Sukacita Pulang ke Gereja Katolik – Kisah Margaret Reveira

Margaret LaCovara-Reveira (Sumber: Facebook)

Pada bulan Maret 1984, di tengah krisis emosional yang saya alami, saya membuat keputusan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi saya. Saya menyadari kalau saya butuh bertumbuh dalam berbagai hal yang berhubungan dengan Tuhan dan membiasakan diri dengan Firman-Nya. Saya tidak takut “dijual” kepada Allah, karena kasih saya bagi Sang Juruselamat sudah dibina sejak masa kanak-kanak. Sebagai seorang pelajar Katolik yang usianya delapan tahun, ikut Misa harian adalah hal yang biasa, dan praktik ini berlangsung lama setelah ini. Secara harfiah, ada sukacita berada di hadirat Tuhan dan berdoa. Kendati demikian, saya masih melakukan hal yang sangat menyimpang dari-Nya, terutama di usia 20-an. Sepanjang hidup saya, penampilan saya sering dipertanyakan, dan meskipun humor yang menyindir menjadi bagian dari tata bicara saya, saya tidak punya harga diri yang pantas, memulai pencarian cinta yang tak ada hentinya. Saya dengan cepat mengadopsi gaya hidup pergaulan bebas sebagai sarana untuk memuaskan tujuan saya. Namun, hal itu sia-sia. Terlepas dari kesenangan fisik, sebagaian besar perjumpaan yang saya alami tidak menghasilkan apa-apa selain dari kejatuhan emosional.

Tak lama setelah saya menerima Tuhan, ada seorang teman yang bernama Laura, dia berperan penting bagi saya dalam mengikuti Tuhan. Dia mulai terus menerus mengucapkan sesuatu yang menentang ajaran Katolik dan berulang kali memaksa saya untuk mencari dan bergabung dengan persekutuan non-denominasi, di mana masalah-masalah tentang Alkitab dijelaskan. Dia juga bersikeras bahwa berkat Tuhan bagi saya akan tertunda kecuali saya patuh dengan permasalah ini. Saya dihadapkan dengan dilema: “Ke mana saya harus pergi?” Saya tahu kalau saya harus mendalami Firman Tuhan, namun saya enggan mengesampingkan agama yang sudah menjadi bagian inti kehidupan saya sejak bayi. Apalagi saya sangat terlibat dengan berbagai urusan di paroki saya. Namun, atas desakan terus menerus yang dilakukan Laura, akhirnya saya setuju untuk mengunjungi gerejanya, dan pada hari Minggu tanggal 3 Juni 1984, sesudah saya terlebih dahulu ikut Misa, kemudian saya ikut bersama Laura ke gerejanya. Dengan pengecualian ketika saya ikut penjelajahan tamasya singkat di Great Neck tiga tahun sebelumnya, ikut ke acara perkawinan sepupu saya di sebuah sinagoga, saya tidak pernah berada di dalam gereja atau tempat ibadah lain selain gereja Katolik. Tetap saja, saya sudah berspekulasi, dan tidak terlalu terkejut menemukan suatu tempat ibadah tanpa patung, artefak suci, dan seni suci, dan sebagainya.

Saya tidak ingat pesan yang disampaikan pendeta ketika kebaktian itu, tapi suatu waktu ia memanggil setiap orang yang perlu didoakan untuk maju ke altar. Dan saya ikut maju ke depan. Apa yang menjadi penyebab keputusan saya untuk menerima Tuhan sebagai hal yang utama dan dengan demikian bisa mengubah hidup saya? Yakni kehancuran hubungan cinta saya dengan seorang pendeta dari Amerika Selatan. Pengalaman mengerikan pribadi saya diperkuat oleh saya tahu kalau ia merasa puas untuk melanjutkan hubungan tanpa komitmen. Saya lelah bertempur dengan gaya hidup saya ini, yang seringkali menjalin hubungan dengan orang yang sudah menikah atau orang yang sudah punya hubungan. Saya menginginkan seorang suami, namun saya merasa putus asa untuk menggapainya. Pada usia 31, pilihan hidup saya yang mengerikan itu menyebabkan perkawinan berlalu begitu saja. Dan dengan pengalaman seperti itu, saya berjalan menuju altar di mana antrean mulai terbentuk.

