Bolehkan Membaptiskan Cucu Saya Diam-diam?

Oleh Joe Heschmeyer

Nenek dan Cucunya (Sumber: catholic.com)

‘Baptislah semua bangsa,’ tentu saja, tetapi Gereja memiliki lebih banyak hal yang ingin disampaikan daripada itu.

Salah satu pengalaman yang paling menyakitkan bagi orang tua Katolik yang setia adalah mengetahui bahwa anak-anak Anda tidak memiliki iman yang sama dengan Anda. Rasa sedih ini semakin bertambah ketika anak-anak Anda memiliki anak sendiri, dan kemudian tidak mau repot-repot membaptis mereka.

Kakek-nenek Katolik dalam situasi ini dapat dengan mudah dihadapkan pada sebuah pilihan: apakah mereka harus membaptis cucu-cucu mereka secara diam-diam? Bagaimanapun juga, meskipun bayi dan anak kecil tidak memiliki dosa pribadi, mereka memiliki dosa asal. Dan baptisan lebih dari sekadar pengampunan dosa. Katekismus menggambarkannya sebagai “dasar seluruh kehidupan Kristen, pintu masuk menuju kehidupan dalam roh [vitae spiritualis ianua] dan menuju Sakramen-sakramen yang lain.” Selain membebaskan kita dari dosa, melalui pembaptisan kita “dilahirkan kembali sebagai putera-puteri Allah; kita menjadi anggota-anggota Kristus, dimasukkan ke dalam Gereja dan ikut serta dalam perutusannya. ‘Pembaptisan adalah Sakramen kelahiran kembali oleh air dalam Sabda’” (KGK 1213). Tentu saja kita ingin orang-orang yang kita kasihi (bahkan semua orang!) dibaptis. Namun secara umum Gereja melarang kakek-nenek untuk membaptis cucu-cucu mereka dalam situasi seperti ini. Mengapa?

Kitab Hukum Kanonik mengatakan bahwa supaya seorang bayi dapat dibaptis secara licit (sah secara hukum), “orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya” dan “ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.” (kan. 868 §1). Hal ini berlaku bukan hanya untuk bayi, tetapi juga untuk anak-anak di bawah usia tujuh tahun, dan juga untuk siapa pun yang “secara terus-menerus kekurangan penggunaan akal-budinya” (misalnya, karena alasan gangguan kejiwaan atau disabilitas) (kan. 97 §2; kan. 99).

Perhatikan apa yang tidak menjadi aturannya: orang tua anak tidak diharuskan untuk menjadi penganut Katolik yang setia. Mungkin saja ada satu orang tua yang beriman. Atau mungkin kedua orang tua tidak ada yang beriman Katolik, tetapi ada kerabat lain yang beriman Katolik (seperti kakek-nenek) yang dapat membesarkan anak tersebut dalam iman Katolik, dan orang tua tidak keberatan jika anaknya dibaptis. Semua itu bukanlah kondisi yang sempurna, tetapi masih ada harapan yang masuk akal bahwa anak tersebut akan dibesarkan sebagai seorang Katolik, dan pembaptisan dapat dilanjutkan.

Tetapi dalam kasus kakek-nenek yang ingin membaptis cucunya secara diam-diam, jelaslah bahwa syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum kanonik tidak terpenuhi. Lagipula, jika orang tua tidak keberatan anaknya dibaptis, maka tidak perlu dilakukan secara rahasia. Dan bila orang tua si anak bahkan menolak untuk mengizinkan anaknya dibaptis, sulit untuk menyatakan bahwa ada “harapan cukup beralasan” bahwa orang tua yang sama akan mengizinkan anak mereka dibesarkan di dalam Iman.

Mungkin hal ini terlihat kejam, terutama bagi kakek-nenek yang mengalami kesulitan. Bagaimanapun juga, Katekismus memperingatkan bahwa “Gereja dan orang tua akan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran” (KGK 1250). Namun, di sini seolah-olah Gereja menghalangi anugerah yang tak ternilai bagi seorang anak. Apa yang sebenarnya terjadi?

Poin pentingnya adalah bahwa meskipun baptisan adalah “sakramen iman,” sakramen-sakramen ini bukanlah sihir. “Iman, yang dituntut untuk Pembaptisan, tidak harus sempurna dan matang; cukuplah satu tahap awal yang hendak berkembang,” dan iman ini “membutuhkan persekutuan umat beriman” supaya berkembang sebagaimana mestinya (KGK 1253). Membaptis seorang anak dan kemudian membiarkannya merana secara rohani di dalam sebuah keluarga yang tidak beriman, bukanlah sebuah hal yang baik untuknya.

