Alkitab Bertentangan dengan Tradisi?

Oleh Joe Hescmeyer

Penyerahan Alkitab (Sumber: catholic.com)

Umat Katolik dan Protestan sering kali saling menyalahkan tentang Tradisi. Ini alasannya.

Pada tahun 1971, The Dubliners band asal Irlandia memiliki satu lagu yang sangat populer dengan judul
Hand Me Down My Bible” yang bercerita tentang seorang pendosa yang hidupnya berat dan bertobat. Refrain dari lagu tersebut adalah:

Oh oh Glorio, [Oh oh Glorio]
Now I’m the Lord’s disciple [Kini aku murid Tuhan]
Oh oh Glorio, [Oh oh Glorio]
Now hand me down my Bible [Kini serahkan* Alkitabku]

Itu adalah titik awal yang baik untuk berbicara tentang Tradisi Suci, yang semuanya tentang “menyerahkan*.”

Kata ini berasal dari bahasa Latin tradere, menyampaikan atau meneruskan, yang merupakan kata majemuk yang terdiri dari dare yang artinya “memberikan” dan awalan trans yang artinya “melalui.” (Kata ini juga merupakan asal kata dari pengkhianat, yang digunakan untuk menggambarkan orang Kristen yang bekerja sama dengan orang Romawi dalam menyerahkan benda-benda suci atau orang Kristen lainnya). Tentu saja, kata tradisi dalam Perjanjian Baru bukan berasal dari bahasa Latin melainkan bahasa Yunani, namun kata ini sangat mirip. Kata Yunani paradosis juga berarti menyerahkan, dan bentuk kata kerjanya juga memiliki arti sekunder yaitu pengkhianatan.

Dalam bahasa Latin dan Yunani, kata ini berarti menyerahkan sesuatu atau menyerahkan seseorang.

Saya menyebutkan semua ini karena ada sesuatu yang hilang dalam penggunaan istilah tradisi dalam bahasa Inggris [begitu juga dalam bahasa Indonesia]. Baik kata benda dalam bahasa Latin maupun Yunani berasal dari kata kerja, namun bahasa Inggris tidak memiliki bentuk kata kerja dari kata tersebut. Jadi, kita akhirnya berpikir bahwa tradisi adalah “cara kita melakukan sesuatu” [atau dalam bahasa Indonesia sering dipahami sebagai adat istiadat], padahal sebenarnya tradisi adalah sesuatu yang diserahkan atau diwariskan.

Dengan pemahaman tersebut, Anda dapat memahami mengapa umat Katolik dan Protestan sering kali saling menyalahkan tentang topik ini. Orang Protestan cenderung mendengar tradisi sebagai “kebiasaan atau aturan,” sedangkan orang Katolik mengartikannya sebagai “sesuatu yang diwariskan.” Dan itu sangat disayangkan, karena Anda tidak dapat memiliki Kekristenan tanpa Tradisi.

Pikirkanlah dengan cara ini. Bagaimana kita:

  • Memiliki naskah-naskah Alkitab?
  • Mengetahui bahwa Alkitab dapat dipercaya?
  • Mengetahui kitab-kitab mana saja yang termasuk dalam Alkitab?
  • Memahami bagaimana kitab-kitab tersebut ditafsirkan?
  • Mengetahui informasi tentang Yesus, Maria, dan para rasul yang tidak dijelaskan dalam Alkitab?

Jawabannya dalam setiap kasus adalah dengan mempercayai mereka yang telah mendahului kita: mereka yang telah mewariskan* kata-kata Kitab Suci, mewariskan* kitab-kitab yang telah diilhami, dan mewariskan* cara menafsirkannya. Setiap bagian adalah Tradisi.

Yesus tidak memberikan Perjanjian Baru yang langsung berupa sebuah kitab bersampul kulit ke tangan Anda. Dia mendirikan sebuah Gereja, di mana naskah-naskah ini ditulis, dipelihara, dan diteruskan, di bawah bimbingan Roh Kudus yang berkelanjutan. Dengan kata lain, Yesus meneruskan wahyu ilahi melalui Tradisi, jadi jika Anda tidak dapat memercayai Tradisi, maka Anda tidak dapat memercayai wahyu itu sendiri.

Karena Kitab Suci adalah bagian dari Tradisi Suci, maka artinya ada Tradisi yang lebih besar. Tradisi memberi tahu kita hal-hal tentang Alkitab yang tidak dikatakan oleh Alkitab itu sendiri (sebagai contoh, tidak ada di dalam Alkitab yang memberi tahu kita kitab-kitab mana saja yang termasuk di dalam Alkitab). Para rasul menyadari hal ini mengenai tulisan-tulisan mereka sendiri-bahwa tulisan-tulisan mereka adalah bagian dari transmisi Iman yang lebih luas.

Itulah sebabnya, dalam 2 Tesalonika 2:15, Santo Paulus memerintahkan para pembacanya untuk “berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran [tradisi] yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” Cara penyampaiannya baik tertulis atau tidak tertulis, tidak menjadi masalah. Semuanya adalah Tradisi.

Konsili Vatikan II menggambarkan hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi dengan sangat indah:

Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes. 2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih.Yud. 3)11. Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.

Tradisi yang berasal dari para Rasul itu berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja […] Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu yang menghidupkan, dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa. Berkat Tradisi itu pun Gereja mengenal kanon kitab-kitab suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif. Demikianlah Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja dalam dunia, mengantarkan Umat ber-iman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol. 3:16). (Dei Verbum 8, terjemahan RP. R. Hardawiryana, SJ. Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI)

Sebagai “satu perbendaharaan keramat sabda Allah (DV 10)” dan “mengalir dari sumber ilahi yang sama (DV 9),” Kitab Suci dan Tradisi “bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama (DV 9),” inilah cara pewarisan iman yang dapat diandalkan.

Tentu saja, tidak semua ajaran teologis yang diteruskan* secara turun-temurun merupakan wahyu ilahi yang dapat ditelusuri sampai kepada Yesus melalui para rasul. Beberapa hal berasal dari sumber-sumber lain, dan “tradisi buatan manusia” ini tidak masalah jika membantu kita memahami Injil, tetapi akan menjadi masalah jika bertentangan dengan Injil. Dalam Markus 6:7, Yesus menuduh orang-orang Farisi meninggalkan perintah-perintah Allah demi tradisi manusia. Beberapa orang mengutip ayat ini sebagai anti-Tradisi, tetapi sebenarnya tidak. Sebaliknya, ayat ini menentang tradisi buatan manusia … ketika tradisi itu melanggar perintah-perintah Allah.

Perjanjian Baru menggunakan kata paradosis dengan dua makna ini. Dalam beberapa kasus, seperti 2 Tesalonika 2:15, kata ini digunakan untuk Tradisi apostolik yang diwahyukan, dan dalam ayat ini kata paradosis diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral dan mengikat. Dalam kasus lain, seperti Markus 7:8, kata ini digunakan untuk merujuk kepada hal-hal yang diturunkan dari sumber-sumber lain, dan dalam ayat ini kata paradosis dikutuk jika dan ketika hal tersebut mengganggu ketaatan kepada Injil. Tetapi banyak orang Protestan tidak memahami bahwa Tradisi Suci itu baik, atau bahkan ada perbedaan antara Tradisi dan tradisi buatan manusia.

Salah satu alasannya adalah bias Protestan terhadap kata tradisi yang tercermin dalam beberapa terjemahan Alkitab. Misalnya, Alkitab NIV yang populer menerjemahkan paradosis sebagai “tradisi” setiap kali kata itu digunakan secara negatif. Tetapi ketika paradosis digunakan secara positif, NIV cenderung mengubah kata tersebut menjadi “ajaran” (meskipun sebenarnya bukan itu yang dimaksud dengan paradosis). Jadi, sebagai contoh, NIV menerjemahkan 2 Tesalonika 2:15 sebagai “stand firm and hold fast to the teachings we passed on to you, whether by word of mouth or by letter.”

Dan dalam 2 Tesalonika 3:6, di mana Paulus memperingatkan jemaat di Tesalonika untuk “keep away from any brother who is living in idleness and not in accord with the tradition that you received from us (RSV),” NIV sekali lagi mengubah kata tersebut menjadi “teaching.”

Ketika mendiskusikan Tradisi dengan orang Protestan, penting untuk menyadari dan menunjukkan kepada mereka, bahwa kata alkitabiah yang digunakan untuk menggambarkan pewarisan* yang baik yang harus kita terima adalah kata yang sama persis dengan kata yang digunakan di semua tempat di mana pewarisan yang buruk dan buatan manusia ditolak (ketika pewarisan itu menghalangi Injil).

Alkitab tidak menolak Tradisi sebagai sesuatu yang secara bawaannya bermakna jahat. Beberapa terjemahan Alkitab kelihatannya seperti itu, tetapi itu karena para penerjemah lebih mengutamakan tradisi teologis mereka sendiri daripada menerjemahkan naskah-naskah suci dengan setia.

 

* Terjemahan hand-me-down, handed down, hand on dalam artikel ini mengalami lost in translation sehingga diterjemahkan sesuai konteks kalimatnya. Diterjemahkan sebagai serahkan/diserahkan, menyampaikan, diteruskan, diwariskan. Perlu diketahui makna Tradisi ini adalah penyampaian yang bersifat turun temurun tak terputuskan sejak zaman para rasul atau meneruskan ajaran lisan dari generasi atas ke generasi yang dibawahnya, dan ke generasi berikutnya [atau pewarisan iman].

 

Sumber: “The Bible Against Tradition?”

Posted on 22 February 2024, in Apologetika and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.