Akhirnya, pendeta itu berjalan ke tempat saya berdiri. Sebelum hari itu, saya tidak pernah bertemu dengannya atau menceritakan apa pun tentang diri saya kepadanya. Meskipun demikian, ia langsung menatap saya dan berkata, “Tuhan telah mendengarkan tangisan ketakutan dan frustasi Anda, dan Tuhan ingin Anda tahu kalau Tuhan sudah membereskan masalah itu. Tapi Anda harus mengambilnya kembali dari pada-Nya.” Segera saya tahu kalau perkataan itu berasal dari Allah. Selain Laura, dan juga mungkin suaminya, tidak ada orang lain yang tahu pergumulan atau jeritan hati saya.

Ketika kebaktian selesai, saya didekati oleh umat lain yang menyambut saya dan bersukacita atas kebahagiaan yang mereka alami setelah saya keluar dari Gereja Katolik. Saya belum pernah mengalami peristiwa seperti ini (pengalaman di altar gereja Injili) di paroki Katolik saya, dan saya merasa tergugah oleh doa pendeta. Namun, sekali-kali  saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bisa menjadikan rumah Allah ini sebagai rumah rohani saya.

Sudah menjadi niat saya untuk langsung pulang ke rumah, karena Laura dan keluarganya punya rencana sendiri. Dan yang mengejutkan saya, beberapa orang dari gereja Injili mengundang saya untuk makan, yakni Sylvia, Anna, dan Joe. Saya setuju, dan karena saya yang menyetir, maka saya menawarkan tumpangan bagi mereka yang perlu kendaraan. Sylvia menerima tawaran saya, dan kami berangkat. Selama kebaktian, ketika dia tahu saya masih lajang, dia ingin menunjukkan beberapa umat pria yang masih lajang juga. Saya dengan sopan menanggapinya tapi saya tidak tertarik. Saya perlu disembuhkan, dan hal ini tidak akan terjadi jika saya terlibat dalam hubungan pelampiasan (rebound relationship), terutama jika tidak ada ketertarikan. Selain itu, saya tidak bisa menceritakan bagaimana hati saya terus merindukan pendeta itu.

Di restoran, Anna dan Joe bergabung dengan kami. Dalam perbincangan kami, saya tahu kalau Sylvia merupakan seorang ibu rumah tangga yang tidak bahagia dan Anna seorang ahli kecantikan. Pekerjaan Joe tidak saya ketahui, namun segera setelah makan, ketika Joe tahu bahwa saya dulunya Katolik, Joe meledak dengan perkataan sepihak yang kasar tentang keterlibatan saya dengan Iblis.  Ketika orang lain membiarkan Joe mengomel, saya diam-diam memberitahu ia bahwa saya tidak setuju dengan pandangannya. Untungnya, makan-makan segera berakhir, dan ternyata Sylvia tinggal juga di Queens, maka saya mengantarnya pulang. Dalam perjalanan, Sylvia menyebutkan kalau Joe membenci Gereja Katolik. Dan hal itu bukan candaan! Sylvia memberi tahu saya ketika suatu kesempatan Joe berpapasan dengan sekelompok biarawati, Joe berteriak, “Lihatlah iblis-iblis itu!” Kemudian, Sylvia mulai menceritakan tentang perasaan frustasi dalam perkawinannya dan keinginannya untuk mengakhiri persatuan itu, terutama jika ada pria Kristen lain yang lajang dan baik. Dia juga menceritakan kesedihannya akibat kehilangan putranya yang baru-baru ini terjadi, konseling yang tidak efektif dari pastor parokinya ketika tragedi itu terjadi, dan sukacita atas penemuan janji Allah yang tidak terjadi sampai akhirnya dia meninggalkan Gereja Katolik. Saya benar-benar tertarik dengan ceritanya, namun waktu itu saya agak bingung dan lelah dengan hantaman-hantaman kepada Gereja Katolik.

