Dari Mana Kita Mendapatkan Perjanjian Lama?

Oleh Jimmy Akin

Image of a hand selecting a old (Sumber: catholic.com)

Saat ini, kanon Perjanjian Lama cukup menjadi kontroversi. Namun, 2.000 tahun yang lalu jauh lebih kontroversial.

Pada abad pertama Masehi, kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ditulis, tetapi bagaimana bentuk kanonnya? Mengapa beberapa kitab-seperti Yehezkiel dan Ester masuk dalam kanon, sementara kitab-kitab lainnya seperti 1 Henokh dan Yobel tidak masuk dalam kanon?

Beberapa orang mengklaim bahwa keputusan itu dibuat oleh 120 orang bijak Yahudi yang dikenal sebagai Majelis Agung, yang didirikan setelah Pembuangan Babel oleh Ezra, sekitar tahun 444 SM.

Pada tahun 200-an Masehi, para rabi menghubungkan semua jenis keputusan kepada Majelis Agung, termasuk kanon Perjanjian Lama. Namun, kita tidak memiliki catatan kontemporer tentang Majelis Agung dan tidak ada dokumen yang dikeluarkan oleh mereka. Klaim paling awal berasal dari sekitar 600 tahun kemudian, dan para ahli modern meragukan bahwa Majelis Agung pernah eksis dan melakukan hal-hal yang diklaim tersebut. Sepertinya para rabi yang merupakan keturunan intelektual dari kaum Farisi, mengaitkan pandangan mereka sendiri dengan badan legendaris itu untuk memberi mereka kesan kuno.

Pandangan lain mengatakan bahwa para imam membuat keputusan dan menyimpan arsip kitab-kitab suci di bait suci. Apa pun yang ada di dalam koleksi ini adalah kitab suci; apa pun yang tidak ada di dalamnya bukanlah kitab suci.

Pandangan ini hanyalah spekulasi belaka dan tidak didukung oleh bukti. Kita tahu bahwa Taurat disimpan di Bait Suci (2 Raja-raja 22:8-20), tetapi kita tidak memiliki catatan tentang arsip resmi kitab suci ada di sana. Akan sangat mengejutkan jika memang ada, karena para nabi sangat kritis terhadap cara pengelolaan Bait Suci. Selain itu, orang-orang Saduki tampaknya telah menolak banyak kitab-kitab dalam Kitab Suci, dan mereka sangat erat kaitannya dengan Bait Suci.

Pandangan ketiga menyatakan bahwa ada dua kanon yang beredar, yaitu kanon Palestina dan kanon Aleksandria. Kanon Palestina berisi kitab-kitab Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Ibrani (dengan beberapa bagian dalam bahasa Aram). Kanon ini digunakan di wilayah Palestina dan mencerminkan Perjanjian Lama yang murni. Di luar wilayah Palestina, di mana bahasa Yunani adalah bahasa yang umum digunakan, Septuaginta yang berbasis di Aleksandria digunakan dalam cakupan wilayah yang lebih luas.

Pendukung teori ini terkadang mengklaim bahwa kanon Palestina disahkan sekitar tahun 90 M dalam sebuah pertemuan yang dikenal sebagai Konsili Yamnia. Pandangan ini sangat umum di abad ke-19, tetapi para cendekiawan abad ke-20 mematahkannya. Bahkan di Palestina pun ada ketidaksepakatan mengenai kitab-kitab mana yang dianggap sebagai Kitab Suci, dan beberapa pihak tidak menganggap kanon Kitab Suci sudah ditutup.

Semua orang Yahudi, bahkan juga orang Samaria, menerima Pentateukh. Kelima kitab ini adalah dasar iman Yahudi, dan hingga kini dianggap sebagai kitab-kitab yang paling penting. Bahkan, mereka yang menerima karya-karya lain sebagai Kitab Suci pun menganggap kelima kitab ini sebagai yang paling utama.

Orang Samaria hanya menerima Pentateukh sebagai Kitab Suci, dan kita tidak punya bukti bahwa mereka menerima kitab-kitab lain. Dengan demikian, kelihatannya mereka memiliki kanon yang tertutup dan sangat terbatas.

Hal yang sama mungkin juga berlaku bagi kaum Saduki. Bapa-bapa Gereja menyatakan bahwa orang-orang Saduki hanya menerima Pentateukh (Hippolytus dalam Philosophumena [Sanggahan terhadap Semua Ajaran Sesat] 9:29; Origenes dalam Melawan Celsus 1:49; dan dalam Tafsiran Injil Matius 17:35-36; Hieronimus, Tafsiran Injil Matius 3:22:31-32).

Seperti yang dicatat Lukas (Kisah Para Rasul 23:8), mereka tidak menerima kebangkitan orang mati, yang dengan jelas dibuktikan dalam ayat-ayat di luar Pentateukh, seperti Daniel 12:1-2 (bdk. Yesaya 26:19, Yehezkiel 37:1-14). Sulit untuk memahami bagaimana mereka memasukkan kitab-kitab ini ke dalam kanon mereka jika mereka tidak percaya pada kebangkitan. Juga, ketika orang-orang Saduki menantang Yesus tentang kebangkitan (Matius 22:23-33), Yesus mengutip Pentateukh (Keluaran 3:6) dan bukan ayat-ayat yang lebih jelas di luarnya-kemungkinan besar karena mereka tidak menerima kitab-kitab lain.

Oleh karena itu, orang-orang Saduki kelihatannya tidak menerima semua kitab dalam Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, dan mereka mungkin memiliki kanon yang terbatas pada Pentateukh.

Hal ini tidak berlaku bagi orang-orang Farisi. Mereka menerima kitab-kitab tambahan yang kira-kira sesuai dengan kitab-kitab protokratis yang ditemukan dalam Alkitab Yahudi saat ini. Namun, batas-batas dari kumpulan kitab-kitab ini masih agak kabur.

Mereka yang mengatakan bahwa Konsili Yamnia menutup kanon mereka sekitar tahun 90 M mengakui bahwa kanon tersebut tidak ditutup sebelum masa itu, dan memang benar demikian, tetapi kanon tidak ditetapkan hingga beberapa waktu kemudian.

Tidak ada “konsili” di Yamnia. Konsili adalah pertemuan sementara yang diadakan untuk sementara waktu dan kemudian berakhir. Konsili adalah sebuah lembaga Kristen dan bukan lembaga Yahudi. Apa yang sebenarnya terjadi adalah, selama Perang Yahudi pada tahun 60-an Masehi, seorang bijak bernama Yohanan ben Zakai memperoleh izin dari otoritas Romawi untuk mendirikan sekolah rabi di Yamnia (juga dikenal sebagai Yabneh atau Yavneh). Setelah perang, dewan penguasa Yahudi pindah ke sana.

Kita tidak menemukan catatan yang mengatakan bahwa orang-orang bijak di Yerusalem berupaya menutup kanon. Bahkan, tulisan-tulisan para rabi seperti Mishnah dan Talmud Palestina serta Talmud Babilonia mengungkapkan adanya perbedaan pendapat di antara para rabi tentang kitab-kitab tertentu. Beberapa rabi menentang status kitab suci dari enam kitab yaitu Rut, Ester, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, dan Yehezkiel. Sebaliknya, beberapa orang mengutip Sirakh sebagai salah satu kitab dalam Alkitab, meskipun pada akhirnya kitab ini dikeluarkan. Ketidakpastian ini berlanjut selama beberapa ratus tahun hingga era Kekristenan, dan kanon Yahudi belum ditutup hingga abad ketiga atau keempat.

Penemuan Naskah Laut Mati mengungkapkan bahwa kaum Eseni memiliki kumpulan kitab suci yang lebih banyak lagi. Sepertinya mereka memasukkan semua kitab-kitab protokanonika kecuali kitab Ester. Kemungkinan alasannya adalah karena kalender liturgi Yahudi sangat penting bagi mereka, dan Ester bertentangan dengan pemahaman mereka tentang kalender. Salinan kitab-kitab dalam bahasa Ibrani dan Aram seperti Sirakh dan Tobit juga ditemukan di antara Naskah Laut Mati.

Aliran Eseni mempunyai perpustakaan besar berisi materi-materi lain, dan banyak yang mungkin tidak dianggap sebagai Kitab Suci. Namun, beberapa faktor seperti apakah kitab-kitab tersebut dikutip sebagai Kitab Suci, apakah memiliki tafsiran berdasarkan kitab-kitab tersebut, atau apakah diperlakukan sebagai naskah-naskah nubuat, hal inilah yang membuat para ahli berpendapat bahwa beberapa di antaranya adalah Kitab Suci. Termasuk di antaranya adalah 1 Henokh, Yobel, dan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Gulungan Bait Allah.

Sebelumnya kita telah membahas tentang tradisi Septuaginta, yang tidak hanya mencakup kitab-kitab protokanonika tetapi juga tujuh kitab tambahan yaitu Tobit, Yudit, 1-2 Makabe, Barukh, Sirakh, dan Kebijaksanaan serta edisi tambahan Daniel dan Ester. Tradisi ini juga tidak memiliki batasan yang jelas, dan beberapa edisi Septuaginta menyertakan kitab-kitab tambahan, seperti 1-2 Esdras, 3-4 Makabe, dan Doa Manasye.

Dengan demikian, setidaknya ada lima tradisi kanonik utama di abad pertama:

  • Tradisi Samaria
  • Tradisi Saduki
  • Tradisi Farisi
  • Tradisi Eseni
  • Tradisi Septuaginta

Tidak satu pun kecuali tradisi Samaria, dan mungkin juga tradisi Saduki, yang merupakan daftar Kitab Suci yang tertutup dan tetap. Sebaliknya, tradisi-tradisi lainya itu bersifat terbuka dan batasannya yang tidak jelas, dan ketidakjelasan ini akan bertahan selama berabad-abad hingga zaman Kristen.

Akhirnya, ada kitab-kitab yang beredar yang dinyatakan sebagai wahyu ilahi, meskipun kita tidak dapat menunjukkan bahwa kitab-kitab itu adalah bagian dari salah satu tradisi kanonik yang sudah baku. Kitab-kitab itu termasuk karya-karya seperti Apokalips Zefanya. Beberapa penulis modern menolaknya, seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia kuno yang menganggapnya sebagai Kitab Suci, tetapi hal ini tidak sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Kitab ini masih ada hingga kini dan menunjukkan bahwa kitab ini populer. Jika tidak populer, maka tidak akan ada cukup banyak salinan yang dibuat sehingga salinan-salinannya masih bisa diselamatkan. Satu salinan hanya berpeluang kecil untuk bertahan dari zaman ke zaman, jadi pasti ada banyak salinan yang beredar saat itu. Tetapi, jika sebuah kitab populer yang dianggap sebagai nubuat, seperti Apokalips Zefanya, maka ini merupakan bukti kuat bahwa setidaknya beberapa orang Yahudi kuno menganggapnya sebagai Kitab Suci.

 

Sumber: “How We Got the Old Testament”

Posted on 26 September 2023, in Kenali Imanmu, Kitab Suci and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.