[…] atau diakon kadang-kadang akan mengatakan, atau paduan suara menyanyikan, “Kyrie eleison” (“Tuhan, kasihanilah kami”): Kata-kata dalam bahasa Yunani ini…
Akar Kitab Suci Rabu Abu
Oleh Dr. Brant Pitre

Ash Wednesday (Sumber: philstar.com)
Dalam setahun, sesudah Hari Raya Natal, salah satu hari paling populer umat Katolik mengikuti Misa adalah Rabu Abu, meskipun umat Katolik yang jarang Misa akan ikut Misa Rabu Abu. Rabu Abu menjadi hari pertama dari Masa Prapaskah. Namun, di saat yang sama, terlepas dari popularitas dan tingkat kehadiran umat yang tinggi, hari ini menjadi salah satu hari dalam setahun yang paling membingungkan karena umat Katolik melakukan hal-hal yang sangat aneh.
Pertama-tama, kita punya abu yang dibubuhkan di dahi kita dalam bentuk salib, banyak orang banyak bertanya-tanya: Apa arti abu itu? Mengapa orang Katolik mengenakan abu di dahi mereka? Dan bahkan kemudian ada orang lain yang menantang kita demikian, “Mengapa kalian orang Katolik membubuhkan abu di dahi supaya menunjukkan bahwa kalian sedang berpuasa padahal Yesus dengan jelas mengatakan dalam Injil bahwa kapan pun kalian berpuasa jangan sampai ada orang yang tahu, kalian harus mencuci muka kalian, dan meminyaki kepala kalian supaya tidak ada orang yang tahu kalau kalian sedang berpuasa dan melakukannya dengan tersembunyi.” Bukankah Rabu Abu dalam pengertian demikian menjadi bertentangan dengan ajaran Yesus sendiri? Berikut ini jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan itu dengan melihat dua hal:
Pertama, saya akan melihat akar Yahudi dari abu. Dengan kata lain, apa makna penggunaan abu dalam masyarakat Yahudi di abad pertama? Karena sering kali banyak hal dalam agama Katolik, pada awalnya kelihatan aneh dan membingungkan. Rabu Abu merupakan salah satu hal di mana Gereja Katolik punya sebuah tradisi yang kembali ke Yudaisme, kembali ke Perjanjian Lama. Dan jika Anda menempatkannya dalam konteks Yahudi maka akan menunjukkan makna sebenarnya dari apa yang kita lakukan dalam Rabu Abu.
Kedua, saya mengajak Anda untuk melihat bacaan untuk Rabu Abu dari leksionari, sehingga kita bisa melihat mengapa Gereja memilih perikop-perikop Alkitab tertentu untuk menjelaskan apa yang seharusnya kita lakukan tidak hanya untuk hari Rabu Abu saja, namun sebenarnya menjadi kunci untuk seluruh masa Prapaskah. Jadi, jika Anda bertanya-tanya tentang makna Rabu Abu seperti, “Apa yang seharusnya saya lakukan pada masa Prapaskah tahun ini? Bagaimana saya bisa menyiapkan diri untuk masa Prapaskah?” Maka ini menjadi pembahasan yang tepat.
Saya akan kembali ke topik pertama, yaitu melihat akar Yahudi dari makna abu. Apa yang dilambangkan abu pada masa Perjanjian Lama. Hal pertama yang kita lihat adalah, jika kita mempelajari abu dalam Alkitab terutama Perjanjian Lama, Anda akan melihat beberapa tema konsisten yang menunjukkan simbolisme abu. Beberapa contohnya, yang pertama adalah dalam Kejadian 3:19, Allah berfirman kepada Adam (setelah kejatuhannya atau setelah ia berbuat dosa), “Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Ayat ini menjadi salah satu ayat yang dikutip selama Misa Rabu Abu. Jadi simbol pertama yang akan kita gunakan adalah debu dan abu. Jika Anda mengatakan tentang debu dan abu maka itulah simbol kefanaan. Simbol dari suatu kenyataan yang terjadi setelah kejatuhan manusia, setelah melakukan dosa pertama. Kita bukan hanya tunduk pada penderitaan, tetapi pada penderitaan serta kematian. Sehingga setiap manusia adalah mortal (fana) dan kita kembali ke keadaan menjadi debu dan abu (setelah kematian kita).