Suatu pandangan yang tidak terucapkan pada masa berikutnya adalah saya akan meniru Laura dan gaya hidupnya. Saya tidak bisa melakukan ini, dan pada taraf tertentu, saya sangat takut dengan cap yang berkaitan dengan istilah “orang Kristen yang dilahirkan kembali,” atau beberapa orang menyebutnya “holy roller (istilah pada abad 19 yang mengacu pada orang Protestan yang rajin ke gereja dalam gerakan kekudusan, dan mengacu pada perilaku berguling-guling di lantai sebagai bentuk jamahan Roh Kudus –red.).” Saya tahu tipenya … wanita yang tidak mengenakan riasan baik perawatan rambut dan tidak suka berpakaian modis. Tidak boleh memakai perhiasan (kecuali jam tangan dan mungkin juga cincin kawin), tidak boleh melakukan aktivitas seperti menari, menonton di bioskop, menonton TV, dan meminum alkohol, menghindari aktivitas itu dianggap perbuatan terpuji. Saya kadang-kadang suka minum segelas anggur, juga saya menikmati berdansa terutama di suatu acara. Dan saya bersifat moderat dalam kesenangan saya, saya sering menonton di bioskop dan menonton TV. Saya juga mengamati kalau percakapan dengan orang Kristen tampaknya menjadi hal yang mustahil. Tanggapan untuk “Halo, apa kabar?” dijawab dengan pembacaan ayat-ayat atau kata-kata Alkitab yang seolah-olah diambil dari sebuah naskah. Apakah ada orang yang sanggup berbasa-basi dengan rutin seperti itu?

Penantian untuk mendapat pasangan hidup sepertinya tidak ada akhirnya, dan saya sangat menghargai dorongan yang dilakukan Laura, terutama karena saya mengalami pengalaman tidak enak dengan diejek kerabat saya karena sudah lama dengan status lajang. Namun saya menjadi agak ragu-ragu dengan harapan mempunyai suami yang saleh. Pria yang menikahi Laura tampaknya alergi terhadap pekerjaan, rasa kemiskinan yang menjalar sampai ke rumahnya. Gaji Laura yang tidak seberapa sebagai sekretaris itulah yang menopang keluarga itu. Ketika Laura sering menyebut bahwa suaminya sebagai anugerah dari Allah, dari dalam hati kecil saya bertanya apakah saya ingin Allah memberkati saya dengan cara demikian. Bisakah saya mendapatkan seorang pria yang pantas untuk menemani saya ke Misa? Kekecewaan saya berikutnya dibuktikan dengan pertemuan dengan pasangan Kristen lainnya pada acara barbekyu pada tanggal 4 Juli yang diadakan oleh Laura. Semua orang tampak tidak bahagia dan tanpa spontanitas.

Namun demikian, selama masa pencarian yang melelahkan untuk penyembuhan emosional dan dengan dorongan Laura, saya kembali ke gereja itu secara berkala. Pada suatu hari Minggu, ada lagi doa itu, kali ini bukan oleh pendeta, namun oleh beberapa orang umat terpilih dari jemaatnya. Kali ini saya didekati oleh seorang wanita yang tanpa belas kasihan, karena tanggapannya yang langsung terucap adalah, “Apa yang Anda inginkan?” Saya meringkuk dan terbata-bata menjawab bahwa saya ingin menikah. Dia bergumam dengan tanggapan-tanggapan yang tidak masuk akal, tanpa doa, dan menyuruh saya kembali ke tempat duduk saya. Ketika pendeta mulai menyampaikan pesannya, tak lama ia bergabung dengan Joe yang diperkenankan untuk berbicara, yang dengan lantang bersukacita atas kebebasannya dari “Gereja Katolik dan iblis-iblisnya.” Langsung pikiran saya, “Lagi?? Apa menurutmu saya itu tuli saat menghina saya di restoran??” Joe memberikan senyuman picik setelah pembicaraannya itu yang kemudian saya balas dengan “Halo” singkat.

