Bersyukur karena Bisa Bersyukur – Kisah Jeff Miller

Jeff Miller (Sumber: chnetwork.org)
Salah satu hal yang saya ketahui di kemudian hari yaitu kalau saya lahir satu hari setelah Paus Pius XII wafat. Jadi saya lahir pada waktu takhta kosong, dan saya rasa itulah peribahasa yang tepat dalam hidup saya. Sebagian besar saya menjalani hidup kalau seolah-olah Tuhan tidak ada. Saya seperti seorang semi-sedevakantis, karena saya percaya kalau tidak ada Tuhan di takhta surga … tapi juga saya percaya kalau Tuhan dan surga tidak ada sama sekali.
Sebagain besar jati diri saya dibentuk di Portland, Oregon yang juga menjadi tempat tinggal sebagian besar kerabat saya. Sebagai seorang anak kecil, tidak ada suatu masa saya berpikir kalau Tuhan itu ada – tidak pernah ada saat-saat ketika saya punya kepercayaan akan sesuatu yang trensenden atau mengganggap serius tentang hal ini. Diskusi tentang iman atau obrolan tentang Tuhan tidak pernah ada di dalam rumah saya. Saya tahu bahwa ada sistem kepercayaan yang berbeda-beda di antara teman sekolah, tetangga, dan dunia. Kendati demikian, topik ini tidak pernah muncul dalam obrolan kami.
Ketika saya bertambah besar, saya sangat mengidolakan ayah saya. Ia seorang polimatik yang tertarik dengan banyak hal, dari sains hingga seni. Ia menyatakan dirinya sebagai pensiunan Kristen dan tidak pernah sama sekali bicara tentang agama. Ia juga tidak mencela penganut agama atau mencela agamanya. Ia bekerja di teater, melakukan banyak pekerjaan dari akting dan menulis sampai merancang desain dan membuatnya. Saya memanfaatkan banyak waktu dengannya di lingkungan kerjanya juga di antara para aktor. Saya sangat menyukai orang-orang ini, mereka orang berbakat dan kreatif, juga mereka punya cara pandang dunia materialistis yang sama dengan saya.
Ibu sedikit kelihatan diam-diam saja. Sejauh yang saya tahu, ketika ibu saya mulai ikut Misa, saya tahu kalau dia selalu menjadi seorang Katolik. Baru di kemudian hari, saya tahu kalau ibu saya, juga saudarinya beserta ibunya sudah menjadi Katolik sejak saya SMA. Kemudian saya menduga bahwa ada perbedaan yang besar tentang topik agama antara ibu dan ayah saya. Maka, iman tidak dibicarakan, inilah suasana tahun-tahun pembentukan diri saya. Selama setahun saya ikut Misa demi menyenangkan ibu saya – tapi terutama saya suka menyanyi. Pemilihan lagu pujian diambil langsung dari radio. Sebagai seorang ateis, saya pikir kalau itu lucu karena mereka meminta saya untuk bernyanyi dalam ansambel mereka.
Pada waktu SMA, ibu meminta saya untuk bertemu dengan para presbiter yang bertugas di sana untuk belajar tentang Iman Katolik. Itulah pertama kali saya dengan sadar mendengar kata Katolik. Waktu itu saya merasa kelihatan aneh dan tidak menyenangkan – membicarakan sesuatu dari masa lalu. Dari apa yang saya ingat, mereka berusaha menarik saya dengan mengabaikan mukjizat supaya bisa memahami sebab-sebab natural (Di kemudian hari, kedua presbiter ini meninggalkan imamat mereka). Secara signifikan, saya pikir kalau ini agak aneh karena saya sudah mengabaikan mukjizat karena pandangan dunia yang saya anut. Selama masa ini, saya tidak belajar banyak tentang apa yang Gereja ajarkan, tapi karena saya adalah tanah yang sangat berbatu.