Teks kedua yang ingin saya soroti adalah dari kitab Ayub 42:6, yang satu ini lebih menyentuh dari apa yang kita lakukan selama masa Prapaskah. Saat Ayub berdiri di hadapan Tuhan, ia berkata: “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Jadi sekarang kita punya lapisan makna yang lain. Debu dan abu bukan hanya simbol kematian, tetapi kematian dan pertobatan dari dosa. Pertobatan menjadi makna kedua dari simbol abu. Kita akan melihatnya juga dalam kitab Daniel, contohnya dalam Daniel 9:3, Daniel sedang berdoa dan bersyafaat (mendoakan untuk orang lain –red.) bagi bangsanya. Meskipun Daniel seorang yang benar, ia melakukan silih bagi dosa-dosa bangsanya. Dan cara ia mengungkapkan silih dosa itu dengan berpuasa, kain kabung, dan abu. Jadi inilah yang dikatakan, “Aku [Daniel] mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” Maka salah satu hal yang dilakukan oleh orang Yahudi kuno ketika mereka memasuki masa doa yang intens, penyesalan atas dosa, dan permohonan, mereka akan mengenakan kain kabung, semacam kain kasar yang tidak nyaman dan akan menggores kulit dan membuat kulit kita iritasi. Maka mengenakan kain kabung akan menyebabkan penderitaan dan akan bermakna semacam silih dosa. Mereka juga akan berpuasa yang akan menyebabkan semacam penderitaan bagi mereka dengan tidak makan, tidak minum, sehingga mereka akan merasakan penderitaan. Dan kemudian mereka juga menutupi diri dengan abu sebagai tanda kefanaan dan sebagai tanda pertobatan. Jadi semuanya itu dilakukan bersama-sama dan menjadi praktik umum dalam Perjanjian Lama selama masa puasa dan doa yang intens.
Kita juga melihat hal yang sama dalam kitab Makabe. Meskipun bukan bagian Perjanjian Lama Protestan, melainkan Perjanjian Lama Katolik. Ada hal yang menarik dan penting dalam 1 Makabe 3:47, yang memberikan gambaran dan asal usul abu yang tidak digunakan di seluruh tubuh melainkan bagian di kepala bagian tertentu. Dikatakan ketika kaum Makabe sedang bersyafaat dan memasuki waktu doa, “Pada hari itu juga berpuasalah mereka, berpakaian karung dan menaburkan debu di atas kepalanya serta menyobek pakaiannya.” Jadi merobek pakaian merupakan suatu tanda silih dan berkabung, namun dalam kasus ini mereka bukan hanya berpuasa dan berdoa, mereka juga menaburkan abu di kepala mereka. Sekali lagi, di Gereja Katolik, satu hal yang kita lakukan adalah mengambil abu yang merupakan simbol pertobatan dari dosa dan menempatkannya ditempat tertentu yaitu di dahi.
Dan salah satu akar Perjanjian Lama yang paling saya sukai mengenai praktik penggunaan abu adalah dari kitab Ester. Ester merupakan wanita yang menikah dengan seorang raja (raja pagan) yang akan membunuh semua orang Yahudi kecuali jika Ester menjadi perantara doa bagi mereka sehingga mereka diselamatkan. Ester memasuki suatu waktu doa yang intens dan permohonan bagi bangsanya. Perhatikanlah apa yang dia lakukan dalam Ester 14:1-3 (RSVCE):
Ratu Ester pun berlindung pada Tuhan dalam bahaya maut yang menyerang dia. Pakaian kemuliaannya telah ditanggalkannya dan telah dikenakannya pakaian kesesakan dan perkabungan. Dari pada dengan wangi-wangian yang ulung telah ditaburinya kepalanya dengan abu dan kotoran. Tubuhnya sangat disiksanya dengan puasa dan jalinan-jalinan rambutnya yang terlepas memenuhi seluruh tempat perhiasan riangnya. Maka mohonlah ia kepada Tuhan, Allah Israel (Tambahan Ester C: 10)
Perhatikan apa yang dilakukan Ester. Ester sendiri seorang yang sangat cantik jelita, dia seorang ratu, biasanya sebagai ratu menghiasi dirinya dengan pakaian mahal dan perhiasan yang indah. Namun, dalam kasus ini dia menanggalkan semua pakaian kemuliaannya dan kemudian mengenakan pakaian hina. Dia tidak mengenakan wangi-wangian melainkan menaburi kepalanya dengan abu dan kotoran. Inilah yang disebut silih radikal. Mengapa? Karena dia memasuki waktu doa yang intens demi keselamatan bangsanya. Jika dia tidak menyelamatkan bangsanya, mereka akan dibantai oleh raja pagan. Sekarang, syukurlah karena Gereja (dalam kebijaksanaannya) hanya memilih lambang abu untuk