Saya terus mendengarkan cerita-cerita dari mereka yang sudah menerima Tuhan, segera meninggalkan Gereja Katolik. Selain itu dan oleh karena kebaikan Laura, saya masih dibombardir tentang mengapa meninggalkan Gereja Katolik itu penting.  Karena banyak alasan, saya merasa kalau hal itu tidak mungkin dilakukan. Ada penghiburan di paroki saya, saya terlibat di sana dan semua orang tahu. Namun orang-orang yang ada di gereja Laura itu sangat asing, terutama umat lajang seperti saya. Selain pelukan wajib dari pendeta sesudah khotbahnya, hanya ada interaksi yang sangat minim. Keselarasan tidak ada dalam agenda mereka, meskipun saya menginginkan persekutuan, namun saya tidak dapat mendapatkannya. Maklum, Laura sibuk dengan keluarganya sendiri. Anna sudah sibuk dengan pria barunya, yang segera akan dia miliki. Saya menyadari bahwa Sylvia ingin seorang teman yang punya mobil dan menjadi sopirnya. Dengan kondisi demikian, saya menolak saran Laura untuk tetap berkumpul, terutama ketika mereka berkata, “Mari besok kita belanja ke Queens Center.”  Hari itu adalah hari Minggu sebelum Natal. Seperti yang sudah saya perkirakan, telepon terus bordering, dan ketika kunjungan berikutnya ke gereja, Anna mencoba memperkenalkan suaminya namun dia bingung, apalagi dia bertanya, “Maaf, sebutkan namamu lagi?” Saya muak dengan semua itu dan berkata kepada Laura, “Kamu tidak pernah mengerti. Di sana saya sendirian, dan jarang ada orang yang mau menerima saya. Sebanyak apa pun kata-kata kasarmu yang menentang Gereja Katolik, di paroki saya, saya dikenal dan disebut dengan nama saya sendiri.” Kami terus berteman, tapi keberadaan saya di gereja itu pada hari Minggu sudah berakhir.

Selama tahun-tahun berikutnya, saya ikut persekutuan lain. Dan seperti biasa, saya merasa tidak cocok. Saya terbiasa dengan penghormatan Misa yang hening dan bukan jeritan histeris yang diteriakkan dari mimbar. Pada satu hari Minggu pada bulan Juni 1987, seorang teman baik memaksa saya untuk menemaninya ke Palace Theater di sebelah utara Manhattan, untuk mendengarkan seorang pengkhotbah kemakmuran yang terkenal, ajarannya kontroversial, namun sekarang sudah meninggal. Saya tidak tahu kenapa saya mau ikut ke sana. Sejak awal, saya tahu kalau itu salah, terutama ketika ia naik ke atas panggung dan dengan lincahnya menari ikut irama lagu oldies yang dikaitkan dengan keuntungan moneter. Walaupun saya tidak mau berdiri sebagai tamu yang pertama kali ikut acara itu, teman saya memaksa saya sampai saya berdiri, dan cuma untuk mendengar pendeta itu berteriak, “Hai sayang .. di mana saja kamu selama ini?” Segera saya duduk dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika kebaktian berlanjut, saya merasa diri saya sedang disiksa. Ketika lelucon ini berakhir, diam-diam saya pergi bersama teman saya sambil menarik tangannya. Berbagai produk yang dijual dipajang di sepanjang lobi, dan saya perhatikan harganya menjadi dua kali lipat untuk barang-barang dengan label harga asli yang dipajang.

Atas undangan seorang kenalan, saya pergi ke pertemuan orang lajang yang berafiliasi dengan sebuah gereja di Nanuet yang disebut Redeeming Love Christian Center atau RLCC. Dalam acara itu saya berbicara dengan salah seorang pimpinan yang pernah menjadi anggota paroki saya. Tidak ada yang menjelek-jelekan, dan saya menikmati acara itu dan mulai menghadiri kebaktian mereka secara berkala.