Program luar angkasa dan pendaratan di bulan menjadi pengaruh yang signifikan bagi saya; inilah yang membentuk hidup saya pada masa itu. Saya menjadi penggemar berat fiksi ilmiah, terutama menjadi penggemar penulis bernama Isaac Asimov. Fiksi ilmiah inilah yang memberi inspirasi imajinasi saya dan membentuk pandangan saya tentang dunia. Seperti yang disarankan oleh C. S. Lewis dalam bukunya yang berjudul Surprised by Joy, “Seorang pemuda yang ingin tetap bertahan menjadi seorang ateis yang sehat jangan terlalu hati-hati dalam membaca” (Lewis 1955, 191). Rupanya, saya berhati-hati dalam membaca karena saya tidak menemukan apa pun yang menantang pandangan dunia materialistis saya. Asumsi dasar saya dalam kategori saintisme adalah semua pengetahuan aktual harus empiris. Tidak ada gunanya melihat ke dalam filsafat atau pemikiran keagamaan. Gagasan ini adalah mitos bahwa umat manusia akan bertumbuh lebih besar. Saya ingin tahu banyak hal dan sering membaca buku dari perpustakaan untuk menjelajahinya. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa pertanyaan tentang eksistensi Tuhan harus diselidiki sama sekali. Modernitas sudah menjawab pertanyaan itu.
Saya juga tertarik pada suatu bentuk arogansi yang mengakui kebenaran tentang alam semesta: bahwa ketika kita mati, kita musnah. Inilah yang saya simpulkan mengenai fakta kasar yang disangkal oleh orang-orang yang percaya akan kehidupan setelah kematian. Panutan saya adalah Sherlock Holmes dan Mr. Spock. Keduanya adalah pendukung penggunaan akal murni untuk memecahkan masalah secara ilmiah. Stoikisme (filosofi yang mengajarkan bagaimana menjaga pikiran yang tenang dan rasional, tidak peduli apa yang terjadi – nationalgeographic.grid.id) mereka begitu menarik bagi saya. Saya ingin menjalani hidup tanpa ada emosi yang kuat, dengan semua keputusan yang rasional. Kendati demikian, upaya saya untuk meniru mereka tidak berhasil, dan saya tidak pernah sadar kalau pemandu saya itu adalah karakter fiksi.
Seperti yang digambarkan Yesus dalam “Perumpamaan tentang Penabur,” saya adalah tanah yang berbatu. Saya senang dengan ilmu pengetahuan dan kecepatan dalam berbagai penemuan. Keindahan alam semesta sangat gambling bagi saya – keajaiban apa yang kita bisa pelajari! Menjadi seseorang yang bisa terpikat dengan lukisan dan seluk-beluknya, jika saya diajak untuk berjumpa dengan senimannya, saya akan tersandung dengan gagasan bahwa ada seniman yang menciptakannya. Alam semesta hanya untuk dikagumi.
Melihat diri saya ke belakang, saya bisa melihat beberapa peristiwa dalam hidup saya yang digunakan Tuhan untuk membawa saya semakin dekat dengan-Nya. Ada lelucon lawas tentang membuat Tuhan tertawa dengan menceritakan rencana Anda kepada-Nya. Kebalikannya juga benar – bahwa Tuhan juga bisa membuat kita tertawa jika Ia mengungkapkan rencana-Nya bagi kita. Saya akan mencemooh gagasan bahwa saya bisa beralih dari seorang ateis yang kuat menjadi seorang Katolik yang kuat.
Setelah lulus SMA, saya bergabung dengan Angkatan Laut. Tujuan saya adalah untuk mendapatkan pendidikan dalam bidang elektronik yang saya dambakan kemudian saya keluar dari sana. Saya bekerja di avionik, tempat saya bekerja untuk memperbaiki dan memecahkan masalah pada komponen “kotak hitam.” Saya sangat baik dalam hal ini dan menikmati seluruh proses memecahkan masalah dan perbaikan itu. Saya juga tertarik bekerja di kapal induk, yang paling mirip dengan pesawat luar angkasa. Akibatnya, saya akhirnya berkarir di Angkatan Laut, belajar banyak di dunia militer yang nantinya akan membantu dalam proses perubahan keyakinan saya.
Sewaktu berada di Angkatan Laut, saya bertemu dengan istri saya di Filipina, dia bernama Socorro. Dia seorang Katolik dan rajin berdoa, khususnya doa Rosario. Saya memandang hal ini sebagai cacat karakter. Saya meremehkan tata cara kepercayaan takhayul ini dan mengikuti jejak ayah saya, dengan tidak membahas topik itu. Dengan arogan, saya hanya tahan dengan perilakunya. Saya memenuhi tuntutannya dengan mengizinkan dua anak kami dibaptis secara Katolik, tapi yang bisa saya pikirkan selama uparaca itu adalah betapa bodohnya semua ini.
Pandangan dunia nihilistik yang saya anut cenderung ke arah “apa yang saya bisa hindari” daripada “apa yang harus saya lakukan.” Seperti yang bisa Anda bayangkan, hal ini menyebabkan banyak konflik. Sementara itu seorang ateis bisa menjadi orang baik, saya tidak bisa. Ayah saya yang seorang ateis adalah orang yang sangat baik dalam banyak hal, tapi saya menemukan di kemudian hari bahwa ia akan menjadi orang yang lebih baik jika ia menanggapi kasih karunia Tuhan. Saya memegang tangannya ketika ia meninggal dan akan selalu berdoa baginya.
Saya tidak akan membahas dengan rinci banyaknya dosa saya karena akan menyaingi panjangnya novel. Tetap saja, masalah arogansi adalah dosa yang menimpa diri saya, yang diseduh dengan racun egoisme. Saya melihat peluang dan orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Istri saya itu adalah St. Monica bagi saya, meskipun saya tidak menyadari pada waktu itu. Doanya setiap hari selama dua dekade adalah alat yang Tuhan gunakan untuk pertobatan saya. Ketekunannya dalam doa itu mengejutkan saya, terlepas dari betapa egoisnya saya. Sayangnya, dia meninggal empat tahun lalu karena kanker. Saya akan selalu berutang budi kepadanya kerena sudah menunjukkan kepada saya teladan cinta yang tidak mementingkan diri sendiri. Saya masih ingat dengan jelas ketika di rumah sakit menjelang meninggalnya. Kekhawatirannya ditunjukkan dengan bertanya kepada kami apakah sudah makan atau belum ketika dirinya sendiri tidak bisa makan.
Jalan intelektual menuju perubahan keyakinan yang bisa saya identifikasi adalah mendengar radio dan itu aneh bagi saya. Pada masa itu awal tahun 1990-an, saya ditempatkan di NAS Patuxent River di Maryland. Saya sedang mengemudi di Beltway di Washington D. C. ketika saya mendengarkan G. Gordon Liddy memberikan jawaban kepada seorang penelepon ateis tentang ringkasan lima cara untuk mengenal Tuhan menurut St. Thomas Aquinas. Saya ingat kalau saya agak terkejut ternyata ada argumen intelektual tentang eksistensi Tuhan. Saya mengambil informasi ini tapi tidak punya keinginan untuk mendalami lebih jauh lagi.
Pada tahun 1993, setelah kami dipindahkan ke NAS Norfolk di Virginia, saya merasa kalau saya mungkin kehilangan kepercayaan ateis saya. Secara umum, saya tidak mengagumi perilaku dari orang-orang ateis. Pada saat yang sama pula, saya melihat manfaat bagaimana penganut agama menjalani hidupnya. Para ateis ini punya filosofi materialis yang saya dengan saya, tapi bukan itu yang mau saya bahas. Tapi, pada saat itu, meninggalkan ateisme masih saya anggap langkah yang terlalu jauh. Sebaliknya, saya sengaja mulai membaca para filsuf ateis. Agak memalukan kalau sekarang memikirkan fase Ayn Rand (seorang penulis dan filsuf Rusia-Amerika yang terkenal dengan pendukung akal budi sebagai satu-satunya cara mendapatkan pengetahuan, dan menolak iman dan agama, Wikipedia.org –red.), keegoisan radikal itu benar-benar memikat saya.
Suatu hari, saat saya naik sepeda ke kantor, saya ditabrak mobil dalam insiden tabrak lari. Hidup saya tidak terlintas di mata saya ketika saya melihat tabrakan yang akan terjadi itu. Pikiran pertama saya adalah saya akan dimusnahkan. Bukan bocoran untuk menuliskan kalau saya selamat dari tabrakan itu setelah saya terlempar ke jalanan. Saya mengalami benturan keras tapi hanya perlu jahitan saja. Setelah peristiwa ini, ada macam-macam alasan, saya tidak lagi percaya bahwa pada saat kematian, kita menjadi tidak ada. Tuhan harus mendapatkan perhatian lebih dan cara seperti ini yang bisa membuat saya sadar.
Namun dengan peristiwa itu, belum cukup membuat saya jadi lebih serius mempelajari eksistensi Tuhan. Sementara itu, bagi saya Natal selalu tampak buram secara teologis, saya selalu suka dengan lagu-lagu tradisional Natal. Tapi, saya tidak tahu tentang apa itu Inkarnasi dan tidak tahu apa yang dipercaya oleh umat Kristen. Saya hanya suka dengan lagu-lagu itu, dan saya suka menyanyikannya. Lagu-lagu itu bercampur dengan lagu-lagu sekuler tentang liburan dan salju, dan saya suka mencari-cari stasiun radio yang masih memutar lagu-lagu itu.
Saya berakhir di stasiun radio Protestan. Saya akan melompat ke stasiun radio lain ketika mereka mulai bicara. Namun, seiring waktu saya mulai menoleransi pesan mereka di antara lagu-lagu Natal dan suatu hari saya tertarik pada pertanyaan tentang Tuhan dan secara khusus tentang Yesus. Sebagai pecinta buku sepanjang hidup, saya harus menyelidiki klaim ini dengan pikiran terbuka. Saya mulai pada tahap ini yang saya sebut masa “200.” Dalam Sistem Desimal Dewey (sistem klasifikasi untuk perpustakaan –red.), kelas 200 adalah bagian Agama. Saya mulai membaca buku-buku Kekristenan secara acak, baik dari Katolik maupun Protestan. Saya tahu dari radio Protestan bahwa pembawa acara dalam satu acara mungkin punya pandangan berbeda dengan pembawa acara lain di jam yang berbeda. Saya menemukan hal serupa dalam buku-buku yang saya baca. Sedangkan di buku-buku Katolik, pandangan dunia teologisnya konsisten dan kelihatan lebih cocok satu sama lain, ada keterpaduan intelektual yang jauh lebih dalam terlepas dari pemahaman awal terhadapnya. Semakin banyak yang saya baca, semakin saya mencari buku-buku Katolik. Salah satu aspek yang mengejutkan saya adalah setiap kali saya membaca buku-buku Katolik dari penulis yang berbeda pendapat saya menyadari bahwa buku itu punya teologi yang buruk. Pada saat itu, saya tidak tahu apa-apa tentang penulis yang berbeda pendapat itu, itu hanya pertumbuhan akan perasaan teologis saya.
Pada masa itu, saya juga mulai membaca buku tokoh pahlawan fantasi. Sebelumnya, saya meremehkan fantasi karena tidak ilmiah. Saya mulai tertarik pada pencarian pahlawan, terutama keutamaan karakter yang ada di dalamnya: pentingnya hanya melakukan apa yang baik dan tidak jatuh dalam relativisme. Suatu hari, ada semacam wahyu serius yang menghantam saya tentang tokoh-tokoh ini. Mengapa saya tertarik pada kebajikan-kebajikan ini sedangkan saya sendiri tidak melakukannya? Kesenjangan inilah yang mengganggu saya.
Pada masa ini, saya pension dari Angkatan Laut sebagai seorang Kepala Staf, dan kami pindah ke Jacksonville, Florida. Beberapa setelah tiba di sana dan berkeliling di sekitar pusat kota, saya melihat kata-kata ajaib “Catholic Bookstore.” Saya merasa kalau saya belum pernah melihat satu toko buku Katolik pun dalam hidup saya – saya hanya pernah melihat toko buku Protestan. Toko buku ini adalah milik dari sebuah paroki, dan kami masuk ke sana. Saya terkesima dengan keindahan paroki itu secara estetis. Dengan cara yang saya tak mengerti, itulah yang memanggil saya. Sebagai seorang ateis, saya berusaha untuk menyangkal keindahan estetika – relativisme dari “mata yang melihatnya.” Inilah perubahan pola pikir saya yang sebelumnya berpura-pura kalau keindahan adalah “atribut materi.” Kendati demikian, paroki ini akhirnya menjadi tempat saya ikut RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.) dan menjadi anggota Gereja Katolik.
Waktu itu musim panas 1997 ketika kami pindah ke Jacksonville. Ternyata di kota itu ada satu dari tiga stasiun radio Katolik. Saya berutang budi pada radio Katolik karena sudah mendengarkannya selama ribuan jam. Saya senang menemukan konsitensi intelektual Iman bukan hanya sebagai sesuatu yang saya bayangkan. Sementara itu ada acara di EWTN yang sangat penting bagi saya yang pada waktu itu siaran baru, dan Catholic Answers yang memberi saya makanan rohani. Saran dari Catholic Answers juga mengarahkan saya untuk lebih jeli dalam memilih judul buku untuk dibaca. Secara istimewa saya harus memberikan pujian kepada Jimmy Akin karena saya terus belajar darinya. Bukan hanya pengetahuan yang ia berikan, tapi ia juga memberikan dasar cara berpikir … keingintahuan intelektualnya dan bagaimana ia memperlakukan orang lain. Saya juga ingat waktu pertama kali melihat halaman web EWTN denga gambar Bunda Angelica. Halaman web itu tidak menarik minat saya, karena tidak cukup menunjukkan kepribadiannya. Namun, ketika saya melihatnya di Mother Angelica Live saya langsung terpesona. Saya juga berutang budi kepadanya dalam semua yang sudah dia lakukan, yaitu menyediakan platform untuk radio Katolik yang sangat membantu saya. Selain itu, saya sudah menonton sebagian besar acara The Journey Home sejak hari pertama karena saya masih menyukai keunikan kisah pertobatan masing-masing orang.
Ada satu keuntungan menjadi anggota Gereja Katolik dari ateisme. Setelah Anda melupakan hal “tuhan itu ada, dan Ia mengasihi Anda” semuanya menjadi enteng. Saya tidak punya keberatan teologis yang akan saya miliki jika saya berasal dari tradisi kepercayaan yang berbeda. Angkatan Laut sudah mempersiapkan diri saya dalam memahami kebutuhan akan otoritas. Jadi, saya memahami otoritas Gereja sebelum saya mulai menerima ajarannya. Seperti yang ditulis oleh St. Agustinus, “Saya tidak akan percaya kepada Injil kecuali jika digerakan oleh otoritas Gereja Katolik” (Melawan Surat Manikeus yang disebut Fundamental, 5). Saya harus lebih banyak lagi belajar sekaligus melupakan ajaran. Sikap saya menjadi, “Jika ini benar-benar apa yang Gereja ajarkan, maka saya harus berusaha untuk memahaminya.” Paduan antara Iman dan intelektual membantu saya untuk percaya dan sepakat. Ketika saya berkata, “Saya mengerti,” yang pertama maka artinya saya memahami sesuatu pada tingkat permukaan tertentu, kemudian yang kedua, untuk menghabiskan sisa hidup saya dengan berharap untuk pemahaman lebih lanjut. Saya juga menyadari bahwa saya tidak perlu memahami semuanya dengan penuh dalam tingkat yang lebih dalam. Istri saya tidak terlalu mengenyam pendidikan, tapi dia menjalankan imannya pada tingkat yang ingin saya capai.
Pertama kali membaca Kitab Suci, saya terkejut dengan semua referensi sastra yang saya ketahui, sebelumnya saya tidak tahu kalau semua itu berasal dari Alkitab. Terus menerus saya bertanya apakah ketidaktahuan saya itu ada batasnya. Saya menganggap diri saya begitu tinggi dibanding mereka yang menganut agama, tapi saya tidak tahu hal-hal yang mendasar. Selain itu, dengan membaca Kitab Suci sendiri saya yakin bisa menemukan kembali banyaknya ajaran sesat. Ternyata hal ini menjadi ajang latihan yang baik bagi saya kalau saya butuh seorang juru bahasa, seperti yang dilakukan oleh sida-sida Etopia dalam Kisah Para Rasul yang berkata, “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” (Kisah Para Rasul 8:31).
Saya juga mulai membaca sejarah Gereja, dan begitu banyak hal yang mengejutkan saya. Yang saya tahu tentang sejarah Gereja hanyalah pandangan yang berat sebelah tentang Galileo yang saya tahu dari guru biologi saya dan parodi Inkuisisi oleh Mel Brooks dan Monty Python. Ketika saya belajar lebih banyak, saya sadar bahwa begitu banyak yang sudah diajarkan tentang sejarah mengingatkan saya pada Sherlock Holmes dengan menggunakan petunjuk “anjing yang tidak menggonggong” untuk memecahkan misteri. Sejarah Gereja yang hampir berusia 2.000 tahun itu tidak menggonggong dan sudah “dibersihkan” dalam cara tertentu, dengan demikian hanya menyebutkan bagian-bagian buruknya. Salah satu penemuan baik yang baru saya sadari sekaligus membuat saya terkejut adalah Gereja melahirkan peradaban Barat dan selanjutnya revolusi ilmiah. Semua yang saya asumsikan tentang iman melawan ilmu pengetahuan tidak hanya keliru – tetapi bertolak belakang dari yang benar! Di kemudian hari saya akan membaca karya-karya Romo Stanley Jaki dan tepat sekali menemukan mengapa metode ilmiah “mati” di peradaban lain. Menelusuri perkembangan segala seuatu mulai dari rumah sakit hingga sistem universitas, ini menambah rasa terkejut saya. Buku karya Thomas E. Woods, Jr. yang berjudul How the Catholic Church Built Western Civilization membuka mata saya. Saya sudah menerima begitu saja banyak hal dari dunia modern. Ada bagian-bagian dalam sejarah Gereja yang membuat orang meringis, tapi juga banyak pencapaian gemilangnya. Saya lebih suka sejarah yang tidak dibersihkan, dan sejarah Gereja bahkan lebih menakjubkan, mengingat di dalamnya ada sesama pendosa.
Aspek lain dari membaca sejarah mengingatkan saya pada kutipan yang sering dikutip dalam acara The Journey Home oleh para mantan Protestan yaitu satu kalimat dari St. John Henry Newman yang bunyinya “Mendalami sejarah berarti berhenti menjadi seorang Protestan.” Saya berhenti menjadi sekuler dan bertumbuh dalam sikap menghargai peran Gereja. Peran para kudus di dalam sejarah juga membuat saya terkejut lagi. Ada peran penting yang mereka mainkan! Bahkan para petapa yang pada dasarnya hidup dalam komunitas dengan Tubuh Mistik Kristus, mereka berdoa untuk kebaikan para anggotanya. Ada begitu banyak orang kudus yang membuat saya jatuh cinta dan juga membantu saya jatuh cinta kepada Yesus! Dengan membaca kisah hidup dan karya beberapa orang kudus bisa membantu saya mengatasi apa yang disebut C. S. Lewis sebagai “kesombongan kronologis.” Para kudus ini berasal dari semua lapisan masyarakat, den mereka menjadi orang-orang kudus karena mereka berjalan bersama Yesus. Mereka menjadi teguran bagi diri saya dan menjadi tantangan supaya terus-menerus meniru Kristus dalam hidup saya. Sangat mudah untuk mengeluh tentang waktu di mana kita hidup alih-alih menyesuaikan hidup kita dengan Kristus. Saya teringat dengan penegasan dari G. K. Chesterton dalam biografinya tentang St. Thomas Aquinas, “Orang kudus adalah obat karena ialah penawarnya” (Chesterton, 1933, 5).
Selain itu, dalam komentar lain Chesterton tentang St. Fransiskus dari Asisi membuat kejutan bagi saya pada masa pertobatan diri saya: “Peristiwa terburuk bagi seorang ateis adalah ketika ia benar-benar bersyukur dan tidak punya siapa pun untuk berterima kasih” (Chesterton, 1923, 88). Sebenarnya, kata-kata ini agak mengguncang saya. Karena mengungkapkan perasaan yang sudah saya tumbuhkan sepanjang waktu. Sebelumnya, saya sudah merenungkan bahwa sebagai seorang ateis itu seperti menepuk pundak sendiri. Materialisme yang saya anut sebelumnya, menyangkal rasa syukur eksistensial. Eksistensi yang paling mendasar adalah “kebetulan tentang adanya alam semesta,” yang mengutip lagu parodi National Lampoon yang berjudul “Deteriorata.” Kesempatan buta ini tidak mengundang rasa berterima kasih. Saya semakin takjub melihat diri saya bisa bersyukur kepada Tuhan. Bagi saya, rasa syukur membuka pemandangan baru. Dunia saya menjadi lebih besar karena ego saya perlahan-lahan makin kecil.
Pada Vigili Paskah 1999, ketika saya datang ke gereja, saya merenungkan bagaimana saya sudah menghabiskan 40 tahun di gurun ateisme. Saya sangat senang meninggalkan itu! Dalam kesombongan saya, saya pikir kalau saya sudah membaca diri saya sendiri ke dalam Gereja. Saya berkata kepada Tuhan, “Baiklah, Engkau memenuhi syarat intelektual saya.” Namun, sungguh itu menjadi anugerah Tuhan yang menggerakkan saya menuju pertobatan, begitu juga dengan doa dari istri saya, ibu saya, dan tidak diragukan lagi adalah doa-doa dari orang lain. Rahmat pertama inilah yang membawa saya ke beberapa penulis favorit saya sekarang, yang membantu mengurangi hambatan yang saya punya. Tulisan-tulisan dari Peter Kreeft yang membantu meyakinkan saya bahwa gerakan saya menuju Yesus bukanlah angan-angan. Saya sudah merasa khawatir bahwa saya sudah membodohi diri sendiri. Membaca karya Chersterton membuat saya punya pijakan untuk melihat dunia dan menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan. Perbendaharaan tulisan orang-orang kudus Katolik juga menjadi sumber yang berharga. Saya jatuh cinta dengan karya-karya para kudus Karmelit, terutama St. Teresa dari Avila, pendiri Karmelit tak Berkasut. Sebagai seorang yang tidak pernah berdoa di sepanjang hidup saya, saya sadar dari mereka bahwa saya masih harus terus belajar. Akhirnya, saya belajar tentang diri saya sendiri, bahwa motif utama saya untuk pertobatan adalah pengakuan akan keberdosaan saya. Ketika saya ditanya tentang kenapa saya jadi Katolik, Chesterton menyindir demikian, “untuk menyingkirkan dosa-dosa saya.” Kecenderungan stoikisme saya terus menerus memberikan rasa kecewa karena saya tidak bisa melakukan ini sendirian. Saya butuh seorang Juruselamat yang benar-benar bisa menyelamatkan saya dari dosa.
Saya menggambarkan diri saya sebagai seorang Vampire Introvert. Saya harus diajak, supaya saya tidak merasa canggung secara sosial. Setelah awal pertobatan, saya ingin bicara tentang Gereja. Namunm karena saya cenderung introvert, saya sering mencegah melakukannya sampai saya mulai membuat blog pada tahun 2002. Blog saya yang diberi nama “The Curt Jester” adalah ruang untuk mengekspresikan diri dan menjalankan iman Katolik saya. Sama seperti entah siapa orang yang pindah Katolik, saya sedikit terkejut dengan mandapat perhatian dan tampil di radio Katolik dan di berbagai tempat. Bahkan saya semakin terkejut ketika bertemu atau mendengar orang lain berterima kasih pada saya atas yang saya tulis atau parodi yang saya buat. Jika Tuhan bisa menggunakan keledai Bileam dalam sejarah keselamatan, maka Ia juga bisa menggunakan saya.
Saya menemukan bahwa peristiwa paling menjengkelkan dalam kisah pertobatan adalah “Di sinlah saya berada dalam proses pertobatan sepanjang hidup.” Saya sangat bersyukur atas iman dan sekarang saya tidak bisa lagi membayangkan hidup tanpa iman. Kadang-kadang saya merenungkan kalau saya masih jadi seorang ateis ketika istri saya meninggal, saya tidak akan menanganinya dengan baik. Namun Tuhan sudah membantu saya dalam belas kasih-Nya. Yesus tidak bercanda tentang “memikul salib setiap hari.” Saya juga menemukan pernyataan Yesus dalam Injil Lukas yang menyentil: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih” (Lukas 7:47). Saya sudah diampuni begitu banyak, dan saya tahu kalau kasih saya kepada Yesus tidak sepadan dengan pengampunan yang sudah saya terima. Saya hanya berdoa supaya tidak membuatnya berat sebalah.
Jeff Miller tinggal di Jacksonville, Florida, ia seorang pensiunan Kepala Angkatan Laut dan sekarang menjadi pengembang aplikasi. Ia juga seorang blogger Katolik di “The Curt Jester” dan masih menjadi seorang kutu buku. Ketika sedang tidak membaca buku, Jeff suka bersepeda, menyanyi, dan minta bantuan tetangganya untuk mengajarinya bermain gitar. Ia terlibat aktif di paroki St. Joseph, komunitas Karmelit, paduan suara, studi Kitab Suci, dan penginjilan.
Posted on 21 June 2022, in Kisah Iman and tagged Agnostik, Ateisme. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0