Rabu Abu pada masa Prapaskah. Ide yang cukup bagus karena jika “Rabu Kotoran” tidak akan sepopuler Rabu Abu. Maka bersyukurlah atas proses selektif Gereja ini. Tapi jelas sekali, semua ini menunjukkan bahwa orang Yahudi pada abad pertama bisa mengenali apa yang sedang dilakukan seseorang jika menaruh abu di dahi mereka? Mereka sedang mengakui kefanaan mereka (sama seperti Adam), mereka sedang bertobat dari dosa mereka (seperti Ayub), dan mereka sedang menjadi perantara doa bagi orang lain (seperti Daniel dan Ester). Itulah mengapa dalam Injil Matius, Yesus mengatakan hal ini. Bahkan mungkin banyak orang berkata, “Oh itu kan ada di Perjanjian Lama Katolik, bukan di Perjanjian Lama Protestan.” Dalam Matius 11:21, kita bisa melihat bahwa orang Yahudi melalukan hal ini karena sebenarnya Yesus mengatakan salah satu kecamannya terhadap kota-kota di Galilea yang menolak-Nya, Ia berkata, “Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung (dalam bahasa asli lebih jelas yaitu ‘memakai pakaian berkabung serta menaruh abu ke atas kepala’ bandingkan dengan terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari). Bahkan Yesus mengenali praktek penggunaan abu sebagai tanda lahiriah dari pertobatan batiniah.
Hal pertama dan terpenting yang ingin kami sampaikan di sini tentang Rabu Abu, ketika Gereja menanamkan tradisi membubuhkan abu di dahi, ini merupakan tanda alkitabiah yang kuno untuk mengingatkan kematian kita, bertobat dari dosa kita, dan juga (yang paling penting) menjadi perantara bagi orang lain dan menyatukan waktu doa kita yang intens dengan periode puasa dan permohonan kepada Allah, mendekatkan diri kepada Allah dengan melepaskan diri dari kenikmatan dunia, secara khusus dari makanan dan minuman serta kepuasan diri akan penampilan yang anggun dan dipercantik dengan minyak dan lain sebagainya.
Itulah makna abu: pertobatan dosa. Sekarang ketika kita melilhat Rabu Abu dan bukan hanya melihat simbolisme hari itu, kita lihat juga bacaan kitab suci hari itu yang akan menjadi semakin menarik bahkan membuat suasana tobat makin kuat. Bacaan pertama diambil dari Perjanjian Lama yaitu dari kitab Yoel 2:12-18 yang akan dibacakan setiap tahun pada hari Rabu Abu yaitu tentang seruan Nabi Yoel kepada bangsa Israel, inilah yang ia katakan:
“Tetapi sekarang juga,” demikianlah firman TUHAN, “berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya. Siapa tahu, mungkin Ia mau berbalik dan menyesal, dan ditinggalkan-Nya berkat, menjadi korban sajian dan korban curahan bagi TUHAN, Allahmu. Tiuplah sangkakala di Sion, adakanlah puasa yang kudus, maklumkanlah perkumpulan raya; kumpulkanlah bangsa ini, kuduskanlah jemaah, himpunkanlah orang-orang yang tua, kumpulkanlah anak-anak, bahkan anak-anak yang menyusu; baiklah penganten laki-laki keluar dari kamarnya, dan penganten perempuan dari kamar tidurnya; baiklah para imam, pelayan-pelayan TUHAN, menangis di antara balai depan dan mezbah, dan berkata: “Sayangilah, ya TUHAN, umat-Mu, dan janganlah biarkan milik-Mu sendiri menjadi cela, sehingga bangsa-bangsa menyindir kepada mereka. Mengapa orang berkata di antara bangsa: Di mana Allah mereka?” TUHAN menjadi cemburu karena tanah-Nya, dan Ia belas kasihan kepada umat-Nya.
Mengapa bacaan itu yang kita dengar setiap tahun pada masa Prapaskah? Nah, ini sangat penting, alasan utamanya karena gambaran Yoel tentang puasa publik, atau hari puasa umum. Dengan kata lain, ada hari puasa resmi di mana para imam dan nabi Israel akan memanggil semua orang untuk bersatu dalam solidaritas atau dalam persekutuan satu sama lain dalam puasa kolektif sehingga semua orang akan berpuasa, mengenakan kain kabung, dan abu sebagai tanda pertobatan atas dosa mereka masing-masing anggota komunitas, tapi juga menjadi bentuk permohonan atas dosa orang lain sehingga Allah berbelas kasih kepada orang-orang berdosa. Dan Anda bisa melihat dalam kita Yoel bahwa Allah menjadikan dengan sangat jelas kepada umat-Nya bahwa alasan utama berpuasa (dan bentuk doa ini) supaya orang-orang berbalik kepada Allah.