Ada beberapa masalah yang akhirnya membuat saya keluar dari Katolik. Saya gelisah, bosan, dan sangat sadar bahwa saya perlu ada perubahan. Akhirnya, pada tanggal 12 Februari 1995, saya melayani sebagai Pelayan Komuni Tidak Lazim (Asisten Imam/Prodiakon –red.) pada Misa jam 11 dan setelah itu menunggu seorang kenalan pria yang sudah saya kenal selama beberapa tahun. Ia sekarang sudah menikah, namun persahabatan kami saat itu masih baik. Namun, pada hari itu menjadi berbeda. Waktu perjalanan pulang, ia terlihat sangat sedih. Ia mengungkapkan cintanya pada saya dan mengaku bahwa sulit berada di hadapan saya. Dengan lembut saya menjawab, “Saya akan membuatnya lebih mudah bagimu dan jangan pergi ke pertemuan jam 11 lagi (maksudnya jangan menemui saya lagi).” Dalam pikiran saya, tidak ada keraguan lagi, sudah waktunya saya pergi.

Tentu saja, keputusan saya mendapat tentangan keras dari keluarga saya. “Tidak bisakah saya mencari paroki lain” Tidak bisa. “Bagaimana caranya kamu bisa meninggalkan gerejamu itu dan melupakan keterlibatan di gereja?” Dan banyak perbantahan lainnya. Menurut pandangan Laura, dia senang dengan keputusan saya, seperti orang lain juga yang berada di posisi itu. Sekarang, saya akan mencurahkan waktu untuk semakin dekat dengan Allah dan membiasakan diri dengan Firman-Nya.

Sisa-sisa hari pada bulan Februari sampai pada akhir Agustus, saya diam di rumah pada hari Minggu sambil memegang kaset pengajaran Alkitab. Akhirnya seorang rekan kerja menantang saya karena kurangnya komitmen saya pada gereja dan mengutip Ibrani 10:25: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita.” Saya membantah kalau ayat itu tidak ada hubungannya dengan saya, karena perjalanan hidup saya dengan Tuhan itu semakin kuat dari sebelumnya. Ketika saya tiba di rumah sore itu, saya mempersiapkan makan malam dan sedang meneliti bahan bacaan saya. Saya masih anggota milis RLCC dan memiliki koleksi majalah mereka yang bernama Horizons Unlimited. Saya mengambil acak majalah itu, dan ketika saya mulai makan, artikel pertama yang saya baca bukan hanya membahas tentang anggota gereja namun secara khusus mengutip Ibrani 10:25. Baiklah … hal itu menjadi penegasan, dan saya memutuskan kembali ke RLCC hari Minggu. Dan saya berhasil melakukannya.

Saya ikut RLCC sampai bulan Oktober tahun depan, sampai suatu hari oleh saran seorang teman, saya mengunjungi Faith Fellowship di Edison, New Jersey. Saya sangat senang baik dengan pendeta maupun dengan gerejanya, akhirnya saya rutin ibadah di sana. Perjalanan dari Astoria tidak lama, dan bahkan saya juga berpikir apakah saya harus bergabung sebagai anggota sukarelawan.

Saya tidak bekerja pada tanggal 3 April 1998, dan saya menggunakan waktu itu untuk menjalankan urusan di Manhattan. Setelah selesai, saya sangat ingin untuk naik kereta bawah tanah ke Briarwood dan mampir ke toko buku Kristen favorit saya. Dua orang pembeli yang saya ajak bicara namanya Nancy dan Clare, menyebutkan bahwa mereka adalah anggota sebuah gereja di Brooklyn, yang akan saya sebut sebagai NT. Saya sudah tahu dengan gereja itu, karena saya pernah dua kali mengunjunginya pada tahun 1992, dan baru-baru ini saya lewat gedungnya waktu ke acara pesta ulang tahun. Saya berbicara tentang Faith Fellowship, dan kami bertukar nomor telepon. Pikiran saya tertuju pada hal-hal lainnya, tapi waktu saya keluar dari kereta di Steinway Street untuk pulang, saya percaya kepada Tuhan yang berbicara pada saya, “Aku ingin kamu di sana (NT).”

