Latin, Bahasa Mati?

Oleh Joseph Shaw

Roman Missal Image by lbrownstone from Pixabay

Selalu ada tempat untuk bahasa Gerejawi yang suci dan kuno.

Sejak awal, Gereja di Barat sudah menggunakan bahasa Latin bukan hanya untuk administrasi, studi, dan komunikasi, tetapi juga untuk berdoa. Hal ini adalah hal yang wajar bagi wilayah-wilayah di mana bahasa Latin adalah bahasa mayoritas, tetapi seiring dengan berlalunya waktu, Gereja Barat tetap menggunakan liturgi Latin dalam penginjilan kepada orang-orang di dalam dan di luar wilayah Kekaisaran Romawi yang tidak fasih berbahasa Latin, seperti para penutur bahasa Punik di Afrika Utara dan para penutur bahasa Keltik serta Jermanik di Eropa Barat dan Eropa Tengah. Sebaliknya, Gereja-gereja Timur kadang-kadang menggunakan bahasa-bahasa dari para petobat baru yang menjadi Kristen, bahkan ketika bahasa-bahasa tersebut harus dikembangkan secara khusus dalam bentuk tulisan supaya dapat dipahami, seperti bahasa Ge’ez di Etiopia dan bahasa Slavia di Gereja Rusia.

Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara Gereja Barat dan bahasa Latin. Bahkan hingga saat ini, ketika liturgi dapat dirayakan dalam berbagai macam bahasa, hubungan ini telah meninggalkan jejaknya, dan bahasa Latin tetap menjadi pilihan untuk doa publik dan pribadi, bukan hanya dalam perayaan liturgi pra-Vatikan II tetapi juga untuk Misa yang sudah diperbarui.

Mengapa Gereja begitu terikat dengan bahasa Latin? Jawabannya karena bahasa Latin liturgis bukan hanya sebuah bahasa yang mudah digunakan, tetapi juga sebuah bahasa yang sakral. Banyak agama memiliki bahasa suci atau suatu bentuk bahasa yang sakral dari bahasa biasa untuk digunakan dalam liturgi mereka. Islam memiliki bahasa Arab klasik, bahasa yang tidak dipahami secara luas oleh jutaan umatnya yang bukan orang Arab dan sangat berbeda dengan bahasa Arab yang digunakan saat ini di dunia Arab. Buddhisme, Hinduisme, dan Jainisme sama-sama memiliki bahasa suci yang sangat kuno yaitu bahasa Sansekerta. Agama Yahudi memiliki bahasa Ibrani dalam Alkitab, dan bahasa-bahasa dari banyak gereja di Timur saat ini adalah bahasa-bahasa suci yang khusus: bahasa Slavia dan Ge’ez yang telah disebutkan sebelumnya, dan bahasa Yunani Koine dari gereja-gereja Yunani.

Bahasa-bahasa sakral sebagaimana busana sakral, bentuk-bentuk musik sakral, dan gaya-gaya yang terkait dengan bangunan sakral dan seni sakral mungkin berasal dari yang tidak sakral tetapi meskipun demikian, bahasa-bahasa tersebut sering kali memiliki ciri khas yang berbeda. Bahasa Yunani Koine dan bahasa Slavia Gerejawi merupakan hasil karya sastra, bukan bahasa alamiah. Tidak seorang pun pernah berbicara bahasa Inggris sakral yang diciptakan oleh Anglikanisme dan ditemukan dalam Kitab Doa Umum dan Alkitab King James: bahasa ini mencakup arkaisme dan sintaksis yang sengaja dibuat eksotis untuk meniru bahasa Ibrani dan Yunani. Bahasa Jerman Tinggi yang digunakan dalam Alkitab dan liturgi Luther adalah bahasa istana kerajaan, bukan bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penutur bahasa Jerman. Demikian pula bentuk bahasa Latin yang pertama kali ditemukan dalam terjemahan-terjemahan awal Alkitab dalam bahasa Latin dan kemudian dalam teks-teks liturgi, berbeda dengan bahasa Latin pada umumnya. Tidak ada orang Romawi yang pernah berkata, “Amen amen dico vobis” yang artinya “Sesungguhnya, Aku berkata kepadamu.” Dan kata pertama dari beberapa doa Latin “quaesumus” yang artinya “kami mohon,” kata ini sudah usang ketika pertama kali digunakan dalam doa-doa tersebut.

Ada naluri religius yang kuat untuk memiliki kata-kata, benda-benda, bangunan, dan musik yang dikhususkan untuk beribadah. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memisahkan para penyembah, melainkan untuk menarik mereka ke dalam sesuatu yang supernatural, untuk memperkenalkan mereka ke dalam wilayah suci untuk berkomunikasi dengan sang ilahi, suatu komunikasi yang melampaui kata-kata. Mendengar bahasa sakral ibarat memasuki sebuah bangunan suci, menjadi tanda yang jelas bahwa kita meninggalkan dunia biasa. Sama halnya dengan agama-agama lain, Gereja masih bersikeras dengan busana khusus; bejana-bejana suci yang tidak boleh digunakan untuk hal lain; dan perangkat, gaya artistik serta bahasa yang khas bahkan dalam konteks liturgi sehari-hari.

Bahasa Latin adalah sarana unggulan Gereja untuk menciptakan perasaan bahwa kita berkomunikasi dengan Tuhan dan bukan dengan manusia. Bahkan dalam tindakan mengumumkan reformasi liturgi yang sebagian besar akan menggantikan bahasa Latin dengan bahasa-bahasa vernakular, Paus Santo Paulus VI menggambarkan bahasa Latin sebagai “ungkapan suci” dan “bahasa para malaikat.” Paus Yohanes Paulus II mengakui adanya pengaruh bahasa Latin terhadap umat beriman, beliau menyatakan bahwa bahasa Latin memberikan rasa persatuan di seluruh dunia yang diilhami oleh bahasa ini dan juga “perasaan mendalam akan misteri Ekaristi” yang ditimbulkannya.

Ada kesamaan dengan penggunaan keheningan dalam liturgi. Hal ini memiliki tempat dalam rubrik Misa yang direformasi pada tahun 1970 (misalnya, untuk “doa imam”), dan pentingnya hal ini ditekankan oleh Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Dalam keheningan, tidak ada yang dikomunikasikan melalui kata-kata, tetapi ketika umat beriman dipersatukan dalam suatu tindakan adorasi, waktu hening dapat berkomunikasi pada tingkat yang mendalam baik secara horizontal dalam bentuk rasa solidaritas, maupun secara vertikal kepada dan dari tujuan penyembahan, yaitu Allah. Bahasa Latin melakukan hal yang serupa dalam menciptakan nuansa yang bermakna untuk berdoa.

Oleh karena itu, doa dalam bahasa Latin sangatlah bermakna. Pendidikan liturgi yang harus dimiliki oleh semua orang Katolik dewasa harus membekali kita untuk memahami secara umum apa yang terjadi dalam Misa, apa pun bahasanya. Bahkan orang yang tidak memiliki pendidikan formal bahasa Latin pun tahu apa arti dari gloria in excelsis, agnus dei, dan sejenisnya. Gereja selalu mendorong untuk mempelajari bahasa Latin dan hal ini dapat memberi kita dimensi partisipasi liturgis yang melampaui apa yang kita dapatkan dalam terjemahan bahasa sehari-hari, karena (setidaknya dengan doa-doa yang berasal dari masa lampau) membuat kita terhubung dengan kata-kata yang digunakan oleh para pendahulu kita dalam iman, sering kali berasal dari zaman para Bapa Gereja. Namun, kita dapat memilih untuk fokus pada kata-kata atau pada dorongan umum liturgi, sama seperti seseorang yang berdoa rosario dapat fokus pada kata-kata Salam Maria atau sebaliknya pada misteri yang sedang direnungkan dalam setiap dekade (doa per sepuluh) itu. Liturgi dalam bahasa sehari-hari cenderung lebih mendesak dan menuntut perhatian kita, kata demi kata, terutama ketika kita harus memberikan tanggapan dan mengubah sikap tubuh kita.

Bahasa Latin dalam liturgi menawarkan sesuatu yang istimewa kepada mereka yang memiliki pengetahuan bahasa Latin karena mereka dapat memahaminya dengan lebih baik dan diarahkan dalam keterlibatan mereka dengan liturgi dengan cara yang lebih rinci. Paradoksnya, bahasa Latin juga memiliki sesuatu yang istimewa untuk ditawarkan kepada mereka yang memiliki pengetahuan terbatas tentang bahasa vernakular yang digunakan dalam liturgi yang mereka ikuti. Termasuk di dalamnya adalah para penutur bahasa minoritas dan para migran. Puluhan juta umat Katolik diwajibkan untuk beribadah tidak dalam bahasa ibu mereka, tetapi dalam bahasa kedua: di Afrika biasanya menggunakan bahasa kolonial lama; di Tiongkok menggunakan bahasa “Mandarin standar” yang dianjurkan oleh negara. Penggunaan bahasa vernakular tak dipungkiri lebih menguntungkan bagi mereka yang paling akrab dengan bahasa tersebut, dan juga mereka yang lebih memilih komunikasi verbal daripada komunikasi non-verbal: orang dewasa daripada anak-anak, kelas menengah yang lebih terdidik daripada kelas pekerja, dan bahkan perempuan daripada laki-laki.

Dengan cara ini, bahasa Latin dapat menjadi penyeimbang, seperti keheningan. Seperti yang diungkapkan oleh Paus Yohanes XXIII, bahasa Latin bukan milik siapa-siapa, tetapi “ramah dan bersahabat bagi semua orang.” Pengalaman sakral yang dimungkinkan oleh bahasa Latin sudah diakui oleh para kudus dan cendekiawan, tentara, rakyat jelata, dan para pendosa, dan bahkan anak-anak kecil, sejak abad-abad awal Gereja. Hal ini masih tetap berlaku hingga saat ini.

 

Sumber: “How Dead Is Latin, Really?”

Posted on 7 February 2024, in Ekaristi and tagged , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.