Perhatikanlah apa yang Allah katakan di awal, “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Itulah apa yang Allah lakukan pada zaman Yoel dan juga apa Gereja lakukan untuk memanggil setiap diri kita pada mada Prapaskah. Lihat, Prapaskah merupakan saat yang tepat bagi orang-orang untuk berbalik kepada Allah. Dan menjadi waktu yang tepat bagi orang-orang yang sudah lama menjauh dari Gereja, mungkin sudah lama tidak ikut Misa, mungkin juga mereka sudah ikut Misa dan mereka sudah terperangkap dalam dosa (kebiasaan berbuat dosa). Apa yang Gereja lakukan pada permulaan masa Prapaskah, Gereja mengambil perkataan Nabi Yoel, dan meletakkannya di bibirnya dan berkata kepada semua orang dalam Gereja, “Kembalilah, berbaliklah kepadaku,” dengan menangis dan berpuasa dan berkabung dalam hari puasa agung ini.
Meskipun Gereja memanggil kita untuk tanda lahiriah, pada akhirnya apa yang Gereja kehendaki adalah yang batiniah kan? Apa yang Gereja kehendaki? Gereja ingin supaya bukan menjadi sekadar tanda lahiriah saja, tetapi menjadi pertobatan batin. Dan itulah mengapa kita punya ayat yang kuat ini, “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu.” Hal itu bukan berarti bahwa Allah tidak ingin umat-Nya melakukan tanda lahiriah. Dalam konteksnya, Anda bisa melihat bahwa Allah baru saja memerintahkan umat-Nya untuk berpuasa, mengenakan kain kabung dan berkabung. Namun, yang dimaksud adalah selain tanda lahiriah, sebenarnya Allah menghendaki supaya mereka membuka hati mereka dalam pertobatan dari dosa mereka, supaya mereka berbalik dari kehidupan dosa dan kembali kepada Allah dan mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan. Untuk melakukannya, satu hal yang kita lakukan adalah menggunakan tubuh kita untuk memusatkan jiwa kita kepada Allah, karena kenyataannya kita bukan malaikat, kita adalah gabungan tubuh dan jiwa. Maka, puasa adalah cara yang ampuh untuk mengalihkan pikiran Anda dari kesenangan tubuh dari makanan dan minuman, dan memusatkan pikiran kita pada pertobatan atas dosa dan memusatkan diri kepada Allah.
Dan ini sangat sederhana. Jika Anda pernah berpuasa, Anda akan tahu ini (terutama jika Anda tidak biasa berpuasa). Begitu Anda mulai berpuasa, begitu Anda berpantang makanan dan minuman (misalnya selama setengah hari) dan Anda biasanya selalu makan, maka tubuh Anda akan segera menyadari kalau Anda sedang tidak makan dengan normal dan seolah-olah tubuh berteriak kepada Anda, “Hei, beri aku makan. Beri aku sesuatu untuk dimakan dan diminum,” dan yang dilakukan adalah membuat diri Anda semakin waspada. Sekarang jika Anda tahu mengapa Anda berpuasa? Misalnya saya berpuasa karena hari ini Rabu Abu, karena Gereja menyerukan puasa umum, lalu tebak apa yang terjadi? Sepanjang hari Anda memikirkan bahwa ini sedang masa apa. Sepanjang hari Anda memikirkan Gereja. Anda memikirkan persyaratan apa yang diberikan dan ini menjadi pengingat yang terus menerus bagi Anda bahwa Anda sedang memasuki masa yang baru. Anda sedang memasuki masa tobat, masa puasa. Dan itu membantu Anda untuk berdoa dan memusatkan diri, sehingga Anda berada dalam situasi doa dan waspada (kewaspadaan spiritual) yang tidak Anda miliki pada hari biasa (sarapan, makan makanan ringan, kemudian makan siang, makan malam, dan apa pun itu). Maka puasa menjadi cara yang ampuh untuk menyatukan jiwa dan tubuh dalam waktu doa (doa yang intens) seperti yang diserukan oleh Gereja kepada kita.
Dan orang Yahudi melakukannya, bukan hanya dalam kitab Yoel tapi juga mereka melakukannya setiap tahun. Setiap tahun mereka punya hari puasa umum yang disebut Yom Kippur, yaitu Hari Pendamaian. Pada hari itu, setiap orang Yahudi dipanggil untuk merendahkan diri (dikatakan dalam Imamat 16), mereka akan berpuasa dari makanan, minuman, mandi, berbagai macam pengurapan dan bahkan dari hubungan perkawinan, supaya mengabdikan diri seutuhnya dalam hidup doa dan silih untuk hari itu. Maka ini menjadi suatu hal yang sepenuhnya berbau Yahudi. Gagasan tentang satu haru di mana setiap orang berpuasa dan ada semacam pertemuan publik, puasa umum yang bisa dilihat oleh semua orang. Itulah Rabu Abu yang menjadi setara dengan Hari Pendamaian di Perjanjian Baru. Itulah bacaan pertama yang menjelaskan sifat puasa umum dari yang kita lakukan. Jika ada orang yang ingin tahu, “Kenapa kamu memberi tahu semua orang kalau kamu sedang berpuasa?” Karena sama seperti yang dilakukan orang Yahudi dalam Perjanjian Lama, ketika Anda punya hari puasa di depan umum, yang menjadi tanda yang kelihatan sehingga semua orang bisa bersatu dalam melakukannya.
Namun, Rabu Abu bukan itu saja. Meskipun Rabu Abu menjadi hari puasa umum, sekaligus awal Masa Prapaskah. Dan masa Prapaskah bukan menjadi suatu masa penuh dari puasa umum, tapi sekarang menjadi puasa pribadi, puasa yang tersembunyi, doa yang tersembunyi, dan amal kasih yang tersembunyi. Maka, selain bacaan Perjanjian Lama tentang puasa umum, Gereja juga ingin memastikan bahwa selama masa Prapaskah kita melakukan doa dan praktik kesalehan dengan tersembunyi dan diam-diam, maka Gereja memberikan perikop lain. Bacaan Injil Rabu Abu diambil dari Matius 6:1-6, 16-18. Mari baca Injil itu dan bertanya kepada diri sendiri, “Mengapa Gereja memberikan perikop ini pada Rabu Abu?” Dan Anda akan menemukan jawaban yang sangat menarik untuk pertanyaan itu. Maka, Yesus berkata dalam Khotbah di Bukit dalam Matius 6:
“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.”
Nah kita berhenti sejenak. Perhatikan ayat ini tidak akan saya lupakan ketika pertama kali menyadarinya. Saya ingat saya punya seorang teman non-Katolik sedang mengkritisi saya, “Mengapa kalian orang Katolik menentang perkataan Yesus dengan membubuhkan abu di dahi sehingga setiap orang bisa melihatnya sedangkan Yesus mengatakan supaya melakukannya sembunyi-sembunyi? Tahukah kamu apa yang Alkitab katakan?” Kemudian saya ikut Misa Rabu Abu dan saya menyadari bahwa Gereja tidak menyembunyikan perikop Alkitab itu, tapi Gereja memastikan bahwa kita membaca perikop itu pada Rabu Abu, tepatnya karena kita sedang memasuki masa Prapaskah dan Gereja tidak mau kita memberi tahukan apa yang menjadi silih kita, tapi Gereja menghendaki supaya kita melakukannya diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Saya hanya tertawa, “Sebenarnya kita tidak bersembunyi dari perikop itu, karena itulah bacaan pada Rabu Abu.” Mari kita lanjutkan bahasan kita, perhatikan apa yang Yesus katakan. Ia memberikan tiga latihan rohani dan memberi tahu cara melakukannya di ayat 2:
“Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.”
Latihan rohani kedua:
“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.”
Kemudian kita lompat ke ayat 16 yang menjadi latihan rohani ketiga:
“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.”
Nah itulah akhir dari bacaan Injil. Mengapa Gereja memilih bacaan Injil ini untuk Rabu Abu? Saya akan berikan beberapa poin penting. Poin pertama, seperti yang sudah saya jelaskan bahwa Rabu Abu menjadi awal masa Prapaskah. Satu hal yang kita lakukan selama masa Prapaskah adalah perbuatan tobat pribadi. Gereja menjelaskan supaya kita ingat tentang nasihat Yesus untuk tidak “melakukan kebaikan (righteousness), yang merupakan arti bahasa Yunani sebenarnya. Ia berkata, “Jangan melakukan kebaikan supaya dilihat orang.” Salah satu godaan dalam melakukan praktik kesalehan seperti doa dan puasa adalah bisa menyebabkan kesombongan rohani dan kita bisa memberi tahu orang lain tentang apa yang kita lakukan sehingga kita bisa terlihat lebih suci atau saleh sehingga dipuji orang lain. Yesus tahu akan godaan kesombongan rohani, maka Ia hendak menghentikannya dan berkata, “Pastikan ketika kami melakukannya, jangan lakukan untuk dilihat orang lain.” Jadi bagaimana kita melakukannya? Ia berkata, “Aku ingin supaya kamu melakukannya sembunyi-sembunyi.” Perhatikan, ini penting. Meskipun Yesus memberi tahu supaya tidak melakukannya supaya dilihat manusia, Yesus tidak menyuruh kita untuk tidak berbuat sama sekali. Ia masih menyuruh untuk melakukannya. Faktanya, ini merupakan satu-satunya tiga disiplin rohani (latihan rohani) yang Ia perintahkan secara eksplisit dalam Khotbah di Bukit, mari kita lihat lebih teliti lagi.
Pertama, Ia membicarakan tentang amal kasih. Perhatikan yang Ia katakan, “Ketika memberi sedekah” bukan dikatakan “jika” kamu memberi sedekah. Ini penting. Jadi apa itu amal kasih? Amal kasih itu memberikan uang atau pakaian atau harta benda kepada mereka yang miskin, yang membutuhkan, atau kepada Gereja. Jadi pada abad pertama Anda bisa memberikan amal kasih ke Bait Allah atau memberi kepada orang miskin. Jadi Yesus mengharapkan para murid-Nya untuk rutin memberikan amal kasih. Ia berkehendak supaya para murid-Nya menjadi orang yang suka memberi kepada orang miskin, bukan sesekali, tetapi secara rutin. Dan perintah-Nya supaya ketika Anda melakukan ini, “Lakukanlah dengan sembunyi … janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” maka balasannya berasal dari Bapamu yang di surga bukan pujian dari orang lain.
Kedua, yaitu doa. Perhatikan ini, Yesus tidak mengatakan “jika (if)” kamu berdoa, melainkan Ia berkata “ketika (when)” kamu berdoa. Jadi Ia menghendaki murid-murid-Nya untuk rutin berdoa, bukan berdoa sekali-sekali. Zaman sekarang hal itu sangat menggoda orang banyak untuk berkata, “Oh, saya percaya Yesus” – “Oh bagus. Berapa sering Anda berdoa?” “Oh, sekali-kali” Tidak demikian, seorang murid Yesus harus menjadi orang yang rutin berdoa. Dan apa yang Yesus katakana di sini adalah, “Jangan lakukan ini di tempat umum (seperti waktu Misa), kamu harus berdoa sembunyi-sembunyi; di rumah secara pribadi.” Pergilah ke ruangan terdalam (itulah bahasa harfiah Yunaninya) dan berdoa kepada Bapa yang tersembunyi dan ketika Ia melihatnya di tempat yang tersembunyi, Ia akan membalasnya kepadamu.
Dan yang ketiga dan terakhir, dan ini yang penting pada zaman ini, karena puasa jatuh pada masa-masa sulit. Yesus berkata, “ketika (when) berpuasa” bukan “jika (if)” kamu berpuasa. Maka Yesus menghendaki para muridnya rutin berpuasa. Apa artinya? Apa itu puasa? Puasa merupakan praktik yang alkitabiah. Anda bisa melihatnya di sepanjang Perjanjian Lama dan Anda akan melihatnya juga dalam Perjanjian Baru. Makna mendasar dari puasa, singkatnya adalah berpantang dari semua macam makanan atau tidak makan dan minum. Bentuknya berbeda-beda. Terkadang tidak makan dan minum, kadang-kadang hanya pantang makanan. Namun dalam tradisi Gereja (seperti aturan St. Benediktus) makna umum puasa bagi mereka adalah tidak makan dan minum sampai malam. Jadi hanya makan satu kali per hari, dan biasanya makan makanan yang sederhana. Kemudian di malam hari mereka berbuka puasa dengan sedikit makanan.