Karena banyak alasan, saya merasa bersemangat berada di NT, salah satunya adalah pendetanya seorang guru yang luar biasa. Saya juga akan memiliki kesempatan untuk ikut serta di sana, karena adanya perjalanan gratis tol dari Astoria ke Brooklyn dibandingkan dengan perjalanan satu jam ke New Jersey. Maka dari itu, saya kembali ke Faith Fellowship di akhir pekan itu dan memutuskan meninggalkan gereja itu setelah kebaktian Paskah, yaitu hari Minggu berikutnya. Saya mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa teman yang saya kenal baik di sana, kemudian saya naik mobil, dan pergi dari sana untuk terakhir kalinya.

Saya menghubungi Nancy dan kami berencana untuk bertemu pada kebaktian pagi hari Minggu itu. Sesampai di sana, saya langsung melamar keanggotaan, dan setelah itu mengikuti kelas anggota baru, dan saya berniat untuk memenuhi setiap persyaratan untuk bergabung dengan staf sukarelawan dalam masa tunggu selama satu tahun.

Tahun 1999 menjadi tahun yang sangat penting bagi saya. Saya bertemu dengan suami saya pada awal bulan Mei, dan tiga bulan kemudian, kami bergabung sebagai anggota staf relawan. Firman Tuhan di MT sangat kuat kuasa, dan di sana saya terus bertumbuh dalam berbagai hal mengenai Tuhan.

Saya dan suami saya menikah pada bulan November 2001. Kemudian gereja itu pindah ke lokasi yang lebih luas di daerah yang masih dekat dari situ. Pada saat itulah kegelisahan terjadi dalam jiwa saya. Khotbah dari mimbar sudah berubah, yang tadinya peneguhan yang luar biasa menjadi pesan singkat yang menyenangkan hadirin, termasuk para politisi dan orang-orang bergengsi. Saya sering mendengar bahwa tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan dalam agama Katolik, dan pada dasarnya orang-orang di sana bebas melakukan apa yang mereka sukai. Namun, dalam suasana baru dan saya duga lebih baik ini, kekudusan seolah-olah sudah tidak ada lagi diberitakan dari altar, dan saya mengamati begitu banyak umat, termasuk sesame rekan relawan, dengan sengaja menjalani hidup yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Ketika saya mulai mempertanyakan mereka, tanggapan mereka bisa diprediksi terucap seperti “Tuhan tidak menghakimi saya … Tuhan tahu kalau saya masih dalam proses dan Tuhan akan memberkati saya melalui ketulusan hati saya.” Bacaannya tidak berubah, dan saya tidak bisa memahami bagaimana hal seperti ini dibiarkan terjadi dalam lingkungan yang diklaim sebagai lingkungan umat Kristen yang dilahirkan kembali. Namun, tidak ada koreksi yang keluar dari mimbar gereja, dan kekejaman seperti itu terus berlanjut.

Dengan masuknya para selebritas dan pembicara yang menjadi pendukung verbal ide dan praktik yang bertentangan dengan Alkitab, tempat kudus gereja perlahan-lahan menjadi bukan lagi hadirat Tuhan. Kehadiran mereka mulai memuja pendeta, hampir tidak tahu menahu lagi tentang Sang Juruselamat yang bangkit. Pada masa itulah saya merindukan kekudusan, keteraturan, dan ketaatan pada Firman Tuhan, yang semuanya itu adalah dasar Iman kita.

Pada tahun 1998, hal ini seolah-olah tidak lagi bisa dibanyangkan, namun pada bulan Juni 2008, saya dan suami saya mengundurkan diri dari megachurch ini. Suami saya merasa sangat terpukul ketika ia menyadari bahwa ajaran Alkitab sudah hilang, namun ia sudah berada di gereja itu selama 16 tahun dan sangat menikmati persahabatan antara anggota gereja dalam timnya. Ketegangan muncul, dan di tengah semua itu, Tuhan mulai “mengomeli” saya untuk kembali ke Katolik. Alih-alih ketaatan langsung kepada-Nya, saya menceritakan wahyu itu kepada orang lain, dan mereka menuntun saya dan membuat kesimpulan bahwa saya belum mendengarkan suara-Nya. Kemudia kami bergabung dengan sebuah persekutuan lokal, yang mana dalam banyak hal berangsur-angsur menggemakan sikap permisif dari megachurch. Setahun kemudian, dengan persetujuan penuh, kami pergi dari persekutuan itu dan mulai mengikuti persekutuan di Long Island.

