yaitu menggunakan “kegelapan” sepanjang narasinya yang ia gunakan sebagai simbol (Yohanes 1:5). Apakah di sini Yohanes berbicara secara simbolis, misalnya “cahaya” Kebangkitan Tuhan yang belum diketahui oleh para murid ketika mereka datang ke kubur.

Apa pun caranya, bukankah terasa sulit untuk bersikukuh bahwa perbedaan kecil ini menjadi bukti bahwa cerita itu semuanya tidak masuk akal?

Namun ada beberapa orang yang mengeluarkan pendapat bahwa tidak mungkin Yesus dibaringkan di sebuah kubur. Seorang ahli seperti Funk dan Crossan bersikeras bahwa kemungkinan besar orang yang dihukum mati seperti Yesus akan dibuang ke kuburan massal. Oleh karena itu, para sarjana seperti itu bersikeras bahwa seluruh narasi makam kosong kemungkinan adalah penemuan Markus.

Klaim-klaim semacam ini hanyalah tipuan dan mengkhianati ketidaktahuan dari penulis tersebut.

Seorang penulis Yahudi pada abad pertama yang bernama Philo, ia menjelaskan bahwa cerita semacam itu tidak semuanya bisa dipercaya: “Saya sudah tahu berbagai kasus ketika malam menjelang hari raya semacam ini, orang-orang yang sudah disalibkan telah diturunkan dan jenazah mereka dikirimkan kepada kerabat mereka, karena dianggap baik untuk memberian mereka pemakaman dan mengizinkan mereka upacara yang biasa mereka lakukan.”

Hal senada dijelaskan oleh Josephus, “Orang Yahudi memperhatikan tentang upacara pemakaman bahkan kepada para pria yang sudah dijatuhi hukuman mati dengan disalibkan, mereka diturunkan dan dimakamkan sebelum matahari terbenam.”

Namun hipotesis lain menyatakan bahwa Petrus dalam rasa bersalah dan dukacita, membayangkan penampakan Yesus untuk membantu dirinya dalam proses dukanya.

Namun jika benar Petrus melakukan hal ini, mengapa Gereja terus menerus menyatakan kebangkitan badan Yesus? Bagi beberapa orang mungkin mengatakan bahwa kisah kebangkitan itu diciptakan untuk membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias. Lagipula, kebangkitan Mesias sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci, kan?

Ya, tidak secara eksplisit. Kebangkitan adalah peristiwa yang seharusnya terjadi pada akhir zaman (yang masih ditegaskan dalam eskatologi Kristen!).

Kenyataannya, seseorang mencari sesuatu yang sia-sia demi nubuat dalam kitab suci Israel yang menyatakan bahwa Mesias akan bangkit oleh dirinya sendiri sebelum peristiwa itu

Jadi jika Petrus mengalami suatu peristiwa psikologis, hal itu tidak dapat menjelaskan mengapa orang Kristen perdana mempercayai Mesias harus bangkit dari kematian. Tidak ada teks yang spesifik di mana Kitab Suci dengan terang-terangan mengatakan, “Mesias akan bangkit setelah tiga hari.”

Jadi dari mana mereka mendapat gagasan ini? Dan mengapa gagasan ini ditegaskan?

Petrus bisa saja sampai pada kepercayaan bahwa Yesus sudah dibenarkan, dan roh-Nya dengan entah bagaimana caranya sudah naik kepada Allah bahkan ketika tubuh-Nya masih berada dalam kubur.

Ini akan sangat cocok dengan pandangan orang Yahudi. Ambil contoh dari kitab Yobel 23:31, yang menggambarkan orang-orang benar sebagai berikut: “Dan tulang-tulang mereka akan terbaring di bumi, dan roh-roh mereka akan sangat bersukacita, dan mereka akan tahu bahwa TUHAN adalah sang pelaksana penghakiman, namun Ia akan menunjukkan belas kasihan kepada ratusan dan ribuan orang, kepada semua orang yang mengasihi-Nya.”

Namun tidak demikian, orang Kristen perdana mengambil satu langkah yang lebih jauh: mereka menyatakan bahwa Yesus sudah bangkit dari kubur. Mengapa mereka menciptakan keyakinan seperti itu, terutama karena hal itu tampak sangat tidak mungkin!

St. Paulus menggambarkan daftar saksi mata tentang kebangkitan Yesus:

Bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya (1 Korintus 15:5-8).

Di sini, Paulus tidak menyebutkan Maria Magdalena, dan ini menjadi hal yang sangat menarik. Apakah seorang saksi mata wanita itu tidak layak disebut? Ingat penjelasan di atas bahwa saksi mata wanita itu perlu dicurigai.

Yang lebih menarik adalah ini: Apa yang didapatkan orang-orang ini dengan mengarang cerita seperti itu? Nama baik? Uang? Kekuasaan?

Dan tampaknya yang banyak diterima mereka adalah kematian (1 Klemens 5:5-7). Sekalipun jika Anda percaya tulisan yang menyatakan bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, kenyataannya orang-orang seperti St. Paulus tidak pernah menyerah bahkan di bawah berbagai ancaman sekalipun, dan itu adalah hal yang luar biasa. Apa yang memberi mereka keberanian semacam itu?

Semua ini menunjukkan bahwa cerita itu tidak mungkin dibuat oleh orang-orang di seluruh gereja. Maka, dari sudut pandang sejarawan, kita sampai pada satu kesimpulan yang meresahkan: sesuatu terjadi pada pagi di hari Paskah dan sesuatu yang tidak dapat dengan mudah dijelaskan.

Kesimpulan semacam itu membuka pintu bagi sesuatu yang lebih yaitu karunia iman yang adikodrati, yang tidak bisa dengan mudah dibuktikan dengan bukti empiris.

Sumber: “Historical Questions about the Resurrection of Jesus”

Advertisement

Posted on 18 April 2020, in Apologetika, Kitab Suci and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: