[…] Catholic Answers Staff, Terang Iman: Allah Mengubah Nama Saulus Menjadi Paulus? […]
Mengapa Gereja Katolik Menghargai Keperawanan?
Oleh John M. Grondelski

Kaitlin Simone Davis Mengucapkan Kaul Kemurnian untuk menjadi Perawan Hidup Bakti (Sumber: ncregister.com)
Keperawanan mendapat citra buruk dalam budaya sekuler modern (khususnya di Barat). Tetapi Gereja Katolik jauh lebih memahaminya.
Tanggal 21 Januari adalah hari raya St. Agnes yang merupakan salah satu dari beberapa wanita yang kebanyakan dari mereka masih perawan, selain itu namanya juga disebutkan dalam Kanon Romawi, Doa Syukur Agung I. Dia meninggal pada tahun 304 M di Roma pada penganiayaan Diokletianus yang sangat kejam namun berlangsung dalam waktu yang singkat, dia menjadi martir entah dipenggal atau ditikam di lehernya. Dia diadili karena dia berasal dari keluarga bangsawan Romawi , dia memiliki banyak pelamar, namun tak satu pun dari mereka yang mau dinikahinya, sikapnya itu menjadi pertanda yang jelas bahwa dia adalah bagian dari sekte aneh dan anti-seksual yang disebut “orang Kristen.”
Gereja selalu menghargai keperawanan, baik dalam konteks yang bersifat intensional maupun fisik. Secara intensional, hal ini melibatkan komitmen untuk menjauhkan diri dari hubungan seksual untuk menjaga keutamaan kemurnian. Dalam kasus seorang wanita, komitmen ini juga menemukan ekspresi dalam integritas fisik yang mungkin menjadi alasan mengapa keperawanan lebih sering dikaitkan dengan wanita.
Mengapa Gereja begitu menghargai keperawanan, sehingga nama-nama perawan disebutkan oleh Gereja dalam Misa hampir setiap hari selama tujuh belas abad? Dan apa yang terjadi pada zaman kita yang mungkin menghambat kita untuk menghargai apa yang dihargai oleh Gereja?
Kita harus memulainya dengan pemahaman bahwa keperawanan dan kemurnian bukanlah “tidak!” melainkan “ya!” Karol Wojtyła (St. Yohanes Paulus II) menyadari hal ini pada tahun 1960, ketika ia menulis Love and Responsibility (Kasih dan Tanggung Jawab): banyak orang menganggap kemurnian sebagai sesuatu yang negatif sebagai suatu bentuk penolakan. Hal ini memang memerlukan penolakan, tetapi hanya karena ada sesuatu yang lebih penting meliputi jawaban “ya” yang sangat besar.
Dalam hakikatnya yang terbaik, seks dan hubungan seksual adalah tindakan pemberian diri yang mendalam atau penyerahan diri. Seseorang memberikan dirinya kepada orang lain dengan cara yang mendalam, pribadi, intim, dan seperti yang dipahami secara tradisional yaitu bersifat permanen.
Seseorang memberikan dirinya sendiri bagi satu orang. Diri manusia adalah suatu diri yang berwujud: jiwa dan raga yang bersama-sama membentuk satu pribadi manusia. Jadi, salah satu rintangan terhadap penghargaan ini adalah upaya modern untuk memisahkan jiwa dan raga, mereduksi “pribadi” menjadi sebuah keadaan pikiran dengan tubuh yang melekat sebagai alat dan inilah pandangan yang “keliru.”
Pengalaman manusia sehari-hari menyangkal dualisme ini. Jika saya tiba-tiba menampar wajah Anda, Anda mungkin akan bertanya, “Mengapa Anda melakukan itu?” Jika saya mengatakan kepada Anda, “Karena saya mencintaimu,” Anda akan tahu bahwa saya gila atau saya sedang mengejek Anda, karena (a) memukul wajah saya berarti memukul diri saya sendiri dan (b) tubuh dan pikiran tidak dapat dipisahkan sehingga penjelasan itu tidak masuk akal.
Oleh karena itu, seks dalam kualitas terbaiknya adalah tanda penyerahan diri. Dan tentu saja, karena kita adalah makhluk bertubuh, pengalaman indrawi meninggalkan bekas yang hampir selalu mendalam, langsung, dan bertahan lama. Hal ini terutama berlaku untuk wanita, tidak seperti pria yang cenderung tidak mengelompokkan pengalaman indrawi, pikiran, perasaan, dan keinginan. Namun bagi kedua gender, “cinta pertama” seseorang meninggalkan jejak permanen: dalam pikiran; dalam perasaan; dan khusus bagi wanita ada juga di dalam tubuh.
Itulah mengapa kemurnian bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah tuntutan moral bagi semua orang di luar perkawinan. Saya tahu bahwa banyak orang tidak menghormati norma itu, tetapi seringnya pelanggaran tidak mengubah sifatnya. Bagaimanapun juga, kita semua adalah orang berdosa. Universalitas itu tidak membuat dosa menjadi bukan dosa.
Tapi ini bukan hanya masalah negatif. Karena seks dimaksudkan sebagai tindakan pemberian diri yang mendalam, seks tidak bisa sembarangan: cinta menuntut persatuan. Orang-orang mencari “cinta sejati” atau “belahan jiwa” mereka.
Jika hubungan seksual adalah tindakan “pemberian diri,” maka seseorang ingin memberikan dirinya kepada “satu cinta sejatinya.” Pemberian itu bukanlah sebuah “uji coba.” Pemberian itu tidak diberikan dengan aturan pengembalian selama tiga puluh hari atau ganti baru [seperti barang]. Dinamika cinta mengatakan, “Saya menginginkan ini untuk selamanya.”
Itulah mengapa kemurnian menuntut supaya anugerah itu dijaga untuk “satu cinta sejati”. Bagi kebanyakan orang, satu cinta sejati itu ditemukan dalam perkawinan. Itulah juga mengapa Gereja berbicara tentang hubungan seksual sebagai sesuatu yang diperuntukkan bagi perkawinan: karena itulah satu-satunya situasi yang secara objektif di mana semua kondisi yang dibutuhkan oleh karunia itu ada, yaitu kesatuan, permanen, totalitas, tanpa pamrih, eksklusivitas, kesuburan. Di luar itu berarti menjual anugerah tersebut demi sesuatu yang lebih rendah nilainya.
Meskipun kebanyakan orang menemukan “satu cinta sejati” dalam perkawinan, ada juga mereka yang mencari cinta sejati yang melampaui dunia ini yaitu untuk dipersatukan dengan Tuhan dan pelayanannya. Itulah sebabnya mengapa keperawanan yang dikuduskan (keputusan untuk tidak melakukan hubungan seksual) sangat dihargai. Bukan karena Gereja “anti-seks,” tetapi karena wanita ini telah memutuskan bahwa “satu cinta sejati” yang ingin dia berikan sepenuhnya adalah kepada Allah. Tetapi Allah adalah roh (Yohanes 4:24); sedangkan wanita itu bukan roh. Dengan memilih keperawanan yang dikuduskan atau menjadi perawan hidup bakti, wanita ini berusaha untuk memberikan dirinya sepenuhnya kepada Allah yang berarti bahwa cara yang biasanya tersedia bagi manusia untuk melakukan hal ini (dengan manusia lain melalui realitas perwujudan tubuh) tidak berlaku dalam situasinya. Dia tidak melakukan hubungan seksual bukan karena seks itu “buruk” atau “kotor,” tetapi karena makna dari tindakan ini dengan manusia lain akan menjadi tidak jujur, karena dia telah memberikan dirinya kepada yang lain: Allah.
Jadi, jika dunia modern kita tidak memahami keperawanan bahkan tidak mengerti apa itu kemurnian, bukan karena ajaran Gereja sudah kuno atau moral sudah “merosot.” Hal ini lebih menunjukkan bahwa terutama dunia modern itu tidak memahami apa itu cinta, terlepas dari semua yang dibicarakannya. Dunia modern tidak memahami cinta dan pemberian total kepada orang lain yang didambakan dan dibutuhkan oleh cinta sejati. Dunia ini lebih memilih pengalaman indrawi dan rangsangan daripada komitmen yang mendalam, bermakna, dan bertahan lama, sehingga membuat kita menjual diri kita sendiri dan cinta kita sendiri.
Agnes tidak ingin melakukan hal itu. Itulah sebabnya, meskipun ada tekanan dari keluarga dan masyarakat serta penganiayaan sipil, ia memilih untuk mati daripada menyerahkan keperawanannya. Hal yang sama juga terjadi di dunia kuno di antaranya adalah Agatha, Lusia, dan Cecilia. Di zaman kita sekarang, hal yang sama juga dilakukan oleh Maria Goretti, Karolina Kózka, Anna Kolesárová, dan Isabel Cristina Campos.
Memang benar karena cinta itu tak lekang oleh waktu. Semua wanita ini membayar harga tertinggi untuk cinta dan penyerahan diri mereka: mereka semua adalah martir. Tidak ada bukti yang lebih besar dari cinta mereka.
Sumber: “Why Catholics Prize Virginity”
Posted on 22 January 2024, in Kenali Imanmu and tagged Moralitas, Seksualitas, Spiritualitas. Bookmark the permalink. Leave a comment.


Leave a comment
Comments 0