Tuhan sungguh murah hati! Saat saya terus menerus mencari-Nya, Ia mengingatkan saya ke suatu tempat di mana Ia pernah memanggil saya. Akhirnya, pada pertengahan tahun 2011, kerinduan dalam roh saya semakin kuat, dan saya tidak sanggup lagi menolak kehendak-Nya dalam hidup saya. Saya berbicara kepada suami saya, yang mendukung keputusan ini, dan pada bulan September tahun itu, saya bergabung dengan paroki setempat, saya pulang ke rumah. Saya tersenyum pada perasaan ironi Tuhan ketika beberapa bulan kemudian, pada tanggal 12 Februari 2012 atau 17 tahun setelah saya meninggalkan Gereja Katolik, saya sekali lagi dilantik sebagai Pelayan Komuni Suci Tidak Lazim. Tak lama setelah itu, saya diundang untuk menjadi lektor, dan tak lama kemudian berbagai kegiatan lainnya menyusul saya ikuti. Saya rutin melayani pada Misa jam 8 pagi, karena memungkinkan saya untuk pergi ke Long Island untuk kebaktian gereja Injili pukul 10:30.

Pendeta gereja Injili meras kurang antusias dengan keputusan saya untuk kembali ke Gereja Katolik, yang ia sebut sebagai agama palsu. Walaupun disebut begitu, saya mungkin tinggal di gereja itu lebih lama lagi, tapi suami saya sangat ingin pergi dari gereja itu. Suami saya tidak pernah benar-benar mengikuti gereja itu dan merasa bahwa Tuhan menginginkan suami saya untuk ikut sebuah gereja yang dekat dengan rumah, yang pada kenyataannya akan segera terjadi. Sementara saya menemaninya ke kebaktian setiap hari Minggu, terutama karena pendetanya adalah guru yang luar biasa, dan saya dengan bangga dan berani meyatakan bahwa saya Katolik. Tuhan telah menempatkan semangat dalam hati saya, dan merupakan sukacita untuk mewartakan iman saya kepada orang lain. Sebelumnya, saya sudah mulai menulis sebuah blog yang berjudul “Exuberant Catholic,” yang saya rencanakan aktifkan kembali sebagai sarana menyampaikan Firman Tuhan.

Saya bersyukur atas para pengkhotbah yang sudah saya temui selama perjalanan iman saya. Banyak dari mereka menghidupkan Alkitab dan mengajarkan saya bagaimana untuk percaya kepada Tuhan dengan segenap hati. Namun demikian, saya tidak bisa membayangkan diri saya terpisah dari Gereja Katolik. Saya menyukai keagungan Misa bersama dengan berbagai upacara dan warisan kita yang sungguh mulia. Saya senang kembali ke rumah.

 

Catatan: Semua nama tokoh dan gereja-gereja dalam kisah ini sudah diubah demi menjaga privasi, kecuali Redeeming Love Christian Center (RLCC) and Faith Fellowship.

 

Margaret Reveira seorang wanita berusia 66 tahun yang merupakan penduduk asli New York yang bekerja sebagai penegak hukum sejak tahun 1978. Meskipun pekerjaan itu sangat dia sukai, hasrat mendalamnya untuk menulis sudah dipupuk sejak masa kanak-kanak. Dia dan suaminya tinggal di New York City, Bronx County, di mana dia terlibat di Paroki Saint Frances of Rome.

 

Sumber: “My Joyous Return to Catholicism”

Posted on 18 September 2020, in Kisah Iman and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.