Dan orang Yahudi abad pertama melakukannya. Kita tahu dari Injil bahwa Yesus membicarkan Ahli Taurat dan orang Farisi berpuasa dua kali dalam sepekan. Kita juga tahu bahwa murid-murid Yohanes Pembaptis juga berpuasa. Kenyataannya, puasa adalah praktik yang sangat umum sehingga ketika orang banyak suatu kali melihat murid-murid Yesus tidak berpuasa, mereka berkata, “Mengapa murid-murid-Mu tidak berpuasa seperti orang Farisi dan murid Yohanes? Dan Yesus memberikan alasan, “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka [maknanya diri Yesus sendiri] dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa (Matius 9:15).” Atau “mereka akan berpuasa para hari itu.” Maka Yesus sedang mengantisipasi bahwa setelah sengsara dan wafat-Nya, murid-murid-Nya menjadi orang yang berpuasa. Dan di Gereja perdana sudah menjadi tradisi bagi umat Kristen berpuasa dua kali seminggu. Bentuk penghormatan yang paling kuno, mereka melakukannya pada hari Rabu dan Jumat yang disebut hari puasa tradisional. Jadi Yesus menghendaki para murid-Nya berpuasa dan berkata, “Ketika kamu sedang melakukan puasa pribadi secara rutin (yang berbeda dari puasa umum, seperti Hari Pendamaian, atau kita sebagai umat Katolik pada Rabu Abu dan Jumat Agung), maka ketika Anda melakukan puasa pribadi jangan sampai orang lain tahu. Jagalah kerahasiaannya. Cucilah kepala dan minyakilah wajahmu dengan minyak, dan janganlah puasamu dilihat orang lain sehingga Bapamu yang melihat di tempat tersembunyi akan membalasnya secara tersembunyi.
Baiklah, kenapa Gereja memberikan kita bacaan Injil ini? Ada dua hal utama. Pertama dan yang terpenting, karena Gereja ingin memberi tahu kita bahwa Prapaskah bukanlah hanya tentang pantang. Pada zaman sekarang ini, banyak orang sudah mengurangi makna Prapaskah menjadi masa pantang. Apa artinya pantang? Pantang artinya melepaskan makan daging atau susu, atau apa pun yang Anda sukai. Jadi, “Saya tidak makan cokelat. Saya akan pantang cokelat. Saya tidak akan minum kopi.” Ini hal yang biasa. Atau, “Saya tidak akan makan permen atau es krim,” apa pun itu. Jadi saya akan pantang dari makanan itu selama 40 hari selama masa Prapaskah. Dan itu hal baik. Hal-hal itu bisa menjadi pengorbanan nyata yang penting dan kuat, tapi kita tidak mau mengurangi makna Prapskah hanya sebagai praktik rohani pantang. Dan itu tidak pernah menjadi tradisi Gereja. Perikop Khotbah di Bukit ini (selama berabad-abad) dikaitkan dengan Prapaskah karena masa Prapaskah selalu menjadi masa tiga disiplin rohani. Bukan hanya pantang, tapi puasa, doa dan amal kasih. Jadi selama masa Prapaskah Anda akan meningkatkan intensitas doa rutin Anda, meningkatkan puasa rutin dan meningkatkan amal kasih rutin, sehingga menjadi masa pemurnian rohani, pertobatan dari dosa, dan kurban persembahan, sedikit kurban cinta kepada Allah.
Alasan kita melakukan ini selama masa Prapaskah karena “boleh dikatakan” Yesus melakukannya selama masa Prapaskah. Mungkin Anda berpikir, kapan? Nah, saya sedang berbicara tentang kisah Yesus di padang gurun. Jika Anda melihat kembali Injil Matius 4, Yesus pergi padang gurun dan Iblis menggoda-Nya dengan tiga godaan ini: mengubah batu menjadi roti, memiliki segala kerajaan duniawi, dan supaya mengungkapkan diri-Nya kepada publik bahwa Ia adalah Mesias dengan melompat dari bubungan Bait Allah dan malaikat akan menatang-Nya. Singkatnya, Yesus sedang melawan tiga godaan kejatuhan manusia. Jika kita kembali ke kitab Kejadian dikatakan bahwa Adam dan Hawa mengambil buah dari Pohon Pengetahuan karena buah itu baik untuk dimakan (St. Yohanes menyebutnya sebagai keinginan daging yaitu kenikmatan), sedap kelihatannya (St. Yohanes menyebutnya sebagai keinginan mata, hasrat memiliki), dan yang terakhir karena akan memberikan pengertian (St. Yohanes menyebutnya keangkuhan hidup dalam 1 Yohanes 2:16). Beberapa orang menyebutnya “Tiga hal yang najis” (uang, seks, dan kekuasaan atau harta, wanita, dan takhta). Tiga godaan ini menjadi akar semua dosa manusia. Dan yang Yesus lakukan adalah pergi ke padang gurun selama 40 hari 40 malam dan Ia bertempur dengan tiga godaan ini, godaan kesenangan, godaan untuk memiliki sesuatu (bayangkan rasa lapar-Nya seperti kesenangan), godaan untuk memiliki segala kerajaan dunia dan godaan kesombongan atau keangkuhan untuk membuktikan diri-Nya sebagai Putra Allah. Tidak seperti Adam yang jatuh ke setiap godaan itu, Yesus berhasil mengatasi semua keinginan itu dengan kerendahan hati.