Tetapi itulah sebabnya mengapa ada satu peringatan penting dari semua yang telah saya katakan sejauh ini: bahaya kematian. “Anak dari orang tua Katolik, bahkan juga dari orang tua tidak Katolik, dalam bahaya mati dibaptis secara licit, juga meskipun berlawanan dengan kehendak orang tuanya” (kan. 868 §2). Jika seorang anak sedang sekarat, atau setidaknya berada dalam bahaya kematian, seluruh perhitungan berubah. Mengapa? Karena sekarang ini bukan soal membesarkan anak dalam Iman, tetapi soal memungkinkannya untuk dibebaskan dari semua noda dosa asal, dan memberinya akses kepada semua rahmat yang mungkin diberikan sambil mempersiapkannya untuk kemungkinan kematian.

Jika dua generasi terakhir memperlihatkan kepada kita yang kurang baik maka Kekristenan yang suam-suam kuku dan setengah-setengah tidak akan berhasil. Seperti yang diperingatkan oleh Tuhan kita kepada jemaat di Laodikia, “Aku tahu segala pekerjaanmu: Engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi, karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Wahyu 3:15-16 TB2).

Ini bukan berarti kakek-nenek Katolik tidak bisa berbuat apa-apa. Ada beberapa hal yang masih bisa Anda lakukan, dimulai dengan mencoba menginjili anak-anak Anda yang tidak patuh. Penginjilan keluarga yang berhasil mungkin tidak akan terlihat seperti memarahi anak-anak Anda atau mengomeli mereka supaya mau ke gereja. Sebaliknya, pendekatan seperti itu justru akan menjadi bumerang karena mengasosiasikan Kekristenan dengan rasa bersalah. Sebaliknya, buatlah rumah Anda (dan kehadiran Anda) menjadi sesuatu yang dinikmati oleh anak-anak dan cucu-cucu Anda. Bersikaplah ramah, mengundang, dan bersahabat. Jangan sembunyikan iman Anda, dan jangan takut untuk berbicara tentang Yesus, terutama tentang bagaimana Dia telah mengubah hidup Anda. Tetapi jangan membayangkan bahwa tugas Anda hanyalah mengingatkan mereka bahwa mereka bukan orang Katolik dan mereka harus menjadi Katolik.

Seperti apakah rumah Katolik yang ramah itu? Katekismus menyerukan pembentukan rumah tangga di mana aturannya adalah “kemesraan, pengampunan, penghormatan timbal balik, kesetiaan, dan pengabdian tanpa pamrih” (2223). Selain itu, orang tua dari anak-anak yang sudah dewasa diperingatkan untuk “harus memperhatikan, supaya tidak memaksa anak-anak mereka, baik dalam memilih pekerjaan maupun dalam memilih teman hidup,” meskipun “pengekangan yang perlu” ini tidak menghalangi dalam memberikan “nasihat yang bijaksana, terutama sekali, kalau mereka mempunyai maksud untuk membangun keluarga.” (2230). Dengan kata lain, jangan mengomeli mereka atau berusaha memberi tahu mereka apa yang harus mereka lakukan, atau menentukan jalan hidup mereka bagi mereka sendiri. Bersikaplah lemah lembut dan penuh hormat serta mudah mengampuni, hargai kebebasan mereka yang telah diberikan oleh Tuhan, dan layanilah mereka (sebagaimana mereka akan mengizinkan Anda) dengan memberikan nasihat yang baik.

Terakhir, ingatlah kata-kata St. Paulus: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang menumbuhkan” (1 Korintus 3:6 TB2). Tidak ada metode yang dapat menjamin bahwa anak-anak Anda akan kembali kepada Iman, atau bahwa Anda bisa membujuk mereka supaya anak-anak mereka dibaptis. Iman adalah sebuah karunia, dan sementara kita melakukan apa yang kita bisa dalam menanam benih-benih iman, atau menyirami benih-benih iman yang kita temukan, pada akhirnya kita harus menyerahkan doa kepada satu-satunya yang mampu membawa anak-anak dan cucu-cucu kita pulang ke rumah.

 

Sumber: “When Not to Baptize”

Posted on 12 July 2025, in Keluarga and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.