Pada masa Prapaskah, seruan apa yang Yesus ingin kita lakukan adalah melawan tiga pergumulan yang sama dan berhasil mengatasi tiga godaan yang sama. Jadi selama 40 hari, apa yang Gereja lakukan? Gereja memanggil kita untuk berpuasa. Mengapa? Untuk mengatasi kelekatan yang tidak teratur dalam kesenangan fisik kita. Selama 40 hari Gereja memanggil kita untuk meningkatkan amal kasih. Mengapa? Supaya kita berhasil mengatasi kelekatan tidak teratur dalam menginginkan sesuatu, seperti uang atau barang. Dan akhirnya selama 40 hari, Gereja memanggil kita untuk meningkatkan doa kita. Mengapa? Supaya kita berhasil mengatasi kelekatan cinta diri yang tidak teratur, dan juga keangkuhan dan kesombongan kita. Untuk menggantikan kesombingan maka diperlukan karunia kebajikan kerendahan hati. Maka ketiga disiplin rohani merupakan inti dari menjadi murid Yesus Kristus. Maka inilah yang kita lakukan pada Rabu Abu yang seharusnya menjadi rencana dan program kita. Bagimana selama masa Prapaskah ini saya bisa lebih sering berdoa, lebih sering berpuasa, dan beramal kasih kepada mereka yang berkekurangan, sehingga saya bisa bertumbuh dalam mengatasi keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup atau yang disebut tiga kecenderungan berbuat dosa (concupiscentia). Kecenderungan inilah yang menjadi pergumulan bagi kita semua? Dan ketika kita melakukannya maka masa Prapaskah menjadi semakin bermakna, semakin kuat, dan semakin dipenuhi rahmat daripada sekadar “saya mau menurunkan berat badan maka tahun ini saya akan pantang es krim” atau “saya akan lebih sering berolah raga” atau “saya berhenti minum alkohol” atau apapun itu. Semuanya itu memang penting dan bisa menjadi bagian puasa. Tapi Prapaskah itu lebih sering lagi berpuasa rutin, beramal kasih rutin, dan doa rutin dan itulah mengapa Gereja memberikan kita bacaan Injil itu. Semuanya itu gagasan yang sangat Yahudi dan sangat Alkitabiah.
Sebagai penutup, saya mengakhiri bahasan ini dengan bacaan kedua Rabu Abu yang diambil dari 2 Korintus 5:20-6:2: “Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah” kemudian juga dikatakan, “Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu.” Mengapa Gereja membacakan naskah ini pada hari pertama masa Prapaskah? Karena Gereja berkata, “Jangan menunggu-nunggu untuk bertobat.” Jika Anda sudah menunggu bertahun-tahun kembali ke Gereja, kapan waktunya? Sekarang waktunya. Jika Anda sudah lama tidak mengaku dosa, kapan waktunya? Sekarang waktunya. Sekarang adalah hari keselamatan, sekaranglah hari penyelamatan itu. Sekaranglah hari untuk berdamai dengan Allah. Kenyataannya Katekismus Gereja Katolik paragraf 2042 dikatakan bahwa setidaknya dalam hukum Gereja kita seharusnya mengaku dosa sekurang-kurangnya sekali setahun. Jika Anda belum pernah mengaku dosa dan hari ini Rabu Abu, sekaranglah waktunya. Mengaku dosa, berdamai dengan Allah, dan mulai mempersiapkan diri Anda untuk masa doa, puasa dan amal kasih ketika kita masuk ke dalam misteri Yesus di padang gurun selama 40 hari 40 malam. Kita berjuang dengan Yesus yang berada di pihak kita (dan oleh karena rahmat-Nya), sehingga kita bisa bertumbuh dalam kekudusan, semakin mengasihi Allah supaya Bapa kita yang melihat di tempat yang tersembunyi melihat apa yang kita lakukan secara tersembunyi, dan akan membalas kita dengan karunia luar biasa yaitu kehidupan kekal dan kebangkitan yang akan kita rayakan pada Minggu Paskah nanti.
Posted on 23 February 2021, in Ekaristi, Kitab Suci and tagged Adam, Brant Pitre, Ester, Hawa, Prapaskah, Rabu Abu, Yesus Kristus, Yoel. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0